Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2017
 (2017) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
  1. bahwa negara berkewajiban melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi kemasyarakatan yang didasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis, agama, dan kebangsaan pelakunya;
  3. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif;
  1. bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar organisasi kemasyarakatan yang telah terdaftar dan telah disahkan Pemerintah, dan bahkan secara faktual terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum menganut asas contrarius actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan;


Mengingat:
  1. Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh berdasarkan kebutuhan, masyarakat kesamaan kepentingan, secara aspirasi, kegiatan, sukarela kehendak, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Anggaran Dasar yang selanjutnya disingkat AD adalah peraturan dasar Ormas.
  3. Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat ART adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD Ormas.
  4. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.
  1. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59
  1. Ormas dilarang:
    1. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
    2. menggunakan lambang, dengan bendera tanpa negara izin nama, lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas; dan/atau
    3. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.
  2. Ormas dilarang:
    1. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    2. mengumpulkan dana untuk partai politik.
  3. Ormas dilarang:
    1. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
    2. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
    3. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
    4. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ormas dilarang:
    1. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
    2. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
    3. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
  1. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60
  1. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif.
  2. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.


  1. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61
  1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
    1. peringatan tertulis;
    2. penghentian kegiatan; dan/atau
    3. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
  1. Terhadap Ormas yang didirikan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga dikenakan sanksi keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa:
    1. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
    2. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
  3. Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.
  1. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62
  1. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
  2. Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
  3. Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
  1. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
  2. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
  3. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
  4. Ketentuan Pasal 66 dihapus.
  5. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
  6. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
  7. Ketentuan Pasal 69 dihapus.
  8. Ketentuan Pasal 70 dihapus.
  9. Ketentuan Pasal 71 dihapus.
  10. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
  11. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
  12. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
  13. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
  14. Ketentuan Pasal 76 dihapus.
  15. Ketentuan Pasal 77 dihapus.
  16. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
  1. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
  2. Ketentuan Pasal 80 dihapus.
  3. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 80A
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
  1. Ketentuan Pasal 81 dihapus.
  2. Di antara BAB XVII dan BAB XVIII disisipkan 1 (satu) BAB, yakni BAB XVIIA yang berbunyi sebagai berikut:


BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA


  1. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82A
  1. Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
  2. Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
  1. Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana.
  1. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 83A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83A
Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundangundangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap pengundangan orang mengetahuinya, Peraturan Pemerintah memerintahkan Pengganti Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juli 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 10 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 138

Penjelasan

sunting
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
I.UMUM
Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Wujud dari bunyi alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain telah dicantumkan di dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Di dalam kedua Undang-Undang tersebut telah dicantumkan hak-hak setiap warga Negara sebagai bentuk perlindungan Pemerintah terhadap hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, di dalam rangka perlindungan hak asasi manusia tersebut, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi orang lain.
Penegasan mengenai perlindungan hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia telah dicantumkan di dalam Pasal 28J yang berbunyi:
(1)Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas dapat disimpulkan bahwa konsep hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak bersifat absolut (relatif). Hal ini sejalan dengan pandangan ASEAN di dalam butir pertama dan kedua Bangkok Declaration on Human Rights 1993.
“First there is the matter of fair application: the approach to human rights has to be „balanced‟; „double standards in the implementation of human rights‟ are to be avoided; „concern‟ is expressed about the priority accorded „one category of rights‟; „economic, social, cultural, civil and political rights‟ are interdependent and indivisible and must therefore be „addressed in an integrated and balance manner‟. The barely disguised subtext here is that civil and political rights (with their assertions of democratic and protest rights) have been wrongly prioritised by the supporters of human rights in the Global North with the result that the subject of human rights often appears exhausted once the issue of democratic freedom has been fully ventilated. In fact from the Bangkok perspective, social and economic rights are of at least equal importance”.
Second the declaration introduces the notion of regional values as potentially in opposition to human rights. The „diverse and rich cultures and traditions „of Asia need to be better recognised. „[C]confrontation and the imposition of incompatible values' are to be avoided. Though 'universal in nature', human rights must, as the substance of the declaration went on to say, 'be considered in the context of a dynamic and evolving process of international norm-setting, bearing in mind the significance of national and regional particularities and various historical, cultural and religious backgrounds'".

Berdasarkan Deklarasi HAM ASEAN di Bangkok tersebut menegaskan bahwa Deklarasi HAM Universal dalam konteks ASEAN harus mempertimbangkan kekhususan yang bersifat regional dan nasional dan berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama, sehingga penafsiran Deklarasi HAM Universal tidak seharusnya ditafsirkan dan diwujudkan secara bertentangan dengan ketiga latar belakang dimaksud.

