Puisi Afrizal Malna: Kajian Semiotika/Bab 2
BAB 2
BAHASA DALAM PUISI
AFRIZAL MALNA
"...mestilah kau bermabuk-mabuk terus terusan. Tetapi dengan apa? dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!”
Charles Baudelaire [Wing Kardjo (editor dan penerjemah), 1972: 36-7]
2.1 Pendahuluan
Bunyi bait yang terkenal itu berasal dari penyair Prancis, Charles Baudelaire (1821-1867) yang kontroversial, yang secara harfiah menggolongkan puisi di antara sekian hal yang memabukkan, selain anggur. Boleh jadi, ini merupakan metafor atau sebaliknya, hal yang dialami sendiri oleh Baudelaire, yang mengisi kemabukannya dengan anggur serta dengan puisinya. Kritikus pun menganggap ia sebagai seorang yang mencari tuhan yang ironisnya tanpa menempuh satu pun jalur kepercayaan agama. Mungkin karena itu ia pun mabuk, mencarinya ke mana saja. Dan bahkan kemabukannya telah membawa pencariannya itu, dalam kata Vionette (dalam http//www.vionette.com/baudelaire/baudelaire2.htm), sampai merasuk pada setiap manifestasi kehidupan yang ada, dari dedaunan sebatang pohon hingga di kerutan dahi seorang wanita penghibur.
Apakah hal tersebut hanya sebagai slogan atau sebatas metafor kemabukan seorang penyair dengan anggur atau puisi? Mungkin hanya ia saja yang tahu. Dan setiap penyair pun memiliki kredo atau semacam kepercayaan penggerak yang menentukan sikap kepenyairannya. Mungkin ungkapan Baudelaire itu merupakan dasar pemikirannya yang sadar tentang penulisan puisi dan dunia, atau kehidupan. Akan tetapi, apakah kepercayaan akan kepenyairan dan penulisan puisi seperti itu merupakan hal yang tidak penting lagi di masa sekarang?
Mungkin jawaban atas pertanyaan tersebut agaknya bersifat individual dan tidak umum soal mengapa orang menulis puisi, atau lebih radikal lagi, mengapa puisi itu ada. Atau dalam pertanyaan utilitarian, apakah mencipta puisi bukan sebuah tindakan yang tidak populer dalam percepatan dunia, yang diistilahkan Giddens (2001) yang tunggang-langgang ini? Akan tetapi, itu merupakan pertanyaan yang bersifat hitam dan putih yang tak bisa dihadapi dengan jawaban yang simetris, kalau tidak ya, ya tidak, dan mengandung penyerderhanaan yang kadang menyesatkan.
Oleh karena itu, kredo, kepercayaan, atau apa pun namanya tentang apa perlunya mencipta puisi setidaknya menjadi perangkat filosofis yang cukup kuat dalam menghadapi pertanyaan umum seperti itu. Alasan itu memang tidak lalu menghasilkan tindakan praktis karena puisi bukan perangkat teknologi yang memudahkan urusan manusia atau semacam kuasa suci yang melindungi manusia dari malapetaka.
Keyakinan humanisme yang mengelilingi ihwal penciptaan puisi membuat penyair (merasa) tidak sia-sia dengan jalan kreativitas yang ditempuhnya. Tampaknya pertimbangan mengapa seseorang menuliskannya adalah karena alasan pribadi untuk kemudian berangkat kepada alasan yang lebih luas lagi dan tidak egoistis. Alasan pribadi itu mungkin saja berupa kemabukan ala Rumi dan kaum sufis, atau Baudelaire. Kemudian sampai pada tingkat selanjutnya, terdapat kehendak untuk menentukan posisi penyair sebagai subjek di tengah jagat, bahkan kosmos, posisinya di tengah hubungan antarmanusia serta antara mahluk dan pencipta. Sampai pada tingkatan ini, kerja kepenyairan menampakkan pandangan dunia (world view) penyair dan puisi yang dilahirkannya.
Tentu saja pandangan dunia setiap orang akan berbeda. Namun, tampaknya kepercayaan itu sendiri yang membuatnya sekaligus sebagai kerja intelektual. Di dalamnya terjadi proses panjang yang bermuara pada penafsiran tentang dunia yang centang-perenang ini. Tampaknya kegiatan berpuisi tidak menjadi sembarang kegiatan. Di dalamnya berlangsung pemilahan dan penyaringan sekaligus pembebasan kenyataan yang dihadapi penyair. Hal itu, paling idak, mula-mula berlaku dalam medan bahasa.
