Potongan yang Hilang

Potongan yang Hilang
oleh Rifda Sari

POTONGAN YANG HILANG
(MISSING SCENE)

Rifda Sari
SMAN 1 Bukittinggi



Frankfurt at Main International Airport, Germany June, 26 - 2011, 02.00 PM CET (Central European Time)

“Apa gunanya Kau membeli Handphone, Eo? Dimana saja kau? Arraseo, sekarang cepat jemput aku di bandara karena aku tidak tahu apapun tentang Frankfurt!” Catarina langsung memutuskan transmisi melalui ponsel layar sentuhnya. Ia baru sampai di bandara dan tidak menemukan temannya di sana. Mereka sudah berjanji untuk bertemu. Ia akan menginap di rumah Shin Hye-ra selama ia berada di Frankfurt.

Siey, bagaimana ia biasa di panggil, menarik kembali koper besar coklatnya setelah melempar smartphone-nya ke dalam tas samping. Ia memutuskan untuk duduk sejenak dengan kopi di kafe bandara. Di situasi seperti ini, ia membutuhkan kafein.

10 menit...

15 menit...

Gadis itu belum datang juga. "Masih ada lima menit lagi Hye-ra-ssi-. Janji mu kau akan sampai dalam 20 menit. Kalau tidak, kita tidak berteman lagi."

"Yoo-ra yaa..,." ujar seseorang yang dibarengi dengan pelukan mendarat seluruh tubuh Siey. "Sudah kuduga! Kau tidak pernah lepas dari kopi." Shin Hye-ra menatap Siey dan sengaja memanggil gadis itu dengan nama Korea yang ia berikan.

Tatapan sok polos Hye-ra dibalas dengan tatapan membunuh oleh Siey. Jika tidak ada HAM atau sejenisnya, ia mungkin akan melakukan pembunuhan tersadis dengan berbagai variasi dan korban pertamanya yang sudah jelas ada di depan mata. "Kemana saja Kau?" Ujar Siey bertanya atau lebih tepatnya membentak.

Hye-ra duduk di sebelahnya, lengkap dengan seulas senyum tak berdosa. Ia bersandar pada kursi dan menyilangkan kakinya serta berpangku tangan. Ia masih sempat menyesap kopi Siey sedikit. Dan hanya mengangkat bahu untuk menanggapi pertanyaan sekaligus bentakan Siey padanya.

"Aku menyesal mengenalmu! Sekarang cepat antar aku! Tunjukkan di mana rumahmu dan bayar tiga cangkir kopi dan satu frappucino ini!" Siey membawa sisa frappucinonya, dan berjalan menjauh. "Oh, koperku juga. Hukuman untukmu!"

Hye-ra, dengan pasrah menuruti Siey. Membayar minumannya, dan membawakan koper nya, walaupun ia jengkel setengah mati. "Memangnya aku petugas asuransi?"

Hye-ra's Home, Westend-Nord, Frankfurt

04.00 PM CET

Hye-ra sudah menyediakan kamar untuk Siey. Di apartemen kecil ini Hye-ra tinggal sendirian. Dan kebetulan ada dua kamar. "Kamar ini agak sedikit sempit." Hye-ra masuk ke kamar itu diikuti oleh Siey. Siey melihat-lihat. Tidak buruk pikirnya. Walau sempit, tapi sangat bersih. Kamar itu hanya berisi tempat tidur untuk satu orang, meja belajar di dekat jendela dan rak buku serta lemari pakaian.

"Bagaimana?" Hye-ra bertanya saat Siey masih asik mengamati. Melihat Siey yang tidak bicara apapun membuat Hye-ra khawatir. Takut ia tidak bisa menyiapkan yang lebih baik untuk temannya itu.

"Apanya? Ini saja sudah cukup. Yang aku butuhkan hanya kamar dengan ranjang dan harus bersih. Aku tahu kau selalu bersih-bersih sejak dulu. Dari pada aku membuang uang untuk satu kamar hotel, lebih baik tinggal denganmu saja." Siey melompat ke ranjang dan berusaha untuk santai. "Nyaman," komentarnya.

