Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 010/PUU-IV/2006
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
PANITERA PENGGANTI
PUTUSAN
Nomor 010/PUU-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), yang diajukan oleh:
Masyarakat Hukum Indonesia (MHI), berkantor di Jalan. Bunga Nomor 21 Matraman, Jakarta Timur 13140. Dalam hal ini diwakili oleh Direktur Eksekutifnya bernama A.H. WAKIL KAMAL, S.H., Tempat tanggal lahir Sumenep, 07 Juni 1971, Agama Islam, Pekerjaan Advokat, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat di Jalan Bunga No. 21, Matraman, Jakarta Timur 13140, Telp. (021) 8583033, Hp 08179876669, e-mail infomhi@yahoo.com;
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------------------------- PEMOHON;
Telah membaca surat permohonan Pemohon;
Telah mendengarkan keterangan Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti;
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian UU KPK terhadap UUD 1945 dengan surat permohonannya bertanggal 15 Mei 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Selasa, 16 Mei 2006 dengan registrasi perkara Nomor 010/PUU-IV/2006. Permohonan tersebut oleh Pemohon telah diperbaiki dengan surat permohonan bertanggal 13 Juni 2006 dan disampaikan
� melalui Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa tanggal 13 Juni 2006, yang mengemukakan sebagai berikut:
A. Pendahuluan
1. Bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dikategorikan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Bahwa Pemohon, Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) sejak berdirinya, concern terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini terakhir dibuktikan, Pemohon telah melaporkan kasus yang masih aktual, yaitu dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sekertaris Kabinet Sudi Silalahi berkaitan dengan katebelece renovoasi gedung KBRI di Seoul yang dikenal dengan �SUDIGATE� itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, akan tetapi kasus yang sudah terang benderang ini tidak ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan yang tidak jelas; 2. Berawal dari ketidak-percayaan Pemohon terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, hal mana sejak terbentuknya sampai saat ini, tidak ada sesuatu yang luar biasa yang dihasilkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksananakan tugas dan fungsinya. Terlalu besar harapan Masyarakat terhadap lembaga ini, kenyataannya masyarakat harus kembali menelan pil pahit kekecewaan atas kinerjanya. Bahkan tindak pidana korupsi semakin marak di Indonesia, dibuktikan dari hasil penelitian beberapa lembaga internasional yang kredibel, masih menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia; 3. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan berfungsi secara efektif dan efesien, karena lembaga pemerintah baik kepolisian maupun kejaksaan dipandang kurang mampu memberantas tindak pidana korupsi. Faktanya masyarakat menilai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi setelah berjalan kurang lebih dua setengah tahun tidak lebih baik dibandingkan dengan kinerja kepolisian maupun kejaksaan. Selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi hanya mampu menangkap koruptor kelas teri, dan tidak punya nyali menangkap koruptor kelas kakap. Dengan tidak
� ditindaklanjutinya kasus-kasus korupsi yang besar seperti halnya pemeriksaan terhadap kekayaan keluarga Cendana, kasus dugaan kuat penyuapan dalam penjualan tank Scorpion Inggris ke Indonesia yang diduga melibakan Tutut putri sulung Soeharto, kasus-kasus di lingkaran Istana Presiden seperti kasus �Sudigate� atau kasus dugaan korupsi percetakan dokumen kependudukan yang melibatkan Menteri Dalam Negeri M. Ma�ruf, kasus-kasus para penjahat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), berlarut-larutnya penyelesaian kasus KPU, dugaan penyelewengan dana tsunami Aceh yang berjumlah triliunan yang dilansir oleh BPK RI dan lain sebagainya, menunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuka hati untuk memeriksa kasus-kasus korupsi. Bahkan cederung tebang pilih dalam penanganan perkara, sehingga citra dan wibawa lembaga ini hancur serta kepercayaan masyarakat sudah sampai pada titik nadir. Apa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi; 4. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi secara kelembagaan bersifat independen, namun masyarakat menilai pimpinan komisi saat ini diisi oleh orang-orang yang diragukan kredibelitas, kapabilitas dan integritasnya. Justru pimpinan komisi ini dianggap tidak independen, karena secara individual mudah diintervensi oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Jika kepemimpinan komisi ini tidak mampu melahirkan pendekar-pendekar hukum berkualitas sekaliber Prof. DR. Baharuddin Lopa, SH, atau Jenderal Purnawirawan (Pol) Hoegeng (Allah yaharhuma), maka sudah tidak layak lagi �makhluk KPK� ini dipertahankan;
5. Dalam konteks itu, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak efektif dan efisien itu, secara hukum ketatanegaraan tidak jelas dan nyata- nyata bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Untuk itulah kami, Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) mengajukan Pengujian (Judicial Review) UU KPK tersebut;
Adapun hal-hal yang diajukan dalam permohonan hak uji materil ini adalah sebagai berikut :
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
� 1. Bahwa permohonan dengan mengatasnamakan kepentingan publik dikenal dalam doktrin hukum universal sebagai Organization Standing. Doktrin Organization Standing tidak hanya dikenal dalam doktrin, akan tetapi juga telah diadopsi dalam beberapa peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Lingkungan Hidup dan lain sebagainya. Bahkan dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa �Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya�. 2. Bahwa Pemohon merupakan wadah berkumpulnya para aktivis, kalangan akademisi dan praktisi hukum, orang-orang yang komitmen terhadap penegakan supremasi hukum, guna turut serta melakukan upaya pembangunan sistem dan penegakan hukum di Indonesia dan melakukan upaya advokasi serta melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan (vide Pasal 8 Akta Perubahan Anggaran Dasar); 3. Bahwa Pemohon di antaranya bertujuan untuk memperjuangkan dan mendorong pembaharuan sistem dan penegakan hukum, memberikan pembelaan terhadap masyarakat, menumbuhkan kesadaran hukum terkait dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia, meningkatkan kapasitas untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara dan meningkatkan kerjasama dalam mendorong pembaharuan sistem hukum dan penegakan hukum secara demokratis, serta bertujuan melakukan juga upaya-upaya hukum berupa legal standing atau judicil review (hak uji materil) terhadap keputusan maupun kebijakan pemerintah secara umum maupun lembaga- lembaga negara lainnya, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi, atau yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat (vide Pasal 9 Akta Perubahan Anggaran Dasar); 4. Bahwa Pemohon dalam Anggaran Dasarnya juga telah mencantumkan perwujudan tujuan organisasi, di antaranya dapat melaksanakan kegiatan untuk terlibat dalam melakukan upaya hukum baik berupa legal standing maupun judicial review (hak uji materil). Kegiatan ini jelas disebutkan dalam Akta Pendirian maupun Akta Perubahan Anggaran Dasar yang menyatakan perkumpulan ini dapat melakukan judicial review (hak uji materil). Bahwa demikian juga ditegaskan lagi bahwa Pemohon mempunyai hak mengajukan
� legal standing dan atau judicial review (hak uji materil) (vide Pasal 11 Perubahan Anggaran Dasar); 5. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemohon adalah subyek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hal mana Pemohon dapat dikategorikan sebagai �kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama� (vide Penjelasan Undang-undang tersebut atas ayat ini), karena Pemohon merupakan suatu perkumpulan yang terdiri dari kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu kepentingan mana tercermin dalam maksud dan tujuan perkumpulan sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar Pemohon tersebut. Namun demikian dalam beberapa pertimbangan hukumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI tidak dipermasalahkan apakah Pemohon merupakan badan hukum atau tidak; 6. Bahwa atas dasar itulah Pemohon mengajukan permohonan hak uji materil atas terbitnya UU KPK, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambaran Lembaran Negara Republik Indonesia 4250). UU KPK tersebut diyakini Pemohon telah bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sehingga Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnnya dirugikan oleh berlakunya UU KPK tersebut; 7. Bahwa hal-hal yang diyakini dan dianggap serta dinilai merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon akibat berlakunya UU KPK tersebut adalah sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon menilai adanya pertentangan UU KPK dengan prinsip- prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum. keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) menurut ketentuan dalam UUD 1945, yang mengakibatkan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan menjadi kacau, sehingga menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara terganggu disebabkan tidak adanya kepastian