Perkembangan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diuraikan, baik dari aspek nasional, regional, maupun internasional telah membedakan perlindungan hak asasi manusia dalam keadaan normal (damai) dan dalam keadaan darurat (emergency). Di dalam hukum nasional, Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan beberapa Undang-Undang lain terkait perlindungan hak asasi manusia serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang merupakan keadaan yang mengecualikan perlindungan hak asasi manusia. Pengecualian tersebut secara konstitusional dilandaskan pada Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 138/PUU-VII/2009, dijelaskan 3 (tiga) persyaratan keadaan yang harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, yakni sebagai berikut:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
  2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Ketiga karakteristik “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tersebut juga sejalan dengan artikel 4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sebagai berikut:
“In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin”.

Merujuk pada artikel 4 ICCPR di atas, jelas bahwa yang dimaksud dengan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” adalah termasuk “threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed (ancaman terhadap masa depan kehidupan bangsa Indonesia dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia). Penilaian atas ancaman terhadap kehidupan bangsa Indonesia dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan merujuk pada Artikel 4 ICCPR dan dikuatkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam rangka melindungi hak asasi manusia dengan alasan khusus situasi dalam keadaan darurat tersebut.

Keadaan darurat yang dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain kegiatan Ormas tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain, ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun tertulis, melalui elektronik, tertentu media elektronik yang menimbulkan maupun terhadap ataupun kebencian mereka tidak baik yang memakai terhadap termasuk media kelompok ke dalam penyelenggara negara. Tindakan tersebut merupakan tindakan potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah dan diatasi aparat penegak hukum.

Pelanggaran terhadap asas-asas Ormas yang telah menegaskan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat dicelakan oleh pengurus atau Ormas yang bersangkutan karena telah melanggar kesepakatan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana telah diwujudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelanggaran terhadap asas Ormas yang telah mengakui Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan wujud pikiran, niat jahat yang semula telah ada sejak Ormas tersebut didaftarkan.
Maksud dan tujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini adalah untuk membedakan dan sekaligus melindungi Ormas yang mematuhi dan konsisten dengan asas dan tujuan Ormas berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini telah memisahkan kedua golongan Ormas tersebut dan disertai dengan jenis sanksi dan penerapannya yang bersifat luar biasa.
II.PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanpa izin” adalah tanpa izin dari pemilik nama, pemilik lambang, atau bendera negara, lembaga/badan internasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum” adalah tindakan penangkapan, penahanan dan membatasi kebebasan bergerak seseorang karena latar belakang etnis, agama dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan kegiatan separatis” adalah kegiatan yang ditujukan untuk memisahkan bagian dari atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau menguasai bagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik atas dasar etnis, agama, maupun ras.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ‟ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran
ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Angka 3
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum” adalah sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pemerintah berwenang melakukan pencabutan.
Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum Ormas sudah sesuai dengan asas contrarius actus, sehingga pejabat yang berwenang menerbitkan keputusan juga surat berwenang keterangan/surat untuk melakukan pencabutan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah kementerian/lembaga di bawah koordinasi menteri
yang membidangi sinkronisasi dan koordinasi urusan pemerintahan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Angka 5
Pasal 62
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 63
Dihapus.
Angka 7
Pasal 64
Dihapus.
Angka 8
Pasal 65
Dihapus.
Angka 9
Pasal 66
Dihapus.
Angka 10
Pasal 67
Dihapus.
Angka 11
Pasal 68
Dihapus.
Angka 12
Pasal 69
Dihapus.
Angka 13
Pasal 70
Dihapus.
Angka 14
Pasal 71
Dihapus.
Angka 15
Pasal 72
Dihapus.
Angka 16
Pasal 73
Dihapus.
Angka 17
Pasal 74
Dihapus.
Angka 18
Pasal 75
Dihapus.
Angka 19
Pasal 76
Dihapus.
Angka 20
Pasal 77
Dihapus.
Angka 21
Pasal 78
Dihapus.
Angka 22
Pasal 79
Dihapus.
Angka 23
Pasal 80
Dihapus.
Angka 24
Pasal 80A
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 81
Dihapus.
Angka 26
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 82A
Ayat (1)
Yang dimaksud "dengan sengaja” adalah adanya niat atau kesengajaan dalam bentuk apapun (kesengajaan dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu, kesengajaan telah nyata dari adanya “persiapan perbuatan” (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat.
Yang dimaksud dengan “secara langsung atau tidak langsung” kegiatan adalah Ormas pernyataan yang sejak pikiran dan pendaftaran atau untuk disahkan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum, telah memiliki niat jahat (mens-rea) atau itikad tidak baik yang terkandung di balik pernyataan tertulis
pengakuan sebagai Ormas yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan dan tercantum di dalam Anggaran Dasar Ormas, namun di dalam kegiatannya terkandung pikiran atau perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 83A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6084