Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
|
Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif; |
|
Mengingat: |
|
Menetapkan: | PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN. |
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430) diubah
sebagai berikut:
|
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
Pasal 59
|
|
|
Pasal 60
|
|
Pasal 61
|
|
|
Pasal 62
|
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. |
|
|
Pasal 80A
Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. |
|
BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA
BAB XVIIA
KETENTUAN PIDANA
|
Pasal 82A
|
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. |
|
|
Pasal 83A
Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundangundangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. |
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
Agar setiap pengundangan orang mengetahuinya, Peraturan Pemerintah memerintahkan Pengganti Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
Ditetapkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, |
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 138
Penjelasan
suntingATAS
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2017
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
- I.UMUM
- Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
- “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
- Wujud dari bunyi alinea keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain telah dicantumkan di dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Di dalam kedua Undang-Undang tersebut telah dicantumkan hak-hak setiap warga Negara sebagai bentuk perlindungan Pemerintah terhadap hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, di dalam rangka perlindungan hak asasi manusia tersebut, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi orang lain.
- Penegasan mengenai perlindungan hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia telah dicantumkan di dalam Pasal 28J yang berbunyi:
- (1)Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- (2)Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
- Berdasarkan ketentuan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas dapat disimpulkan bahwa konsep hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak bersifat absolut (relatif). Hal ini sejalan dengan pandangan ASEAN di dalam butir pertama dan kedua Bangkok Declaration on Human Rights 1993.
- “First there is the matter of fair application: the approach to human rights has to be „balanced‟; „double standards in the implementation of human rights‟ are to be avoided; „concern‟ is expressed about the priority accorded „one category of rights‟; „economic, social, cultural, civil and political rights‟ are interdependent and indivisible and must therefore be „addressed in an integrated and balance manner‟. The barely disguised subtext here is that civil and political rights (with their assertions of democratic and protest rights) have been wrongly prioritised by the supporters of human rights in the Global North with the result that the subject of human rights often appears exhausted once the issue of democratic freedom has been fully ventilated. In fact from the Bangkok perspective, social and economic rights are of at least equal importance”.
- Second the declaration introduces the notion of regional values as potentially in opposition to human rights. The „diverse and rich cultures and traditions „of Asia need to be better recognised. „[C]confrontation and the imposition of incompatible values' are to be avoided. Though 'universal in nature', human rights must, as the substance of the declaration went on to say, 'be considered in the context of a dynamic and evolving process of international norm-setting, bearing in mind the significance of national and regional particularities and various historical, cultural and religious backgrounds'".
Berdasarkan Deklarasi HAM ASEAN di Bangkok tersebut menegaskan bahwa Deklarasi HAM Universal dalam konteks ASEAN harus mempertimbangkan kekhususan yang bersifat regional dan nasional dan berbagai latar belakang sejarah, budaya, dan agama, sehingga penafsiran Deklarasi HAM Universal tidak seharusnya ditafsirkan dan diwujudkan secara bertentangan dengan ketiga latar belakang dimaksud.
Perkembangan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diuraikan, baik dari aspek nasional, regional, maupun internasional telah membedakan perlindungan hak asasi manusia dalam keadaan normal (damai) dan dalam keadaan darurat (emergency). Di dalam hukum nasional, Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan beberapa Undang-Undang lain terkait perlindungan hak asasi manusia serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang merupakan keadaan yang mengecualikan perlindungan hak asasi manusia. Pengecualian tersebut secara konstitusional dilandaskan pada Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 138/PUU-VII/2009, dijelaskan 3 (tiga) persyaratan keadaan yang harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, yakni sebagai berikut:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan
Ketiga karakteristik “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tersebut juga sejalan dengan artikel 4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sebagai berikut:
“In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin”.
Merujuk pada artikel 4 ICCPR di atas, jelas bahwa yang dimaksud dengan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” adalah termasuk “threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed (ancaman terhadap masa depan kehidupan bangsa Indonesia dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia). Penilaian atas ancaman terhadap kehidupan bangsa Indonesia dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan merujuk pada Artikel 4 ICCPR dan dikuatkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam rangka melindungi hak asasi manusia dengan alasan khusus situasi dalam keadaan darurat tersebut.
Keadaan darurat yang dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain kegiatan Ormas tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan antara lain, ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun tertulis, melalui elektronik, tertentu media elektronik yang menimbulkan maupun terhadap ataupun kebencian mereka tidak baik yang memakai terhadap termasuk media kelompok ke dalam penyelenggara negara. Tindakan tersebut merupakan tindakan potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah dan diatasi aparat penegak hukum.
Pelanggaran terhadap asas-asas Ormas yang telah menegaskan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
- Republik Indonesia Tahun 1945, pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat dicelakan oleh pengurus atau Ormas yang bersangkutan karena telah melanggar kesepakatan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana telah diwujudkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelanggaran terhadap asas Ormas yang telah mengakui Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan wujud pikiran, niat jahat yang semula telah ada sejak Ormas tersebut didaftarkan.
