Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008  (2008) 

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

 

NOMOR 14 TAHUN 2008

 

TENTANG

 

PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

 

 

 

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

 

 

 

Menimbang

 

a. bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah

Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum;

 

b. bahwa berdasarkan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

dimaksud pemilihan umum adalah termasuk pemilihan

umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

c. bahwa Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum perlu disempurnakan

dan disesuaikan dengan perubahan undang-undang yang

mengatur tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

 

d. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, dan c

tersebut di atas perlu menetapkan Peraturan Mahkamah

Konstitusi tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan

Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

 

 

Mengingat

 

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

 

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836);

 

 

 

 

 

Memperhatikan

Hasil Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Mei 2008.

 

 

 

MEMUTUSKAN:

 

 

 

Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWANPERWAKILAN RAKYAT DAERAH

 

 

BAB I

 

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

 

1. Pemilu adalah Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia.

3. Mahkamah adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

4. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

5. DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

6. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

7. DPRA adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

8. DPRK adalah Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh.

9. KPU adalah Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu.

10. KIP adalah Komisi Independen Pemilihan sebagai Penyelenggara Pemilu

DPRA dan DPRK di Aceh.

11. Panwaslu adalah Panitia Pengawas Pemilihan Umum.

12. Bawaslu adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum.

13. TPS adalah Tempat Pemungutan Suara.

14. PPK adalah Panitia Pemilihan Kecamatan.

15. PPS adalah Panitia Pemungutan Suara.

16. Peserta Pemilu adalah:

a. peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD;

b. peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh.

17. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum adalah:

a. perselisihan antara peserta Pemilu dan KPU sebagai penyelenggara

Pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil

Pemilu oleh KPU;

b. perselisihan antara peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dan KIP.

 

 

18. Panitera adalah Panitera Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

 

 

Pasal 2

 

(1) Perselisihan Hasil Pemilu diperiksa dan diputus secara cepat dan sederhana;

 

(2) Putusan perselisihan sebagaimana diatur pada ayat (1) merupakan putusan

pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat.

 

 

 

 

 

BAB II

 

PEMOHON, TERMOHON, DAN MATERI PERMOHONAN

 

Pasal 3

 

Pemohon adalah:

 

a. Perseorangan calon Anggota DPD Peserta Pemilu;

b. Partai Politik Peserta Pemilu; atau

c. Partai Politik dan Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan

DPRK di Aceh.

 

 

Pasal 4

 

(1) Termohon adalah KPU;

(2) Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD

provinsi dan/atau DPRA, KPU provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut

Termohon;

(3) Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD

kabupaten/kota dan/atau DPRK di Aceh, KPU kabupaten/kota dan/atau KIP

kabupaten/kota di Aceh menjadi Turut Termohon.

 

Pasal 5

 

Yang menjadi materi permohonan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu

yang telah diumumkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi:

 

 

a. terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma <st1:City w:st="on"> w:st="on">lima</st1:City> perseratus)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD;

b. perolehan kursi partai politik peserta Pemilu dan kursi calon anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik di suatu daerah

pemilihan;

c. terpilihnya calon anggota DPD.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

TATA CARA MENGAJUKAN PERMOHONAN

 

Pasal 6

 

(1) Permohonan pembatalan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara

nasional oleh KPU hanya dapat diajukan oleh peserta Pemilu dalam jangka

waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU

mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional;

 

(2) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon

atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah

ditandatangani oleh:

 

 

a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau

nama yang sejenisnya dari Partai Politik Peserta Pemilu atau kuasanya;

b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama

yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya; atau

c. calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.

 

 

(3) Permohonan yang diajukan calon anggota DPD dan/atau partai politik lokal

peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan melalui permohonan

online, e-mail, atau faksimili, dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) sudah harus diterima oleh Mahkamah dalam jangka

waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat;

(4) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

 

 a. nama dan alamat pemohon, termasuk nomor telepon (kantor, rumah, hand

phone), nomor faksimili, dan/atau e-mail;

 

 b. uraian yang jelas tentang:

 

 1. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan

hasil penghitungan yang benar menurut pemohon;

 

 2. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang

diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang

benar menurut pemohon.

 

(5) Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung

permohonan, seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi

hasil penghitungan dalam setiap jenjang penghitungan suara, berita acara

 

 

 

 

 

penghitungan suara beserta berkas pernyataan keberatan peserta Pemilu

pada setiap jenjang penghitungan suara, serta dokumen-dokumen tertulis

lainnya setelah dibubuhi materai cukup dan dilegalisasi.

 

BAB IV

 

REGISTRASI PERKARA DAN PENJADWALAN SIDANG

 

Pasal 7

 

(1) Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh

Panitera;

 

(2) Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam

Buku Registrasi Perkara Konstitusi, sedangkan permohonan yang tidak

lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahukan kepada Pemohon untuk

diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam;

 

(3) Apabila perbaikan kelengkapan dan syarat permohonan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh pemohon, Panitera menerbitkan

akta yang menyatakan bahwa permohonan tidak diregistrasi;

 

(4) Panitera mengirimkan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi

Perkara Konstitusi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari

kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi

disertai permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi bukti-bukti hasil

penghitungan suara yang diperselisihkan;

 

(5) Keterangan tertulis KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus sudah

diterima Mahkamah paling lambat satu hari sebelum hari persidangan;

 

(6) Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling

lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi

Perkara Konstitusi;

 

(7) Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU

paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

 

PEMERIKSAAN PERMOHONAN

 

Bagian Pertama

 

Pemeriksaan Pendahuluan

 

Pasal 8

 

(1) Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh

Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim

konstitusi;

 

(2) Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan

kejelasan materi permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan

wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau

memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan;

 

(3) Pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam

jangka waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam;

 

(4) Dalam hal pemohon tidak melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya

dalam tenggat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kesempatan

memperbaiki hanya dapat dilakukan dalam sidang berikutnya.

