Politik dan Mentalitas

Majalah Tempo, 07 Mei 1977.


ABRAHAM Lincoln yang kurus itu bangun dari puing perang saudara Amerika, di mana ia terlibat. Sebelum "pemberontak" di daerah selatan itu kalah samasekali, ia menjanjikan suatu perdamaian yang adil. Ia berkata: "Tanpa kebencian kepada siapapun, dengan bermurah-hati kepada semuanya." With malice towards none, with charity for all.

Salah satu sesal yang terdengar di Amerika Serikat setelah perang Vietnam selesai ialah: tak nampak seorang pemimpin pun yang mampu menjadi pendamai bagi bangsa yang nyaris retak oleh perbedaan pendapat tentang perang panjang itu. Ford bukan ukuran Lincoln. Untunglah AS sudah biasa dalam merampungkan perselisihan nasionalnya. Pemilu diselenggarakan, Carter dipilih, dan suatu masa baru mulai.

Di Indonesia, pemilu bukan suatu perang saudara, tapi ketegangannya bisa mirip. Apakah setelah ini, untuk memakai kata-kata orang Indian, "kampak peperangan tidak ditanamkan kembali" dan "pipa perdamaian tidak diisap"? Meskipun dalam arti harfiah tak ada peperangan dan karena itu tak perlu perdamaian—kecuali suatu kerukunan kembali?

Orang mengatakan, kita bukan bangsa pendendam. Lihatlah bagaimana sikap kita kepada Belanda, katanya. Tatkala Ratu Juliana berkunjung, sambutan begitu meriah. Seakan-akan di antara kedua bangsa itu tidak pernah terjadi bunuh-membunuh, sejak Sultan Agung mengirimkan pasukannya ke Batavia di abad ke-17 sampai pada pengakuan kedaulatan di akhir dasawarsa ke-40 abad ini. Di muka Sri Ratu para pembesar tersenyum ramah, orang dari zaman "tempo doeloe" begitu rupa, hingga kadang-kadang kita bingung: adakah ini karena IGGI ataukah ini karena kita masih senang membayangkan diri sebagai para bangsawan yang menyambut pembesar Hindia-Belanda?

Mungkin karena pada dasarnya, seperti ditulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi yang terbit dua tahun yang lalu, kita tidak pernah membenci orang Belanda. Orang Jawa menganggap bangsa asing yang gendut, berkeringat dan kasar itu dengan humor dan hormat.

Tapi dapatkah kita bersikap lebih baik kepada bangsa sendiri? Tentu, tentu, begitu kata orang. Namun kenyataannya, ada di antara kita yang melihat perbedaan pandangan politik seperti detektif melihat perbuatan kriminal. Di antara sang detektif dengan sang kriminal, per definisi, tak ada perdamaian. Dalam sikap itu pula kita lihat kecurigaan yang selalu hidup, terutama kepada "recidivist". Tokoh macam petugas polisi Javert dalam Les Miserables Victor Hugo tumbuh subur: orang yang tak henti-hentinya menguntit Jean Valjean, bekas penjahat itu—meskipun ia sudah berubah sukma setelah padri baik yang menyelamatkannya itu berkata: "Jean Valjean, saudaraku: kau bukan lagi milik kejahatan, tapi milik kebaikan."

Petugas macam Javert memang tidak bisa siap untuk mengakui yang tak terduga dalam kekayaan masalah manusia. Ia bertugas untuk berburuk sangka dan curiga terus-menerus. Tapi kehidupan politik dan kenegaraan tidak bisa diserahkan kepada mentalitas seperti Javert. Kehidupan politik dan kenegaraan setiap kali memerlukan rekonsiliasi, proses berbaik kembali. Dalam proses itu kelak akan terlihatlah: pemilu ternyata hanya semacam turnamen bola.

Tapi bahwa masih teramat banyak amarah, ketakutan dan kekerasan yang terjadi menunjukkan: ada yang salah dalam moralitas kita di hari kemarin. Kita tak bisa mengulanginya. Kita hanya punya satu negeri—terlalu sayang untuk dikorbankan.