� hukum dan jaminan keadilan bagi seluruh warga negara, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan jaminan keadilan terhadap hak-hak konstitusional Pemohon, sehingga sangat merugikan bagi kepentingan konstitusional Pemohon. Sedangkan UUD 1945 telah memberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan keadilan serta kesamaan di hadapan hukum kepada setiap warga negara, termasuk Pemohon. Dalam konteks ini telah ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan: �Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum�. b. Bahwa UUD 1945 memberikan jaminan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan dan perlindungan dari negara yang dijalankan oleh penyelenggara negara. Apabila tidak ada kepastian dan jaminan konstitusional dari kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara, maka sangat besar pengaruhnya terhadap Pemohon, hal mana sulit bagi Pemohon menghadapi pemerintahan yang berkuasa secara absolute dan menimbulkan kerugian akan keterlibatan Pemohon dalam pemerintahan untuk turut serta dalam pembangunan sistem hukum dan penegakan hukum dan dalam memberikan advokasi terhadap masyarakat di Indonesia; c. Bahwa demikian juga lahirnya UU KPK, meskipun bertujuan mulia untuk memberantas korupsi, akan tetapi secara yuridis telah bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) yang dianut dalam UUD 1945, mengakibatkan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan menjadi kacau, sehingga lebih merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, pengajuan permohonan ini juga adalah untuk memperjuangkan secara kolektif hak konstitusionalnya dalam pembangunan sistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia (vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945); d. Bahwa berdasarkan uraian pada huruf a, b, dan c di atas, jelas-jelas berlakunya UU KPK yang diyakini oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sangat merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional
� Pemohon, yaitu kepentingan bersama Pemohon yang tercermin dalam maksud dan tujuan yang termaktub dalam Anggaran Dasar Pemohon tersebut; e. Bahwa demikian juga Pemohon lahir dari rahim perjuangan reformasi �98, hal mana para pendiri Pemohon merupakan aktivis gerakan mahasiswa �98 yang melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru, yang salah satu agenda perjuangan reformasi adalah penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Justru lahirnya UU KPK sangat paradoks dan tidak sejalan dengan spirit perjuangan reformasi, karena UU KPK melahirkan lembaga negara yang absolut yang membuka peluang bagi munculnya otoritarianisme baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu UU KPK bertentangan dengan spirit dan paradigma UUD 1945 dan terbukti tidak mampu melakukan pemberantasan KKN, sehingga jelas-jelas hak konstitusional Pemohon dirugikan; f. Bahwa demikian juga Pemohon dan seluruh pengurus serta anggota- anggota Pemohon adalah warga negara yang taat membayar pajak, oleh karenanya hak-hak atau kepentingan konstitusional Pemohon jelas-jelas dirugikan, hal mana pajak yang dipungut oleh negara dibelanjakan dan dihambur-hamburkan untuk suatu lembaga yang bernama �KPK� yang terbukti tidak efektif dan efisien dalam melakukan pemberantasan korupsi serta lembaga itu nyata-nyata inkonstitusional dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945; g. Bahwa UU KPK lahir dengan tidak mencerminkan hak-hak konstitusional Pemohon, dimana masalah pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan UUD 1945 serta adanya pengakuan sebagai kekuasaan pemerintahan yang baru yang bersifat tak terbatas (absolute) sangat mempengaruhi dan merugikan Pemohon sebagai tempat berkumpulnya masyarakat yang peduli terhadap bangsa dan negara yang berdasarkan hukum ini; h. Bahwa telah terbukti Pemohon tidak mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum yang dijamin oleh UUD 1945, dengan diberlakukannya UU KPK tersebut, hal mana Pemohon sebagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap penegakan supremasi hukum, lebih-
� lebih dalam peran serta Pemohon sebagai kelompok masyarakat untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang dijamin oleh undang-undang (vide Pasal 41 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Peran serta Pemohon sebagai kelompok masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dibuktikan dengan keterlibatan Pemohon dalam kampanye anti korupsi, bahkan beberapa kali telah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Di antaranya, Pemohon pada tanggal 20 Pebruari 2006 telah mengirim surat kepada KPK dengan surat No. 10637/PIMP/ KPK/2/2006, melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sekertaris Kabinet Sudi Silalahi berkaitan dengan katebelece renovoasi gedung KBRI di Seoul yang dikenal dengan �SUDIGATE� itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, akan tetapi kasus yang telah terang benderang yang menjadi perhatian publik ini tidak ditindaklanjuti sama sekali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi seolah-seolah bertindak menjadi juru bicara dari Sudi Silalahi untuk memberikan klarifikasi bahwa tidak ada unsur pidana korupsi dalam kasus tersebut, hal mana bertolak belakang dengan banyak kalangan ahli hukum pidana dan aktifis anti korupsi yang menyatakan bahwa kasus �Sudigate� sudah terdapat bukti permulaan yang cukup. Seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi meneliti secara seksama dan segera melakukan upaya penyelidikan secara mendalam atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat itu. Lebih ironis lagi Pemohon tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi, di antaranya hak Pemohon untuk mendapatkan informasi atas perkembangan laporannya yang dijamin undang-undang (vide Pasal 41 ayat (2) huruf d UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), justru ditutup-tutupi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi cenderung diskrimnatif dan tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon sebagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi jelas-jelas mempunyai hubungan hukum langsung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai wujud kongkrit diberlakukannya
� UU KPK tersebut, sehingga Pemohon mempunyai kepentingan hukum (zonder belang het is geen rechtsingang) yang dianggap merugikan hak- hak kontitusional Pemohon, karena tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum serta keadilan yang dijamin oleh UUD 1945; i. Bahwa tidak hanya laporan Pemohon yang tidak diindahkan dan tidak ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ini, akan tetapi laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan masyarakat yang sampai saat ini sekitar 11.000 kasus tidak jelas perkembangannya, hanya sekitar 30-an perkara yang sampai ke pengadilan, itupun hanya korupsi kelas teri. Hal ini membuktikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak efektif dan efesien dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai wujud diberlakukannya UU KPK, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai diskriminatif dan tebang pilih, sehingga tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan keadilan serta jaminan prinsip kesamaan di hadapan hukum menurut ketentuan UUD 1945, yang pada akhirnya merugikan masyarakan pada umumnya, serta juga pasti merugikan hak konstitusional Pemohon; j. Bahwa demikian juga UU KPK telah dipahami selama ini bahwa penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Artinya tertutup kemungkinan bagi warga negara Indonesia di luar kepolisian dan kejaksaan untuk menjadi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (terutama diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU KPK), hal ini nyata-nyata paradoks dengan konsideran �Menimbang� huruf b UU KPK. Bahwa pembatasan pegawai penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi pemberantasan Korupsi, yang hanya dari kepolisian dan kejaksaan jelas-jelas sangat diskrimintif, sehingga jelas-jelas merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Konstitusi terutama dalam Pasal 28D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945;
8. Bahwa berdasarkan argumentasi dan ketentuan hukum di atas, maka jelaslah Pemohon mempunyai kedudukan hukum dan dasar kepentingan untuk
� mengajukan Permohonan Pengujian UU KPK tersebut, karena mengandung muatan dan paradigma yang bertentangan dengan ketentuan UUD 1945;
C. Landasan Hukum Permohonan Hak Uji Materil
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan �Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan meliter, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�.
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan �Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum �.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, kemudian lebih lanjut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU. Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi �Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : (a) menguji undang-undang tehadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; ��.
4. Bahwa meskipun UU KPK terlebih dahulu diundangkan, berdasarkan Pasal 50 UU. Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, permohonan pengujian tetap dapat dilakukan terhitung sejak terjadinya perubahan UUD 1945 pada tahun 1999. Bunyi selengkapnya Pasal 50, UU Nomor 24 Tahun 2003 �Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang- undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�.
Penjelasan Pasal tersebut adalah �Yang dimaksud dengan �setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945� adalah perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999�.
