Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 024/PUU-III/2005

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 024/PUU-III/2005  (2005) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








PUTUSAN

Nomor 024/PUU-III/2005

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh;

Drs. H. Muhammad Madel, M.M., beralamat di Jl. Merdeka No. 53, Kelurahan. Pasar Sarolangun, Kabupaten. Sarolangun, Provinsi Jambi yang berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 19 Nopember 2005 memberi kuasa kepada 1. Suhardi Somomoeljono, S.H., 2. Erman Umar, S.H., 3. Dominggus M. Luitnan, S.H., 4. Vasco Hendrik F. Siregar, S.H., masing-masing sebagai Advokad yang tergabung pada Kantor Law Office Suhardi Somomoeljono, S.H & Associates yang beralamat di Gedung Golden Centrum Jl. Majapahit No. 26 AF Jakarta Pusat, yang bertindak untuk dan atas nama Drs. H. Muhammad Madel, M.M; selanjutnya disebut sebagai --------------------- PEMOHON;

Telah membaca surat permohonan Pemohon; Telah mendengar keterangan Pemohon; Telah mendengar keterangan lisan Pemerintah; Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah, Telah mendengar keterangan lisan Dewan Perwakilan Rakyat; Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat; Telah mendengar keterangan para ahli dari Pemohon; Telah membaca keterangan tertulis ahli dari Pemohon; Telah membaca dan memeriksa bukti-bukti surat dari Pemohon;

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 22 Nopember 2005 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Rabu tanggal 23 Nopember 2005 dan telah diregistrasi pada hari Selasa tanggal 29 Nopember 2005 dengan Nomor 024/PUU-III/2005 yang telah diperbaiki dan telah disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, tanggal 24 Januari 2005;

Menimbang bahwa Pemohon didalam permohonannya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UUMK), dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, yang salah satunya adalah berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.

Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan a quo.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang juga selaku pejabat Bupati Sarolangun, yang secara demokratis telah dipilih oleh rakyat.

Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan Pemohon adalah pihak yang


3

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu perorangan warga negara Indonesia;

Bahwa dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945";

Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, telah pula memberi 5 (lima) kriteria kerugian konsitusional, yaitu adanya kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang, menurut Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat, sebagai berikut: adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi:

a. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; b. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, Pemohon merupakan pihak yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, oleh karena Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 telah dijadikan dasar oleh Gubernur Provinsi Jambi dalam pengusulan pemberhentian sementara Pemohon sebagai Bupati Kepala Daerah TK. II Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi, dimana Pemohon adalah selaku Warga Negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah TK. II Kab. Sarolangun, Propinsi Jambi. Oleh karenanya Pemohon berpendapat, bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

III. POKOK-POKOK PERMOHONAN Bahwa Gubernur Kepala Daerah TK. I Jambi pada tanggal 29 Oktober 2005, telah mengajukan surat kepada Menteri Dalam Negeri perihal "usul pemberhentian sementara Bupati Sarolangun atas nama Drs. H. Muhammad Maddel., M.M. (Pemohon)", dengan dasar hukum Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya sbb: " ...... Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara .......... ".

Bahwa dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa "yang dimaksud dengan "didakwa" dalam ketentuan ini adalah berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan dalam proses penuntutan", berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 a quo, kemudian dalam surat usulannya kepada Menteri Dalam Negeri tersebut, telah pula dijadikan dasar argumentasi hukum oleh Gubernur Jambi adalah dengan melampirkan surat dari Kejaksaan Tinggi Jambi yang intinya adalah mengenai surat keterangan bahwa Pemohon selaku terdakwa perkaranya sudah diperiksa di Pengadilan Negeri Bangko.

Bahwa adalah sangat tidak adil, seseorang yang belum memiliki kepastian hukum dalam arti belum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijde) yang menyatakan bersalah atau tidak, tetapi sudah diusulkan untuk diskorsing (pemberhentian sementara) dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun, sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah;

Bahwa usul pemberhentian sementara tersebut telah melanggar azas hukum praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence) dan juga asas persamaan dan kedudukan dalam hukum (equality before the law) sebagaimana yang berlaku umum yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu: � �.. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya �..�

Bahwa dengan berlakunya Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, hak konstitusional Pemohon dirugikan, karena hanya dengan didakwa saja seseorang sudah dapat diberhentikan sementara dari jabatannya, dalam hal ini Pemohon sebagai Bupati Sarolangun, tanpa adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

Bahwa ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 a quo telah menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil terhadap diri Pemohon, karena telah terbangun image di masyarakat bahwa Pemohon telah bersalah, akankah masyarakat begitu cepat percaya secepat membalikkan telapak tangan, kalau seandainya tidak terbukti Pemohon melakukan apa yang telah didakwakan kepadanya;

Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, berbunyi ��� Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum �..�, dengan berlakunya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon, oleh karena dakwaan yang ditujukan kepada Pemohon belum mempunyai kekuatan hukum tetap, akan tetapi Pemohon sudah diusulkan untuk diberhentikan sementara oleh Gubernur Provinsi Jambi, yang menerapkan Pasal 31 ayat

(1) UU a quo; Bahwa Surat Usulan Gubernur tersebut, oleh Menteri Dalam Negeri telah ditindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131-25-1016 Tahun 2005, tanggal 18 Nopember 2005, tentang Pemberhentian Sementara Bupati Sarolangun Provinsi Jambi, dengan demikian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut;

Bahwa apabila ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 a quo dikaitkan dengan Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi ���.. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dipersidangan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ��.. �, maka terasa sangat tidak sejalan dan terdapat adanya ketidakpastian hukum, demikian pula halnya apabila dikaitkan dengan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi �Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sarnpai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Bahkan sejak tahun 1010 didalam dekrit dari Bishop (Pendeta) Burchard van Worm, bagian XVI-C6, dengan menunjuk kepada dekrit dari Paris Hodrianus yang isinya menyatakan � ��. Tidak seorangpun dari pihak yang berperkara dapat dituduh sebagai orang yang merugikan, sebelum terlebih dahulu ada pemeriksaan yang membuktikannya bersalah, berdasarkan pengakuannya dan pernyataan para saksi yang cukup kuat untuk membuktikan kesalahannya, sehingga dihasilkan keputusan yang tetap yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah ��.. � (hal. 245 DR. Mien Rukmini, S.H.,M.S. tahun 2003, Perlindungan HAM pada sistim Peradilan Pidana Indonesia).

Bahwa sendainya Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetap diberlakukan, maka berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Penguasa, karena tanpa menunggu adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan sementara hanya karena Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tersebut di dakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara;

Bahwa sangat ironis ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak mereferensi UUD 1945 dan UU lain, karena jelas-jelas telah mengintrodensir perlunya asas praduga tidak bersalah dalam menjalankan suatu keputusan dalam bentuk apapun terutama bentuk-bentuk keputusan yang terkait dengan tata negara/tata pemerintahan;

Bahwa pemberhentian sementara bagi seorang Bupati dari Jabatannya adalah merupakan bagian dari sanksi yang secara langsung telah merugikan baik moril/materiil terhadap hak-hak konstitusi seseorang, karena sanksi berupa pemberhentian sementara tersebut bertentangan pula dengan asas hukum Presumption Of Innocence (praduga tak bersalah), pemberhentian sementara bagi seseorang yang belum memiliki drajat kepastian hukum dari pengadilan adalah merupakan bagian dari tindakan yang mengintrodensir asas hukum Presumption Of Guilt (praduga bersalah), dan bukan zamannya lagi hukum dipolitisir dan/atau hukum dijadikan bagian dari permainan/kepentingan politik;

Bahwa Pemohon baik selaku perorangan WNI maupun selaku Bupati Kepala Daerah mempunyai kewajban untuk merealisasikan tugas dan tanggung jawabnya dalam merealisasikan pembangunan di daerahnya, sebagaimana telah diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi "Penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD", sementara Pasal 20 ayat (1) berbunyi: �Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas asas kepastian hukum; asas tertib penyelenggara negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas profesionalitas; asas akuntabilitas; asas efisiensi dan .asas efektivitas".

