Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana  (2023) 

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERAMPASAN ASET TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.



Menimbang:
  1. bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjamin pelindungan dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran guna mendukung terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional sekaligus mengurangi kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum sehingga diperlukan pengaturan mengenai perampasan aset terkait dengan tindak pidana;
  3. bahwa sistem dan mekanisme yang berlaku mengenai perampasan aset terkait dengan tindak pidana, upaya pada saat ini belum mampu mendukung penegakan hukum yang berkeadilan, sehingga diperlukan pengaturan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana;


Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA.

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis.
  2. Aset Terkait dengan Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Aset Tindak Pidana adalah Aset yang dapat dirampas oleh negara berdasarkan Undang-Undang ini.
  3. Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak alih Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
  4. Penelusuran adalah serangkaian tindakan untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul, keberadaan, dan kepemilikan Aset Tindak Pidana.
  5. Penghentian Transaksi adalah tindakan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan untuk menghentikan suatu transaksi yang terkait dengan Aset yang diduga merupakan Aset Tindak Pidana, termasuk penghentian
aktivitas rekening.
  1. Pemblokiran adalah serangkaian tindakan pembekuan sementara Aset yang diduga merupakan Aset Tindak Pidana.
  2. Penyitaan adalah serangkaian tindakan untuk mengambil alih sementara penguasaan atas Aset yang diduga merupakan Aset Tindak Pidana untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan perkara permohonan Perampasan Aset di sidang pengadilan.
  3. Penyidik adalah pejabat yang oleh Undang-Undang ini atau Undang-Undang lain diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan.
  4. Jaksa Pengacara Negara adalah jaksa yang diberi kewenangan untuk mewakili negara dalam perkara permohonan Perampasan Aset berdasarkan Undang-Undang ini.
  5. Pengelolaan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Pengelolaan Aset adalah kegiatan penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana.
  6. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
    1. tulisan, suara, atau gambar;
    2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan
    3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
  7. Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
  8. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  9. Hari adalah hari kerja.

Pasal 2
Perampasan didasarkan Aset berdasarkan pada penjatuhan Undang-Undang pidana terhadap ini tidak pelaku tindak
pidana.

Pasal 3
  1. Perampasan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
  2. Dalam hal dilakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Tindak Pidana yang telah dinyatakan dirampas negara tidak dapat dimintakan untuk dirampas kembali.

Pasal 4
  1. Jika penuntutan terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 menyangkut Aset yang sama dengan objek permohonan Perampasan Aset, pemeriksaan permohonan Perampasan Aset ditunda sampai ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelaku tindak pidana.
  2. Dalam hal putusan terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan Aset tersebut dirampas negara, pemeriksaan perkara permohonan Perampasan Aset dihentikan.


BAB II
ASET TINDAK PIDANA YANG DAPAT DIRAMPAS


Pasal 5
  1. Aset Tindak Pidana yang dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini meliputi:
    1. Aset hasil tindak pidana atau Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
    2. Aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
    3. Aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai
pengganti Aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara; atau
  1. Aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
  1. Selain Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset yang dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini, meliputi:
    1. Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana yang diperoleh sejak berlakunya Undang-Undang ini; dan
    2. Aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.

Pasal 6
  1. Aset Tindak Pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri atas:
    1. Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
    2. Aset yang terkait dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
  2. Perubahan nilai minimum Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 7
  1. Perampasan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan dalam hal:
    1. tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya; atau
    2. terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
  2. Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan terhadap Aset yang:
    1. perkara pidananya tidak dapat disidangkan; atau
    2. terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat Aset Tindak Pidana yang
belum dinyatakan dirampas.

BAB III

HUKUM ACARA PERAMPASAN ASET

Bagian Kesatu

Penelusuran


Pasal 8
  1. Penelusuran atas Aset yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dilakukan oleh Penyidik sesuai dengan kewenangannya.
  2. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Kejaksaan Republik Indonesia, pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat Badan Narkotika Nasional, dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
  3. Dalam melakukan Penelusuran, Penyidik berwenang meminta Dokumen kepada setiap Orang, instansi pemerintah, atau instansi terkait lain.
  4. Dalam melakukan Penelusuran, Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.