2.2 Posisi Bahasa dan Makna Kehadiran Puisi
Hal itu dengan bagus ditunjukkan oleh Malna, salah seorang penyair kontemporer terkemuka Indonesia. Dalam kolofon buku puisinya Dalam Rahim Ihuku Tak Ada Anjing (2002), ia menunjukkan kerja kepenyairan yang berhadapan dengan gejala bahasa yang mencengangkan sebagai alat komunikasi. Secara agak terang ia menyatakan pandangan dunianya sebagai penyair. Kepercayaannya itu berisi ketidakpercayaannya terhadap bahasa yang tidak dapat terelakkan dari muatan koruptif dan kekuasaan: "kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet" karena senantiasa melahirkan stereotip yang gampangan dan kejam.
la memberikan istilah praktik berbahasa sebagai ruang kata yang dibagi menjadi dua, yaitu ruang luar kata dan ruang dalam kata, seperti sebuah rumah. Ia mengatakan, "kata adalah representasi eksistensi ruang dalam pemahaman bahasa manusia." Ruang luar kata adalah bahasa yang dipakai sehari-hari sebagai sarana komunikasi yang sebenarnya dikuasai oleh berbagai relasi komunikasi yang saling berkaitan. Bagi Malna relasi itu adalah bentuk mitos dalam masyarakat kontemporer, pandangan stereotip, wacana, dan ideologi. Komunikasi manusia tidak bisa lepas dari relasi tersebut, yang justru digunakan untuk memantapkan pranata yang telah berlangsung dan mendominasi kehidupan masyarakat. Maka di sinilah, menurut Malna, lingkup posibilitas bahasa menjadi sosok kediktatoran terbentuk.
Lalu di manakah posisi puisi? Inilah yang menarik dari pandangan Afrizal. Ia menempatkan puisi sebagai hal yang boleh disebut "mahapenting" dalam bahasa manusia. Menurutnya, puisi berada dalam ruang “dalam kata”, seperti dalam sebuah rumah yang melindunginya dari pengaruh luar. Oleh karena itu, puisi cenderung bersifat pribadi dan subjektif, kadang-kadang juga terlalu menyembunyikan identitas atau maknanya.
Sebagai konsekuensinya, bahasa bisa bergerak dalam ruang kata (rumah) secara bebas dan personal sifatnya. Sebagai sebuah kreasi dari ruang yang bersifat pribadi dan subjektif, puisi mulai menemukan perannya yang cukup mencolok ketika ia "ke luar rumah" menjadi anggota masyarakat bahasa yang lebih banyak diramaikan oleh anggota masyarakat bahasa yang Jain, yaitu mitos, jargon, slogan, wacana, stereotip, dan ideologi. Di ruang pergaulan bahasa inilah bahasa ditandai oleh tujuan praktis dan pragmatis. Namun, dalam keadaan demikian kehadiran puisi bagai suara asing dan ganjil, dengan penampilan asing dalam pergaulan anggota masyarakat bahasa itu. Penampakannya begitu aneh karena ia mengelak dari konvensi yang lazim ditemukan, seperti orang asing, kata Malna.
Tentang perumpamaan bahasa sehari-hari dan bahasa puisi, penyair Prancis, Paul Valery (1871-1945) (dalam Lodge (ed.), 1972: 254-261), membuat analogi yang menarik. Gambarannya tentang penciptaan puisi sejajar dengan perumpamaan yang diberikan oleh Afrizal Malna. Valery mengatakan bahwa anugerah kemampuan berbahasa verbal bagi manusia itu sama halnya dengan seorang anak manusia yang memiliki anggota badan, seperti tangan dan kaki. Dalam pertumbuhan awalnya, seorang bayi mengalami dua macam perkembangan. Pertama-tama ia mulai menyadari bahwa ia memiliki anggota badan, seperti kaki dan tangan yang dalam perjalanan waktu dengan pelan-pelan ia gunakan untuk mulai berdiri dan berjalan, lalu berlari. Lebih dari itu, digerakkan oleh sesuatu yang ritmik, ia pun bisa melakukan gerakan tarian. Seiring dengan itu, ia pun mulai belajar mengucapkan kata-kata yang jelas maknanya sampai dengan meracau mengucapkan kata-kata yang mengandung misteri.
