4. ITIK EMAS TERBANG MALAM.


MALAM datang sudah.

Symfoni hutan sudah mulai pula terdengar. Lagu yang tak ber ubah-ubah sepanjang zaman. Kita tak dapat mengatakan dari mana sumber suara-suara itu. " Mbok,..mbok, siamang, gereceh , simpai, pekikan kera bercampur aduk dengan bunyi uir-uir, dan satwa-satwa lainnya dalam hutan itu. Dari seluruh hutan berkumandang suara-suara itu tak henti-hentinya sepanjang malam.

Waktu magrib tadi Sibarani shalat bersama-sama abangnya. Tu' Atin jadi imam dan Sibarani jadi maamumnya. Yang azan abangnya pula karena Sibarani tak pandai azan, ikamat dia pula karena bagi Sibarani lebih hafal gambaran kertas koa dari pada ayat kitab suci. Agak meresap suara Tu' Atin membaca bacaan sembahyangnya entah karena dilingkungi kesepian dalam hutan itu. Selesai salat lama pula abangnya membaca wirid-wird yang satupun tak dapat diikuti Sibarani. Hanya karena segan saja ia ikut ber salat bersama-sama dengan abangnya. Ia kuatir kalau-kalau abangnya bertukar pendapat karena ia kurang melaksanakan ibadat.

Ia masih tafakur diatas tikar sembahyangnya sampai shalat Isya dan lama pula memabaca wirid-wiridnya. Sibarani memuji ketakwaan abangnya dalam beribadat itu.

Sesudah makan malam barulah kedua saudara itu duduk rehat sambil bercakap-cakap.

" Saya percaya bahwa usaha si Layau itu akan berhasil," kata Tu' Atin membuka pembicaraan. " Hanya saya heran kenapa baru sekarang timbul rencananya akan membuka tambang itu. Jika sejak dahulu diusahakannya tentu takkan sampai orang Mungo itu datang membukanya pula."

" Saya pikir mungkin ia mendapat ilham sesudah kami bekerja di tambang timah di Taiping itu," kata Sibarani. Itulah salah satu keuntungan pergi merantau kenegeri orang. Jika tidak dapat kekayaan dapat pengalaman yang berharga."

" Itu mungkin benar juga,"tukas abangnya. " Jadi sementara biarlah kau bekerja sama dengan Layau. Aku biar sendirian pula mengusahakan ladang gambir ini. Sebgai kau lihat tak pernah aku ditolong orang atau mempergunakan tenaga orang lain, namun kerjaku tetap berjalan lancar. Apalagi kulihat ada tanda-tandanya bahwa usaha si Layau akan berjalan lancar dan berhasil."

" Apakah tanda-tandanya pada uwan bahwa tambang emas itu akan menghasilkan ataukah tidak?" tanya Sibarani.

" Ada tanda-tandanya bagi kita orang kampung. Tetapi pada orang-orang pintar yang dikatakan orang Insinyur itu tentu ada pula tanda-tandanya yang tentu aja berbeda dengan tanda-tanda kita orang kampung. Jadi berhasil tidaknya ialah pada siapa yang mengusahakanna . Kalau Layau sanggup mengusir orang Mungo itu dan dia yang mengusahakannya maka Layaulah yang mendapat hasilnya. Tetapi kalau tidak tentu mereka itu juga yang akan menerima hasilnya. Dan mungkin Basirun akan membuat salung emas sebuah lagi. Tu' Atin senyum tersuruk mendengar kata-kata itu.

" Dapatkah uwan menceritakan salah atu tanda-tandanya itu?" tanya Sibarani.

" Bisa," jawab Tu' Atin. Tempat-tempat yang terdapat emas itu pada waktu-waktu tertentu selalu didatangi oleh induk emas...."

" Apa itu induk emas?" tanya Sibarani.

" Kedatangan induk emas itu menandakan bahwa ditempat itu ada terdapat emas. Induk emas itu hampir berupa sebuah bola besar yang berkilau-kilau sperti emas. Ada juga yang erupa seekor itik tetapi itik emas. Orang sering menampak induk emas itu melayang sepanjang hiliran batang Sinamar. Induk emas itu melayang menurut aliran batang Sinamar dan sampai di Sigalapung. Dari sana ia terbang keudara dan menuju ke Tambang dibalik bukit itu. Ialah tambang Tu' Layau itu.