- Maksud dan tujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini adalah untuk membedakan dan sekaligus melindungi Ormas yang mematuhi dan konsisten dengan asas dan tujuan Ormas berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini telah memisahkan kedua golongan Ormas tersebut dan disertai dengan jenis sanksi dan penerapannya yang bersifat luar biasa.
- II.PASAL DEMI PASAL
- Pasal I
- Angka 1
- Pasal 1
- Cukup jelas.
- Pasal 1
- Angka 2
- Pasal 59
- Ayat (1)
- Huruf a
- Cukup jelas.
- Huruf b
- Yang dimaksud dengan “tanpa izin” adalah tanpa izin dari pemilik nama, pemilik lambang, atau bendera negara, lembaga/badan internasional.
- Huruf c
- Cukup jelas.
- Huruf a
- Ayat (1)
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Huruf a
- Yang dimaksud dengan “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.
- Huruf b
- Cukup jelas.
- Huruf c
- Cukup jelas.
- Huruf d
- Yang dimaksud dengan “kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum” adalah tindakan penangkapan, penahanan dan membatasi kebebasan bergerak seseorang karena latar belakang etnis, agama dan kebangsaan yang bertentangan dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.
- Huruf a
- Ayat (4)
- Huruf a
- Cukup jelas.
- Huruf b
- Yang dimaksud dengan “melakukan kegiatan separatis” adalah kegiatan yang ditujukan untuk memisahkan bagian dari atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau menguasai bagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik atas dasar etnis, agama, maupun ras.
- Huruf c
- Yang dimaksud dengan ‟ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran
- ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Huruf a
- Pasal 59
- Angka 3
- Pasal 60
- Cukup jelas.
- Pasal 60
- Angka 4
- Pasal 61
- Ayat (1)
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Yang dimaksud dengan “penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum” adalah sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pemerintah berwenang melakukan pencabutan.
- Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum Ormas sudah sesuai dengan asas contrarius actus, sehingga pejabat yang berwenang menerbitkan keputusan juga surat berwenang keterangan/surat untuk melakukan pencabutan.
- Ayat (4)
- Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah kementerian/lembaga di bawah koordinasi menteri
- yang membidangi sinkronisasi dan koordinasi urusan pemerintahan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
- Ayat (1)
- Pasal 61
- Angka 5
- Pasal 62
- Cukup jelas.
- Pasal 62
- Angka 6
- Pasal 63
- Dihapus.
- Pasal 63
- Angka 7
- Pasal 64
- Dihapus.
- Pasal 64
- Angka 8
- Pasal 65
- Dihapus.
- Pasal 65
- Angka 9
- Pasal 66
- Dihapus.
- Pasal 66
- Angka 10
- Pasal 67
- Dihapus.
- Pasal 67
- Angka 11
- Pasal 68
- Dihapus.
- Pasal 68
- Angka 12
- Pasal 69
- Dihapus.
- Pasal 69
- Angka 13
- Pasal 70
- Dihapus.
- Pasal 70
- Angka 14
- Pasal 71
- Dihapus.
- Pasal 71
- Angka 15
- Pasal 72
- Dihapus.
- Pasal 72
- Angka 16
- Pasal 73
- Dihapus.
- Pasal 73
- Angka 17
- Pasal 74
- Dihapus.
- Pasal 74
- Angka 18
- Pasal 75
- Dihapus.
- Pasal 75
- Angka 19
- Pasal 76
- Dihapus.
- Pasal 76
- Angka 20
- Pasal 77
- Dihapus.
- Pasal 77
- Angka 21
- Pasal 78
- Dihapus.
- Pasal 78
- Angka 22
- Pasal 79
- Dihapus.
- Pasal 79
- Angka 23
- Pasal 80
- Dihapus.
- Pasal 80
- Angka 24
- Pasal 80A
- Cukup jelas.
- Pasal 80A
- Angka 25
- Pasal 81
- Dihapus.
- Pasal 81
- Angka 26
- Cukup jelas.
- Angka 27
- Pasal 82A
- Ayat (1)
- Yang dimaksud "dengan sengaja” adalah adanya niat atau kesengajaan dalam bentuk apapun (kesengajaan dengan kemungkinan, kesengajaan dengan maksud/tujuan, dan kesengajaan dengan kepastian). Untuk itu, kesengajaan telah nyata dari adanya “persiapan perbuatan” (voorbereidingings handeling) sudah dapat dipidana, dan ini sebagai perluasan adanya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat.
- Yang dimaksud dengan “secara langsung atau tidak langsung” kegiatan adalah Ormas pernyataan yang sejak pikiran dan pendaftaran atau untuk disahkan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum, telah memiliki niat jahat (mens-rea) atau itikad tidak baik yang terkandung di balik pernyataan tertulis
- pengakuan sebagai Ormas yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dinyatakan dan tercantum di dalam Anggaran Dasar Ormas, namun di dalam kegiatannya terkandung pikiran atau perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
- Ayat (1)
- Pasal 82A
- Angka 28
- Pasal 83A
- Cukup jelas.
- Pasal 83A
- Angka 1
- Pasal II
- Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6084