 

 

 

Bagian Kedua

 

Pemeriksaan Persidangan

 

Pasal 9

 

(1) Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh

Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim;

 

(2) Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

segera setelah selesainya pemeriksaan pendahuluan atau setelah perbaikan

permohonan diterima oleh Mahkamah;

 

(3) Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

 

 a. Kewenangan Mahkamah;

 

 b. Kedudukan hukum pemohon;

 

 c. Pokok permohonan;

 

 d. Keterangan KPU; dan

 

 e. Alat bukti.

 

 

(4) Dalam Pemeriksaan Persidangan dapat didengar keterangan pihak-pihak

terkait, yaitu peserta Pemilu selain pemohon yang berkepentingan terhadap

permohonan yang diajukan oleh pemohon;

 

(5) Untuk kepentingan pembuktian, selain ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3, Mahkamah dapat memanggil KPU provinsi dan/atau KIP Aceh,

KPU kabupaten/kota dan/atau KIP kabupaten/kota tertentu untuk hadir dan

memberi keterangan dalam persidangan;

 

(6) Apabila dipandang perlu, untuk kepentingan Pemeriksaan Persidangan,

Mahkamah dapat menetapkan putusan sela dan menunjuk petugas guna

menyaksikan hal-hal yang terkait dengan penghitungan suara yang

diperintahkan oleh Mahkamah.

 

 

Bagian Ketiga

 

Alat Bukti

 

Pasal 10

 

Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri atas:

 

a. keterangan para pihak;

b. <st1:City w:st="on">surat</st1:City> atau tulisan;

c. keterangan saksi;

d. petunjuk; dan

e. alat bukti lain berupa informasi dan komunikasi elektronik.

 

 

 

 

 

Pasal 11

 

(1) Alat bukti <st1:City w:st="on">surat</st1:City> atau tulisan terdiri atas:

a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik

peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di TPS;

b. berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara partai politik

peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari PPS;

c. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta

Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari PPK;

d. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik

peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU

kabupaten/kota;

e. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota

DPRD kabupaten/kota;

f. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU

provinsi;

g. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota

DPRD provinsi;

h. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;

i. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara

nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;

j. salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan

calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan

k. dokumen tertulis lainnya.

 

(2) Alat bukti <st1:City w:st="on">surat</st1:City> atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang

memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang

dimohonkan ke Mahkamah;

(3) Alat bukti <st1:City w:st="on">surat</st1:City> atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi

materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

 

Pasal 12

 

(1) Saksi dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri atas:

a. saksi resmi peserta Pemilu; dan

b. saksi pemantau Pemilu yang bersertifikat.

 

 

(2) Mahkamah karena jabatannya dapat memanggil saksi lain seperti Bawaslu/

Panwaslu dan Kepolisian;

(3) Saksi sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah saksi yang

melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang

diperselisihkan.

 

 

BAB VI

RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM

 

Pasal 13

 

(1) Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan

setelah Pemeriksaan Persidangan dipandang cukup;

 

(2) Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim

Konstitusi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim

konstitusi setelah Rapat Panel Hakim;

 

(3) Rapat Permusyawaratan Hakim mendengarkan laporan Panel Hakim disertai

rancangan putusan;

 

(4) Pengambilan keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan

secara musyawarah mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para

hakim konstitusi;

 

(5) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai

mufakat bulat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara

terbanyak;

 

(6) Dalam hal musyawarah Rapat Pleno Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir

Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan.

 

 

 

BAB VII

 

PUTUSAN

 

Pasal 14

 

(1) Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan

dalam sidang pleno terbuka untuk umum;

 

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil

Pemilu diputuskan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan

dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi;

 

(3) Amar Putusan Mahkamah mengenai permohonan pembatalan penghitungan

suara hasil Pemilu dapat menyatakan:

 

 

a. Permohonan tidak dapat diterima apabila pemohon dan/atau permohonan

tidak memenuhi syarat;

 

b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan

selanjutnya Mahkamah membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU,

serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;

c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.

 

 

(4) Putusan Mahkamah disampaikan kepada pemohon, KPU, dan Presiden;

(5) Salinan Putusan Mahkamah dapat disampaikan kepada Pihak Terkait;

 

(6) Putusan Mahkamah bersifat final;

 

(7) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti Putusan

Mahkamah.

 

 

BAB VIII

 

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 15

 

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan ini ditentukan lebih lanjut oleh Rapat

Pleno Hakim Konstitusi.

 

BAB VIII

 

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 16

 

(1) Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan

Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;

 

(2) Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

 

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 18 Juli 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

 

Ketua,

 

Jimly Asshiddiqie