Kalau kita mau memperhatikan dimuara Alahan batang air yang datang dari Batu Payung akan terlihat pasir yang berkilau-kilau seperti emas. Sampai ke Batu Kuda dekat Ngalau Sikuran-kuran. Sepanjang tepi sungai itu berkilauan pasir-pasir emas. Kalau pandai mendulang atau mengayaknya akan kita dapat emas. Tetapi biasanya itu hanya emas yang dinamakan dengan emas urai. Di Tambang mungkin emas yang sebenarnya....."

Tu' Atin menunjuk kearah Tambang dengan telunjuknya.

" Dan kemungkinan induk emas itu akan terus terbang kedaerah Kampar Kiri sebab disana terdapat juga pendulangan mas dalam sungai. Juga batang Subayang itu kata orang ada mengandung emas. Memang bumi kita

ini amat kaya. Asal pandai menggaliinya kita tentu dapat menikmati kekayaan itu. banyak daerah kita yang terkenal karena masnya. Dahulu hanya bangsa asing saja yang mamapu menggalinya, atau katalah bangsa penjajah.

Coba kamu bayangkan: dalam tanah ulayat si Layau itu terpendam emas yakni kekayaan yang tidak ternilai harganya. Jika dia pandai menggalinya dia dengan keturunannya tentu akan senang seumur hidupnya. Sebab itulah kita harus menyerahkan anak- anak kita bersekolah sampai sekolah tinggi. Kalau ada orang kita yang jadi insinyur pertambangan tentu ia tahu caranya bagaimana menggali harta kekayaan yang terpendam dalam bukit tambang itu. Tetapi itu untuk masa mendatang. Dan sekarang orang Mungo itu sudah menggali harta kekayaan itu. mereka tidak salah sebab mereka tentu sudah mengetahui dan mencari lalu membawa orang yang ahli pertambangan kesana."

" Jadilah uwan," tukas Sibarani, " pikiran saya masih kepada induk emas tadi juga. Bisakah induk emas itu ditangkap atau dikuasai?"

"Kalau tahu caranya dan jika cukup berani ya bisa saja. Kalau kau bisa melumpuhkan induk emas itu dan kau bawa pulang maka kamu akan menjadi jutawan. Entah berapa kilo beratnya emas itu, kupikir hampir seratus kilo. Jadi kau arus mengintip dia dipinggir sungai dimana dia sering kelihatan menampakkan diri. lalu kau tangkap dan kau bawa pulang. Dia Takkan melawan sebab dia hanya sebungkah emas murni. Namun dia bisa melayang-layang kesana kemari.

"Sudah pernahkah ada orang yang menangkapnya, wan?"

"Setahuku belum pernah. Tetapu kalau yang pernah melihat sudah banyak. Bagi kita yang perlu ialah bahwa induk emas itu menunjukkan dimana anak-anaknya berada. Disanalah kita berusaha untuk menggali emas itu. Hanya bagi kita bagaimana cara penggalinya itu. cara sederhanakah atau engan seorang modern. Biayanya tentu berbeda pula. Tetapi saya rasa sama saja. Ninik moyang kita zaman dahulu mengusahakan penggalian emas itu dengan secara sederhana saja tetapi dapat dilihat hasilnya. Kabarnya pada masa dahulu berkilo-kilo emas yang dikirim ke Malaka dari daerah Kampar Kiri. Emas itu ditampung oleh saudagar bangsa penjajah: Portugis atau Belanda. Nah, dari mana datangnya emas Kampar Kiri Itu? Ialah dari daerah kita ini. Bukankah daerah kita ini teramat kaya?"

"Nah Barani! Kamu sebagai penduduk asli disini dan mempunyai perhatian terhadap penambangan emas ini harus berusaha sekuat-kuatnya. Atau perlukah orang bermata biru berkulit putih itu dtang kembali kesini dan mengusahakan penggaliannya kemudian membawa hsilnya kenegerinya?"

Sibarani dengan penuh perhatian mengikuti ceramah atau uraian abangnya tentang soal emas itu. Gayanya tak ubahnya sebagai eseorang yang amat ahli dalam bidang itu. Bertambah Yakinlah Sibarani bahwa dengan bantuan pikiran dan saran-saran dari abangnya usaha mereka akan berhasil.

