Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2008
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 15 TAHUN 2008
TENTANG
PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a. bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk hasil pemilihan umum kepala daerah;
b. bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara kepala daerah dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi;
c. bahwa hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum yang berlaku belum mengatur mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah;
d. bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan dan wewenangnya;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah;
Mengingat
1. Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 24, dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah berubah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Memperhatikan
Hasil Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Oktober 2008;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1.Mahkamah adalah Mahkamah Konstitusi Republik <st1:place w:st="on">Indonesia<
2.Pemilihan Umum Kepala Daerah, yang selanjutnya disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota.
3.Komisi Pemilihan Umum provinsi, yang selanjutnya disebut KPU provinsi, adalah penyelenggara Pemilukada provinsi.
4.Komisi Independen Pemilihan provinsi yang selanjutnya disebut KIP provinsi adalah penyelenggara Pemilukada Provinsi Aceh.
5.Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota yang selanjutnya disebut KPU kabupaten/kota adalah penyelenggara Pemilukada kabupaten/kota.
6.Komisi Independen Pemilihan kabupaten/kota yang selanjutnya disebut KIP kabupaten/kota adalah penyelenggara Pemilukada kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
7.Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilukada.
8.Permohonan adalah pengajuan keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada.
9.Pemohon adalah pasangan calon Pemilukada.
10. Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada.
11. Panitera adalah Panitera Mahkamah Konstitusi Republik <st1:country-region w:st="on">Indonesia<
Pasal 2
Peradilan perselisihan hasil Pemilukada bersifat cepat dan sederhana, sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.
BAB II PARA PIHAK DAN OBJEK PERSELISIHAN
Pasal 3
(1) Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah:
a. Pasangan Calon sebagai Pemohon;
b. KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon.
(2) Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada;
(3) Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait dapat diwakili dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya masing-masing yang mendapatkan <st1:City w:st="on">suratkuasa khusus dan/atau <st1:place w:st="on">suratketerangan untuk itu.
Pasal 4
Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang mempengaruhi:
a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau
b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
BAB III TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
Pasal 5
(1) Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Termohon menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan;
(2) Permohonan yang diajukan setelah melewati tenggat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi.
Pasal 6
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat</st1:City> kuasa khusus dari Pemohon;
(2) Permohonan sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti sebagai peserta Pemilukada;
b. uraian yang jelas mengenai:
1. kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
2. permintaan/petitum untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon;
3. permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.
(3) Permohonan yang diajukan disertai alat bukti.
BAB IV REGISTRASI PERKARA DAN PENJADWALAN SIDANG
Pasal 7
(1) Panitera memeriksa persyaratan dan kelengkapan permohonan;
(2) Panitera mencatat permohonan yang sudah memenuhi syarat dan lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);
(3) Dalam hal permohonan belum memenuhi syarat dan belum lengkap, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) peraturan ini;
(4) Panitera mengirim salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada Termohon, disertai pemberitahuan hari sidang pertama dan permintaan keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan;
(5) Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi.
BAB V PERSIDANGAN
Pasal 8
(1) Sidang untuk memeriksa permohonan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dengan sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim konstitusi atau Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi;
(2) Proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. penjelasan permohonan dan perbaikan apabila dipandang perlu;
b. jawaban Termohon;
c. keterangan Pihak Terkait apabila ada;
d. pembuktian oleh Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait; dan
e. kesimpulan.
(3) Untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah dapat melakukan pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video conference);
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah dapat menetapkan putusan sela yang terkait dengan penghitungan suara ulang.
BAB VI Alat Bukti
Pasal 9
Alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilukada dapat berupa:
a. keterangan para pihak;
b. surat</st1:City> atau tulisan;
c. keterangan saksi;
d. keterangan ahli;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi elektronik.
Pasal 10
(1) Alat bukti surat</st1:City> atau tulisan terdiri atas:
a. berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS);
b. berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia Pemungutan Suara (PPS);
c. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
d. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota;
e. berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota;
f. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi;
g. penetapan calon terpilih dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota; dan/atau
h. dokumen tertulis lainnya.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah alat bukti yang terkait langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilukada yang dimohonkan ke Mahkamah.
(3) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
(1) Saksi dalam perselisihan hasil Pemilukada terdiri atas:
a. saksi resmi peserta Pemilukada; dan
b. saksi pemantau Pemilukada.
(2) Mahkamah dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, antara lain, panitia pengawas pemilihan umum atau Kepolisian;
(3) Saksi sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan.
BAB VII RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM
Pasal 12
(1) Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan dipandang cukup;
(2) Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi;
(3) Pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dilakukan secara musyawarah untuk mufakat;
(4) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai mufakat bulat, pengambilan putusan diambil dengan suara terbanyak;
(5) Dalam hal pengambilan putusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, suara terakhir Ketua Rapat Permusyawaratan Hakim menentukan.
BAB VIII PUTUSAN
Pasal 13
(1) Putusan mengenai perselisihan hasil Pemilukada diucapkan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi;
(2) Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi;
(3) Amar Putusan dapat menyatakan:
a. permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonantidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 peraturan ini;
b. permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
(4) Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat;
(5) Putusan Mahkamah disampaikan kepada Pemohon, Termohon, dewan perwakilan rakyat daerah setempat, Pemerintah, dan Pihak Terkait;
(6) KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, dewan perwakilan rakyat daerah setempat, dan Pemerintah wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamahsebagaimana mestinya;
BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 14
Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini ditentukan lebih lanjut oleh Rapat Permusyawaratan Hakim.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 2008