Bahwa Pemohon beranggapan pemberlakuan Pasal 31 ayat (1) dalam UU No. 32 Tahun 2004 menyebabkan Pemohon sebagai Kepala Daerah TK. II Kabupaten Sarolangun, tidak independen, tidak demokratis, dan konsekwensinya, potensial terjadi kesewenang-wenangan baik yang dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah TK. I, Menteri Dalam Negeri maupun Presiden dalam menggunakan kekuasaannya sehingga Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya;

Bahwa berdasarkan dalil-dalil sebagaimana uraian di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar memutus permohonan Pemohon dengan amar sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohan untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara; Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-9 sebagai berikut :

1. Bukti P-1 : Foto copy Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1); 2. Bukti P-2 : Foto copy Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 31 ayat (1); 3. Bukti P-3 : Foto copy Peraturan Pemerintah RI No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Pasal 126 ayat (1); 4. Bukti P-4 : Foto copy Undang-undang Republik Indonesia tentang Hak Asasi Manusia dan Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman Pasal 3 ayat (2) dan (3), Pasal 18 ayat (1); 5. Bukti P-5 : Foto copy Undang-undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8; 6. Bukti P- 6 : Foto copy Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No. 8 Tahun 1981 Pasal 1 ayat (7); 7. Bukti P-7 : Foto copy surat yang diajukan kuasa hukum Pemohon kepada Menteri Dalam Negeri RI, dengan nomor 083/SHD/XI/2005 tertanggal 23 Nopember 2005, perihal permohonan pencabutan kembali Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131.25-1016 Tahun 2005 tentang pemberhentian sementara Bupati Sarolangun Provinsi Jambi;

8. Bukti P-8 : Foto copy Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.25-1016 Tahun 2005 yang ditujukan kepada Drs. H. Muhammad Madel, MM yang menyatakan memberhentikan sementara Drs. H. Muhammad Madel, MM selaku Bupati Sarolangun; 9. Bukti P-9 : Foto copy Surat Kuasa dari Bupati Sarolangun bertanggal 19 Nopember 2005; Menimbang, bahwa disamping mengajukan bukti-bukti sebagaimana tersebut diatas, Pemohon telah pula mengajukan 2 (dua) orang ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut :

Ahli Pemohon, Jawahir Tantowi, SH, Phd

� Bahwa ahli mempunyai keahlian di bidang sosiologi hukum dan hukum administrasi; � Bahwa Pasal 31 Undang-undang a quo bila dipandang dari segi teori legal drafting Robert Sigmund, mengandung kelemahan karena menimbulkan multitafsir, buktinya adalah bahwa undang-undang adalah produk legislatif tetapi pada pasal yang sama mengintruksikan langsung kepada Presiden tanpa prosedur melibatkan DPR, padahal diskresi adalah di luar konteks lembaga legislatif sehingga ada percampuran esensi hukum dan substansi hukum. � Bahwa dengan menyamaratakan jenis-jenis delik dalam satu pasal jelas tidak memberikan pemihakan kepada upaya keadilan, karena korupsi disamakan dengan extra ordinary crime adalah tidak sesuai dengan konvensi korupsi tahun 2004 dimana yang termasuk extra ordinary crime adalah pidana terorisme, bedanya adalah pidana korupsi bukan pidana kemanusiaan (the crimes against humanity), kejahatan perang, dan kejahatan agresi, dan karena korupsi berbeda dengan terorisme, maka tentu pertanggungjawabannya juga akan berbeda. � Bahwa pemberhentian sementara ataupun pemberhentian tetap, dalam faktanya adalah termasuk hukuman (punishment) karena dampaknya pada masyarakat adalah sama, meskipun pemberhentian sementara adalah apa yang disebut sebagai the sign of guilty, bukan the sign of innocence. Sehingga pertanggungjawabannya adalah menyangkut masalah objek. Dalam asas hukum, ada sebuah istilah bahwa hukum harus ditetapkan dalam keadaan konkret faktual bukan bayangan;

� Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa konsekuensi dari pasal interpretatif tersebut menimbulkan konsekuensi penegakan hukum yang diskriminatif, dan undang-undang mestinya justru mencegah timbulnya perlakuan yang diskriminatif bagi subjek hukum. Sehingga Ahli khawatir bila pasal tersebut dipertahankan akan menimbulkan apa yang disebut dengan sebuah keadilan yang sesat (the obstruction of justice). � Bahwa mengenai kejahatan korupsi telah ada arah internasionalisasi dengan istilah internasional jurisdiction sedangkan mengenai terorisme, dalam konvensi internasional sudah ditetapkan sebagai bukan hanya kejahatan luar biasa tetapi sebagai kejahatan kemanusiaan. Persoalannya derajat atau kualitas perbuatan antara korupsi dengan terorisme itu sangat berbeda, yang satu adalah masih seperti hukum positif kita, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki semacam kewenangan bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi di luar negeri. Konsekuensinya, � Bahwa penempatan kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa tapi sama sekali tidak identik dengan kejahatan terorisme yang memiliki implikasi global dan implikasi kewenangan peradilan internasional. Setidak-tidaknya konsep atau istilah korupsi keluar dari pasal tersebut. Karena percampuran itulah menurut ahli perundang-undangan seperti Robert Sidman tidak koheren, adanya korupsi dan makar, sangat bertentangan dengan asasasas umum, terutama karena dalam kejahatan korupsi dibenarkan adanya free and tips ride yang jelas bertentangan dengan prinsip presumption of innocence. � Bahwa persoalan sistem hukum yang berbeda antara common law dan civil law. Di dalam common law kita mengakui tentang the doctrine of precedence of legal precedence, di mana kebenaran-kebenaran putusan hukum yang telah ditetapkan oleh in kracht oleh hakim dari tingkat pertama,

kedua, sampai Mahkamah Agung itu bisa dijadikan turunan, bisa dijadikan argument yang terus menerus bagi hakim-hakim berikutnya.

� Bahwa dalam civil law, sangat menekankan kebenaran yang diyakini oleh hakim. Akan tetapi dilihat bahwa dimensi hukum kita sekarang semakin lintas, artinya hubungannya itu semakin lintas negara antara sistem yang satu dengan yang lain semakin ada kecenderungan untuk mengambil hukum nilai-nilai positifnya dari sistem hukum. � Bahwa tidak ada suatu larangan, bahkan di dalam hukum adat kita, hukum adat kita dulu menganut doktrin hukum atau doctrine legal precedence itu. Perkembangan hukum khususnya dilihat dari perkembangan sosio hukum atau living law, perlu menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim, terbukti ada kasus-kasus seperti Akbar Tanjung, Letjen Suyono dan mungkin ada yang lain yang betul-betul menduduki jabatan tertentu tapi tidak pernah, digeser kedudukannya. � Bahwa Indonesia termasuk negara yang sangat memperihatinkan perihal kejahatan korupsi. Tetapi proses atau prosedur hukum yang harus dijalani tetap harus berada pada koridor-koridor yang diinginkan oleh prinsip-prinsip goods governance ataupun clean governance. dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang a quo, Ahli melihat ada beberapa point yang memberikan peluang adanya abuse of power ketika prosedur itu langsung kepada Presiden. Seharusnya diberikan peluang untuk evaluasi terhadap benar tidaknya proses itu sebelum masuk ke lembaga-lembaga yudisial yang memang dibenarkan oleh due process of law. � Bahwa kita memiliki sebuah keniscayaan sejarah ketika globalisasi masuk. Akan tetapi kita menyadari betul bahwa undang-undang yang berkaitan dengan penanaman modal asing, undang-undang yang berkaitan dengan sistem perbankan, lepas dari kekuasaan-kekuasaan internasional. Sedangkan korupsi tidak lepas. Artinya bahwa pemahaman dan pendekatan pada prosedur hukum itu tidak bisa hanya dilihat dari sistem hukum nasional. Dengan kata lain, ada wilayah-wilayah ataupun prinsip-prinsip internasional yang harus diaplikasikan dan ada wilayah-wilayah di mana integritas dan independen kita sebagai negara tidak bisa dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk misalnya IMF di dalam persoalan undang-undang berkaitan dengan PMA.