� 5. Bahwa bahkan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi RI, justru Mahkamah Konstitusi RI juga berwenang menguji undang-undang yang lahir sebelum perubahan UUD 1945. Oleh karena objek permohonan adalah UU KPK, maka berdasarkan landasan hukum yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi RI berwenang memeriksa dan mengadili permohonan ini;
D. Alasan-Alasan Hukum Diajukan Permohonan Pengujian (Judicial Review) UU KPK Adalah Sebagai Berikut: 1. Bahwa paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (constitution), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur) adalah adanya pembatasan kekuasaan secara jelas dan tegas. C.H Mellwain dalam Constitusionalism : Ancient Modern (1947) menghendaki eksistensi dua elemen penting sekaligus : pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan, kedua akuntabilitas sepenuhnya dari pemerintahan (goverment) kepada yang diperintah (governed). A. Hamid S. Attamimi (1990) dalam desertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau undang-undang dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan. Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan di dalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki. Istilah ini dikenal dengan pengakuan akan kedaulatan rakyat; 2. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4 menegaskan �.�., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat�.� Kemudian bunyi Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar;
� 3. Bahwa Negara Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtstaats) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machtstaats). Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Bahkan dalam Perubahan UUD 1945 lebih tegas lagi, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut �Negara Indonesia adalah Negara Hukum�; 4. Bahwa namun demikian dalam perjalanannya, prinsip negara hukum banyak disempitkan pemahamannya oleh pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, hingga orde masa kini. Pandangan sempit tersebut terdapat pada pemahaman negara hukum hanya berdasarkan pada undang-undang tanpa peduli dengan subtansinya. Penguasa tidak memikirkan apakah suatu undang-undang itu memberikan pengayoman terhadap masyarakat, mencerminkan keberagaman, demokrasi, dan sesuai dengan UUD 1945. Sehingga wajar selama ini telah banyak masyarakat yang menjadi korban penguasa yang hanya menjalankan negara berdasarkan undang-undang. penguasa menjalankan kekuasaannya tidak melihat prinsip-prinsip negara hukum yang sebenarnya; 5. Bahwa ada unsur-unsur penting di dalam pemahaman negara hukum, (1) Hak Asasi Manusia, (2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan (4) Peradilan Administrasi. Uraian konsep Negara Hukum ini terdapat dua subtansi dasar yaitu : adanya paham konstitusi dan sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat; 6. Bahwa landasan dan spirit negara hukum dalam arti materiil itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbangkan dua kepentingan ataupun landasan, ialah kegunaannya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Oleh sebab itu adalah suatu kewajiban bagi penyelenggara negara untuk senantiasa tunduk kepada kedua asas tersebut dalam menentukan sebuah kebijakan maupun keputusan; 7. Bahwa konsep negara hukum dan negara demokrasi yang lahir sebagai saudara kembar menyusul zaman Renaissance di Eropa telah membawa prinsip pemisahan kekuasaan ke dalam organ-organ tersendiri yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif, kemudian dikenal dengan ajaran Trias Politica yang pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
� yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya; 8. Bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Perubahan tersebut dilatarbelakangi tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 yang menghendaki untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances system yang setara dan seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Perubahan mana telah menggeser paradigma pembagian kekuasan (distribution of powers) ke paradigma pemisahan kekuasaan secara jelas dan tegas (separation of powers) dengan prinsip perimbangan kekuasaan (checks and balances system); 9. Bahwa walaupun demikian terlepas dari sebagian ahli hukum masih beranggapan bahwa Indonesia sesudah amandemen UUD 1945 masih menganut pembagian kekuasaan, maka Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal kostitusi (the Guardian of Constitutions) dan sebagai penafsir konstitusi (the Interpreter of Constitutions) sepatutnya memberikan penafsiran dan pemahaman apakah UUD 1945 sesudah Perubahan masih menganut paradigma pembagian kekuasan (distribution of powers), ataukah sudah bergeser ke paradigma pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan prinsip perimbangan kekuasaan (checks and balances system)? Namun menurut hemat Pemohon, UUD 1945 sesudah perubahan telah menganut paradigma pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan prinsip perimbangan kekuasaan (checks and balances system). Andaipun UUD 1945 sesudah perubahan masih menganut paradigma pembagian kekuasaan (distribution of power) tetaplah UU KPK dinilai oleh Pemohon bertentangan denga spirit dan paradigma UUD 1945;
� 10. Bahwa dari segi kelembagaan menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD 1945. Kedelapan organ tersebut adalah (1) Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Dewan Perwakilan Daerah; (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (4) Badan Pemeriksa Keuangan; (5) Presiden dan Wakil Presiden; (6) Mahkamah Agung; (7) Mahkamah Konstitusi; (8) Komisi Yudisial. Di samping kedelapan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenangan dalam Konstitusi, yaitu (1) Tentara Nasional Indonesia; (2) Kepolisian Republik Indonesia; (3) Pemerintah Daerah; (4) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangannya akan diatur dengan undang-undang, yaitu (1) bank sentral yang tidak disebut namanya �Bank Indonesia�, dan Komisi Pemilihan Umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum merupakan lembaga- lembaga independen yang mendapatkan kewenangan dari undang-undang (Jimly Asshiddiqie : 2004). Dengan demikian dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah kostitusi (constitutionally entrusted power) dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Meskipun demikian kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah undang-undang haruslah didudukkan dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945, agar tidak mengacaukan sistem ketatanegaran kita serta lebih menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power); 11. Dalam konteks itu, UUD 1945 telah memberikan kewenangan konstitusional yang terbagi habis ke dalam beberapa kekuasaan yang terdiri dari : kekuasaan eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden, kekuasaan legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstirusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) dan kekuasaan eksaminatif oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK);
� 12. Bahwa berdasarkan prinsip tersebut, maka tidak ada kekuasaan lain selain Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, KY dan BPK yang diatur dalam UUD 1945. Meskipun ada lembaga negara lainnya itupun tidak lepas dari kepentingan salah satu kekuasaan tersebut, misalnya Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemilihan Umum maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang berfungsi membantu kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan; 13. Bahwa kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diatur dalam UU KPK telah menjadi sebuah lembaga yang absolut (mempunyai kekuasan tak terbatas) yang tidak diimbangi dengan sistem pengawasan dan sistem pertanggungjawaban yang jelas. Nyata-nyata hal ini sangat bertentangan dengan prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system). UUD 1945 telah menjelaskan bahwa rakyatlah yang memegang kedaulatan berdasarkan konstitusi dan negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya akan dibahas ketentuan-ketentuan UU KPK yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut dibawah ini; 14. Bahwa dalam konsideran �Menimbang� huruf b, UU KPK ditegaskan �bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi�; a. Berdasarkan konsideran di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud prasa �lembaga pemerintah� adalah kepolisian dan kejaksaan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepolisian dan kejaksaan dinilai oleh pembentuk undang-undang belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Prasa �belum� dapat dipahami bahwa kepolisian dan kejaksaan diharapkan suatu saat berfungsi secara efektif dan efesien. Jika suatu saat kepolisian dan kejaksaan masih diharapkan berfungsi secara efektif dan efisien, seharusnya tidak perlu membentuk lembaga baru, jadi tidaklah bijaksana membentuk lembaga baru itu. Justru, yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan dan restrukturisasi lembaga kepolisian dan kejaksaan, di antaranya dengan
