Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010
Halaman ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikisumber. Baca halaman bantuan ini sebelum mulai merapikan. Setelah dirapikan, Anda dapat menghapus pesan ini. |
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 148 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu mengatur pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja; b. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Satuan Polisi Pamong Praja;
NOMOR 6 TAHUN 2010
TENTANG
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 4. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5. Peraturan daerah, selanjutnya disingkat Perda, adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. 6. Peraturan kepala daerah adalah peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota. 7. Aparatur adalah aparatur pemerintahan daerah. 8. Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. 9. Polisi Pamong Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. 10. Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur. 11. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.
BAB II PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI
Pasal 2 (1) Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satpol PP. (2) Pembentukan organisasi Satpol PP ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3 (1) Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (2) Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
Pasal 4 Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.
Pasal 5 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Satpol PP mempunyai fungsi: a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; c. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah; d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya; f. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan g. pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
BAB III WEWENANG, HAK, DAN KEWAJIBAN
Pasal 6 Polisi Pamong Praja berwenang: a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
Pasal 7 (1) Polisi Pamong Praja mempunyai hak sarana dan prasarana serta fasilitas lain sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Polisi Pamong Praja dapat diberikan tunjangan khusus sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Pasal 8 Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib: a. menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat; b. menaati disiplin pegawai negeri sipil dan kode etik Polisi Pamong Praja; c. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana; dan e. menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
Pasal 9 (1) Polisi Pamong Praja yang memenuhi syarat dapat ditetapkan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Polisi Pamong Praja yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat langsung mengadakan penyidikan terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah yang dilakukan oleh warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum.
BAB IV
ORGANISASI
Bagian Kesatu Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi
Pasal 10 Susunan Organisasi Satpol PP provinsi terdiri atas: a. Kepala; b. 1 (satu) sekretariat yang terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subbagian; c. Bidang paling banyak 4 (empat) dan masing-masing bidang terdiri atas 2 (dua) seksi; dan d. Kelompok Jabatan Fungsional.
Bagian Kedua Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten/Kota
Paragraf 1 Klasifikasi
Pasal 11 (1) Satpol PP kabupaten/kota terdiri atas Tipe A dan Tipe B. (2) Besaran organisasi Tipe A dan/atau Tipe B ditetapkan berdasarkan klasifikasi besaran organisasi perangkat daerah. (3) Satpol PP Tipe A apabila variabel besaran organisasi perangkat daerah mencapai nilai lebih dari atau sama dengan 60 (enam puluh). (4) Satpol PP Tipe B apabila variabel besaran organisasi perangkat daerah mencapai nilai kurang dari 60 (enam puluh).
Paragraf 2 Susunan Organisasi
Pasal 12 (1) Organisasi Satpol PP Tipe A terdiri atas: a. Kepala; b. 1 (satu) sekretariat yang terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subbagian; c. Bidang paling banyak 4 (empat) dan masing-masing bidang terdiri atas 2 (dua) seksi; dan d. Kelompok Jabatan Fungsional. (2) Organisasi Satpol PP Tipe B terdiri atas: a. Kepala; b. 1 (satu) Subbagian Tata Usaha; c. Seksi paling banyak 5 (lima); dan d. Kelompok Jabatan Fungsional.
Pasal 13 (1) Pada kecamatan dapat dibentuk Unit Pelaksana Satpol PP Kabupaten/Kota. (2) Unit Pelaksana Satpol PP Kabupaten/Kota di kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala satuan. (3) Kepala satuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara ex-officio dijabat oleh Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum pada kecamatan.
BAB V ESELON
Bagian Kesatu Provinsi
Pasal 14 (1) Kepala Satpol PP provinsi merupakan jabatan struktural eselon IIa. (2) Sekretaris dan Kepala Bidang merupakan jabatan struktural eselon IIIa. (3) Kepala Subbagian dan Kepala Seksi merupakan jabatan struktural eselon IVa.
Bagian Kedua Kabupaten/Kota
Pasal 15 (1) Kepala Satpol PP Tipe A merupakan jabatan struktural eselon IIb. (2) Kepala Satpol PP Tipe B merupakan jabatan struktural eselon IIIa. (3) Sekretaris dan Kepala Bidang merupakan jabatan struktural eselon IIIb. (4) Kepala Subbagian, Kepala Seksi, dan Kepala Satpol PP Kecamatan merupakan jabatan struktural eselon IVa.