� Bahwa yang pertama, bila dilihat Pasal 31 ayat (1), ada unsur-unsur inkonstitusional adalah akibat dari dakwaan atau pemberhentian sementara yang mengakibatkan nama subjek hukum menjadi tidak baik. Apalagi dalam situasi sekarang, yang bersangkutan akan menjadi calon Bupati, sehingga ada unsur menjatuhkan nama baiknya yang disebut character assassination dan undang-undang harus berupaya untuk mencegah lahirnya sebuah akibat yang menjatuhkan dari segi itu. Yang kedua, disaat ada oknum yang diduga korupsi, tetapi tidak dibawa ke pengadilan untuk alasan apapun, adalah sebuah perbandingan tidak benar yang didasarkan pada jabatan yang berbeda-beda. Yang paling penting itu adalah ada equality before the law, karena sebagai warga negara, Presiden, Gubernur, Bupati, citizen, we are citizen of Indonesia, adalah melanggar hak konstitusional. � Bahwa sangat penting untuk menempatkan konsep-konsep, termasuk jenisjenis kejahatan dalam sebuah peraturan, apalagi hal ini adalah peraturan yang menyangkut pemerintahan daerah yang sarat dengan kepentingan politik. � Bahwa persoalan presumption of innocence, memang tidak ada larangan pencantuman konsep-konsep terorisme, korupsi, makar, dan sebagainya. tetapi ada prinsip-prinsip hukum acara yang sangat berbeda untuk diterapkan pada kejahatan terorisme dengan kejahatan korupsi. Ahli khawatir bila prosedur hukum dicampurkan atau disamaratakan, apalagi yang berkaitan dengan preemptive strike berkaitan dengan kemungkinan intelejen, atau data-data intelejen bisa dijadikan bukti awal untuk persoalan terorisme, � Bahwa pemberhentian sementara itu sebagai hukuman, Orang sudah yang dikatakan telah diberhentikan sementara, maka publik secara faktual menganggap dia telah salah. � Bahwa hukum kita itu bukan hukum untuk pejabat dan kita-kita saja, tetapi masyarakat juga harus tahu hukum itu. � Bahwa pemberhentian sementara secara faktual disamakan sebagai hukuman, meskipun tidak ada di dalam hukum pidana, yang itu dipandang oleh masyarakat berarti subjek sudah salah. � Bahwa pemberhentian sementara paling tidak dalam tingkat awal merupakan pelanggaran terhadap presumption of innocence. � Bahwa apabila konsep terorisme dikeluarkan sebagaimana yang disampaikan adalah benar, maksudnya ketika kita memandang bahwa korupsi itu sebagai extra ordinary crime, dan mempunyai kesamaan dalam hal tertentu dengan terorisme sebagai acces tapi yang paling penting itu ada unsur-unsur dalam kejahatan terorisme yang tidak ada dalam korupsi. � Bahwa kekhawatiran ahli, adalah akan timbulnya sebuah putusan atau prosedur yang menyesatkan, misalnya pada saat seorang yang diduga korupsi, sesuai dengan undang-undang yang kita punyai, maka asas praduga tak bersalah menurut hukum pidana positif kita dipertahankan, tetapi bagi terorisme dalam konvensi internasional, termasuk di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 kita, untuk kasus-kasus kejahatan terorisme, tanpa ada bukti apapun seorang penegak hukum dimungkinkan untuk menangkap dengan kata-kata pre emptive strike dan itu sebagai sebuah exceptional clausal karena kejahatan terorisme sebagai kejahatan kemanusiaan, kejahatan yang sama dengan work crime, kejahatan yang sama dengan genocide, sehingga pre emptive strike di dalam hukum internasional termasuk Undang-undang Nomor 15 kita, dibenarkan. Ahli Pemohon, Dr. Rudy Satriyo, S.H, M.H.

� Bahwa secara umum, baik hukum formil maupun hukum materiil dapat dikatakan sebagai suatu hal yang sama. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, masing-masing hukum tersebut itu mengatur secara berbeda. Hal yang berhubungan dengan masalah asas berlaku ketentuan umum lex spesialis derogate lex generalis. Artinya, ketentuan yang lebih khusus memungkinkan untuk kemudian menyimpangi dari aturan yang umum. Tapi untuk beberapa prinsip yang berhubungan dengan persoalan, seperti asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia, maka semuanya harus dalam kondisi yang sama. � Bahwa secara prinsip tidak ada satu dasar hukum pun yang memperbolehkan hukum yang didasarkan pada rasa ewuh pakewuh atau merasa suatu hal yang tidak enak. Sebab kalau kemudian kita bicara soal diberhentikan sementara, maka kemudian harus diartikan sebagai suatu persoalan sanksi. Kalau kemudian kita bicara soal sanksi, maka harus dibuktikan terlebih dahulu tentang kesalahan terdakwa tersebut dan pada putusan tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bersalah. Kalau sanksi pemberhentian sementara tersebut, adanya pada awal proses, maka sudah melanggar asas praduga tak bersalah. Karena belum dinyatakan bersalah oleh hakim dengan kekuatan hukum yang tetap sudah dikenakan sanksi tersebut.

� Bahwa pemahaman ahli yang didasarkan pada Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disebut dengan proses penuntutan adalah pada saat penyerahan berkas perkara tersebut ke pengadilan, itu yang dinamakin dengan proses-proses penuntutan. Sehingga kalau bicara soal pengertian proses penuntutan dalam arti kata yang luas, maka pengertiannya adalah ketika Jaksa Penuntut Umum mengajukan berkas kepada pengadilan. Dalam pengertian yang sempit, maka adalah pada saat pembacaan surat dakwaannya. � Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 27D, telah menggarisbawahi secara tegas perlunya asas legalitas atau kepastian hukum bagi seseorang, bagi warga negara. kemudian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, khususnya Pasal 31 Ayat (1), secara serta merta juga mengatur tentang sanksi. Meskipun barangkali sanksi menurut tata usaha negara bisa dalam bentuk teguran, kemudian peringatan, juga dalam bentuk pemberhentian sementara, maupun pemberhentian tetap, tetapi dalam prakteknya ini adalah sebagai sanksi. Hak Pemohon sudah dimatikan secara sistemik dalam proses, baik hak-hak dia sebagai pejabat Bupati maupun sebagai warga negara Indonesia. � Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan amandemen yang kedua pada Pasal 28D pada ayat (1). yang disebut dengan asas praduga tidak bersalah harus diterapkan untuk semua jenis kasus atau kepada siapapun orang yang berperkara dalam suatu persoalan hukum pidana. Mengenai sanksi, yang disebut dengan pemberhentian sementara, tidak dapat dikenakan kepada seseorang, siapapun dia kalau dalam posisi seorang sebagai tersangka atau terdakwa. � Bahwa asas praduga tidak bersalah adalah menyangkut di dalamnya soal sanksi pidana. Kalau dilanggar, maka bicara soal pelanggaran akan asas praduga tidak bersalah, sampai seorang terdakwa ada putusan yang

menyatakan bersalah dalam kekuatan hukum tetap atas dirinya adalah juga pelanggaran pidana.