"Dasar pelit. Tapi ingat, aku tidak bisa menyediakan yang lebih dari pada ini. Kau istirahatlah. Seharian ini aku akan ada di kampus. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu. Kau bisa ambil sendiri di dapur. Maaf tidak bisa menemani mu.”

"Santai saja," Siey duduk di ranjang dan memberi jeda. "Lakukan apapun yang ingin kau lakukan. Aku juga tidak ingin menganggu rutinitasmu."

Hye-ra's Home, Westend-Nord, Frankfurt

09.00 PM CET

Siey memilih untuk diam di rumah alih-alih jalan-jalan menikmati malam di Frankfurt. Hye-ra belum pulang, membuatnya tidak berani keluar. Ditambah lagi suhu dingin yang dengan membayangkannya saja membuat Siey bergidik. Beruntung kamarnya memiliki penghangat ruangan.

Malam yang cerah di Frankfurt tidak membuat Siey tertarik. Selesai makan dan mandi, ia langsung mengenakan piyama dan duduk di ranjangnya. Tatapan kosong dengan ekspresi datar. Pikirannya kembali melayang.

Malam terang, ia benci malam terang berbintang seperti ini. Matanya mulai memanas. Jika kesedihan bisa dihitung, ia seperti punya banyak butir kesedihan dibanding manusia-manusia lainnya. Bahkan ia sempat berpikir untuk berubah menjadi robot android yang tidak perlu pusing dengan perasaan. Sejak dua minggu lalu, setiap harinya ia pasti menangis, minimal sekali dalam sehari.

Siey membaringkan tubuhnya di ranjang. Pikirannya kembali membawanya ke masa lalu. Ia teringat ibunya. Kenangan demi kenangan kembali terputar, dalam bentuk penggalan ataupun sebuah kesatuan yang urut.

Kepalanya sakit, otaknya mengugap. Mengingatkannya pada seorang pria yang ingin ia temui di Frankfurt ini. Semakin ia menangis, semakin kepalanya berdenyut. Tapi, Siey memilih untuk tidur.

Westend-Nord Street

June, 27 - 2011, 09.00 AM CET

Cuaca yang bagus pagi ini di Frankfurt. Siey sudah siap dengan semuanya. Ia akan langsung bepergian. Hanya dengan modal tekad, ia akan mencari pria itu. Ia pikir jika menemukannya lebih cepat, itu lebih baik dan masalah ini selesai. Tidak ada lagi yang harus ditangisinya saat berada di rumah sendirian, saat ia lelah pulang dari kuliahnya.

Ia sedang bersama Hye-ra sekarang. Ini musim dingin, dan Hye-ra masih harus hadir di kampusnya dalam suhu yang hampir minus sepuluh derajat. Dan Siey menawarkan diri untuk ikut dan menemani Hye-ra, setidaknya sampai mereka tiba gerbang kampus. "Memangnya Kau tidak diberi libur? Ini kan musim dingin. Mana ada instansi pendidikan yang tidak memberi libur di suhu minus seperti ini?" Siey semakin merapatkan jaketnya. Ia sudah ancang-ancang. Setelah mengantar Hye-ra ke kampusnya, Siey juga akan langsung mencoba mencari pria itu.

"Aku libur. Tentu saja libur. Tapi, ini menyangkut tugasku. Kampusku itu nyaman. Ada penghangat ruangan. Tapi maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini. Mungkin besok, aku janji kita akan jalan-jalan sepuasnya," mereka berjalan menyusuri trotoar. Banyak yang berlalu lalang. Penduduk Frankfurt terlihat masih bersemangat.

"Tidak apa-apa. Aku sudah siap mental untuk jalan-jalan sendirian. Tapi, memangnya di kamarmu tidak ada penghangat ruangan? Di kamarku penghangat nya baik-baik saja."

"Rusak," Siey memutar bola matanya melihat Hye-ra yang masih fokus pada ponselnya sementara mereka berbicara. Ia tahu Hye-ra memang begitu. Tidak pernah peduli dengan apapun selain animasi atau semua yang menyangkut perfilman. Tapi Siey heran kenapa temannya itu malah berkuliah di jurusan Economics and Business Administration.