Menurut Valery, ini merupakan dua perumpamaan yang beriringan tentang bahasa biasa, seperti prosa, dengan bahasa puisi. Berjalan dan berlari adalah sama dengan kemampuan berbahasa dalam bentuknya yang umum, seperti bahasa verbal dalam komunikasi dan bahasa prosa. Sementara itu, menari sama dengan bahasa puisi. Keunikannya adalah keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu tulang, urat, dan daging yang sama, tetapi mengandung makna dan tujuan yang berbeda.
Berjalan dan berlari memiliki tujuan akhir yang sifatnya tertentu, yaitu mencapai suatu objek atau menimbulkan tindakan fisik lainnya. Bahasa dalam bentuknya yang umum, seperti bahasa lisan, memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai sesuatu, menghasilkan sebuah tindakan, dan tercapainya tujuan atau suatu akibat yang menggantikan makna kata-kata. Atau dalam analisis wacana, hal semacam itu dikenal dengan lokusi, ilokusi, dan perlokuși. Dengan demikian, kata-kata pun melenyap dan digantikan oleh tindakan praktis karena tercapainya tujuan.
Lain halnya dengan puisi yang diumpamakan dengan menari. Menari merupakan gerakan anggota tubuh yang berakhir pada gerakannya sendiri. Tidak ada hasil yang dicapai dalam tarian, kecuali sejenis kategori kesan dan makna yang terus direproduksi secara terus-menerus. Puisi pun demikian, puisi tidak berakhir seperti berakhirnya bahasa prosa atau tindak tutur untuk komunikasi. Bahasa puisi berujung pada dirinya sendiri, tetapi maknanya menyimpan semacam daya untuk diproduksi kembali oleh pembacanya, untuk kemudian Terus hidup. Dengan demikian, bahasa dalam puisi tidak melenyap dan digantikan oleh tindakan karena tercapainya suatu tujuan lahiriah. Padahal, baik prosa maupun pusi terbentuk dari bahan yang sama, kosakata yang sama, dan gramatika yang sama. Itulah hal yang membedakannya. Dengan menari, puisi menjadi bahasa yang terus hidup.
2.3 Pandangan Malna terhadap "Kata"
Bagi Malna, hal yang menarik dalam proses kreatifnya adalah persoalannya dengan kata, yaitu kata sebagai unit tekstual yang terpenting dalam penulisan puisi. Tampaknya ia berangkat bukan dari bagaimana ia menciptakan imaji ganjil dalam puisi melalui kata, tetapi yang sebaliknya adalah bagaimana kata itu menciptakan imajinya bagi suasana yang dirangkaikan oleh kata itu sendiri
Seperti telah disebutkan, pandangan dunia (world view) seorang pengarang bagi penyair menjadi titik tolak terbentuknya apa yang penulis sebut dengan 'roh puitik' dari sang penyair. Pandangan dunia ini bisa juga disebut sebagai sebuah kredo atau kepercayaan yang dipegang oleh seseorang tentang sesuatu. Sebagaimana kita ketahui, beberapa penyair malah menyebutkan semacam kredo tadi, misalnya penyair Sutardji Carzoum Bachri yang mengeluarkan kredonya tentang bahasa puisi bahwa puisi yang diusungnya membebaskan kata dari beban makna. Akan tetapi, pada proses kreatifnya, Sutardji mengalami pergeseran dari kredo awalnya yang mustahil untuk membebaskan kata dari makna, menuju permainan kata-kata yang lebih bersifat lirikal dalam puisinya akhir-akhir ini.
