Perempuan Itu Menggerus Garam
Perempuan itu menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.
“Aku akan menciptakan harapan,” katanya, “pada batu hitam.”
Asap tidak pernah singkat. Bubungan seperti warna dunia
dalam mimpi Yeremiah
Ia sendiri melamunkan ikan, yang berenang di akuarium,
seperti balon-balon malas yang tak menyadari warnanya,
ungkapannya, di angkasa. “Merekalah yang bermimpi,”
katanya dalam hati.
Tapi ia sendiri bermimpi. Ia memimpikan busut-busut terigu, yang
turun, seperti hujan menggerutu. Di sebuah ladang. Enam
orang berlari seakan ketakutan akan matahari.
“Itu semua anakku,” katanya. “Semua anakku.”
Ia tidak tahu ke mana mereka pergi, karena sejak itu tidak ada
yang pulang. Si bungsu, dari sebuah kota di Rusia, tak pernah
menulis surat. Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya
hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat,
“Mak, kami hanya pengkhianat.”
Barangkali masih ada seorang gadis, di sajadah yang jauh,
(atau mungkin mimpi itu hanya kembali,)
yang tak mengenalnya. Ia sering berpesan dengan
bahasa diam asap pabrik. Ia tak berani tahu siapa dia,
ia tidak berani tahu.
Perempuan itu hanya menggerus garam pada cobek
di sudut dapur yang kekal.