Gerbang kampus Hye-ra mulai terlihat. Dan akhirnya sampai tepat di depan gerbang besar itu. Universitas Johann Wolfgang von Goethe Frankfurt memang sangat terkenal di mana-mana. Dari luar Siey bisa melihat kemegahan kampus itu dan orang-orang yang ramai di dalamnya. Mereka bekerja keras, pikir Siey.

"Sudah ya. Aku janji besok kita akan jalan-jalan," Hye-ra tersenyum. "Teman-temanku sudah menunggu di dalam. Kalau ada apa-apa, hubungi aku. Biar aku yang menjemputmu." Hye-ra mengeluarkan ponselnya, mengisyaratkan semuanya akan baik-baik saja dan ingin memastikan Siey aman. Mengingat Siey tidak tahu apa-apa tentang Frankfurt.

"Kau mudah saja bicara begitu. Jangan matikan ponselmu lagi! Kau sering sekali begitu. Masuklah. Aku juga ingin langsung jalan-jalan."

"Baiklah. Hati-hati ya. Jangan lupa hubungi aku dan lindungi tasmu itu. Bisa saja ada tindakan kriminal nanti." Hye-ra memeluk Siey sebentar dan langsung berlari masuk ke area kampus. Siey pun juga tidak ingin buang-buang waktu. Ia sudah bersemangat. Ia akan langsung mencari pria itu.

***

"Aishh, bagaimana caranya menemukan orang itu!" Siey bergumam. Ia memutuskan untuk memasuki taman kota dan rehat sejenak dengan sekaleng kopi instan hangat, duduk dengan santai di sebuah ayunan, memperhatikan anak-anak yang sedang bermain setelah lelah berjalan tanpa arah. Kakinya, yang walau dibungkus sepatu sudah terasa seperti kelereng. Ia sama sekali tidak punya petunjuk lain selain wajah pria itu di otaknya dan ia lupa alamat rumah Pamannya yang ada di Frankfurt.

Siey merasa lebih baik. Hanya melihat anak-anak itu berteriak dan berlari. Ia selalu berpikir untuk memiliki seorang adik. Tapi kenyataannya, ia anak bungsu dengan satu orang kakak laki-laki yang sekalipun ia tidak tahu bagaimana rupanya. Menurut bunda, kakak laki-laki nya dulu hilang saat mereka berlibur ke Lombok. Saat itu, Siey berumur lima tahun. Ia tidak bisa mengingat memori dengan kakaknya itu. Padahal, sang ibu bilang, mereka sangat dekat.

"Astaga!" Siey buru-buru berdiri. Dari jauh, matanya menangkap sosok seorang anak perempuan, mungkin sekitar umur tiga tahun, yang di jahili oleh temannya. Anak itu terjatuh dan menangis. Sementara anak-anak lain meninggalkannya begitu saja. "Apa ini sakit?" Siey membantu anak itu berdiri. Dibersihkannya pakaian anak itu dari pasir-pasir yang menempel, sementara ia masih menangis.

"Omona, Yumi-yaa..! Gwencanha? (Astaga, Yumi! Kau baik-baik saja?)," ujar wanita itu khawatir dan menggendong anak yang ia panggil Yumi itu. Mencoba meredakan tangisnya. Dan satu hal yang Siey sadari, wanita itu berbahasa Korea.

"Danke schon. (Terimakasih.)," ujar wanita itu seraya tersenyum. Yumi pun sudah berhenti menangis dan menyembunyikan kepalanya di balik bahu ibunya. "Yumi, ucapkan terimakasih," seketika itu juga Yumi menghadap Siey. Wajahnya masih basah, walau ia sudah berhenti menangis.

"Danke," ujarnya dengan raut muka yang masih masam. Namun Siey mengerti, anak itu pasti terkejut dengan perlakuan teman-temannya. Siey tersenyum. Telapak tangannya bergerak membelai rambut Yumi. Merapikan rambut gadis kecil itu yang sedikit berantakan dan menghapus sisa air matanya yang sudah mulai mengering di pipinya.