BAB VI PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 16 Persyaratan untuk diangkat menjadi Polisi Pamong Praja adalah: a. pegawai negeri sipil; b. berijazah sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau yang setingkat; c. tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm (seratus enam puluh sentimeter) untuk laki-laki dan 155 cm (seratus lima puluh lima sentimeter) untuk perempuan; d. berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun; e. sehat jasmani dan rohani; dan f. lulus Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja.
Pasal 17 Ketentuan mengenai pedoman penetapan jumlah Polisi Pamong Praja diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 18
Polisi Pamong Praja diberhentikan karena:
a. alih tugas;
b. melanggar disiplin Polisi Pamong Praja;
c. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan/atau
d. tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Polisi Pamong Praja.
Pasal 19 Pengangkatan dan pemberhentian Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan keputusan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20 Pengisian jabatan struktural di lingkungan Satpol PP diisi oleh pejabat fungsional Polisi Pamong Praja.
BAB VII PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Pasal 21 Polisi Pamong Praja wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional Polisi Pamong Praja.
Pasal 22 (1) Pedoman pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional bagi Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional bagi Polisi Pamong Praja dikoordinasikan dengan instansi terkait.
BAB VIII PAKAIAN DINAS, PERLENGKAPAN, DAN PERALATAN OPERASIONAL
Pasal 23 Pakaian dinas, perlengkapan, dan peralatan operasional Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota berpedoman pada Peraturan Menteri.
Pasal 24 Untuk menunjang operasional, Polisi Pamong Praja dapat dilengkapi dengan senjata api yang pengaturan mengenai jenis dan ketentuan penggunaannya berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB IX TATA KERJA
Pasal 25 Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik secara vertikal maupun horizontal.
Pasal 26 Setiap pimpinan organisasi dalam lingkungan Satpol PP provinsi dan kabupaten/kota bertanggung jawab memimpin, membimbing, mengawasi, dan memberikan petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan, dan bila terjadi penyimpangan, mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27 Setiap unsur pimpinan pada unit kerja Satpol PP wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing serta menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya.
BAB X KERJA SAMA DAN KOORDINASI
Pasal 28 (1) Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya. (2) Satpol PP dalam hal meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak selaku koordinator operasi lapangan. (3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hierarki dan kode etik birokrasi.
Pasal 29 (1) Dalam rangka pelaksanaan tugas, Satpol PP provinsi mengoordinir pemeliharaan dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat lintas kabupaten/ kota. (2) Rapat koordinasi Satpol PP diadakan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.
BAB XI PEMBINAAN DAN PELAPORAN
Pasal 30 (1) Menteri melakukan pembinaan umum Satpol PP. (2) Gubernur, bupati, dan walikota melakukan pembinaan teknis operasional Satpol PP.
Pasal 31 (1) Gubernur menyampaikan laporan kepada Menteri secara berkala dan/atau sewaktu-waktu diperlukan. (2) Bupati/walikota menyampaikan laporan kepada gubernur masing-masing secara berkala dan/atau sewaktu-waktu diperlukan. (3) Pedoman sistem pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB XII
PENDANAAN
Pasal 32 (1) Pendanaan untuk pembinaan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (2) Pendanaan untuk pembinaan teknis operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
BAB XIII JABATAN FUNGSIONAL
Pasal 33 (1) Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai pejabat fungsional yang penetapannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Jumlah jabatan fungsional Polisi Pamong Praja didasarkan atas kebutuhan dalam rangka melaksanakan tugas menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah jabatan fungsional Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB XIV KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 34 Satpol PP di tingkat kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai ibu kota provinsi atau penyangga ibu kota provinsi dapat ditetapkan sebagai Satpol PP Tipe A.
Pasal 35 Pedoman organisasi Satpol PP untuk Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, diatur dengan Peraturan Menteri dengan pertimbangan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.
Pasal 36 Penyesuaian atas Peraturan Pemerintah ini dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Pasal 37 Ketentuan mengenai jabatan fungsional Polisi Pamong Praja ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Pasal 38 Pedoman organisasi dan tata kerja Satpol PP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri dengan pertimbangan menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.