Menimbang bahwa Pemohon pada persidangan tanggal 8 Maret 2006 telah pula menyerahkan keterangan tertulis dari ahli bernama Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH, M.Si, yang pada pokoknya mengemukan sebagai berikut:

Bupati Sarolangun merasa hak konstitusinya telah terlanggar sehubungan adanya pemberhentian sementara dari Menteri Dalam Negeri. Pernberhentian sementara tersebut dilakukan karena Bupati Sarolangun tersangkut perkara korupsi dalam status sebagai terdakwa dan saat ini atas perkara tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang pasti (masih dalam proses pengadilan), dan dengan adanya pemberhentian sementara tersebut Bupati secara pribadi merasa hak-hak konstitusinya sangat dirugikan, pembunuhan karakter sudah terjadi sehubungan adanya pemberhentian sementara tersebut seolah-olah Bupati Sarolangun tersebut sudah dikalahkan/dirugikan dalam proses berlangsungnya penegakan hukum (sudah dikalahkan dalam proses) padahal kita belum tahu bagaimana hasil akhir dari perkara pidana korupsi tersebut. Terutama lawan-lawannya sangat diuntungkan apalagi media massa seolah-olah senantiasa selalu memberitakan secara tendensius seperti layaknya Bupati tersebut sebagai terpidana. Dasar hukum yang dipergunakan untuk memberhentikan Bupati tersebut adalah Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Inti sari dari sistem peradilan Mahkamah Konstitusi adalah terletak pada norma yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Artinya apakah dengan adanya norma-norma yang terkandung dalam Pasal 31 ayat (I) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut bertentangan atau tidak dengan konstitusi yaitu UUD 1945 dengan seluruh perubahannya. Apabila memang bertentangan, maka Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 wajib diamandemen.

Aktual-faktual seorang Bupati Sarolangun yang berstatus sebagai Terdakwa dalam perkara pidana korupsi oleh aparat penegak hukum tidak ditahan maka sesungguhnya Bupati tersebut tidak ada halangan sedikitpun untuk dapat menjalankan fungsi dan tugasnya selaku pejabat administrasi di Kabupaten dalam fungsinya selaku Bupati Kepala Daerah. Terkecuali Bupati Sarolangun tersebut tidak disukai oleh rakyatnya kemudian terjadi resistensi

sehingga mengakibatkan roda pemerintahan di kabupaten terganggu/tidak dapat berjalan, apalagi misalnya sampai terjadi pendudukan oleh rakyat atas Kantor Kabupaten dan aparat keamanan tidak rnampu mengendalikan maka otomotis Bupati tersebut dapat diberhentikan sementara Apabila dalam kenyataannya Bupati tersebut tidak ditahan oleh aparat, rakyat tidak ada gejolak sedikitpun apalagi jika rakyat sebagian terbesar mendukungnya maka Bupati yang seperti kualifikasi tersebut rasanya tidak perlu secara administratif dihukum dengan cara diberhentikan sementara.

Pemberhentian Bupati Sarolangun oleh Menteri Dalam Negeri yang mendasarkan pada Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1 ) UUD 1945 yang berbunyi: Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pernerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak. ada kecualinya. Pasal ini mengakui adanya persamaan hak di dalam hukum dan pemerintahan (Equality before the Law).

Di samping itu pemberhentian Bupati Sarolangun juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang secara tekstual berbunyi sebagai berikut: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukurn yang adil serta sama di hadapan hukum, artinya Negara memberikan jaminan perlindungan dan persarnaan hukurn kepada semua warga negaranya tanpa pengecualian (asas legalitas).

Berdasarkan teori hierarki peraturan-perundang-undangan oleh Hans Kelsen dan Nawiasky menyatakan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Jadi Pasal 31 ayat (1) UU No, 32 Tabun 2004 yang menjadi dasar pemberhentian sernentara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Pemberhentian Bupati Sarolangun sebelum diputuskannya perkara korupsi oleh Pengadilan menyalahi asas kepastian hukum atau asas legalitas karena proses peradilan di Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Aspek kepastian hukum tersebut telah ditentukan dengan sangat jelas oleh UUD 1945 dengan rnaksud agar supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi rnanusia.

Kita semua berharap dengan memanjatkan doa kepada Tuhan YME agar supaya penghormatan dan penghargaan dan persaman di dalam hukum (acts equality het re the Law) yang secara jelas dan tegas dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan asas kepastian hukum atau asas legalitas yang secara jelas dan tegas dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dapat ditegakkan.

Menimbang, bahwa pada persidangan tanggal 22 Pebruari 2006

Pemerintah menyerahkan keterangan tertulis yang menguraikan sebagai

sebagai berikut :

I . UMUM Salah satu perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah dilaksanakannya perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan pertama sampai perubahan keempat), salah satunya adalah pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, yang sebelumnya pemilihan tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan tidak lagi dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) , tetapi di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut ketentuaan Undang-Undang Dasar.

Ketentuan diatas menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang politik, diantaranya undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, undang-undang tentang pemilu, undang-undang tentang Partai Politik, undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan undangundang yang mengatur pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung.Wujud nyata kedaulatan rakyat diantaranya adalah dalam pelaksanaan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, maupun pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, semuanya dilaksanakan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan negara hukum dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara yuridis dasar pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dapat ditemukan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa

"Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis" Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pertama pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),dan keduapemilihansecaralangsungolehrakyat.DalamUndang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian makna pemilihan Kepala Daerah secara demokratis sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang Iebih demokratis, transparan dan bertanggungjawab, karena itu untuk menjamin pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkualitas harus memenuhi derajat kompetisi yang sehat maka persyaratan dan tata cara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah Iainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pernberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah Iainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah Pusat, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah Pusat wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah Pusat termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan Pemerintah Pusat dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan' penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh Pemerintah Pusat, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan jabatan, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah balk peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pemberhentian sementara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

I I . KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon

adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

a.perorangan warga negara Indonesia;

b.kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai,

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c.badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan :

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji. c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut menurut yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Menurut Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena Pemohon yang didakwa dalam kasus tindak pidana korupsi merasa telah diperlakukan tidak adil didepan hukum, yaitu dengan menjatuhkan pemberhentian sementara sebagai Kepala Daerah (Bupati Sarolangun, Jambi) oleh Presiden tanpa menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang berlaku bagi setiap orang (presumption of innocence).

Pemerintah berpendapat pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah oleh Presiden tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, adalah dalam rangka menjunjung tinggi wibawa hukum dan kesamaan didepan hukum (equality before the law), sehingga proses pemeriksaan di pengadilan sampai pembacaan putusan Hakim diharapkan berjalan lancar tanpa adanya intervensi dari Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Karena itu perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

Pemerintah beranggapan bahwa pemberhentian sementara terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara adalah dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan, yaitu antara lain prinsip akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas (sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). juga didasari pemikiran agar roda pemerintahan di daerah

tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa terganggu jalannya proses peradilan yang panjang dan melelahkan. Karena itu Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

I I I . PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Sehubungan dengan anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan: Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan : " Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara".

Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

berbunyi sebagai berikut :

Pasal 27 ayat (1) menyatakan : " Segala warga negara bersamaan

kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,.