Pasal 9
  1. Setiap Orang, instansi pemerintah, atau instansi terkait lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) wajib memberikan Dokumen kepada Penyidik.
  2. Pemberian Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara penyerahan Dokumen yang ditandatangani oleh Penyidik, Orang, pejabat yang berwenang dari instansi pemerintah, atau pejabat yang berwenang dari instansi terkait lain, dan 2 (dua) orang saksi.
  3. Setiap Orang, instansi pemerintah, atau instansi terkait lain dilarang memberitahukan kepada pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung dan dengan cara apa pun mengenai permintaan dan pemberian Dokumen.
  4. Pemberian Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kerahasiaan.
  1. Setiap Orang, instansi pemerintah, atau instansi terkait lain wajib menyimpan surat permintaan Dokumen. fotokopi Dokumen yang diserahkan, dan berita acara penyerahan Dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10
Setiap Orang, instansi pemerintah, atau instansi terkait lain yang memberikan informasi dengan beriktikad baik tidak dapat digugat secara perdata, tata usaha negara, atau dituntut secara pidana.

Pasal 11
  1. Untuk kepentingan Penelusuran, lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dapat melakukan Penghentian Transaksi.
  2. Dalam melakukan Penghentian Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan dapat meminta Penghentian Transaksi kepada lembaga yang berwenang.
  3. Penghentian Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 5 (lima) Hari setelah surat permintaan Penghentian Transaksi diterima.
  4. Untuk kepentingan Penelusuran, Penghentian Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama 15 (lima belas) Hari setelah surat permintaan perpanjangan Penghentian Transaksi diterima.
  5. Dalam hal jangka waktu Penghentian Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Penghentian Transaksi dinyatakan berakhir demi hukum.
  6. Lembaga yang bewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan berita acara Penghentian Transaksi paling lama 1 (satu) Hari setelah Penghentian Transaksi dilaksanakan kepada lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.
  7. Lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan menyerahkan penanganan Aset yang dilakukan Penghentian
Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyidik untuk dilakukan Pemblokiran.


Bagian Kedua
Pemblokiran dan Penyitaan


Pasal 12
Jika dari hasil Penelusuran diduga aset yang bersangkutan merupakan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, Penyidik berwenang melakukan Pemblokiran dan/atau Penyitaan.

Pasal 13
  1. Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan dengan surat perintah Pemblokiran kepada lembaga yang berwenang.
  2. Perintah Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh atasan langsung Penyidik setelah mendapat izin Pemblokiran dari Pengadilan Negeri.
  3. Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat lembaga yang berwenang.
  4. Perintah Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
    1. nama dan jabatan Penyidik;
    2. lembaga yang diminta melakukan Pemblokiran;
    3. bentuk, jenis, atau keterangan lain mengenai Aset yang akan dikenakan Pemblokiran; dan
    4. alasan dan dasar hukum Pemblokiran.
  5. Lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Pemblokiran segera setelah menerima perintah Pemblokiran yang disampaikan oleh Penyidik.

Pasal 14
  1. Pemblokiran dilakukan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
  1. Untuk kepentingan pemeriksaan, Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali setelah mendapat izin dari Pengadilan Negeri setempat untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
  2. Dalam hal jangka waktu Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Pemblokiran dinyatakan berakhir demi hukum.

Pasal 15
  1. Jika dari hasil Penelusuran diduga Aset yang bersangkutan merupakan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, Penyidik setelah mendapat izin dari Pengadilan Negeri setempat berwenang melakukan Penyitaan.
  2. Dalam melakukan Penyitaan, Penyidik wajib menunjukkan surat perintah Penyitaan yang dikeluarkan atasan langsung Penyidik kepada orang yang memiliki atau menguasai Aset Tindak Pidana yang disita.
  3. Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara Penyitaan yang ditandatangani oleh Penyidik, Orang yang memiliki atau menguasai Aset yang disita, dan 2 (dua) orang saksi.
  4. Tembusan berita acara Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada Orang yang memiliki atau menguasai Aset yang disita.
  5. Dalam hal Aset yang disita berupa tanah atau barang tidak bergerak lainnya, Penyidik segera memberitahukan, mendaftarkan, atau mencatatkan Penyitaan atas tanah atau barang tidak bergerak lainnya kepada pejabat yang berwenang mengurusi pertanahan atau yang berwenang mengurusi barang tidak bergerak tersebut, disertai dengan berita acara Penyitaan.

Pasal 16
  1. Dalam hal Aset Tindak Pidana yang akan disita berada di luar negeri, permintaan Pemblokiran atau Penyitaan Aset Tindak Pidana diajukan kepada lembaga yang berwenang di negara tersebut.
  2. Dalam hal permintaan Pemblokiran atau Penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Penyidik dapat memblokir atau menyita Aset yang ada di Indonesia yang dimiliki atau dikuasai oleh Orang yang asetnya berada di luar negeri tersebut sebagai pengganti yang nilainya setara dengan nilai Aset Tindak Pidana yang akan diblokir atau disita.