BAB XV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4428) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 9
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 20102004
TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan salah satu wujud reformasi otonomi daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Satpol PP mempunyai tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Oleh karena itu, di samping menegakkan Perda, Satpol PP juga dituntut untuk menegakkan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu peraturan kepala daerah. Untuk mengoptimalkan kinerja Satpol PP perlu dibangun kelembagaan Satpol PP yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur. Penataan kelembagaan Satpol PP tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk di suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban, budaya, sosiologi, serta risiko keselamatan polisi pamong praja. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja dirasakan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehubungan dengan hal tersebut dan sesuai dengan ketentuan susunan organisasi, formasi, tugas, fungsi, wewenang, hak dan kewajiban Satpol PP ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah, maka disusunlah Peraturan Pemerintah ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Pertanggungjawaban Kepala Satpol PP kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif. Pengertian “melalui” bukan berarti Kepala Satpol PP merupakan bawahan langsung sekretaris daerah. Secara struktural Kepala Satpol PP berada langsung di bawah kepala daerah.
Pasal 4 Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah termasuk penyelenggaraan perlindungan masyarakat.
Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Tugas perlindungan masyarakat merupakan bagian dari fungsi penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, dengan demikian fungsi perlindungan masyarakat yang selama ini berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah bidang kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat menjadi fungsi Satpol PP. Huruf e Yang dimaksud dengan ”aparatur lainnya” adalah aparat pengawas fungsional. Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah adalah antara lain ikut melakukan pembinaan dan penyebarluasan produk hukum daerah, membantu pengamanan dan pengawalan VVIP termasuk pengamanan dan pengawalan pejabat negara dan tamu negara, pelaksanaan pengamanan dan penertiban aset yang belum teradministrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan tugas pemerintahan umum lainnya yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6 Huruf a Tindakan penertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan. Huruf b Yang dimaksud dengan ”menindak” adalah melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran Perda untuk diproses melalui peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tindakan penyelidikan” adalah tindakan Polisi Pamong Praja yang tidak menggunakan upaya paksa dalam rangka mencari data dan informasi tentang adanya dugaan pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah, antara lain mencatat, mendokumentasi atau merekam kejadian/keadaan, serta meminta keterangan. Huruf e Yang dimaksud dengan “tindakan administratif” adalah tindakan berupa pemberian surat pemberitahuan, surat teguran/surat peringatan terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
Pasal 7 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”fasilitas lain” adalah pakaian dinas dan perlengkapan operasional lainnya. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 8 Huruf a Yang dimaksud dengan ”norma sosial lainnya” adalah adat atau kebiasaan yang diakui sebagai aturan/etika yang mengikat secara moral kepada masyarakat setempat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”membantu menyelesaikan perselisihan” adalah upaya pencegahan agar perselisihan antara warga masyarakat tersebut tidak menimbulkan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum. Huruf d Yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah tindak pidana di luar yang diatur dalam Perda. Huruf e Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3) Daerah yang mempunyai jumlah skoring lebih dari atau sama dengan 60 (enam puluh) berdasarkan variabel dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan organisasi Satpol PP sebagai Tipe A. Ayat (4) Daerah yang mempunyai jumlah skoring kurang dari 60 (enam puluh) berdasarkan variabel dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan organisasi Satpol PP sebagai Tipe B.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan pada kecamatan dibentuk Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum. Pada pembentukan Satpol PP pada tingkat kecamatan sebagai Unit Pelaksana Satpol PP Kabupaten/Kota, untuk efisiensi dan efektivitas pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, serta penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, Kepala Satpol PP di kecamatan secara ex-officio dijabat oleh Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Sebelum jabatan fungsional Polisi Pamong Praja ditetapkan, pengisian jabatan struktural di lingkungan Satpol PP diprioritaskan pegawai yang telah berkarir di unit kerja Satpol PP yang memenuhi syarat kepangkatan.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan Kejaksaan.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Ayat (1) Pemeliharaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di seluruh wilayah provinsi merupakan kewenangan gubernur. Dalam hal terjadi gangguan ketenteraman dan ketertiban umum yang meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, penanganannya dikoordinir oleh Satpol PP provinsi. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 30 Ayat (1) Pembinaan umum meliputi pemberian pedoman dan standar, bimbingan, supervisi, pendidikan dan pelatihan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan tugas Satpol PP. Ayat (2) Pembinaan teknis operasional meliputi pembinaan kemampuan Polisi Pamong Praja melalui pembinaan etika profesi, pengembangan pengetahuan, dan pengalaman di bidang Pamong Praja.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Organisasi perangkat daerah kabupaten/kota sebagai ibu kota provinsi atau penyangga ibu kota provinsi tidak termasuk pola organisasi dengan klasifikasi besar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, namun mengingat permasalahan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat yang relatif besar, organisasi Satpol PP kabupaten/kota sebagai ibu kota provinsi atau penyangga ibu kota provinsi dapat ditetapkan sebagai organisasi Satpol PP Tipe A.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5094