"Mungkin abang sudah bertarak dalm hutan ini dan dikunjungi oleh jihin atau orang-orang halus yang memeri bermacam ilmu kepada abangnya.

Sibarani percaya bilamana tambang itu diusahakan walau dengan cara primitif akan dapat juga mengeluarkan asil. Sebab pada zaman dahulu ninik moyang sudah pandai mengusahakannya dan bagaimana kita zaman sekarang tidak mungkin? Padahal alat perlengkapan kita jauh lebih cukup dari mereka. Hanya kini sampai pada acara tunggal: - Bagaimana caranya menyingkirkan Orang-orang Mungo itu dari daerah tambang itu?- Hal itu ditekankannya kepada abangnya. Tu' Atin mengeluarkan pendapatnya:

"Tu' Layau bukankah sudah mengatakan bahwa akan dicoba dengan cara menakut-nakuti mereka. Satu rencana yang bagus juga asal kena batunya......" Tu' Atin berdiam diri sejurus dan menggulung sebatang udut daun enau sebagai akan membuka pikiran.

" Tetapi untuk membantumu atau menambah bahan-bahan yang sudah ada padamu saya akan memberi pula ebuah saran atau bantuan bagaimaa caranya mengusir mereka. Nanti akan saya katakan kepadamu, Dan saya kira rencana saya ini cukup mantap juga dan akan memawa hasil. Karena Tu' Layau itu termasuk keluarga kita juga apalagi kamu ada pula bersama-gama mereka. Tetapi awassss Barani. Cara ini bersifat rahasia, hanya kau e sendiri yang tahu. Teman-temanmu juga tak usah tahu.

Bila rencana saya ini kamu jalankan dengan sebaik-baiknya saya kira mereka akan meninggalkan daerah itu sebagai menjauhi sebuah tempat dimana sedang berjngkit penyakit menular seperti penyakit sampar misalnya."

Hati Sibarani menggeletek ingin segera tahu apakah rencana abangnya itu. Sebelum ia mendengar ia sudah percaya bahwa rencana itu akan berhasil Sukses. Mungkin belum tiba saatnya dan Sibarani tak berani mendesaknya,

Dalam pada itu malam semakin larut.

Tu' Atin membuka tingkap keramatnya dan menoleh keluar. Ia disambut malam Rimba Mangkisi yang penuh misteri. Terdengar irama malam di hutan yang membawa kita lebih bertaqwa kepada Tuhan Maha Pencipta.

Ia berdiri mengambil sesuatu lalu diletakkannya disampingnya. Sibarani memperhatikan tanpa bertanya apa-apa. Ia melihat abangnya meletakkan segulung daun pisang karuk ( pisang hutan ) yang sudah dikeringkan. Kalau di Jawa penduduk asli membuatnya dari daun jagung dinamakan rokok klobot. Tetapi disini dinamakan dengan rokok sitaka. Sibarani sudah mengetahuinya. Sebab masa kanak-kanak ia gemar juga mengisap rokok sitaka itu. Tembakaunya istimewa pula diracik kasar-kasar dan lunak rasanya.

TU' Atin mulai menggulung rokok itu tetapi dengan amat heran ia melihat bahwa gulungan rokok itu tidak sebagaimana biasa. Besar-besar hampir sebesar pergelangan anak kecil, besar dan panjang. Rokok itu diikatnya dengan serbut daun enau supaya jangan tanggal.

Abangnya akan mengisap rokok itu rasanya tidak. Ia hanya merokok daun enau yang digulungnya setiap ingin menikmati rokoknya. Namun Sibarani diam-diam saja tidak bertanya apa-apa.

Sudah siap digulungnya enam batang rokok itu diletakkannya disampingnya. Lalu dia berkata:

"Sekali lagi saya katakan Barani. Hal ini rahasia, kakakmu sendiri tidak mengetahuinya. Apalagi orang lain. Tetapi kejadiannya tidaklah berupa rahasia. Kita hanya memanfaatkan tenaga alam untuk membantu kita.

Bila usaha ini berhasil maka kita udah membantu usaha teman-temanmu. Dan saya idak mengharapkan balasan apa-apa."

Tu' Atin melihat lagi keluar lewat tingkap. Pintu tingkap itu dibiarkannya tetap terbuka. Padahal udara dari hutan yang sejuk berembus lewat tingkap itu.