Berlainan dengan Sutardji, tampaknya, pada Malna hal ini kurang mengalami pergeseran kredo. Jika Sutardji berangkat dari kata, Malna berangkat dari tataran bahasa kemudian ia menukik pada kata. Maksudnya adalah perbedaan antara Sutardji dan Malna terletak pada pemahaman dan kepedulian mereka pada makna sebuah 'kata'. Bagi Sutardji, kata dilesapkan ke dalam bentuk yang mistik serta permainan antarkata yang mengalami bentuk pengulangan imaji dan bunyi. Secara semiotis, puisi sernacam itu memainkan bentuk tipologi dan permainan bunyi. Akan tetapi, bagi Malna, kata tetaplah hadir dalam sebuah pengertian yang semestinya dihubungkan dengan kata lain hingga terbentuk sebuah konstruksi kalimat. Kata tetap memiliki arti atau makna dengan membedakannya dari kata yang lain. Hanya saja, bagi Malna, kata tidak mesti memiliki hubungan dengan kata lain secara logis. Makna satu unit kata itu ada, tetapi tidak bisa dipastikan dalam sebuah kalimat. Barangkali Sutardji mengembalikan kata ke dalam apa yang mungkin disebut dengan pelesapan makna ke dalam. Konsekuensinya adalah seperti sebuah bahasa mantra atau menyerupai bahasa mantra yang memiliki otonomi sendiri dalam dunianya. Sebaliknya, Malna melakukan 'penonjolan kata' ke luar sehingga sebuah kata menjadi terbuka. Keterbukaan ini diiringi dengan adanya konstruksi kalimat sebagaimana puisi lirik, yaitu adanya hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
2.4 Diksi dan Citraan Benda sebagai Permainan Semiotis Puisi Malna
Benda dalam berbagai gunanya bagi manusia memiliki hubungan yang kadang-kadang kompleks. Hubungan itu meliputi hakikat benda sekitar sebagai alat yang diciptakan Tuhan bagi manusia ataupun sebagai hasil ramuan keterampilan dan akal budinya untuk diolah menjadi alat yang memudahkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin inilah yang dimaksudkan sebagai teknologi secara sederhana. Namun, lebih jauh lagi, hal yang menjadikan benda di sekitar kita, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, yang menarik perhatian kita adalah soal keberadaan benda, cara benda itu mengada, dan memiliki makna bagi manusia. Meskipun sebagai benda yang pasif dan tidak memberikan nilai praktis, membantu kehidupan manusia, benda-benda alam dan sintetis tetap memiliki makna reflektif bagi kehidupan dan pemaknaan manusia sehari-hari. Pada tahap ini benda berlaku sebagai sumber fungsi semiotis yang dapat digali dan dikembangkan menjadi jalinan makna dalam pikiran pengamat, yakni penyair dan pembacanya.
Sebagai mahtuk semiotis, benda mengalami pembebanan makna oleh kegiatan manusia sendiri. Keberadaan benda di tengah kehidupan manusia memperoleh makna melalui citraan yang dibentuk secara intrusik oleh benda itu ataupun oleh kegiatan manusia sebagai citraan ekstrinsiknya. Dalam dunia dan pikiran manusia, hal itu merupakan proses benda menjadi penanda yang teranyam dalam pikiran manusia yang dibentuk oleh struktur bahasa.
Bagi Malna, yang membentuk bangunan puitik dalam puisinya adalah diksi dan citraan benda sebagai permainan semiotik yang cenderung bebas. Perhatikan puisi Malna berikut ini.
-
Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
-
Bicara lagi suara nenek moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku. Bicara lagi kursi penggorenganku, tembakauku, tamuku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku...pisauku (Malna,1999: 40).
Sulit untuk memastikan dan menangkap secara pasti apa dimaksudkan oleh sajak Malna tersebut. Personifikasi yang yang dilekatkan oleh Malna mengisyaratkan kecenderungan sebagian besar puisinya yang berbasiskan permainan citraan benda yang tidak umum kita temukan dalam khazanah perpuisian Indonesia. Baginya, puisi adalah sebuah gagasan yang mewakili ciri kehidupan yang menguasai masyarakat tempat gagasan itu hidup dan dalam hal ini tidak terkecuali terhadap penyairnya sendiri. Hal terbesar yang mendedahkan puisi-puisi Malna sebagai teks terbuka adalah kehidupan kota. Kehidupan kota merupakan lokus kehidupan urban yang penuh kontradiksi dan, terutama ditandai oleh kebisingan yang tidak akan menemukan apa yang disebut sebagai harmoni dan keteraturan.