Pasal 17
  1. Penyidik wajib menyerahkan Aset Tindak Pidana yang telah disita beserta Dokumen pendukungnya kepada Jaksa Agung.
  2. Sebelum diserahkan kepada Jaksa Agung, Penyidik wajib meminta penetapan kepada Pengadilan Negeri setempat mengenai Aset yang disita.
  3. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menerangkan mengenai bentuk, jenis, jumlah, dan keterangan lain mengenai Aset Tindak Pidana.
  4. Permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) Hari.
  5. Aset Tindak Pidana yang telah diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset Tindak Pidana oleh Jaksa Agung.

Pasal 18
  1. Sebelum terdapat putusan Perampasan Aset yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Jaksa Agung dapat memberikan izin sementara kepada pihak ketiga yang telah menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut dengan persyaratan sebagai berikut:
    1. tidak mengubah bentuk fisik Aset;
    2. tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya;
    3. dilakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan; dan
    4. tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
  2. Dalam hal aset digunakan atau dimanfaatkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jaksa Agung menyampaikan pemberitahuan kepada penyidik yang menangani perkaranya.
  3. Segala biaya, pajak, rekening tagihan, dan pengeluaran lain yang diperlukan selama menggunakan atau memanfaatkan
Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan kepada pihak ketiga yang menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
  1. Setiap Orang yang merasa dirugikan haknya atas Pemblokiran dan/atau Penyitaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 15 berhak mengajukan keberatan bahwa Aset yang diblokir dan/atau disita merupakan miliknya secara sah atau bukan merupakan Aset Tindak Pidana.
  2. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai permintaan ganti kerugian.
  3. Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melebihi besaran Aset Tindak Pidana yang diblokir atau disita berdasarkan penilaian Aset Tindak Pidana.
  4. Keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan langsung Penyidik yang mengeluarkan perintah pemblokiran dan/atau Penyitaan, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal Pemblokiran dan/atau Penyitaan.
  5. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa yang melarikan diri dan/atau dengan status dalam daftar pencarian orang, terdakwa yang disidangkan secara in absentia, dan/atau kuasanya.

Pasal 20
Selama masa Pemblokiran dan/atau Penyitaan, Aset Tindak Pidana tidak dapatdialihkan.


Bagian Ketiga

Pemberkasan dan Pengajuan Permohonan Perampasan Aset


Paragraf 1


Pasal 21
  1. Penyidik dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak dilakukan Pemblokiran dan/atau Penyitaan melakukan pemberkasan terhadap Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf a yang diblokir dan/atau yang disita disertai alat bukti untuk mendukung permohonan perampasan Aset.
  2. Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimakud dalam Pasal 19, keberatan tersebut disertakan dalam pemberkasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 22
  1. Kementerian atau lembaga yang bertanggung jawab secara fisik atas benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b dapat mengajukan permohonan Perampasan Aset ke Penuntut Umum.
  2. Penuntut Umum paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya permohonan Perampasan Aset melakukan pemberkasan terhadap Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b disertai alat bukti untuk mendukung permohonan perampasan Aset tersebut.

Pasal 23
  1. Penyidik atau penuntut umum menyerahkan hasil pemberkasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 kepada Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari setelah dianggap lengkap.
  2. Jaksa Pengacara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas untuk dapat diajukan ke pengadilan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari sejak berkas diterima.
  3. Dalam hal Jaksa Pengacara Negara berpendapat bahwa berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap maka berkas perkara segera dikembalikan kepada Penyidik atau Penuntut Umum disertai dengan petunjuk. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima berkas yang dikembalikan, Penyidik atau penuntut imum harus melengkapi berkas permohonan.
  4. Jaksa Pengacara Negara wajib mengajukan permohonan
Perampasan Aset kepada Pengadilan Negeri yang berwenang paling lama 14 (empat belas) Hari sejak tanggal berkas permohonan diterima secara lengkap.

Paragraf 2
Pengajuan Permohonan Perampasan Aset

Pasal 24
  1. Permohonan Perampasan Aset diajukan secara tertulis oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Perampasan Aset dilengkapi dengan berkas permohonan.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Jaksa Pengacara Negara, dengan memuat:
    1. nama dan jabatan Jaksa Pengacara Negara;
    2. tempat, hari, dan tanggal Penyitaan;
    3. nama dan jenis Aset;
    4. berat, ukuran, dan/atau jumlah menurut jenis Aset;
    5. identitas Orang yang memiliki atau menguasai Aset yang disita, jika Orang tersebut diketahui;
    6. alasan dan dasar hukum pengajuan permohonan Perampasan Aset; dan
    7. alat bukti dan Dokumen pendukung lainnya.
  3. Dalam hal terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, keberatan tersebut disertakan dalam pengajuan permohonan Perampasan Aset.