"Hmm, mau kah Kau berkunjung?" Siey menatap ibu muda itu. Dalam pikirannya campur aduk. Ia bisa saja mengiyakan ajakan untuk berkunjung, tapi di sisi lain ia curiga juga. Siey selalu seperti ini jika bepergian ke luar negeri. Kewaspadaannya meningkat.

"Jangan salah paham! Aku hanya.. Err.. Ya Kau tahu?" Ibu itu salah tingkah. Tapi Siey menangkap apa yang ingin dikatakan ibu itu. Seperti acara minum teh kecil-kecilan karena telah menolong anaknya. Siey pernah mendengar bahwa penduduk Frankfurt selalu begitu, bahkan pendatang.

"Aku mengerti. Tapi, apa boleh? Maksudku, aku hanya turis di sini dan kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Bagaimana Anda bisa mengajakku untuk berkunjung?" Ibu Yumi tersenyum, masih menimang-nimang Yumi, "Ah, tidak apa-apa. Aku percaya padamu. Tidak usah sungkan!" Wanita itu langsung saja berjalan. Mau tak mau Siey mengikutinya. Tidak baik menolak ajakan baik seseorang.

Sekitar 10 menit berjalan, akhirnya mereka sampai. Rumah Yumi berada pada sebuah bangunan tinggi. Apartemen. Mereka memasuki lift dan naik ke lantai 15.

"Suamiku ada di rumah. Tidak masalah, kan?" Siey tersenyum saja. Ia heran, kenapa wanita itu baru memberi tahu nya. 'Kalau tahu begitu, aku tidak akan ikut,' pikirnya.

Wanita itu masuk setelah sampai di depan pintu dan mempersilahkan Siey masuk.

"Nuguseyo, yeobo? (Siapa itu, Sayang?)," suara laki-laki terdengar dari dalam. Siey yakin itu pasti ayahnya Yumi. Dari sebuah kamar, keluar seorang laki-laki, tegap dan tinggi, kulitnya putih, seperti orang asia. Laki-laki itu berbalut kaus santai berwarna krem dan celana jeans santai. Laki-laki itu juga memakai kacamata baca dengan sebuah buku biografi "Steve Jobs" di tangannya. Rambutnya coklat dan pendek. Matanya coklat, seperti Siey.

Ibu itu berbicara dengan suaminya. Menjelaskan apa yang terjadi tadi dan siapa Siey. Tapi Siey tidak mendengar apa-apa lagi, ia sibuk memperhatikan Ayah Yumi itu. Seperti ia pernah melihatnya.

"Siey," laki-laki itu berbicara.

Siey langsung berbalik dan berlari cepat keluar dari rumah itu. Bahkan ia melupakan sepatunya. Ia ingat, pria itu ada di pesta pernikahan rekan ibunya. Malam itu, ia memilih untuk ikut bunda ke pesta itu dan ia melihat orang itu, dengan pistol. Lalu suara tembakan. Teriakan, darah, bunda. Pria itu yang membunuh ibunya. Siey memikirkan itu sambil berlari turun melewati tangga-tangga kecil apartemen, alih-alih menggunakan lift.

Siey sampai di taman tadi. Kakinya sudah sangat beku karena tidak memakai sepatu. Wajahnya memerah karena dingin dan marah, beruntung ia belum melepas sarung tangannya. Ia masih menangis. la menemukannya. Seorang Ayah, ternyata seorang Ayah. Siey duduk di salah satu bangku taman. Dengan tatapan kosong dan lurus, ia mulai berpikir.

Baru dua hari saat ia menginjakkan kaki di Frankfurt, tidak menyangka akan bertemu pria itu secepat ini, dengan cara yang bisa dibilang hanya kebetulan semata.

Semua organ tubuhnya rusak mendadak. Rambutnya kusut, nafasnya tidak beraturan, sebelah lengan mantel bulunya sedikit turun dari bahu dan tanpa sepatu. Membuatnya lebih terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa yang berhasil kabur.

Semakin dipaksa berpikir, tengkorak kepalanya serasa semakin runtuh. Pandangannya mulai kabur.