Hal itu dilekatkan dengan sifat kehidupan urban Kota Jakarta yang di luar pandangan Malna dan puisinya sendiri memang mengandung anomali, paradoks, dan tragik yang terus berlanjut, seperti rentang jurang kemiskinan dalam jaring struktural dan kemakmuran yang sangat lebar, tetapi sangat dekat berdampingan dengan kenyataan. Kehidupan kota metropolitan, seperti Jakarta, merupakan tempat berlangsungnya keruwetan, kesimpangsiuran, kebisingan, kepadatan, silang-menyilang lalu lintas segala macam kepentingan yang kuat dan lemah, keterputusan atau semacam diskontinuitas yang dipahami dalam wacana modernisme. Pada akhirnya, citra kota merupakan tumpukan dan permainan semiotis yang liar, melompat-lompat, dan berpindah-pindah bagaikan idapan skizofrenik.
- Manajemen Kota dari Telur Busuk
- Ada kardus di depan pintu, pedagang rokok, gedung tinggi 28 lantai di seberang jalan itu. Billboard terbuat dari kaki-kaki kuda yang berlari-lari dalam mulut Amerika feel very sorry, something must be wrong with their head!!! He..he.. bis ber AC dan sebuah salon untuk kecantikan mobil. Aku telah membayar pajak lewat hembusan nafas di sebuah bank tadi pagi, biaya sampah dan keamanan kota. Kenapa dia ada di mana-mana. Cheers. Anggaran kota, seperti kambing dan bebek yang meledak dalam tenggorokanmu. Sekarang, do something for the village, hik (Malna, 2002: 12).
Diksi material kota dan benda-benda urban memang menguasat puisi Afrizal Malna dengan teknik penulisan yang mengandaikan proses pencitraan kota dan manusianya yang ramai dongan mozaik serta fragmen kejadian yang dilekatkan dengan benda sehingga memperoleh suatu bentuk instalasi. Puisinya merupakan instalasi benda dengan bentuk teks yang tertulis (Nurrohmat 2003). Dengan kata lain, puisinya juga merupakan instalasi kata yang dicomot dari berbagai sumber yang keras dan sekumpulan diksi yang menandakan kreativitas kemajuan manusia. Paling tidak, diksi dalam puisinya merupakan penampakan dan representasi saling-silang wacana serta ideologi dan mitos masyarakat yang telah termodernisasi. Dalam pembacaan puisi jenis itu, risiko yang dihadapi adalah pertanyaan bagaimana secara semiotis puisi Malna dimaknai?
Seperti dimaklumi oleh Nurrohmat (2003), sebagai bentuk instalasi kata, puisinya tidak bisa terhindar dari sifat yang kadang absurd dan keluar dari tataran semantis yang normal. Hubungan antara satu kata dan kata yang lain kadang tidak memiliki hubungan makna yang lazim dan logis. Tampaknya hal itu merupakan strategi permainan yang diciptakan secara sintagmatis. Hubungan kata dan frasanya sering merupakan bentuk substitusi yang mencengangkan.
2.5 Membaca Dadaisme dalam Puisi Malna
Dalam kumpulan puisi Arsitektur Hujan (1995) terdapat sajak paling singkat Malna yang berjudul Chanel OO. Sajak ini tergabung dalam kelompok puisi Membaca Kembali Dada yang terdiri dari Dia Hanya Dada, Dada, Chanel OO, Arsitektur Hotel, Lembu yang Berjalan. Diksi dada bukanlah sebuah diksi yang biasa kita dengar sebagai sapaan dada, atau ″selamat tinggal″, tetapi dalam hal ini dada merujuk pada gerakan seni yang lahir di Zurich, Swiss pada tahun 1916 yang disebut dengan dadaisme.