� akselerasi peningkatan sumber daya manusia agar lebih profesisonal yang didukung oleh anggaran yang memadai atau dengan mengganti pimpinan kedua lembaga tersebut dengan pimpinan yang lebih mempunyai keberanian, integritas tinggi, dan lebih profesional; b. Bahwa paradoks, mengapa justru sebagian yang menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah mantan polisi dan mantan jaksa, hal mana dalam konsideran �Menimbang� huruf b, UU KPK di atas dianggap lembaga kepolisian dan kejaksaan belum berfungsi secara efektif dan efesien? Seharusnya kalau konsisten dengan konsideran �Menimbang� huruf b UU KPK tersebut di atas, maka pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sama sekali tidak dijabat oleh mantan polisi dan mantan jaksa agar pemberantasan korupsi efektif dan efesien, apalagi diragukan kredibelitas, integritas dan kapabilitasnya. Fakta membuktikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan saat ini. Masyarakat menilai bahwa kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut juga tidak efektif dan efisien disebabkan di antaranya masyarakat meragukan kredibelitas, integritas dan kapabilitas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Penilaian masyarakat bahwa kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi sangat mengecewakan dan memprihatinkan membuktikan tidak diperlukan lembaga baru yang bernama �makhluk KPK�. Oleh karenanya Komisi Pemberantasan Korupsi inkonstitusional dan merupakan barang haram dalam sistem ketatanegaran menurut ketentuan UUD 1945; c. Bahwa bukankah kepolisian dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror mampu menangani kejahatan luar biasa kejahatan terorisme? Pertanyaan mendasar adalah apabila kepolisian selama ini dianggap kurang berfungsi efektif dan efisien sebagaimana ditegaskan dalam konsideran �Menimbang� huruf b UU KPK, maka seharusnya yang dilakukan adalah menata kembali struktur kepolisian khususnya yang berkaitan dengan tugas pemberantasan korupsi, umpamanya dengan membentuk detasemen khusus anti korupsi atau dengan cara mengganti pimpinan kepolisian yang tidak profesional dan kurang berani serta lesu darah; d. Bahwa tidaklah bijak dan tidak beralasan, jika harus membentuk lembaga baru, apalagi tidak jelas landasan konstitusionalitasnya yang justru akan
� mengacaukan sistem pemerintahan dan juga membuang-buang anggaran negara untuk membiayai lembaga baru ini. Bukankah kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini tidak lebih baik dibandingkan dengan kinerja kepolisian maupun kejaksaan, bahkan menurut penilaian Pemohon sekarang justru lebih baik dan maju apa yang dilakukan kepolisian maupun kejaksaan. Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini hanya mampu menangkap koruptor kelas teri, tidak mampu dan berani menangkap koruptor kelas kakap. Lebih ironis lagi masyarakat menilai Komisi Pemberantasan Korupsi bersikap diskriminatif dan tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi, sehingga telah melanggar prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Hal-hal tersebut membuktikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak diperlukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejatinya yang dibutuhkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sosok pendekar hukum sekaliber Prof. DR. Baharuddin Lopa, SH., atau Jenderal Purnawirawan (Pol) Hoegeng (Allah yarhamhuma), bukan lembaga baru yang justru menimbulkan permasalahan baru dan pemborosan anggaran negara; e. Bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sama saja melakukan pemangkasan dan pengkebirian peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada di bawah Presiden. Dampak pegambil-alihan ini berimbas pada profesionalisme kepolisian dan kejaksaan yang seakan- akan kepolisian dan kejaksaan tidak memiliki kemampuan dan secara sistematis menciptakan demoralisasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Bila dilihat secara obyektif, fakta bahwa kepolisian sendiri memiliki kemampuan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, seperti contoh dapat dibandingkan dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror POLRI yang secara langsung telah menjawab sepenuhnya kemampuan kepolisian untuk melaksanakan tugasnya untuk memberantas terorisme; f. Bahwa konsideran �Menimbang� huruf b, UU KPK tersebut bertentangan dengan asas doelmatigheid (kebijakan/kemanfaatan), karena terbukti kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sudah lebih 2 (dua) tahun tidak lebih baik, artinya tidak lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan kinerja kepolisian maupun kejaksaan, bahkan hanya membuang-buang anggaran negara saja. Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini hanya
� mampu menangkap koruptor kelas teri, tidak berani menangkap koruptor kelas kakap. Bahwa laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilaporkan masyarakat yang sampai saat ini sekitar 11.000 kasus tidak jelas perkembangannya, hanya sekitar 30-an perkara yang sampai ke Pengadilan, itupun hanya korupsi kelas teri. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mampu dan tidak berani menangkap koruptor kelas kakap. Demikian juga Komisi Pemberantasan Korupsi telah terbukti gagal serta tidak efektif dan efesien dalam melaksanakan pencegahan tindak pidana korupsi, contoh aktual berkaitan dengan dugaan penyelewengan dana tsunami Aceh yang dilansir oleh BPK RI. Pertanyaan mendasar dimana peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangka mencegah tindak pidana korupsi yang jumlah triliunan itu? (lihat Majalah Gatra, edisi 7 Juni 2006, hal. 67); g. Bahwa lebih ironis lagi anggaran negara untuk membiayai �makhluk KPK� tidak sedikit, yaitu realisasi anggaran untuk tahun 2003 sebesar Rp. 4,5 milyar, realisasi anggaran untuk tahun 2004 sebesar Rp. 73,6 Milyar, kemudian realisasi anggaran untuk tahun 2005 sebesar Rp. 170 Milyar, Jadi realisasi anggaran sampai tahun 2005 jumlah keseluruhan sebesar Rp. 249,1 Milyar. Sedangkan anggaran untuk tahun 2006 sebesar Rp. 222 Milyar (sumber: Ditjen Anggaran Departemen Keuangan), jadi Komisi Pemberantasan Korupsi sampai dengan 2006 akan menghabiskan anggaran negara sekitar sebesar Rp. 471,1 milyar. Luar biasa, bukankah kinerja �makhluk KPK� ini sangat memprihatinkan, hal mana sampai saat sekarang gagal menyelamatkan keuangan negara dengan cara melakukan upaya serius pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Betapa justru selama ini negara buntung karena mengalami kerugian keuangan negara sekitar sebesar Rp. 471,1 Milyar sampai dengan tahun 2006 yang dihambur-hamburkan untuk lembaga ini, dibandingkan dengan hasil kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang hanya dapat menyelamatkan secuil keuangan negara saja? Hal ini semakian membuktikan bahwa UU KPK bertentangan dengan asas doelmatigheid (kebijakan/kemanfaatan); h. Bahwa demikian juga konsideran �Menimbang� huruf b, UU KPK tersebut bertentangan dengan asas rechtmatigheid (landasan hukum) karena
� bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sesuai dengan ketentuan UUD 1945 sebagaimana akan dibahas lebih lanjut; i. Berdasarkan uraian tersebut di atas, konsideran �Menimbang� huruf b, UU KPK tersebut terbukti bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
15. Bahwa demikian juga, pembentukan UU KPK hanya berdasarkan perintah undang-undang, yaitu dalam konsideran �Menimbang� huruf c UU KPK, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan doktrin hukum tatanegara. Doktrin hukum tatanegara yang berlaku secara universal (ius comminis opinio doctorum) menegaskan bahwa berdasarkan hirarkhi peraturan perundangan tidak diperkenankan membuat suatu undang-undang yang diperintahkan pembuatannya oleh undang-undang yang sederajat. Sesuai dengan hirarkhi peraturan perundangan yang berlaku universal, pembuatan suatu undang- undang harus didasarkan kepada undang-undang yang lebih tinggi, dengan demikian UU KPK jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Bahwa tidak ada perintah UUD 1945 untuk membuat undang-undang organik tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, apalagi UU KPK telah mereduksi hakikat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Dengan demikian dalam konsideran �Menimbang� huruf c, UU KPK harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 16. Bahwa oleh karena konsideran �Menimbang� huruf c UU KPK dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dengan sendirinya ketentuan Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 17. Bahwa demikian juga Pasal 1 ayat (3) UU KPK jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas- asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip
� keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) menurut ketentuan UUD 1945, dengan alasan-alasan sebagai berikut: a. Bahwa oleh karena ketentuan ini telah memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melebihi kewenangan lembaga yang sejak berdirinya Republik ini telah ada yaitu lembaga kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana mungkin Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan lembaga baru kemudian diberikan kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan, hal mana Komisi Pemberantasan Korupsi diberikan wewenang untuk melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi? Bagaimana mungkin lembaga baru ini bisa melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring terhadap lembaga lain yang menjadikan kepolisian dan kejaksaan bawahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi, supervisi dan monitoring telah diberikan kedudukan setingkat lebih tinggi dibandingkan lembaga kepolisian maupun kejaksaan; b. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Pasal 8 ayat (2) UU KPK berwenang juga mengambil alih penyelidikan, penyidikan atau penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan kepolisian dan/atau kejaksaan. Bukankah superbody yang melekat pada Komisi pemberantasan Korupsi membuktikan lebih superior dibandingkan lembaga kepolisian maupun kejaksaan? Bagaimana mungkin lembaga kepolisian yang diberikan kewenangan kostitusional dan disebutkan dalam UUD 1945 (vide Pasal 30 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945) dapat didikte bahkan dirampas kewenangannya oleh lembaga baru yang bernama �KPK� yang hanya diatur dengan undang-undang? Betapa kekuasaan yang absolut yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengacaukan sistem ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945. Kekuasaan yang sangat besar (superbody), yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi jelas-jelas telah bertentangan dengan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances) yang telah diatur dalam UUD 1945, karena sejatinya penyelidikan, penyidikan atau penuntutan menjadi wewenang kepolisian dan/atau