Pasal 28D ayat (1) menyatakan : " Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".

Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut :

1. Bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah),adalah dalam rangka menjaga wibawa hukum dan persamaan di muka hukum (equality before the law), sehingga aparat penegak hukum (khususnya Hakim) tidak ewuh-pakewuh dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut. 2. Bahwa pemberhentian sementara dari jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan "yang dimaksud dengan "didakwa" dalam ketentuan ini adalah berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan dalam proses penuntutan" menunjukkan bahwa pemberhentian sementara kepala daerah dimaksud dapat dilakukan setelah perkara yang diperiksa tersebut, telah sampai di pengadilan untuk selanjutnya dilakukan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga kepala daerah yang telah diberhentikan untuk sementara waktu dapat mengikuti/menghadiri proses persidangan, tanpa adanya halangan/rintangan dalam pelaksanaan tugas sebagai Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. 3. Bahwa mengingat Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagai pejabat negara mempunyai kesibukan yang sangat padat, maka pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tersebut dimaksudkan agar proses pemeriksaan di pengadilan sampai pembacaan putusan Hakim tidak mengganggu kesibukan/tugas-tugas keseharian penyelenggaraan pemerintahan daerah utamanya dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. 4. Bahwa Pemerintah menjunjung tinggi dan menghargai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : " Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap". Karena itu Pemerintah berpendapat bahwa pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana adalah rangka menghormati dan menjunjung tinggi asas presumption of innocence tersebut, yang pada gilirannya bila Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan maka yang bersangkutan harus dipulihkan nama balk dan jabatannya.

IV. KESIMPULAN Dari uraian tersebut diatas, maka ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon (void) seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard); 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan: Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5. Menyatakan: Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tetap berlaku diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian apabila Ketua/ Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono) dengan menjunjung tinggi sikap kenegarawanan. Menimbang bahwa pada tanggal 06 Maret 2006, Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi telah menerima keterangan tertulis dari DPR RI yang menguraikan sebagai sebagai berikut :

MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN :

Di dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa :

Pada Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1).

Terhadap permohonan tersebut disampaikan keterangan sebagai berikut:

1. Pemberhentian sementara yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah, karena proses hukum memakan waktu yang cukup lama mulai dari penyidikan, penuntutan, dan atau peradilan. 2. Pemberhentian sementara juga dimaksudkan untuk memudahkan urusan penyelenggaraan pemerintahan dimana tugas-tugas Bupati yang dialihkan kepada pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah tidak akan terpengaruh atas proses hukum yang dikenakan pada Bupati yang berstatus sebagai terdakwa. 3. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan tanpa melalui DPRD, pengaturan ini merupakan bentuk penegasan adanya supervisi Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah. 4. Tidak diikutsertakannya DPRD dalam proses pemberhentian sementara, mengacu pada definisi pemerintahan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa �Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. Dalam hal itu maka bupati bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri sebagai pemangku jabatan dan oleh karena itu dalam hal melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa bupati bertanggung jawab untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dengan demikian pemberhentian sementara oleh Presiden untuk kepentingan pemeriksaan harusnya tidak memerlukan pertimbangan DPRD. 5. Untuk menjamin kepastian hukum serta memudahkan aparat penegak hukum dalam melakukan proses peradilan terhadap terdakwa yang telah dibebastugaskan dari jabatan publik. Dengan dibebastugaskannya pejabat tersebut, maka ia tidak dapat melakukan intervensi dan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik menyangkut kasus yang didakwakan kepadanya. 6. Dalam kaitannya dengan proses hukum pemberhentian sementara

dilakukan pada terdakwa selama ia masih menjabat sebagai Bupati agar tidak menimbulkan kekhawatiran (konflik kepentingan) bahwa terdakwa dapat merusak dan/atau menghilangkan barang bukti.

7. Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa : a. Semangat perumusan Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan ketentuan 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan tidak mengganggu proses hukum yang sedang dilaksanakan. b. Undang-undang ini memberi sanksi yang tegas kepada pejabat khususnya kepala daerah dan yang terlibat tindak pidana korupsi bahkan memberikan kewenangan bagi presiden sebagai penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi untuk memberhentikan pejabat yang korupsi tersebut. c. Pada waktu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dibuat, sedang gencarnya pemberantasan tindak pidana korupsi atau yang disebut extra ordinary crime dengan semangat itulah Undang-Undang ini memberikan wewenang sepenuhnya kepada presiden untuk secara langsung memberhentikan pejabat-pejabat publik yang didakwa melakukan tindak pidana tersebut dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. d. Menghindari konflik kepentingan yang dilakukan oleh terdakwa selaku Bupati agar tidak mengganggu proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka materi muatan Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Karena dalam permohonan Pemohon menekankan presumption of innocence yang tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menimbang bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini maka segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari putusan ini;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana diuraikan di atas;

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut materi permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:

� Pertama, apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; � Kedua, apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo;

Terhadap kedua permasalahan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

1. Kewenangan Mahkamah Menimbang bahwa, tentang kewenangan Mahkamah, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan antara lain bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);

Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang, in casu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan a quo.

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan, �Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara�. Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak tersebut terlebih dahulu harus menjelaskan:

a. kualifikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat (yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b di atas), badan hukum (publik atau privat), atau lembaga negara; b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang; Menimbang bahwa berdasarkan 2 (dua) ukuran dalam menilai dimiliki atau tidaknya kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tersebut di atas, telah menjadi yurisprudensi Mahkamah bahwa syarat-syarat kerugian konstitusional yang harus diuraikan dengan jelas oleh Pemohon dalam permohonannya, yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya telah menjelaskan kualifikasinya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UUMK, yaitu sebagai perorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Sarolangun, Provinsi Jambi;

Menimbang bahwa dalam kualifikasi demikian, Pemohon menganggap telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 31 ayat (1) UU Pemda karena pada saat permohonan a quo diperiksa Mahkamah, Pemohon telah diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur Jambi, yaitu dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131-25-1016 Tahun 2005 bertanggal 18 November 2005 tentang Pemberhentian Sementara Bupati Sarolangun Provinsi Jambi yang menjadikan Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut sebagai dasar pemberhentian sementara dimaksud;ng, berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK, maka Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kualifikasi untuk mengajukan permohonan a quo;

Menimbang lebih jauh bahwa hak-hak yang oleh Pemohon dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan a quo, yaitu hak untuk diperlakukan tak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, dan hak atas kepastian hukum adalah hak-hak yang merupakan bagian dari hak-hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945;

Menimbang bahwa, menurut anggapan Pemohon, hak-hak konstitusional Pemohon itulah yang secara aktual telah dirugikan oleh pemberhentian sementara terhadap diri Pemohon dari jabatan Bupati Sarolangun dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131-25-1016 Tahun 2005 bertanggal 18 November 2005 tentang Pemberhentian Sementara Bupati Sarolangun Provinsi Jambi;

Menimbang bahwa, sebagaimana dijelaskan oleh Pemohon dalam permohonannya, terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dimaksud adalah karena Pemohon didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan dakwaan tersebut, pada saat permohonan a quo diperiksa oleh Mahkamah, telah sampai pada tahap proses penuntutan di pengadilan, sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang atas dasar itu Gubernur Jambi kemudian mengusulkan pemberhentian sementara Pemohon dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat keputusan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, telah nyata terdapat hubungan kausal antara anggapan Pemohon tentang kerugian hak konstitusional yang dideritanya dan berlakunya Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda;

Menimbang, berdasarkan seluruh anggapan Pemohon sebagaimana diuraikan di atas, telah nyata pula bahwa kerugian hak-hak konstitusional Pemohon dimaksud tidak akan terjadi lagi seandainya permohonan a quo dikabulkan;

Menimbang, dengan berdasar pada seluruh uraian di atas, Mahkamah berpendapat bahwa syarat kerugian konstitusional telah terpenuhi. Sementara itu, Pemohon telah jelas pula kualifikasinya dalam permohonan a quo, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda;

Menimbang, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan oleh karena permohonan a quo diajukan oleh pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok atau substansi permohonan.