Andre Breton mendefinisikan dadaisme ″adalah suatu situasi pemikiran ...dada adalah pemikiran bebas artistik ...dada sendiri tak mempunyai arti apa-apa″ (dikutip dari situs www.comil.music.uiuc.edu/projects/EAM/ dadaism/html.). Dada pun dikatakan tidak terdefinisikan karena tujuan dada adalah terutama menghindar dari pelabelan dan pelegitimasian yang, mapan. Secara menggelikan, ″dada″ hanyalah kata main-main yang dicomot dari bahasa Prancis untuk kata 'kuda mainan anak-anak. Gerakan ini berawal dari sebuah pembukaan Cabaret (café) Voltaire oleh Hugo Ball. Tetapi tidak berapa lama kemudian, terdapat pula seniman lain bersama Ball, seperti Emily Hennings, Tristan Tzara, Marcel dan Georges Janco, Jean Arp, dan Richard Heurlsenbeck, yang mulanya tidak memaksudkannya sebagai sebuah gerakan, akhirnya mengeluarkan sebuah manifesto yang dipelopori oleh Ball pada tanggal 14 Juli 1916:
- Dada ini dalam lingkup dimensi internasional dan berusaha menjembatani perbedaan,
- Dada berusaha menjembatani perbedaan, bersikap antagonistik terhadap masyarakat yang mapan dalam tradisi avant-garde, tradisi bohemian dalam tubuh masyarakat borjuis, dan
- Dada merupakan tendensi baru dalam seni yang berusaha mengubah sikap dan praktik konvensional dalam estetika, masyarakat, dan moralitas" (www.comil.music.uiuc.edu/projects/EAM/ dadaism/html.).
Beberapa kritikus mengatakan bahwa sajak dadaisme ala Malna bahkan mendekati suatu nihilisme total dan kekosongan makna Ironi dari ekspresi seni atau puisi dada seolah merayakan kekosangan dan ketidakhadiran makna yang pasti. Akan tetapi, bentuk komunikasi puisi ala dadaisme adalah semacam perolehan dan pengaruh arus besar pemikiran dari kegagalan dunia modernisme. Bentuk komunikasi dadaisme ini berada dalam kerangka kekacauan pengucapan, menyerang nilai keteraturan estetika dan absolutisme yang dihasilkan dari kekuasaan klaim rasionalitas. Inti dari semua ini adalah penolakan.
Dalam latar belakang berdirinya gerakan itu dapat dilacak dengan jelas bahwa dadaisimme adalah reaksi terhadap situasi keyoncangan Eropa dan dunia yang terjadi menyusul pecahnya Perang Dunia . Perang tersebut adalah momentum dimulanya perlombaan hasil kemajuan dunia modern yang dipandang sebagai karnaval perayaan penggunaan mesin pembunuh masal umat manusia. Kehebatan teknologi itu Dengan kata lain, puisinya juga merupakan instalasi kata yang dicomot dari berbagai sumber yang keras dan sekumpulan diksi yang menandakan kreativitas kemajuan manusia. Paling tidak, diksi dalam puisinya merupakan penampakan dan representasi saling-silang wacana serta ideologi dan mitos masyarakat yang telah termodernisasi. Dalam pembacaan puisi jenis itu, risiko yang dihadapi adalah pertanyaan bagaimana secara semiotis puisi Malna dimaknai?
Seperti dimaklumi oleh Nurrohmat (2003), sebagai bentuk instalasi kata, puisinya tidak bisa terhindar dari sifat yang kadang absurd dan keluar dari tataran semantis yang normal. Hubungan antara satu kata dan kata yang lain kadang tidak memiliki hubungan makna yang lazim dan logis. Tampaknya hal itu merupakan strategi permainan yang diciptakan secara sintagmatis. Hubungan kata dan frasanya sering merupakan bentuk substitusi yang mencengangkan.
2.5 Membaca Dadaisme dalam Puisi Malna
Dalam kumpulan puisi Arsitektur Hujan (1995) terdapat sajak paling singkat Malna yang berjudul Chanel OO. Sajak ini tergabung dalam kelompok puisi Membaca Kembali Dada yang terdiri dari Dia Hanya Dada, Dada, Chanel OO, Arsitektur Hotel, Lembu yang Berjalan. Diksi dada bukanlah sebuah diksi yang biasa kita dengar sebagai sapaan dada, atau "selamat tinggal", tetapi dalam hal ini dada merujuk pada gerakan seni yang lahir di Zurich, Swiss pada tahun 1916 yang disebut dengan dadaisme.