� kejaksaan yang berada di wilayah kekuasaan eksekutif dalam hal ini presiden. Pertanyaan mendasar adalah apakah Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambil alih tugas dan wewenang yang dimiliki kepolisian dan/atau kejaksaan yang menjadi domain kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden? Bukankah tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi hanya diberikan oleh undang-undang, sedangkan lembaga kepresidenan sebagai pemegang kekuasaan eksekutif diberikan secara langsung kewenangan kontitusionalnya oleh undang-undang dasar (konstitusi)? Faktanya Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang berdiri sendiri, bahkan kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal menjalankan fungsi dan wewenangnya melebihi kekuasaan Presiden sekalipun. Bukankah Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kekuasaan yang dimiliki dapat menangkap Presiden akibat perbedaan kepentingan dan pandangan politik? c. Bahwa pembentuk undang-undang telah menciptakan organ ketatanegaran baru yang kedudukannya setingkat di atas kepolisian dan kejaksaan, yang berarti sejajar dengan lembaga tinggi negara yang diberikan langsung kekuasaannya oleh konstitusi. Bahwa kekuasaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan domain kekuasaan eksekutif, hal mana UUD 1945 telah dengan jelas memberikan kekuasaan eksekutif tersebut kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam BAB III UUD 1945. Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil sebagian dari kekuasaan eksekutif yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu Pasal 1 ayat (3) UU KPK jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) menurut ketentuan UUD 1945, sehingga haruslah juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
18. Bahwa oleh karena konsideran �Menimbang� huruf b dan c dan Pasal 1 ayat (3) UU KPK di atas terbukti bertentangan dengan UUD 1945, maka keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU KPK pun dengan sendirinya harus dinyatakan bertentangan prinsip- prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum keadilan dan asas-asas pemisahan
� kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) menurut ketentuan UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 19. Bahwa kekuasaan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan lembaga-lembaga negara yang telah diberi kekuasaan kontitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pada pasal-pasal berikut: a. Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 menjelaskan kekuasaan Presiden; b. Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 yang menjelaskan kekuasaan yudikatif;
20. Bahwa UU KPK telah memberikan kewenangan yang tak terbatas (absolute) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak diimbangi dengan sistem pengawasan dan pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Bahwa dalam Pasal 3 UU KPK menyatakan �Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun�; a. Bahwa Pasal 3 UU KPK di atas pada frasa �Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara�, nyata-nyata telah bertentangan dengan UUD 1945, hal mana lembaga negara ini menjelma menjadi organ kenegaraan baru yang mempunyai kekuasaan tak terbatas. UUD 1945 telah memberikan kewenangan konstitusional yang terbagi habis ke dalam beberapa kekuasaan yang terdiri dari : Kekuasaan eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden, kekuasaan legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstirusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) dan kekuasaan eksaminatif oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Dengan demikian tidak ada kekuasaan lain selain kekuasaan tersebut yang diatur dalam UUD 1945, oleh karena lembaga negara yang bernama �KPK� jelas-jelas extra konstitusional; b. Bahwa kemudian Pasal 3 UU KPK di atas terutama dalam prasa �independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun� jelas-jelas
� telah bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945, hal mana UUD 1945 tidak menganut kekuasaan yang tak terbatas (absolute), dengan demikian kekuasaan yang absolut yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi telah nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Kekuasan absolut yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi juga telah bertentangan dengan prinsip-prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances) sebagaimana dianut oleh UUD 1945. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat dipengaruhi maupun dikontrol oleh kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun legislatif, maka di mana posisi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945? Apa jenis kelamin lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi itu, apakah menjalankan kekuasaan eksekutifkah, yudikatifkah atau legislatifkah? Bukankah Presiden saja yang dipilih secara langsung oleh rakyat masih dikontrol oleh parlemen? Bukankah UUD 1945 telah dengan jelas mengatur pemisahan kekuasan dengan prinsip checks and balances dan tidak ada satu katapun dalam UUD 1945 yang mengatur suatu lembaga negara yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi. UUD 1945 jelas-jelas tidak memberikan kekuasan yang absolut kepada lembaga-lembaga tinggi negara, apalagi kepada makhluk yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi? Bukankah Lord Acton telah mengingatkan bahwa kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely). Oleh karena itu �makhluk KPK� merupakan negara dalam negara, yang merupakan barang haram dalam sistem demokrasi konstitusional sebagaimana dianut UUD 1945; c. Bahwa Pasal di atas sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum, tepatnya bertentangan dengan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances) yang telah diatur dalam UUD 1945. Jika dilihat dari bunyi Pasal 2 UU KPK menyiratkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan kekuasaan tersendiri. Padahal dalam aturan lebih lanjut, Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja layaknya kekuasaan eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sebenarnya bekerja pada wilayah kekuasaan Presiden, terutama pada
� peran Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan Kejaksaan RI. Andaipun tetap dianggap perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tetap menjadi lembaga pemerintah yang tunduk di bawah pemegang kekuasaan eksekutif yaitu Presiden selaku Kepala negara dan kepala Pemerintahan; d. Bahwa dengan demikian sebagian fungsi kekuasaan eksekutif terbagi menjadi dua, peran eksekutif yang dijalankan oleh Presiden RI dan peran eksekutif yang dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka dalam prakteknya terdapat dua lembaga negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif yakni Presiden dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal dalam UUD 1945 kekuasaan eksekutif hanya dijalankan oleh Presiden, jelas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi ini sangat mempengaruhi dan mengacaukan sistem ketatanegaraan di Indonesia dan merugikan Pemohon sebagai perkumpulan masyarakat yang turut serta memberikan advokasi, pembangunan sistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia; e. Bahwa pengambilalihan peran dan fungsi kepolisian yang berada di bawah kekuasaan eksekutif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan adanya kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan peranan eksekutif. Sehingga dapat diartikan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi menambah sistem kekuasaan baru semakin tidak jelas dan bertentangan dengan sistem pemisahan kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kekuasaan yang diatur dan dianut dalam UUD 1945. f. Bahwa termasuk pula dengan peran dan fungsi kejaksaan yang masuk dalam kekuasaan eksekutif dalam hal ini Presiden. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU KPK telah mengebiri dan mengangkangi peran dan fungsi kejaksaan untuk membantu melaksanakan fungsi eksekutif. Padahal kinerja kejaksaan akhir-akhir ini dapat dilihat dari keberadaan Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (TIMTASTIPIKOR) di mana telah memberikan sinyal bahwa kejaksaan memiliki kemampuan melakukan pemberantasan korupsi; g. Bahwa demikian juga kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas
� korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana diatur UU KPK adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip perimbangan kekuasaan. Bagaimana mungkin Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan serangkaian kewenangan tersebut yang sangat absolut, kewenangan mana seolah-olah melebihi kewenangan yang dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan, bahkan melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Presiden sekalipun? Dengan demikian di mana posisi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur organisasi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? Dalam konteks itu, apakah sama derajat Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian dam Kejaksaan, ataukah sederajat dengan lembaga kepresidenan, ataukah derajatnya di atas lembaga kepresidenan yang langsung di bawah Tuhan? h. Bahwa oleh karena Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kekuasaan yang absolut, maka sangat mungkin Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaannya dapat menangkap siapa saja ataupun suatu kelompok tertentu berdasarkan like and dislike, bahkan termasuk Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MA, Ketua MK, Ketua BPK sekalipun yang hanya mungkin didasarkan perbedaan kepentingan dan pandangan politik karena tidak diatur dengan rambu-rambu hukum yang jelas. Bukankah prosedur khusus untuk menetapkan seorang tersangka tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (vide Pasal 46 ayat (1) UU KPK)? Hal itu telah terbukti dengan terjadinya peristiwa penggeladahan dan pengacak-acakan yang dilakukan di ruang Ketua MA RI tanpa prosedur hukum yang jelas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 28-10-2005). Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang akrobatik ini justru semakin membuat gonjing ganjing sistem penegakan hukum di indonesia dan membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap penegak hukum, contoh aktual adalah carut marutnya persidangan tindak pidana korupsi akibat belum tuntasnya penyelesaian walk out tiga hakim ad hoc tipikor, sehingga citra dan wibawa penegak hukum hancur sampai pada titik nadir. Di sisi lain Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berani menangkap