"Bila bulan sudah terbit nanti kau akan mengetahuinya dan akan melihat dengan mata kepalamu sendiri. Dan tak usah takut!"

Darah Sibarani gedebak gedebur. Apakah yang akan terjadi? Keinginannya mulai meluap. Dia tak pernah takut dengan apa saja. Sedangkan menjelaja hutan sendirian baik siang atau malam dia berani. Konon pula melihat sesuatu berdua dengan bangnya, kenapa dia harus takut? Hanya rasa ingin tahu yang lebih besar. Mungkin ia masih banyak belum tahu tentang isteri hutan yang jadi medan permainannya semenjak masih kanak-kanak. Namun waktunya belum datang. Bulan masih terlindung dibalik ufuk. Apalagi

terlindung pula oleh bukit-bukit sebagai barisan raksasa Rimba Mangkisi.

Tu' Atin tetap duduk dimuka tingkap bertuahnya itu. Suasana hutan mulai aak terang sebab kalimantang sorotan sinar bulan dari arah timur. Selimut hitam seluas angkasa yang menyelubungi Rimba Mangkisi sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Pohon-pohon besar dan bukit-bukit melukis- sebuah silhout dilangit malam. Beberapa butir bintang-bintang berkedip- kedip sebagai meninjau keatas muka bumi.

Tiba-tiba Tu' Atin berseru:

" Barani ayo cepat,... cepaaaaat!" sambil mengamit adiknya supaya mendekat. Sibarani segera mendekati abangnya dan melihat keluar lewat tingkap. Diturutkannya dengan matanya apa yang dituding abangnya ke angkasa malam, Maka dari arah daerah batang Sinamar kelihatan seberkas sinar yang berwarna hijau kemerahan terbang diudara, Hampir-hampir seperti komet terbang. Terbangnya itu tidak ligat seperti kilat, dan agak perlahan. Setelah diperhatikan dengan saksama bentuknya hampir-hampir seperti seekor itik atau angsa yang sedang terbang diudara, Terbangnya semakin tinggi dan kemudian menukik setentang daerah tambang dan lenyap disana.

" Kau sangat beruntung Barang," kata abangnya.

" Kenapa wan?"

" Jarang orang yang dapat menyaksikan induk emas itu, Itu satu tanda bahwa kau akan berhasil kalau mengusahakan tambang emas itu, Pasti di tambang itu masih banyak emasnya. Berapalah artinya yang sudah digali oleh orang Mungo itu. Dalam perutnya masih bertimbun-timbun persiapan emasnya agaknya sampai dunia kiamat masih ada. Tinggal menggalinya pada kesungguhan dan kepintaran kita.

Namun teka teki sejak siang tadi belum juga berjawab. Sibarani hampir-hampir tak sabar lagi. Tetapi ia tak berani mendesak abangnya. Dikuatirkan dia mengubah rencananya.

Tiba-tiba Tu' Atin bertanya:

" Kau lihat siangan ladang kita ini tadi, Barani?"

"Ya, ada,"

" Tak ada yang menjadi tanya bagimu?"

" Memang ada wan. Sejak tadi hal itu menjadi teka teki pada saya. Setahu saya uwan tak ada mempergunakan orang upahan untuk bersiang ladang. Dan kakak tak pernah pula membantu. Jika dibantu kakak akan berapa

benarlah tenaganya, orang perempuan.

Kini saya maklum: uwan ada menyimpen sesuatu rahasia yang belum diungkapkan kepada saya. Ini menurut taksiran. "

Tu' Atin tertawa dan berkata:

" Ada malah bertambah akalmu selama dinegeri orang, Barani. Dan tunggulah waktu mainnya agaknya tidak lama lagi," sambil ia melibat keluar melihat cuaca malam.

" Hanya ku peringatkan Barani, kau jangan kaget, jangan takut, jangan berbuat yang bukan-bukan, berikaplah seperti biasa saja. Dan,.... semua yang kau lihat dan kau dengar harus tetap kau rahasiakan, walau kepada siapa saja, termasuk pada teman-temanmu......"

Sibarani terdiam, wajahnya tetap serius.

Bulan sudah terbit. Langit di ufuk timur sebagai disepuh oleh aneka warna, utaan daun-daun kayu bermacam rgam dalam rimba raya itu sebagai bersinar keemas emasan, dan symfoni malam kian gembira menyambut kehadiran sang rembulan Tu' Atin meletakkan rokok sitaka yang dibuatnya tadi dekat tempat duduknya. Juga ada selempeng kecil tembakau hitam. Tembakau dengan kualitas demikian tidak akan laku dijual kepada Lon Tek saudagar tembakau orang Cina di Payakumbuh.