3. Pokok Permohonan Menimbang bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang oleh Pemohon didalilkan bertentangan dengan UUD 1945, masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 ayat (1), �Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara�, sedangkan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut berbunyi, �Yang dimaksud dengan �didakwa� dalam ketentuan ini adalah berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan dalam proses penuntutan�;

Menimbang, oleh karena Pemohon mendasarkan dalilnya bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 karena ketentuan tersebut melanggar asas praduga tak bersalah, asas persamaan di muka hukum, dan asas kepastian hukum, dan bersifat diskriminatif maka yang menjadi permasalahan utama yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam permohonan a quo adalah apakah benar ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasannya dimaksud bertentangan dengan:

� asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) karena terhadap diri Pemohon belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakannya bersalah; � asas persamaan di muka hukum (equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUD 1945 karena Pemohon merasa tidak

diperlakukan sama dibandingkan dengan perkara Ir. Akbar Tanjung yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat menjabat sebagai Ketua DPR dan Mayor Jenderal Sriyanto yang didakwa melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat pada saat menjabat sebagai Danjen Kopassus tetapi keduanya tidak diberhentikan sementara dari jabatannya, sehingga Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dimaksud, menurut Pemohon, juga bersifat diskriminatif;

� asas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, �Setiap orang berhak atas pangakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum� karena dakwaan yang ditujukan kepada Pemohon belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi Pemohon sudah diberhentikan sementara oleh Menteri Dalam Negeri, sehingga Pemohon menganggap tidak ada kepastian hukum; Menimbang bahwa dalam memeriksa permohonan a quo, di samping telah mempelajari secara seksama keterangan serta bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Mahkamah telah pula membaca keterangan tertulis dan mendengar keterangan lisan Pemerintah, membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendengar keterangan para ahli yang diajukan Pemohon, yang uraian selengkapnya telah dikemukakan pada bagian Duduk Perkara;

Menimbang bahwa Pemerintah dalam keterangan tertulisnya bertanggal 22 Februari 2006 dan ditandatangani oleh Hamid Awaludin (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan H. Moh. Ma�ruf (Menteri Dalam Negeri), selaku kuasa hukum pemerintah, pada intinya menyatakan bahwa pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah oleh Presiden tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, adalah dalam rangka menjunjung tinggi wibawa hukum dan kesamaan di depan hukum (equality before the law), sehingga proses pemeriksaan di pengadilan sampai pembacaan putusan Hakim dapat berjalan lancar tanpa adanya intervensi dari Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Menurut Pemerintah, tindakan demikian perlu diambil dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan, yaitu prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas, sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Selain itu, pemberhentian sementara dimaksud juga didasari oleh pemikiran agar roda pemerintahan di daerah tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa terganggu oleh jalannya peradilan. Keterangan tertulis Pemerintah tersebut kemudian dipertegas kembali dalam keterangan lisan Pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri, pada persidangan tanggal 22 Februari 2006;

Menimbang bahwa DPR, dalam keterangan tertulisnya bertanggal 6 Maret 2006, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal yang sama, pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

� bahwa pemberhentian sementara, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah; � bahwa pemberhentian sementara juga dimaksudkan untuk memudahkan urusan penyelenggaraan pemerintahan, di mana tugas-tugas Bupati yang dialihkan kepada pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah tidak akan terpengaruh oleh proses hukum yang dikenakan pada Bupati yang berstatus sebagai terdakwa; � bahwa pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tidak memerlukan pertimbangan DPRD, karena dalam hal melakukan perbuatan pidana, yang bersangkutan bertanggung jawab untuk dan atas nama dirinya sendiri; � bahwa dengan pemberhentian sementara dimaksud maka yang bersangkutan tidak dapat melakukan intervensi dan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik menyangkut kasus yang didakwakan kepadanya; � bahwa dengan pemberhentian sementara tersebut, tidak timbul kekhawatiran bahwa yang bersangkutan dapat merusak dan/atau menghilangkan barang bukti; Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan 2 (dua) orang ahli yang diajukan Pemohon yaitu Jawahir Thantowi, S.H., Ph.D. dan Dr. Rudy Satriyo, S.H., M.H. masing-masing pada persidangan tanggal 22 Februari 2006 dan 8 Maret 2006, serta membaca keterangan tertulis ahli Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si. yang disampaikan Pemohon dan diterima di

Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 Maret 2006, yang masing-masing pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

� Ahli Jawahir Thantowi, S.H., Ph.D. Bahwa pemberhentian sementara maupun pemberhentian tetap sesungguhnya adalah hukuman (punishment). Dampak kedua hal itu dalam masyarakat sama. Bahwa ahli khawatir jika ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut dipertahankan, akan timbul obstruction of justice yang melahirkan keadilan yang sesat. Ketentuan tersebut juga memberikan peluang adanya abuse of power, padahal bupati itu dipilih langsung oleh rakyat. Bahwa, menurut ahli ini, ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda juga menimbulkan multitafsir, karena terjadi pencampuradukan substansi hukum. Sebab, meskipun jenis-jenis kejahatan yang diatur dalam ketentuan tersebut sama-sama merupakan extraordinary crimes tetapi kalau objeknya berbeda maka hal itu akan membawa konsekuensi penegakan hukum yang diskriminatif. � Ahli Dr. Rudy Satriyo, S.H., M.H. Bahwa pemberhentian sementara adalah sanksi dan oleh karena hal itu merupakan sanksi maka harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa terdakwa bersalah dan telah ada putusan yang menyatakan terdakwa bersalah. Kalau sanksi yang dinamakan pemberhentian sementara itu sudah ada pada awal proses maka hal itu telah melanggar asas praduga tak bersalah. Bahwa menurut ahli, asas praduga tak bersalah tersebut adalah absolut, dalam arti kapan pun, dalam kondisi bagaimanapun, dalam tindak pidana apa pun asas ini tidak dapat dikurangi. Bahwa karena itu sanksi yang dinamakan pemberhentian sementara tidak dapat dikenakan kepada seseorang, siapa pun dia, kalau orang itu dalam status tersangka dan terdakwa. Seorang pejabat tidak perlu diberhentikan sementara selama dia menjalani proses pemeriksaan persidangan selama yang bersangkutan memungkinkan tetap mengikuti jalannya persidangan, kecuali nanti terbukti mempersulit jalannya pemeriksaan persidangan mungkin hakim akan menyatakan hal yang berbeda.

� Ahli Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si.

Bahwa seorang bupati, in casu Bupati Sarolangun, yang berstatus terdakwa dalam perkara pidana korupsi, oleh aparat penegak hukum tidak ditahan, maka sesungguhnya bupati tersebut tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, kecuali bupati tersebut tidak disukai oleh rakyatnya dan kemudian terjadi resistensi sedemikian rupa yang mengakibatkan roda pemerintahan terganggu atau tidak berjalan maka bupati tersebut dapat diberhentikan sementara. Apabila keadaan demikian tidak terjadi maka rasanya tidak perlu secara administratif dihukum dengan cara pemberhentian sementara. Bahwa pemberhentian sementara Bupati Sarolangun oleh Menteri Dalam Negeri yang mendasarkan pada Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, pemberhentian sementara tersebut juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa pemberhentian sementara Bupati Sarolangun sebelum diputuskannya perkara korupsi oleh pengadilan adalah menyalahi asas kepastian hukum atau asas legalitas karena proses peradilan di Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah.