***

Yumi's House, Westend-Süd, 10.00 PM CET

Siey merasakan sesuatu yang panas di kulitnya, tepatnya di kulit yang ada di sekitar tangan kanannya saat ia mencoba membuka mata. Dan juga sesuatu yang empuk di balik pungunggnya. Ia melenguh, membuat rasa hangat itu semakin hangat dan nyaman.

"Siey," ucap sebuah suara. Siey dengan perlahan masih berusaha membuka matanya. Dan akhirnya, ia melihat siapa orang itu. Dan apa yang membuat badannya hangat. "Kau baik-baik saja? Kau pucat. Tadi kau pingsan di taman. Kau aman di sini, ini rumahku."

Siey terbelalak, namun ia tidak punya tenaga untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Pria itu bertanya padanya. Rasanya Siey ingin sekali menarik tangannya yang di genggam oleh orang itu, namun di sisi lain ia benci mengakuinya bahwa ia merasa lebih nyaman dengan perlakuan ini.

"Aku tahu yang ada di pikiranmu sekarang. Tapi, kalau Kau tidak keberatan, Kau harus mendengar ceritaku dulu!" 'Bahkan pria itu tidak bisa basa-basi,' pikir Siey.

"Kau ingat kan ketika ibumu bilang Kau punya kakak laki-laki? Ibumu bilang bahwa kakakmu hilang saat berlibur. Ingat?" Pria itu memberi jeda. "Aku kakakmu. Dan aku tidak hilang. Dia membuangku! Orang kepercayaan Ayah itu. Malam itu aku terbangun di tumpukan jerami di sebuah gudang. Aku keluar mencari bunda. Tapi malah bertemu dengan paman. Dia memukulku. Aku merasakan perih di mana-mana dan akhirnya tak sadarkan diri. Aku ditemukan oleh seorang bapak yang sedang mengemudi dan tak sengaja melihat tubuhku terbaring di tengah jalan. Orang itu baik sekali. Dia yang merawatku. Lain kali, aku kenalkan kau padanya, Siey.

"Paman juga yang membunuh Ayah, bunda. Orang tua kita," lanjutnya. Siey seperti dihantam badai salju. Dingin. Tubuhnya menegang dan dingin walau ia terbaring di bawah selimut di dalam ruangan berpenghangat. Setengah hati ia percaya pada pria itu. Namun walaupun setengah, ia memberikan sepenuhnya hati itu. Siey menangis sambil berbaring. Tangan pria itu semakin mengenggamnya erat. Siey tidak keberatan.

"Kumohon kau percaya padaku! Aku melihat sendiri bagaimana orang itu membunuh Ayah. Saat Ayah dalam perjalanan pulang dari kantor dengan mobilnya, paman mengikutinya. Waktu itu tengah malam, jadi jalanan sedikit sepi. Paman berhenti tepat di depan Ayah. Ia turun dan menodongkan pistol ke arah Ayah. Ia mengikat Ayah di jok mobil dan membakar mobil Ayah. Besoknya, paman dengan tanpa dosa berteriak bahwa mobil ayah terbakar. Kau ingat?"

Siey masih menangis, namun ia menyahut. "Bagaimana dengan bunda? Aku melihat kau malam itu." "Aku sengaja mengikuti kalian malam itu. Paman sudah berniat untuk membunuh bunda dan aku tahu. Tapi dia memergokiku. Dia mengancam akan membunuhmu kalau aku tidak mengikuti keinginannya. Aku tidak tahu harus apa, dengan terpaksa aku turuti. Aku tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu dan bunda, Siey. Dia menggunakan badanku. Dari balik badanku, Paman mengarahkan ujung pistol itu. Tapi ia mengarahkannya padamu. Saat ia akan menembak, aku menepis tangannya dan peluru itu," pria itu tak berani melanjutkan, namun Siey tahu apa yang terjadi dan kemana peluru itu akhirnya mengarah. Siey menahan nafas. Ia tak berani bernafas. Bagaimana bisa orang seperti paman, yang ia kenal sebagai pria tua dengan senyum khas manula yang ramah melakukan hal seperti itu. Ajaib, Siey sekarang sudah sepenuhnya mempercayai pria yang ia anggap pembunuh sebelumnya.

