Pidato Boediono pada deklarasi pencalonan SBY-Boediono, 15 Mei 2009
Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu yg saya hormati, Hadirin yang saya muliakan.
Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera buat kita semua.
Pertama-tama, izinkanlah saya dengan tulus mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam, khususnya kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah menunjuk saya untuk mendampingi beliau dalam pemilu presiden Juli nanti. Penunjukan diri saya sebagai calon wakil presiden merupakan kehormatan yang amat besar bagi saya dan keluarga.
Penunjukan ini juga merupakan sebuah kehormatan yang tak terduga-duga. Sejak awal, saya merintis karir saya sebagai seorang ekonom dan seorang guru. Saya tidak pernah bercita-cita memegang salah satu jabatan puncak dalam Republik yang kita cintai ini.
Saya juga berterima kasih kepada jajaran partai-partai yang mendukung pilihan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. Insya Allah, itu adalah modal dukungan yang saya butuhkan kini dan nanti.
Saya juga berterima kasih kepada isteri saya. Ia menyetujui suaminya untuk memasuki tugas yang sama sekali baru – yang tantangan dan risikonya lebih besar ketimbang tugas-tugas sebelumnya.
Tantangan dan risiko itu sudah tampak sejak mula. Saya sadar, penunjukan saya sebagai calon wakil presiden menimbulkan kontroversi. Itulah tanda sebuah demokrasi yang hidup – sebagai hasil Reformasi yang ditebus dengan badan dan jiwa mahasiswa Indonesia 10 tahun yang lalu.
Di bawah Presiden SBY, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara di Asia yang sanggup merawat dan mengembangkan kebebasan menyatakan pendapat. Di bawah pemerintahan ini tak ada suara yang menentang yang dibrangus. Di bawah SBY, Indonesia tak hendak kembali ke bawah kekuasaan yang meniadakan hak-hak asasi manusia, apalagi dengan kekerasan.
Dalam suasana demokratis itu, Indonesia berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Bahkan dalam situasi krisis ekonomi global sekarang ini, bersama Cina dan India, Indonesia adalah tiga negara besar di dunia yang masih mencetak pertumbuhan positif.
Dalam hubungan itulah saya sungguh menghargai keteguhan dan kearifan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan itu pula yang mendorong saya untuk bersedia mendampingi beliau.
Saya pernah bekerja tiga tahun di bawah beliau. Hal itu menjadi modal bagi saya untuk bekerjasama dengan baik dan mewujudkan pemerintahan yang mampu bekerja tepat, cepat, dan akuntabel.
Bapak Presiden yang saya hormati. Hadirin yang saya muliakan.
Keikut-sertaan saya juga didorong oleh apa yang selama ini disaksikan berjuta-juta orang Indonesia: yaitu bahwa di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampak tekad untuk membangun pemerintahan yang bersih. Memang harus diakui, dalam gerakan antikorupsi ini, ”kerja belum selesai, belum apa-apa”, tetapi sebuah langkah baru yang tegas sudah diambil.
Korupsi bukan hanya tindakan yang tak bermoral. Korupsi juga menimbulkan ketidak-adilan dan menggerogoti efektifitas Negara.
Padahal, kita memerlukan peran Negara. Perekonomian Indonesia tidak dapat sepenuhnya diserahkan ke pasar bebas. Selalu diperlukan intervensi dengan aturan main yang jelas dan adil.
Untuk itu diperlukan lembaga pelaksana yang efektif. Itulah yang harus disediakan oleh Negara. Negara tidak boleh terlalu banyak campur tangan, sebab itu akan mematikan kreatifitas. Tetapi Negara juga tidak boleh hanya tertidur.
Untuk itu, diperlukan sebuah pemerintahan yang bersih.
Kita semua sadar, pemerintahan yang bersih tidak akan lahir karena dipidatokan. Pemerintahan yang bersih harus dimulai dengan tauladan kepemimpinan.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak dikotori oleh suap; tidak mau memperdagangkan kekuasaan; tidak mau mencampur-adukkan kepentingan Republik dengan kepentingan bisnis keluarga.
Lebih dari itu, pemerintahan yang bersih memerlukan tindakan pemberantasan korupsi yang konsisten; juga sebuah reformasi birokrasi.
Saya yakin, pemerintahan SBY, melalui sistem presidensial yang berdaya-guna, akan melangkah ke sana. Bekerja dalam tim yang dipimpinnya merupakan kehormatan bagi siapapun. Bukan kehormatan karena kedudukan, tetapi kehormatan karena ikut menjalankan cita-cita yang luhur.
Cita-cita itu cita-cita Indonesia yang tidak boleh pernah padam.
Bapak Presiden yang saya hormati Hadirin yang saya muliakan
Di awal abad ke-20, Bung Karno di kota Bandung ini, menyatakan ”Indonesia menggugat”. Waktu itu Indonesia menggugat penjajahan yang menjadikannya terbelenggu dan merasa kerdil.
Di awal abad ke-21 ini, Indonesia juga selayaknya menggugat. Kini yang kita gugat adalah penjajahan oleh kekuatan dari luar dan dari dalam, yang membuat kita merasa terpuruk, merasa tidak bisa bangkit memperbaiki diri. Padahal kita mampu, padahal kita sanggup.
Saya berjanji, saya akan selalu bekerja untuk membuat Indonesia lebih sanggup, untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, kesewenang-wenangan, dan keterpurukan.
Dengan mengucapkan Bismillahirohmanirohim, saya siap bekerja mulai hari ini.
Wabillahi taufiq walhidayah. Wassalamu alaikum Wr. Wb.