Sibarani menatap semuanya dengan mata hammpir tak berkedip. Seakan-akan penonton yang gelisah dalam sebuah sirkus tak sabar menanti acara pertunjukan dimulai

Tiba tiba terdengar suara lengkingan seperti biasa diteriakkan oleh perimba perimba yang masuk kedalam hutan Sibarani juga bisa berbuat demikian, ia mampu meneriakkan suara Tarzan itu lebih balk sehingga menggema kesemua solok dan biding bukit dalam rimba itu.

Tetapi mendengar teriakan ini rasanya bulu tengkuk Sibarani merinding seakan akan bulu seekor landak. Kalau tidak berdua dengan abangnya entah apa yang akan dilakukannya. Entah lari entah roboh pingsan. Perasaan nyalinya menciut.

Tu' Atin membuat corong dengan kedua telapak tangannya sebagai membalas suara terakan itu, tiga kali berturut-turut. Lalu ia memberi isyarat kepada Sibarani supaya ia mengintip keluar. Ia memasang matanya baik-baik sehingga setiap gerakan sekecil apapun akan dapat dilihatnya diluar pondok gambir itu Sibarani Templat:Mufakat seakan-akan ada setumpak belukar bergerak ataukah bongkah-bongkah batu sebesar gajah yang bergerak menuju

arah ketingkap pondok. Tetapi ini bukan belukar yang bergerak dan tidak pasukan gajah yang mendobrak sebab bentuknya sama dengan manusia. Namun manusia dalam postur ukuran besaaaar. Kian lama Sibarani semakin dapat mempertajam matanya. Akan dikata monyet sebangsa gorila tak mungkin sebab gorila hanya ada di benua Afrika sedang disini ialah Rimba Mangkisi dalam daerah Kabupaten Lima Puluh Kota.

Jelas ini memang manusia, tetapi dengan ukuran yang sangat besar, tingginya paling tidak tiga meter, tubuh erbulu-bulu, jenggot sampai ke Pusat, kaki sebagai batang pinang, Tidak satu segipun dari makhluk itu yang berbeda dari manusia. Mereka ada dua orang. Dan datang melangkah lambat-lambat, hati-hati mendekati tingkap dimana Tu' Atin sedang duduk menanti. Keduanya berdiri dalam kegelapan terhindari dari sorotan si nar bulan.

" Siapo disano, Tuk Tang?" bertanya Tu' Atin.

" UUuuuh,..." jawabnya.

" Tu' saurang atau baduo... ?"

" Uwooo,. ...."

Tu' Atin membakar rokok sitaka besar itu dua batang lalu di unjukkannya keluar tingkap. Sebuah tangan dengan jari yang besar berbulu-bulu menyambut rokok itu dan sebentar terdengar sebagai diisap dengan sedotan yang berat. Sibarani tetap memperhatikan semuanya dengan tidak melepaskan setiap adegannya.

" Tuk Tang... Tu' Mpek, mau garam?

Serempak keduanya menjawab. Tu' Atin memberikan sebuah bungkusan kertas kepada Urang Gadang itu.

" Ini tembakau," kata Tu' Atin lagi sambil memberikan sejemput tembakau yang tak laku di Pasar Payakumbuh itu kepada kedua tamu itu.

" Nak nau,...nak tan,,,?" tanya keduanya.

" Sementara tidak, jawab Tu! Atin.

" Tuk Tang,...Tuk Mpek,.. nanti kami dibawah," kata Tu' Atin kepada kedua tamunya yang sebesar-besar rumah itu.

" Uuuuh,.." jawabnya . Tu' Atin menggubit adiknya lalu dibawanya kebawah, kedua manusia raksasa itu duduk berjongkok ditanah persis didepan tingkap bertuah itu. Tu( Atin dan Sibarani datang mendekati kedua tamunya itu.

Walaupun mereka berjongkok dan Tu' Atin serta adiknya berdiri namun masih tinggi juga mereka. Dan baunya alangkah amis! Amis bercampur busuk. Maklum manusia hidup dalam rimba dan tak kenal dengan mandi apalagi dengan sabun mandi.