� pegawai rendahan di MA RI, tidak mampu dan tidak berani menangkap pejabat elit di gedung MA RI tersebut, bahkan terkesan tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi cederung mempolitisir dalam penanganan kasus ini, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi harus berani menangkap Ketua MA RI dan Hakim Agung lainnnya yang diduga menerima suap jika memang mempunyai bukti-bukti yang kuat untuk itu, namun sebaliknya jika tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat segera pulihkan nama baik mereka demi menjaga citra dan wibawa lembaga penegak hukum; i. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pasal 3 UU KPK harus dinyatakan bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945, oleh karenanya haruslah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
21. Bahwa oleh karena konsideran �Menimbang� huruf b dan c dan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 dan Pasal 3 UU KPK tersebut dinyatakan bertentanngan dengan ketentuan UUD 1945, dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dengan sendirinya Pasal 4 UU KPK harus juga dinyatakan bertentanngan dengan ketentuan UUD 1945, karena pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terbukti tidak terpenuhi sebagaimana dijelaskan di atas, sehingga harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pula; 22. Bahwa demikian juga oleh karena konsideran �Menimbang� huruf b dan c dan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU KPK tersebut dinyatakan bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dengan sendirinya seluruh Pasal-pasal sebagai penjabaran yang berhubungan dengan ketentuan Pasal-pasal tersebut, terutama Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 Pasal 14, Pasal 15, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 UU KPK harus dinyatakan bertentangan dengan muatan dan paradigama menurut ketentuan UUD 1945, sehingga haruslah juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 23. Bahwa tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak terbatas (abslolute) tersebut, terutama tugas dan wewenang pencegahan dan
� pemberantasan tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta penuntutan di sidang pengadilan yang telah diuraikan di atas sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 UU KPK bertentangan dengan khususnya prinsip kedaulatan rakyat Pasal 1 ayat (1) dan (2), prinsip negara hukum Pasal 1 ayat (3) dan asas-asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 yang menjelaskan kekuasaan Presiden, dan Pasal 24, Pasal 24 A, Pasal 24 B, Pasal 24 C dan Pasal 25 yang menjelaskan kekuasaan yudikatif dalam UUD 1945, sehingga Pasal-pasal UU KPK tersebut di atas harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 24. Bahwa selain itu dalam UU KPK terutama pada Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62 jelas telah mencampuri urusan Kekuasaan Kehakiman yang dalam UUD 1945 kedudukannya bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Adanya pengaturan terhadap Kekuasaan Kehakiman dalam UU KPK jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan dan asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip perimbangan kekuasaan, sehingga semakin membuat sistem kekuasaan negara semakin tidak jelas. Hakim tindak pidana korupsi dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi sangat terpengaruh secara psikologis, mau tidak mau kemandirian dan cara berfikirnya telah dipengaruhi oleh mainstream UU KPK, bukan lahir dari kebebasan untuk memutus suatu perkara demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dibuktikan carut marutnya persidangan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Harini Wijoso yang diwarnai walk out 3 (tiga) hakim ad hoc (Kompas, Kamis, 4 Mei 2006), sehingga Pasal-pasal tersebut haruslah juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat;
� 25. Bahwa demikian juga dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK, disebutkan �Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan�; a. Bahwa kata �publik� dalam Pasal 20 ayat (1) UU PK tersebut dalam frasa �Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya��.�, jelas-jelas multi tafsir, �publik� bisa dimaknai cukup di hadapan 3 sampai dengan 4 orang, atau cukup dengan bertanggung jawab kepada sanak saudara, teman, atasan atau bawahan. Kata �publik� dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disamakan dengan makna �banyak orang� sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana karangan R. Soesilo dijelaskan bahwa kata �umum� cukup di hadapan 3 orang sampai 4 orang. Dengan demikian makna �publik� dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK, memberikan tafsiran bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi cukup memberikan pertanggungjawaban kepada siapa saja dengan orang yang terbatas pun pertanggungjawabannya telah dianggap sah; b. Bahwa Pasal 20 ayat (2), pertanggungjawaban publik tersebut dimaknai dengan pelaksanaan wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan, menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi. Ayat ini tidak menjelaskan �siapa� yang harus membuat wajib audit tersebut dan kepada publik mana pertanggungjawaban tersebut disampaikan dan di mana alamat �publik�itu; c. Bahwa kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksaan Keuangan hanya diberikan laporan terbuka dan berkala. Sedangkan bagian pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada �publik� tetap terpisah dari laporan berkala sehingga tidak jelas kepada �siapa� pertanggungjawaban tersebut disampaikan. Bahwa terbukti masyarakat sulit mendapatkan akses informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan cederung tertutup; d. Bahwa menurut UUD 1945 rakyat memiliki sepenuhnya kedaulatan yang dilaksanakan menurut UUD. Kedaulatan rakyat tercermin di antaranya, melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Langsung baik dalam Pemilu DPR,
� DPD, DPRD, Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati mencerminkan kedaulatan rakyat. Sepenuhnya kedaulatan di tangan rakyat untuk menentukan arah bangsa ini dengan mempercayakannya pada mekanisme yang telah diatur UUD 1945. Sehingga pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap �publik� dimaksud Pasal 20 ayat (1) UU KPK jelas-jelas meniadakan sistem kedaulatan rakyat dalam UUD 1945; e. Bahwa apabila didasarkan pada pendapat Carl J Friedrich, model pertanggungjawaban Komisi Pemberantas Korupsi memungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dengan kata lain pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam UU KPK jelas inskonstitusional. Berikut pernyataan Carl J. Friderich :
��A set of activities organized and operated on behalf of the people but subject a series of restrains which attemp to ensure that the power which is needed for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing.�(Carl J. Fridrich : 1967)
f. Bahwa pemahaman di atas merupakan definisi bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan oleh rakyat yang tunduk pada pembatasan untuk menjamin agar kekuasaan tidak disalahgunakan. UU KPK memberikan peluang penyalahgunaan wewenang, di mana tidak diatur sistem pengawasan terhadap kinerja dan pihak mana yang harus menerima pertanggung-jawaban. Dengan hanya ada kata �publik� memberikan kewenangan luas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menafsirkannya sendiri, kepada pihak mana kinerjanya dipertanggungjawabkan; g. Bahwa Pemohon sangat memperhatikan kinerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat memprihatinkan, dalam hal kasus- kasus yang ditangani oleh komisi ini, dirasa terdapat kejanggalan, seperti misalnya : hangat-hangat tai ayam dalam penanganan perkara, memilih kasus-kasus tertentu untuk ditindaklanjuti, tebang pilih dan dalam kasus- kasus tertentu dibiarkan yang akhirnya menuai protes dari masyarakat. Sejak dilantiknya Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 30 Desember 2003, Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lebih
� baik dibandingkan kinerja kepolisian maupun kejaksaan. Oleh karena tidak terdapat mekanisme pertanggungjawaban yang jelas maka masyarakat sulit untuk meminta haknya melalui kedaulatan yang dimilikinya; h. Bahwa tidak ditindaklanjutinya kasus-kasus korupsi yang besar seperti halnya pemeriksaan terhadap kekayaan keluarga Cendana, kasus dugaan kuat penyuapan dalam penjualan tank Scorpion Inggris ke Indonesia yang diduga melibakan Tutut putri sulung Soeharto, kasus-kasus dilingkaran Istana Presiden seperti kasus �sudigate� atau kasus dugaan korupsi percetakan dokumen kependudukan yang melibatkan Menteri Dalam Negeri M. Ma�ruf, kasus-kasus para penjahat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), berlarut-larutnya penyelesaian kasus KPU, dugaan penyelewengan dana tsunami Aceh yang berjumlah triliunan yang dilansir oleh BPK RI dan lain sebagainya. Oleh karena sistem pertanggungjawaban yang dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK hanya kepada �publik� maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menafsirkan pertanggungjawaban cukup di hadapan keluarga cendana atau para koruptor BLBI atau siapa saja, maka kewajiban itu sudah terpenuhi; i. Bahwa oleh karena itu pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak jelas, bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances system) sebagaimana diatur dalam UUD 1945, di mana kata pertanggungjawaban kepada publik memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) terhadap kedaulatan rakyat yang sudah diatur mekanismenya dalam UUD 1945 dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum, dan tidak jelasnya sistem pengawasan, sehingga Pasal 20 UU KPK tersebut harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