Pasal 25
Jaksa Pengacara Negara berwenang melakukan tindakan untuk dan atas nama negara tanpa perlu adanya surat kuasa khusus untuk itu.



Pasal 26
  1. Pengadilan Negeri yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan Aset Tindak Pidana.
  2. Dalam hal Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
dalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri, permohonan Perampasan Aset dapat diajukan kepada salah satu dari Pengadilan Negeri tersebut.

Pasal 27
Dalam hal Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) tidak memungkinkan untuk memeriksa perkara permohonan PerampasanAset, Mahkamah Agung atas permintaan Ketua Pengadilan yang bersangkutan menetapkan Pengadilan Negeri lain untuk memeriksa permohonan tersebut.

Pasal 28
Dalam hal Aset Tindak Pidana yang menjadi objek permohonan berada di luar negeri maka permohonan Perampasan Aset diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 29
  1. Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) Hari sejak menerima permohonan, Ketua Pengadilan Negeri menetapkan kewenangan pengadilan yang bersangkutan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Perampasan Aset.
  2. Setelah menetapkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa permohonan dan memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan Perampasan Aset.
  3. Dalam hal Orang yang memiliki atau menguasai Aset diketahui dan/atau terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, salinan permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum hari persidangan.

Pasal 30
  1. Pengumuman permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dilakukan dengan menempatkannya pada papan pengumuman Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan Pengadilan Negeri lain yang dalam wilayah hukumnya terdapat Aset yang dimintakan untuk
dirampas.
  1. Selain pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengumuman wajib dilakukan dalam waktu 3 (tiga) Hari berturut-turut melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 31
  1. Setiap Orang yang merasa dirugikan haknya atas permohona Perampasan Aset dapat mengajukan perlawanan bahwa Aset yang dimohonkan untuk dirampas bukan merupakan Aset Tindak Pidana.
  2. Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang menerima permohonan, baik sebelum maupun pada hari persidangan.
  3. Dalam hal perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan sebelum hari sidang, salinan perlawanan disampaikan kepada Jaksa Pengacara Negara yang mengajukan permohonan Perampasan Aset.
  4. Dalam hal terdapat pihak yaang mengajukan keberatan terhadap Pemblokiran dan/atau Penyitaan, salinan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan juga kepada pihak tersebut.
  5. Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa yang melarikan diri dan/atau dengan status daftar pencarian orang, terdakwa yang disidangkan secara in absentia, dan/atau kuasanya.



Pasal 32
  1. Ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) Hari menetapkan hari sidang.
  2. Dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua majelis hakim harus mempertimbangkan:
    1. waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2);
    2. jarak antara tempat persidangan dan alamat instansi Jaksa Pengacara Negara; dan/atau
    3. alamat Orang yang memiliki atau menguasai Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3).


Bagian Keempat
Pemanggilan


Pasal 33
  1. Panitera atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, menyampaikan surat panggilan kepada Jaksa Pengacara Negara yang mengajukan permohonan untuk hadir pada hari sidang.
  2. Dalam hal Orang yang memiliki atau menguasai Aset diketahui dan/atau terdapat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3), surat panggilan juga disampaikan kepada pihak yang bersangkutan melalui alamat tempat tinggal atau kediamannya yang terakhir.
  3. Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum hari sidang.
  4. Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berada di tempat, surat panggilan disampaikan kepada anggota keluarganya atau kepala desa, lurah atau nama lainnya, yang wilayah kerjanya meliputi alamat tempat tinggal atau kediaman terakhir pihak yang bersangkutan.
  5. Dalam hal pihak yang bersangkutan sedang berada dalam rumah tahanan negara atau lembaga pemasyaratan, surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara atau lembaga pemasyarakatan.
  6. Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Korporasi, surat panggilan ditujukan kepada pengurus di tempat kedudukan Korporasi.
  7. Penerimaan surat panggilan dilakukan dengan pembuatan tanda penerimaan.