Andre Breton mendefinisikan dadaisme "adalah suatu situasi pemikiran ...dada adalah pemikiran bebas artistik ...dada sendiri tak mempunyai arti apa-apa" (dikutip dari situs www.comil.music.uiuc.edu/projects/EAM/dadaism/html.). Dada pun dikatakan tidak terdefinisikan karena tujuan dada adalah terutama menghindar dari pelabelan dan pelegitimasian yang mapan. Secara menggelikan, "dada" hanyalah kata main-main yang dicomot dari bahasa Prancis untuk kata 'kuda mainan anak-anak'. Gerakan ini berawal dari sebuah pembukaan Cabaret (café) Voltaire oleh Hugo Ball. Tetapi tidak berapa lama kemudian, terdapat pula seniman lain bersama Ball, seperti Emily Hennings, Tristan Tzara, Marcel dan Georges Janco, Jean Arp, dan Richard Heurlsenbeck, yang mulanya tidak memaksudkannya sebagai sebuah gerakan, akhirnya mengeluarkan sebuah manifesto yang dipelopori oleh Ball pada tanggal 14 Juli 1916:
- Dada ini dalam lingkup dimensi internasional dan berusaha menjembatani perbedaan,
- Dada berusaha menjembatani perbedaan, bersikap antagonistik terhadap masyarakat yang mapan dalam tradisi avant-garde, tradisi bohemian dalam tubuh masyarakat borjuis, dan
- Dada merupakan tendensi baru dalam seni yang berusaha mengubah sikap dan praktik konvensional dalam estetika masyarakat, dan moralitas" (www.comil.music.unuu edu/projects/EAM/ dadaism/html.).
Beberapa kritikus mengatakan bahwa sajak dadaisme ala Malna bahkan mendekati suatu nihilisme total dan kekosongan makna. Ironi dari ekspresi seni atau puisi dada seolah merayakan kekosongan dan ketidakhadiran makna yang pasti Akan tetapi, bentuk komunikasi puisi ala dadaisme adalah semacam perolehan dan pengaruh arus besar pemikiran dan kegagalan dunia modernisme. Bentuk komunikasi dadaisme berada dalam kerangka kekacauan pengucapan, menyer nilai keteraturan estetika dan absolutisme yatıg dihasilkan dapet kekuasaan klaim rasionalitas. Inti dari semua ini adalah penolakan.
Dalam latar belakang berdirinya gerakan itu dapat dilacak dengan jelas bahwa dadaisme adalah reaksi terhadap situasi kegoncangan Eropa dan dunia yang terpaling pecahnya Perang Dunia I. Perang tersebut adalah untuk dimulainya perlombaan hasil kemajuan dunia modern yang dipandang sebagai karnaval perayaan penggunaan pembunuh masal umat manusia. Kehebatan teknologi menampilkan sisi gelap tragedi kemanusiaan yang diwakili oleh mekanisasi mesin penghancur massal, seperti pesawat terbang, senjata api, tank, senjata biologi, gas beracun oleh sisa-sisa kekuatan imperialisme tradisional, yaitu Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Rusia, dan Jepang (Apignasesi, et all. 1999: 32). Tampaknya kesinisan nihilisme terus berlangsung dan masih memperlihatkan pengaruhnya sampai sekarang dalam irama yang masih sama, tetapi dalam artikulasi yang memilih diksi yang diambil atau tepatnya dicomot dari kondisi futuristik dan idiom pascamodernisme. Perhatikan sebuah bentuk puisi dada dari Tristan Tzara berikut ini.
- DADA adalah sebentuk mikroba perawan
- DADA menentang tingginya biaya hidup
- DADA terbatas bagi ledakan gagasan menurut jenis kelamin presiden
-
Ia mengubah - menguatkan - sebutlah sekaligus sebaliknya - tak berguna-sahutan - pergi memancing ikan.
-
Dada adalah bunglon perubahan yang cepat dan asik dengan diri sendiri Dada melawan masa depan. Dada pun mati. Dada pun absurd. Hidup dada.
- Dada bukan aliran sastra, kehampaan.
Atau yang satu ini
- Inilah lagu seorang dadais
- Yang punya dada di hatinya
- ia mempreteli motornya
- ia dulu punya dada di hatinya
- (Tzara dalam www.bergen.org/AAST/dadaism/html)
Puisi Malna juga tidak jauh berbeda aliran dari anarkisme puísi kaum dadais, seperti kutipan berikut ini.
- Dia hanya dada yang ingin mengatakan hujan
- Membawa lelaki di antara kenangan muda
- Dia tak mau lihat bayangan berlalu
- Dengan pensil menggambar wajah kekasih...
("Dia Hanya Dada", Arsitektur Hujan, 1995).