Menimbang bahwa setelah memperhatikan dengan seksama dalil-dalil Pemohon, keterangan tertulis maupun lisan dari Pemerintah, keterangan tertulis DPR, keterangan para ahli yang diajukan Pemohon, serta fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan, maka terhadap dalil-dalil Pemohon Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

� Bahwa, sebelum menjawab pertanyaan apakah pemberhentian sementara seorang pejabat publik, in casu bupati, yang didakwa melakukan kejahatan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, bertentangan dengan prinsip atau asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), Mahkamah memandang penting untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah prinsip atau asas yang berlaku dalam bidang hukum pidana yang merupakan hak seorang tersangka atau terdakwa untuk dianggap tak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hak demikian bukan hanya dijamin oleh UUD 1945, sebagai konstitusi dari sebuah negara hukum, tetapi secara universal juga telah diterima sebagai bagian dari hak-hak sipil dan politik yang karenanya harus

dihormati, dilindungi, dan dijamin pemenuhannya. Pasal 14 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR) menyatakan, �Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law�. Indonesia, sebagai negara hukum, telah pula mencantumkan ketentuan demikian dalam berbagai undang-undang, antara lain, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, �Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan�. Sedangkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, �Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap�.

Berdasarkan ketentuan baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional, sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam sejumlah undangundang di atas, telah nyata bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam bidang hukum pidana, khususnya dalam rangka due process of law. Secara lebih khusus lagi, asas tersebut sesungguhnya berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof, bewijslast) di mana kewajiban untuk membuktikan dibebankan kepada negara, c.q. penegak hukum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana prinsip pembuktian terbalik (omgekeerde bewijslast) telah dianut sepenuhnya.

Sementara itu, yang dirumuskan oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, adalah keadaan yang menggambarkan bekerjanya dua proses dari dua bidang hukum yang berbeda namun berhubungan, yaitu proses hukum tata usaha negara dalam bentuk tindakan administratif (administrative treatment) berupa pemberhentian sementara

terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, dan proses hukum pidana yaitu dituntutnya pejabat tata usaha negara tersebut dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu. Untuk adanya proses hukum yang disebut terdahulu, yaitu tindakan administratif pemberhentian sementara, dipersyaratkan adanya proses hukum yang disebut belakangan, yaitu telah dituntutnya seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu. Prinsip atau asas praduga tak bersalah adalah prasyarat terhadap proses yang disebut belakangan, yaitu dalam proses beracara guna membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap seorang pejabat tata usaha negara, in casu bupati, di mana untuk itu diperlukan apa yang dinamakan conclusive evidence atau conclusive proof, yaitu bukti yang sedemikian kuatnya sehingga membuat setiap orang tiba pada kesimpulan bahwa terdakwa bersalah dan karena itu dijatuhi sanksi berupa pidana (hukuman) tertentu. Namun, asas praduga tak bersalah bukanlah prasyarat bagi proses yang disebut terdahulu, yaitu diambilnya tindakan administratif pemberhentian sementara. Sebab, untuk melakukan pemberhentian sementara, karena hanya merupakan tindakan administratif dan bukan dalam rangka menjatuhkan hukuman (punishment), tidak diperlukan apa yang dinamakan bukti yang meyakinkan (conclusive evidence, conclusive proof) melainkan cukup apabila telah ada bukti permulaan yang cukup (presumptive evidence, circumstancial evidence) yaitu bukti yang untuk sementara dapat dianggap benar sampai ada bukti lain yang menunjukkan sebaliknya;

Dalam kasus a quo, presumptive evidence atau circumstancial evidence tersebut adalah fakta perihal telah dimulainya proses penuntutan terhadap seorang pejabat administrasi negara, in casu bupati, yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda. Tatkala presumptive evidence demikian belum ada maka dengan sendirinya tindakan administratif pemberhentian sementara itu tidak dapat dilakukan. Dengan kata lain, jika dihubungkan dengan permohonan a quo, apabila berkas dakwaan atas dugaan kejahatan yang dilakukan oleh seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, telah diserahkan ke pengadilan oleh penuntut umum maka berarti telah terdapat presumptive evidence yang

cukup untuk melakukan tindakan administratif pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut;

Dengan uraian di atas, maka dalil Pemohon yang mengkualifikasikan pemberhentian sementara sama dengan hukuman dalam pengertian hukum pidana, yang dengan cara itu kemudian dibangun konstruksi pemikiran bahwa pemberhentian sementara bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, adalah tidak tepat;

� Bahwa tindakan pemberhentian sementara terhadap pejabat publik, khususnya pejabat tata usaha negara, yang didakwa melakukan tindak pidana adalah penting untuk mendukung bekerjanya due process of law guna mencegah pejabat yang bersangkutan melalui jabatannya mempengaruhi proses pemeriksaan atau tuntutan hukum yang didakwakan kepadanya. Atau sebaliknya, mencegah penegak hukum terpengaruh oleh jabatan terdakwa sebagai kepala daerah dalam budaya hukum yang bersifat ewuh pakewuh. Dengan demikian, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, dengan adanya pemberhentian sementara terhadap seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang didakwa melakukan kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut, setiap orang secara langsung dapat melihat bahwa siapa pun yang melakukan tindak pidana atau kejahatan maka terhadapnya akan berlaku proses hukum yang sama, dalam arti bahwa jabatan yang dipegang seseorang tidak boleh menghambat atau menghalangi proses pertanggungjawaban pidana orang itu apabila ia didakwa melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena jabatan tertentu yang dipegang seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana, menurut penalaran yang wajar, dapat menghambat jalannya proses peradilan pidana terhadap orang yang bersangkutan � yang dikenal sebagai obstruction of justice � maka demi tegaknya prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) harus ada langkah hukum untuk meniadakan hambatan tersebut. Dalam kaitan dengan permohonan a quo, tindakan administratif berupa pemberhentian sementara seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang didakwa melakukan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda justru merupakan langkah hukum untuk meniadakan potensi obstruction of justice tersebut;

� Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bersifat diskriminatif. Terhadap hal ini, penting untuk dipahami bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya (vide Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia); Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005. Article 2 International Covenant of Civil Political Rights berbunyi: �Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status�;

Dalam hubungannya dengan permohonan a quo, keadaan tersebut tidak terjadi. Pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat

(1) UU Pemda dan Penjelasannya diberlakukan terhadap Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota). Dalam hubungan ini, berlaku adagium yang berbunyi �Ubi eadem ratio, ibi idem jus�, pada alasan yang sama berlaku hukum yang sama. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila pemberhentian sementara terhadap Pemohon dari jabatan Bupati Sarolangun dikatakan bersifat diskriminatif dengan cara membandingkannya dengan pejabat publik atau pihak lain dalam kualifikasi yang berbeda dan diatur oleh undang-undang yang berbeda. Misalnya, sebagaimana dibandingkan oleh Pemohon, Ir. Akbar Tanjung selaku Ketua DPR RI yang pernah berstatus sebagai terdakwa di pengadilan, tetapi tidak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI, bukanlah merupakan diskriminasi karena tunduk pada undang-undang yang berbeda dan bukan tergolong pejabat tata usaha negara sebagaimana halnya kepala daerah. Benar bahwa dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi.