26. Bahwa demikian juga ketentuan Pasal 38 dan 39 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, dengan alasan-alasan sebagai berikut: a. Bahwa ketentuan Pasal 38 dan Pasal 39 UU KPK tesebut telah dipahami selama ini bahwa penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, terutama terkunci dengan ketentuan Pasal 39
� ayat (3) UU KPK. UU KPK mengatur bahwa penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus dari lembaga kepolisian dan kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh merekrut langsung penyelidik, penyidik dan penuntut umum dari warga negara di luar kepolisian dan kejaksaan, maka hal ini nyata-nyata paradoks dengan konsideran �Menimbang� huruf b UU KPK terseut. Bukankah lembaga kepolisian dan kejaksaan belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi? Kenapa penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus dari instansi kepolisian dan kejaksaan? b. Bahwa berdasarkan pemberitaan media massa bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap penyidiknya sendiri Ajun komisaris Sup karena diduga melakukan pemerasan (Kompas, 15-3-2006), dan diduga juga melibatkan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Fakta ini membuktikan bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya juga dapat diangkat dari luar kepolisian dan kejaksaan, yaitu dari generasi muda yang masih bersih, idealis dan mempunyi integritas moral yang tinggi, cerdas serta profesional, jika menghendaki komisi ini berfungsi secara efektif dan efesien; c. Bahwa oleh karena itu pembatasan perekrutan menjadi pegawai penyelidik, penyidik dan penuntut umum hanya dari kepolisian dan kejaksaan jelas-jelas sangat diskrimintif. Dengan demikian ketentuan Pasal 38 dan 39 UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
� d. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pasal 38 dan Pasal 39 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya sebagian pasal-pasal saja, tidak semua Pasal-pasal dalam UU KPK yang diajukan dalam permohonan ini, akan tetapi pasal-pasal yang dimohonkan tersebut adalah merupakan jantung mendasari KPK tersebut, hal mana paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan negera hukum, keadilan dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers) serta prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances) sesuai ketentuan dalam UUD 1945, yang berakibat UU KPK, secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, karena akan menyebabkan kekacauan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya;
E. Permohonan Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon meminta agar Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengabulkan Permohonan Hak Uji Materil (Judicial Review) yang dimohonkan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan konsideran �Menimbang� huruf b, konsideran �Menimbang� huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62 dan 63 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan konsideran �Menimbang� huruf b, konsideran �Menimbang� huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53,
� Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62 dan 63 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 4. Menyatakan Pasal-pasal tersebut di atas yang dimohonkan merupakan jantung dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, oleh karenanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4250) secara keseluruhan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambaran Lembaran Negara Republik Indonesia 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengaju kan bukti-bukti yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan BuktiP-35, sebagai berikut:
1. Bukti P-1a : Foto copy Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) No. 45 tanggal 10 Mei 2006, yang dibuat di hadapan Aristiawan Dwi Putranto, SH., Mkn., Notaris Pengganti dari Ny. Martina Warmansjah, SH., Notaris di Jakarta;
2. Bukti P-1b : Foto copy Akta Pendirian Perkumpulan Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) No. 8 tanggal 20 April 2004 yang dibuat dihadapan Notaris Ny. Martina Warmansjah, SH., Notaris di Jakarta;
3. Bukti P- 2 : Foto copy Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4250), Penerbit Fokusmedia, Bandung Mei 2005;
� 4. Bukti P- 3 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Selasa 28 Februari 2006, Judul: KPK Dinilai Mulai Kekurangan �Adrenalin�;
5. Bukti P- 4 : Foto copy Situs Berita, www.detik.com, Senin 25 April 2005, Judul: KPK Diminta Bergerak Maju, Jangan Terpaku Kasus Suap;
6. Bukti P- 5 : Foto copy Situs Berita, www.detik.com, Senin 27 Pebruari 2006, Judul: KPK Bantah Disebut Tebang Pilih;
7. Bukti P- 6 : Foto copy Situs Berita, www.kompas.com, Kamis 08 Januari 2004, Judul: Muladi: Politisasi Hukum di DPR Lemahkan Kinerja KPK;
8. Bukti P- 7 : Foto copy Situs Berita, www. Balipostonline.com, Kamis, 18 Desember 2003, Judul: Terpilihnya Anggota KPK Keliru, Tetapi Perlu Diberi Kesempatan;
9. Bukti P- 8 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Senin, 27 Maret 2006, Judul: Konsistensi Berantas Korupsi;
10 Bukti P- 9 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Kamis 19 Januari 2006, Judul: KPK dan Politik:
11. Bukti P- 10 : Foto copy Kliping Koran Kompas Rabu, 12 April 2006, Judul: KPK dan Pemberantasan Korupsi;
12. Bukti P- 11 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Jumat 10 Maret 2006 Judul: KPK Harus Berani Ambil Alih;
13. Bukti P- 12 : Foto copy Kliping Koran Rakyat Merdeka, Selasa 21 Februari 2006 Judul: Dilaporkan Ke Komisi Pemberantasan Korupsi SBY Menduga ada Manipulasi di Kasus Sudi;
14. Bukti P- 13 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Selasa 18 April 2006 Judul: Menneg PAN Diadukan, Taufik Effendi Mengaku Siap diperiksa KPK;
15. Bukti P- 14 : Foto copy Kliping Koran Rakyat Merdeka, Jum�at 10 Maret 2006 Judul: KPK didesak Ungkap peran Harry Tanoe Di Surat Bodong;
16. Bukti P- 15 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Senin 1 Mei 2006, Judul: Kebablasan Hakim Tipikor;
17 Bukti P- 16 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Kamis 4 Mei 2006 Judul: Sidang Suap MA, Majelis Hakim Tipikor Pecah, Tiga Hakim WO;
� 18 Bukti P- 17 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Jum�at 28 Oktober 2005, Judul: KPK Geledah Ruangan Ketua MA Bagir Manan;
19. Bukti P- 18 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Rabu 15 Maret 2006, Judul: Kurupsi KPK Menangkap Penyidiknya Sendiri;
20. Bukti P- 19 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Jum�at 17 Maret 2006, Judul: KPK Pecat Penyidiknya;
21. Bukti P- 20 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Kamis 23 Maret 2006, Judul: Pemerasan Ajun Komisaris Sup Diperiksa Secara Intensif;
22. Bukti P- 21 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Kamis 6 April 2006, Judul: AKP Sub Dipecat dari KPK;
23. Bukti P- 22 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Selasa 11 April 2006, Judul: Penyelewengan KPK Jangan Lepas Tangan;
24. Bukti P- 23 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Kamis 23 Februari 2006 Judul: Politisi dan Birokrat Terkorup, Pemberantasan Tak Punya Fokus;
25. Bukti P- 24 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Kamis 12 Januari 2006, Judul: Potensi Kerugian Rp 2.628 Triliun;
26. Bukti P- 25 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Selasa 11 April 2006, Judul: Komitmen Presiden Dipertanyakan;
27. Bukti P- 26 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Jum�at 7 April 2006, Judul: Mantan Dirut Jamsostek Dituntut 16 Tahun;
28. Bukti P- 27 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Rabu 11 Januari 2006, Judul: Peradilan Tak Pernah Jera, Hakim Herman Alossitandi Ditahan Tim Tastipikor;
29. Bukti P- 28 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Selasa 18 April 2006, Judul: Korupsi, Seorang Hakim PN Jaksel Diadili;
30. Bukti P- 29 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Rabu 10 Mei 2006, Judul: Korupsi DAU, Hukuman Said Agil Diperberat;
31. Bukti P- 30 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Senin 24 April 2006, Berita Gambar Direktur Utama PLN Menjadi Tersangka;
32. Bukti P- 31 : Foto copy Kliping Koran Republika, Kamis 4 Mei 2006, Judul : Dirut PLN Ditahan;
� 33. Bukti P- 32 : Foto copy Situs Berita, www.pikiran-rakyat.com, Kamis 4 Mei 2006, Judul: Dirut Pupuk Kaltim �Temani� Dirut PLN;
34. Bukti P- 33 : Foto copy Situs Berita, www.republikaonline.com, Jum�at 5 Mei 2006, Judul: Tim Tastipikor Tahan Dirut PT Pupuk Kaltim;
35. Bukti P- 34 : Foto copy Situs Berita, www.rakyatmerdeka.com, Selasa 20 April 2006, Judul: Buyung, Komjen Suyaitno Landung Ksatria;
36. Bukti P- 35 : Foto copy Kliping Koran Kompas, Sabtu 15 Oktober 2005, Judul: Perpres BBM ke MA;
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh substansi atau pokok permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; 2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk diterima selaku Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo; Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah
Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang, in casu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
Menimbang bahwa perihal kewenangan Mahkamah, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, antara lain, menyatakan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili pada
� tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap undang-undang dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UUMK);
Menimbang bahwa dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Menimbang bahwa, dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima kedudukan hukum (legal standing)-nya selaku Pemohon di hadapan Mahkamah, Pasal 51 ayat (1) UUMK menentukan, �Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara�;