Nada yang sama juga ditampilkan oleh Malna dalam beberapa puísinya. Namun, menurut seorang kritikus, ia tidaklah "separah" kaum dadais yang memuja nihilisme total dan anarkis, ia masih memberikan ruang komunikasi kepada pembacanya (Fadlillah, 2003: 130-1).
Komunikasi yang berlangsung dalam gerakan seperti itu tidak dapat ditangkap dalam acuan yang jelas terhadap puisi itu sebagai teks yang menghadirkan sebuah totalitas makna. Dengan kata lain, tidak ada acuan estetika atau moral yang baku di dalamnya sebab diksi dada sendiri merujuk kepada ketidakpastian dan ketidakhadiran makna (logos) yang jika dilihat dari sisi gramatikal tidak menciptakan makna melalui alur pikiran yang teratur.
Hal itu juga tidak lepas dari tujuan gerakan dada dalam seni, termasuk puisi, yaitu antiestetika, antilogika, dan mendekati nihilisme dan memandang segala sesuatu secara longgar. Akan tetapi dada bukan pula sesuatu yang tidak mempunyai konsep. Dalam puisi dada, yang terpenting dan yang menjadi bahasa dalam puisi itu adalah aspek performansnya. Menurut Kurt Schiwitters, salah seorang tokoh dadaisme, komunikasi puisi dada terjadi sebagai bahasa ketika apa pun aspek suara dan ataupun teks dapat diolah sebagai material untuk menjadi sebuah pertunjukan (dikutip dari situs www.comil.music.uiuc.edu/projects/EAM/ dadaism/html.). Jadi, ini merupakan pengkonkretan kata, yang dalam seni rupa disebut instalasi benda. Dalam penampilan itu kata mengalami transformasi dari teks menjadi bahasa ruang. Mungkin juga dalam kasus kebahasaan, puisi Malna yang tergolong dada atau bukan memperoleh gambaran jawaban bagaimana bentuk bahasa yang dikonkretkan dalam sebuah pertunjukan seni. Akan tetapi, apakah kemungkinan refleksi makna dan permainan semiotika terdapat juga dalam puisi-puisi seperti itu? Jawaban pertanyaan itu tergantung pada sudut pandang untuk menganalisisnya.
Harry Aveling mencatat sebuah kritik yang kritis oleh Sarah Mazim dan Linda Owens dalam kata pengantar buku Selected Poems: Afrizal Malna bahwa puisi seperti dari Malna itu tidak selalu dapat dipahami oleh pembacanya karena acuan dan tujuan pembacaannya adalah "untuk mencari makna yang jelas dan pesan-pesan moral" yang standar (Aveling, 2003: 193). Dengan pilihan diksinya yang cenderung dadais, Aveling mengatakan bahwa Malna tetaplah seorang simbolis, tatapi menempuh estetika jalur lain "dengan memilih imaji kota, bukan lanskap pedesaan di malam hari, sungai, dan pohon." Kritikus tersebut juga menganggap bahwa nuansa puitik dan gaya Malna terbentuk dari temanya yang tidak jauh di seputar "pelukisan dunia modern dan kehidupan urban pada pertunjukan objek material dari lingkungan tersebut" (Aveling, 2003: 193).
Pada akhirnya, puisi dada ala Malna tidak selalu menyuarakan ketiadaan makna. Sebab, ada motif dan mitos lain yang ingin disampaikannya sebagai sebuah karya seni. Seperti telah dikemukakan, pertama, Malna dengan gamblang mengemukakan pandangannya mengenai medan bahasa yang diletakkan dalam metafor 'ruang dalam dan ruang luar rumah bahasa'. Kedua, ia memang menganut semacam ketidakpercayaan pada bahasa sebagai alat komunikasi. Hal itu sejalan dengan pandangan bahwa bahasa merupakan tempat atau lokus dijalankannya kekuasaan dan karena itu bahasa tidak netral. Ketiga, kata merupaka unit terkecil permainan semiotika dalam puisinya. Dengan itu pula ia menciptakan pembenaran bagi penjelajahan estetikanya (Malna 1999, 2002). Dan terakhir, sebagai permainan yang tidak pasti dalam bahasa puisinya, puisinya menjadi teks yang terbuka, yang terus hidup di benak pembaca dan dengan demikian akan menciptakan teks yang lain lagi.