Di samping itu, dalam menilai ada-tidaknya persoalan diskriminasi dalam suatu undang-undang juga dapat dilihat dari perspektif bagaimana konstitusi merumuskan perlindungan terhadap suatu hak konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut oleh konstitusi perlindungannya ditempatkan dalam rangka due process ataukah dalam rangka perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian penting dikemukakan sebab seandainya suatu undang-undang mengingkari hak dari semua orang, maka pengingkaran demikian lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due process. Namun, apabila suatu undang-undang ternyata meniadakan suatu hak bagi beberapa orang tetapi memberikan hak demikian kepada orang-orang lainnya maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection (vide Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, 1997, h. 639). Dalam hubungan dengan permohonan a quo, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tidak ternyata memuat salah satu dari dua keadaan di atas, sehingga oleh karenanya tidak terdapat persoalan diskriminasi. Adapun contoh-contoh yang oleh Pemohon dianggap sebagai adanya praktik diskriminasi, sebagaimana dikemukakan Pemohon dalam permohonannya, adalah persoalan-persoalan praktik yang berada di luar konteks pengujian konstitusionalitas undang-undang a quo;

� Bahwa ketentuan mengenai pemberhentian sementara sebagai tindakan administratif yang serupa dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda sudah merupakan aturan yang diterima secara umum. Hal tersebut antara lain tertuang dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian, Pasal 24 dan 25 Undangundang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. � Bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda menimbulkan ketidakpastian hukum karena dakwaan yang ditujukan kepada Pemohon belum mempunyai kekuatan hukum tetap namun Pemohon sudah diusulkan untuk diberhentikan sementara oleh Gubernur Jambi. Oleh karena itu, menurut Pemohon, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon ini dapat dikemukakan bahwa Pemohon telah mencampuradukkan atau menyamakan dakwaan dengan putusan pengadilan dan pada saat yang sama juga mencampuradukkan bentuk tindakan administratif pemberhentian sementara dengan hukuman (pidana). Yang dapat memiliki kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan, yang merupakan kewenangan hakim untuk menjatuhkannya, bukan dakwaan, yang merupakan kewenangan penuntut umum, yang tunduk pada pembuktian dan penilaian hakim. Sedangkan mengenai perbedaan antara tindakan administratif dengan hukuman (pidana) telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.

Sebaliknya, fakta yang diajukan Pemohon, yaitu bahwa Pemohon sudah diusulkan oleh Gubernur Jambi untuk diberhentikan sementara pada saat proses penuntutan atas dakwaan terhadap Pemohon telah dimulai, justru dengan terang menunjukkan telah berjalannya kepastian hukum. Sebab, dengan adanya fakta sebagaimana dikemukakan Pemohon tersebut berarti ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda telah dilaksanakan sebagaimana maksud ketentuan itu.

Dalam perspektif lain, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda juga memberikan kepastian baik kepada Pemohon maupun terhadap masyarakat yang harus dilayani oleh Pemohon dalam jabatannya selaku bupati karena dengan adanya pemberhentian sementara tersebut maka tidak ada hambatan bagi bekerjanya proses hukum atas dakwaan yang ditujukan terhadap Pemohon dikarenakan telah hilangnya kemungkinan bahwa Pemohon, melalui jabatannya, dapat menghalang-halangi atau menghambat proses peradilan (obstruction of justice) sehingga putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat lebih cepat diperoleh. Dengan lebih cepatnya diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas diri Pemohon tersebut maka Pemohon maupun masyarakat yang seharusnya dilayani oleh Pemohon dalam jabatannya selaku bupati akan lebih cepat pula mendapatkan kepastian hukum apakah Pemohon bersalah atau tidak. Dengan cara demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri, sebagaimana dilukiskan oleh adagium �justice delayed justice denied�;

Menimbang bahwa selain mengemukakan dalil-dalil kerugian hak konstitusional akibat diberlakukannya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, Pemohon juga mempersoalkan 2 (dua) hal:

� Pertama, tidak dilibatkannya persetujuan DPRD dalam proses pemberhentian sementara seorang kepala daerah dalam hal yang bersangkutan didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, padahal kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, sehingga hal tersebut oleh Pemohon dianggap mencederai demokrasi; � Kedua, bahwa dakwaan terhadap Pemohon berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut telah dijadikan bahan kampanye negatif (black campaign) untuk mencemarkan nama baik Pemohon oleh lawan-lawan politiknya dalam pencalonan pemilihan Bupati Sarolangun; Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah memandang penting untuk memberikan pertimbangan sebagai berikut:

� Tentang tidak dilibatkannya DPRD dalam proses pemberhentian sementara kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, Mahkamah berpendapat bahwa persetujuan atau pendapat DPRD diperlukan dalam hal-hal yang berkait dengan tindakan atau perbuatan kepala daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah di mana DPRD sebagai unsur perwakilan rakyat daerah merupakan bagian dari pemerintahan daerah dan sekaligus sebagai lembaga yang harus mengawasi kepala daerah. Pengawasan oleh DPRD adalah pengawasan yang bersifat politis terutama dalam rangka penentuan kebijakan pemerintahan daerah bagi kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Sementara itu, pemberhentian sementara kepala daerah sebagai tindakan administratif dilakukan karena adanya dakwaan bahwa kepala daerah yang bersangkutan melakukan tindak pidana yang tidak ada sangkut-pautnya dengan fungsi pemerintahan daerah. Tanggung jawab pidana adalah bersifat individual atau personal yang berlaku terhadap siapa saja tanpa membeda-bedakan atas dasar kedudukan atau status sosial seseorang sesuai dengan prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, tindak pidana adalah tanggung jawab individual yang tidak terkait dengan tanggung jawab jabatan. Justru untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), seorang kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, harus dijamin bersih dari pengaruh proses politik yang dapat terjadi apabila untuk melakukan tindakan pemberhentian sementara dipersyaratkan adanya persetujuan DPRD. Terlebih lagi, Pasal 31 ayat (1) UU Pemda diperlukan karena tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara menyangkut kepentingan umum yang berdampak luas dan penanganannya membutuhkan langkah-langkah yang cepat, efisien, dan efektif.

� Mengenai kemungkinan dimanfaatkannya ketentuan pemberhentian sementara sebagai bahan kampanye negatif (black campaign) oleh lawan atau saingan politik dalam hal seorang kepala daerah hendak mengajukan diri kembali sebagai calon kepala daerah, sebagaimana yang didalilkan telah terjadi pada diri Pemohon, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusional karena merupakan masalah penerapan undang-undang yang dimanfaatkan sebagai praktik persaingan politik yang tidak sehat. Apabila sebagai akibat praktik persaingan politik yang tidak sehat tersebut ternyata merugikan Pemohon, maka tetap tersedia upaya hukum bagi Pemohon untuk mempertahankan kepentingan hukumnya (rechtsbelang), sehingga oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang menyangkut hal dimaksud tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Menimbang, atas dasar seluruh uraian di atas, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal 31 ayat

(1) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan sehingga tidak pula terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mengabulkan permohonan Pemohon; Mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);


MENGADILI

� Menyatakan permohonan Pemohon ditolak. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 28 Maret 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Rabu, tanggal 29 Maret 2006, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. selaku Ketua merangkap Anggota dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Soedarsono, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M, H. Achmad Roestandi, S.H., Dr. Harjono, S.H., M.C.L, dan Maruarar Siahaan, S.H., masing-masing sebagai anggota, dibantu oleh Fadzlun Budi S.N., S.H., M.Hum. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon/Kuasa Pemohon, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

KETUA

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

ANGGOTA-ANGGOTA,

I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.

Soedarsono, S.H. Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M H. Achmad Roestandi, S.H.

Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Maruarar Siahaan, S.H.

PANITERA PENGGANTI,

Fadzlun Budi S.N., S.H., M.Hum.