Sementara itu, Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf a UUMK menegaskan bahwa yang dimaksud dengan �perorangan� dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a tersebut adalah termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UUMK, maka orang atau pihak dimaksud haruslah:
(a) menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;
� (b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Menimbang pula, sejak Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 hingga saat ini, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:
(1) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (2) Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (3) Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; (5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Menimbang bahwa berdasarkan uraian terhadap ketentuan Pasal 51 ayat (1) UUMK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang relevan;
Menimbang bahwa Pemohon adalah Masyarakat Hukum Indonesia (MHI), yang dalam hal ini, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Anggaran Dasar MHI, diwakili oleh Direktur Eksekutifnya yaitu AH. Wakil Kamal. Pemohon dalam permohonannya mendalilkan dirinya sebagai perkumpulan yang akta pendiriannya telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur (Bukti P-1b) namun status badan hukumnya belum jelas. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UUMK, sebagaimana telah diuraikan di atas, Pemohon tidak memenuhi syarat untuk dikualifikasikan sebagai badan hukum publik atau privat melainkan hanya dapat dikualifikasikan sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. Sehingga yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah
� dalam kualifikasi demikian Pemohon telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya konsiderans �Menimbang� huruf c, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 14, Pasal 20, Pasal 21 ayat (4), Pasal 26, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 UU KPK;
Menimbang bahwa, menurut Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK, yang dimaksud dengan �hak konstitusional� adalah hak yang diatur dalam UUD 1945, sehingga dalam menentukan ada-tidaknya kerugian hak konstitusional Pemohon, yang merupakan syarat bagi penentuan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, harus dinilai berdasarkan pengertian sebagaimana terkandung dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK dimaksud;
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak secara tegas menjelaskan hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan- ketentuan dalam UU KPK sebagaimana diuraikan di atas, melainkan hanya mengemukakan dalil-dalil yang pada intinya sebagai berikut:
a. Menurut Pemohon, terdapat pertentangan UU KPK dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum, keadilan, dan asas-asas pemisahan kekuasaan (separation of powers), serta prinsip keseimbangan kekuasaan menurut ketentuan UUD 1945, yang membuat sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan menjadi kacau, sehingga mengakibatkan terganggunya kehidupan berbangsa dan bernegara karena tidak adanya kepastian hukum dan jaminan keadilan, sedangkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan serta kesamaan di hadapan hukum; b. Apabila tidak ada kepastian hukum dan jaminan konstitusional dari kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara, menurut Pemohon hal itu akan sangat besar pengaruhnya terhadap Pemohon dan menimbulkan kerugian akan keterlibatan Pemohon dalam pemerintahan untuk turut serta dalam pembangunan sistem hukum dan dalam memberikan advokasi terhadap masyarakat di Indonesia;
� c. UU KPK, menurut Pemohon, merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, yaitu kepentingan bersama Pemohon yang tercermin dalam maksud dan tujuan pada Anggaran Dasar Pemohon; d. UU KPK, menurut Pemohon, bersifat paradoks dan tidak sejalan dengan semangat perjuangan reformasi, karena UU KPK melahirkan lembaga negara yang absolut yang membuka peluang bagi munculnya otoritarianisme baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. Bahwa Pemohon adalah warga negara yang taat membayar pajak, di mana pajak yang dipungut oleh negara itu dibelanjakan dan dihambur-hamburkan untuk suatu lembaga yang bernama KPK yang terbukti tidak efektif dan efisien dalam melakukan pemberantasan korupsi; f. Bahwa UU KPK tidak mencerminkan hak-hak konstitusional Pemohon karena masalah pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan UUD 1945 serta adanya pengakuan sebagai kekuasaan pemerintahan yang baru yang bersifat tidak terbatas (absolute) sangat mempengaruhi dan merugikan Pemohon sebagai tempat berkumpulnya masyarakat yang peduli terhadap bangsa dan negara yang berdasarkan hukum; g. Bahwa Pemohon menganggap tidak mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum karena peran aktif Pemohon dalam memberantas tindak pidana korupsi, yang menurut Pemohon dijamin oleh Pasal 41 UU KPK, yaitu berupa laporan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi, di antaranya laporan Pemohon kepada KPK dengan Nomor 10637/PIMP/KPK/2/2006, tanggal 20 Februari 2006, dalam peristiwa yang dikenal sebagai �SUDIGATE�, ternyata tidak ditindaklanjuti sama sekali oleh KPK; h. Bahwa, menurut Pemohon, saat ini ada 11.000 kasus tindak pidana korupsi yang dilaporkan masyarakat kepada KPK tapi tidak jelas perkembangannya, dan hanya sekitar 30-an yang sampai ke pengadilan. Itu pun, menurut Pemohon, hanya korupsi kelas teri. Hal ini, menurut Pemohon, membuktikan KPK tidak efektif dan efisien, sehingga KPK dinilai diskriminatif dan tebang pilih; i. Bahwa, menurut Pemohon, UU KPK telah menutup peluang warga negara Indonesia di luar kepolisian dan kejaksaan untuk menjadi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. Hal itu, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
� Menimbang, setelah menilai dengan seksama dalil-dalil Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak-hak konstitusionalnya sebagaimana diuraikan di atas, telah nyata bagi Mahkamah bahwa:
(1) Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia, in casu sekelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, sebagai akibat berlakunya ketentuan-ketentuan dalam UU KPK yang dimohonkan pengujian; (2) Apa yang oleh Pemohon dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sesungguhnya lebih tepat jika dinilai sebagai kritik terhadap keberadaan maupun kinerja KPK, bukan terhadap konstitusionalitas UU KPK dalam konteks pengujian undang-undang; (3) Kalaupun segala anggapan dan penilaian Pemohon terhadap UU KPK dan KPK sebagai lembaga benar, di mana hal itu harus dibuktikan lebih jauh, jika hal itu yang menjadi tujuan permohonan a quo, maka permohonan ini lebih tepat jika diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang, sebagai bahan masukan dalam rangka peninjauan oleh pembentuk undang-undang (legislative review); (4) Tidak jelasnya kualifikasi Pemohon dan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang oleh Pemohon dianggap telah dirugikan dalam kualifikasi tadi telah pula mengakibatkan permohonan ini menjadi kabur (obscuur) karena terjadi percampuradukan antara alasan judicial review dan legislative review yang meskipun dapat saling mendukung namun keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Sehingga, permohonan a quo bukan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK tetapi juga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) UUMK;
Menimbang pula bahwa Panel Hakim yang memeriksa permohonan a quo dalam Pemeriksaan Pendahuluan, berdasarkan ketentuan Pasal 39 UUMK, pada persidangan tanggal 30 Mei 2006, telah menasihatkan kepada Pemohon yang intinya adalah bahwa dengan alasan permohonan demikian maka hal itu lebih tepat jika dijadikan alasan untuk mengajukan usul legislative review kepada pembentuk
� undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat) dan bukan pengujian undang-undang (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Namun, oleh karena Pemohon tetap dengan pendiriannya (vide Berita Acara Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 20 Juni 2006 pasca perbaikan permohonan), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) UUMK, Panel Hakim kemudian melaporkan hal itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tanggal 28 Juni 2006. Setelah mendengarkan laporan Panel Hakim, RPH berkesimpulan dan memutuskan bahwa oleh karena telah nyata permohonan a quo tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1), Mahkamah tidak memandang perlu untuk menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat maupun Presiden (Pemerintah) guna didengar keterangannya di hadapan Mahkamah;
Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah tiba pada kesimpulan bahwa dengan tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK, yang dengan demikian mengakibatkan Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka Mahkamah tidak perlu untuk mempertimbangkan substansi atau pokok permohonan ini lebih lanjut;
Mengingat Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
MENGADILI
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Rabu, 19 Juli 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Selasa, 25 Juli 2006, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. selaku Ketua merangkap Anggota, Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Soedarsono, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M.,
� Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. M.S., H. Achmad Roestandi, S.H., Dr. Harjono, S.H., M.C.L, serta Maruarar Siahaan, S.H., masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Alfius Ngatrin, S.H. sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah.
KETUA
TTD.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H.
ANGGOTA-ANGGOTA
TTD. TTD.
Prof. Dr. H. M Laica Marzuki, S.H. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
TTD. TTD.
Soedarsono, S.H. Prof.. H.A.S Natabaya.S.H. LLM
TTD. TTD.
Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H. M.S H. Achmad Roestandi, S.H.
TTD. TTD.
Dr. Harjono, S.H., M.CL. Maruarar Siahaan, S.H.TTD.
Alfius Ngatrin, S.H.