" Tuuuk," kata Tu' Atin.

" Ada tuuk di Tambang?"

" Uuuuh,..." jawabnya.

" Tuuuk! Ini adikku Sibarani. Kami minta tolong menjaga tambang nanti, yaaa? Dan usir semua orang-orang yang ada disana....."

" Uuuuh,..." jawabnya.

" Nanti tuuk kami panggil."

" 'Uuuuh..." jawab Urang Gadang itu.

" Nah, ini tambahan tembakau..." sambil memberikan tembakau lagi kepada pecandu tembakau nomor satu itu. Kemudian merekapun pergi. Perginya tidak seperti datang tadi. Mereka berdiri lalu terbang dengan cepat lalu menghilang dalam semak belukar yang rapat. Rupanya bagi mereka tidak alangan untuk berlari secepat kilat dalam kelumun rapatnya semak belukar itu. Bagai buldozer saja layaknya!

Setelah mereka pergi Sibarani masih terpaku ditempatnya. Mungkin dia merasakan sebuah kejaiban yang belum pernah dialaminya seumur hidupnya. Dan itulah baru. Tu' Atin tertawa.

" Nah, itulah dia sahabat-sahabat kita yang dengan setia dan rajin membantu saya, Bersiang ladang, mencari ikan, mencari rotan dan manau, pokoknya kerja apa saja yang sesuai dengan mereka.

Dan bilamana kau perlukan pergunakanlah untuk mengawal tambang emas dan mengusir orang-orang Mungo itu. Bila kalian akan mulai membuka tambang itu?"

" Saya bermaksud akan meninjau dahulu ke Tambang itu...."

" Apa? Akan memata-matai mereka? Ini pekerjan berbahaya Barani. Kau tahu apa hukuman seorang mata-mata bila ketahuan? Ku rasa dalam penambangan ini hukum mata-mata akan tetap berlaku"

" Saya akan berhati-hati wan. Rasanya saya cukup lihay untuk menjaga diri. Apalagi mereka tentu tidak kenal dengan saya,- kalau sampai ketahuan.

Tu' Atin berpikir-pikir sebentar.

" Kalau ini sudah menjadi putusan bersama ya apa boleh buat hatihati sajalah, Dan kapan kalian akan ke tambang ?"

" Sekembali dari Tambang saya akan menemui kawan -kawan. Kemudian baru kami tetapkan bila kami akan mulai membuka tambang itu. Segera uwan kan kami beri tahu."

" Baiklah kalau begitu. Tetapi jangan lupa membawa tembakau banyak-anyak. Juga garam....."

Keduanya lalu naik kembali keatas pondok.

" Nah sekarang kamu tahu sudah tahu rahasianya bukan? Ini rahasia, ahasia besar , seorangpun jangan tahu. Dalam Rimba Mangkisi ini memang asih ada manusia besar itu yang dinamakan Urang Gadang atau Orang Kubu apak Laweh Dan kini saya sudah dapat menjinaki mereka dan memanfaatkan areka untuk barbagai keperluan. Mereka tinggal berpencaran d solok-solok yang tidak bisa ditempuh manusia. Yang tadi Tuk Tang yaitu yang tinggal d Solok Jelatang, yang satunya Tu' Ompek, dan masing-masing da bininya yang tak kurang besarnya dari mereka sendiri."

" Jadi masih dakah keturunan mereka wan?"

" Gelap bagi kita, tetapi mungkin ada sebab pasangan-pasangannya asih ada. Dan di daerah Tambang itu banyak pula mereka tinggal. Nah, ekali krdik saja dari Urang Gadang itu semua orang-orang itu akan bertemberasan lari dan takkan berani datang lagi. Saya pikir tuan-tuan akan erhasil menyahkan orang-orang yang tak disukai itu dengan bantuan urang adang itu......"

" Kalau ini tak berhasil atau gagal, ada sebuah usaha lagi, "sambung Tu ’ Atin.

" Dari Urang Gadang juga, Wan ?" tanya Sibarani.

" Tidak , malahan dari orang kecil yang tak sampai tingginya satu eter. Ia bisa menjinakkan harimau dan menyuruh binatang itu menurut mauannya. Tetapi moga-moga tak sampai kesana sebab memanggil orang tu saya belum tahu caranya. "

Malam sudsh serakln larut di daerah ladang itu .

.///.