"Paman adalah sepupu ayah. Bukan sepupu dekat. Namun tidak ada yang tahu itu. Hanya aku yang tahu, aku sendiri yang mencari tahu. Karena itu ia berusaha menyingkirkan ku. Paman pernah mengaku bahwa dulu, kakek mengadopsinya dari orang tua kandungnya. Mereka hidup susah, wajar saja orang tua paman tidak keberatan, walau mereka sangat menyayangi anak tunggalnya. Dan kakek baik sekali mau merawat paman. Namun seiring berjalannya waktu, perlakuan kakek sangat berbeda. Kakek seolah-olah membedakan ayah dan paman. Bahkan sampai mereka dewasa. Namun ayah, dengan segala sifat dermawannya, hanya mengalah. Sampai akhirnya paman meminta untuk tinggal bersama ayah dan merahasiakan identitasnya. Ayah menuruti. Dan ternyata ia mulai balas dendam. Aku takut Kau yang diincarnya, Siey. Setelah kakek tiada, semua warisan jatuh ke tangan ayah dan semuanya ada atas nama Kau dan aku. Ia ingin menguasai semua milik ayah." "Kau... kakakku?" Siey bertanya.

"Ya. Ya, percayalah! Aku kakakmu. Egit!" Kali ini Siey benar-benar yakin. Ia menangis makin kuat. Sementara Egit, Ia dipeluknya Siey. Nalurinya mengatakan bahwa Siey sangat membutuhkannya. Ia juga merindukan adik perempuannya. Lama ia menahan semuanya, bahkan sekarang Siey sudah dewasa. Demi Tuhan ia sangat bersyukur. Ini seperti kejutan, sekaligus melegakan baginya. Siey sudah mengetahui semuanya. Ia sudah menemukan adiknya. Ia bisa mengajak Siey tinggal bersama dan pindah ke Korea di mana Siey masih kuliah di sana. Dan tidak ada yang menganggu mereka lagi.

"Jangan menangis. Ah iya, yang tadi itu istriku. Namanya Jung Hyo-rim. Orang Korea. Dia baik. Dan anak perempuan yang kau tolong tadi itu anakku. Namanya Yumi. Jung Yumi." Egit nyaris tersenyum lalu melanjutkan. "Aku pernah tinggal di Korea. Hanya untuk mengawasimu yang sedang kuliah. Takut kalau orang tua itu menyelakaimu. Dan saat itu aku bertemu Hyo-rim. Aku jatuh cinta padanya. Yah, umurku terus bertambah. Sudah saatnya berkeluarga kan? Dan aku memberanikan diri, sendirian, datang ke rumah orang tuanya, melamarnya jadi istriku. Kisah yang manis kan? Percayalah." Siey berusaha untuk berhenti menangis, tapi agak susah rasanya. Dan ia tetap menangis. Namun ia tersenyum. Kakaknya sangat baik. Kakaknya orang baik.

Saat itu, Siey mendengat suara pintu kamar terbuka. Ia tidak melihat siapa yang masuk, tapi ia tahu setelah akhirnya seseorang itu bersuara. "Appa. (Ayah)," itu pasti Yumi. Siapa lagi yang bisa memanggil Egit ayah? Dan anak itu keponakannya. Ia bahagia menerima kenyataan itu. Siey bisa melihat Yumi berdiri di samping ayahnya sedikit mendongak ingin melihat siapa yang sedang dipeluk ayahnya.

"Ayah, kakak itu menangis?” Siey tersenyum. Namun tak berani menampakkan wajah basahnya. Malu. Sementara itu Egit memberi isyarat agar Yumi tidak bersuara. Gadis kecil itu hanya mengangguk dan masih berdiri di samping ayahnya, menatap Siey dengan tatapan prihatin khas anak-anak yang menirukan orang dewasa. Mata Yumi warisan dari ayahnya. Sama juga dengan mata Siey.

Dan di sisi lain, di balik tembok kamar itu. Di luar rumah, ada seseorang, dengan dua pistol sedang membidik ke arah Siey dan Egit.