Bagian Kelima
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan


Pasal 34
Pemeriksaan permohonan Perampasan Aset di sidang pengadilan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 35
Pemeriksaan permohonan Perampasan Aset dilakukan oleh majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Pasal 36
  1. Pada hari sidang yang ditetapkan, majelis hakim memeriksa kehadiran Jaksa Pengacara Negara yang mengajukan permohonan.
  2. Dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan atau perlawanan, yang bersangkutan dapat dihadirkan pada hari sidang.
  3. Jika pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir, pemeriksaan perkara ditunda paling lama 7 (tujuh) Hari dan kepada yang tidak hadir dilakukan pemanggilan kembali.
  4. Penundaan sidang karena ketidakhadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan 3 (tiga) kali persidangan secara berturut-turut.
  5. Jika pada hari persidangan keempat Jaksa Pengacara Negara tidak hadir tanpa alasan yang sah padahal telah dipanggil secara patut, permcohonan Perampasan Aset dinyatakan gugur.
  6. Jika pada hari persidangan pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah padahal telah dipanggil secara patut maka pemeriksaan perkara dilanjutkan tanpa kehadirannya.

Pasal 37
Dalam pemeriksaan perkara permohonan Perampasan Aset, Jaksa Pengacara Negara yang mengajukan permohonan wajib menyampaikan dalil yang menjadi dasar permohonan dan wajib membuktikan bahwa Aset yang dimohonkan untuk dirampas merupakan Aset Tindak Pidana.

Pasal 38
  1. Dalam hal pemeriksaan perkara terdapat pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan, majelis hakim memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk
menyampaikan dalil dalam mengajukan keberatan dan/atau perlawanan.
  1. Pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuktikan bahwa Aset yang diblokir dan/atau disita adalah miliknya secara sah atau Aset yang dimintakan untuk dirampas bukan merupakan Aset Tindak Pidana.

Pasal 39
  1. Jaksa Pengacara dimohonkan Negara untuk wajib dirampas menghadirkan dalam Aset yang pemeriksaan di persidangan.
  2. Dalam hal Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di persidangan, pemeriksaan dilakukan di tempat Aset tersebut berada atau dengan menggunakan sarana elektronik.
  3. Dalam hal Aset yang dimohonkan berupa akun atau benda tidak berwujud maka yang diperiksa di persidangan dapat berupa pernyataan (affidavit) dari penyedia layanan.

Pasal 40
Alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini terdiri atas:
  1. surat;
  2. Dokumen;
  3. keterangan saksi;
  4. keterangan ahli;
  5. alat bukti elektronik;
  6. pernyataan (affidavit) dari penyedia layanan; dan
  7. alat bukti lain yang terungkap di persidangan.

Pasal 41
  1. Dalam hal pemeriksaan dianggap cukup, majelis hakim melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan atas permohonan Perampasan Aset.
  2. Dalam hal pengambilan keputusan secara musyawara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, pengambilan keputusan diambil melalui pemungutan suara.
  1. Dalam hal keputusan diambil melalui pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendapat hakim yang berbeda dilampirkan dalam putusan.

Pasal 42
  1. Putusan pengadilan memuat:
    1. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
    2. nama, jenis, berat, ukuran, dan/atau jumlah Aset;
    3. permohonan Perampasan Aset;
    4. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan;
    5. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan,
    6. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim;
    7. pernyataan diterima atau ditolaknya permohonan Perampasan Aset;
    8. pihak yang dibebankan biaya permohonan dengan menyebutkan jumlah yang pasti;
    9. hari dan tanggal putusan, nama Jaksa Pengacara Negara, nama Hakim yang memutus, dan nama Panitera; dan
    10. putusan mengenai pemberian ganti kerugian, dalam hal diminta oleh pihak yang mengajukan keberatan.
  2. Petikan putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera, segera setelah putusan diucapkan.

Pasal 43
  1. Putusan majelis hakim menyatakan permohonan Perampasan Aset diterima jika Jaksa Pengacara Negara dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membuktikan Aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan Aset Tindak Pidana.
  2. Dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan, putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga menyatakan bahwa keberatan dan/perlawanan ditolak.

Pasal 44
  1. Dalam hal pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dapat membuktikan bahwa Aset yang diblokir, disita, dan/atau Aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan miliknya yang sah dan/atau bukan merupakan Aset Tindak Pidana, putusan majelis hakim menyatakan bahwa permohonan Perampasan Aset yang diajukan Jaksa Pengacara Negara ditolak.
  2. Dalam putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat perintah untuk mengembalikan Aset tersebut kepada yang berhak.
  3. Dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan, putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga menyatakan bahwa keberatan dan/atau perlawanan tersebut diterima.

Pasal 45
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jikadiucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 46
  1. Panitera atas perintah Ketua Pengadilan Negeri menyampaikan putusan pengadilan kepada Jaksa Pengacara Negara dalam waktu paling lama 5 (lima) Hari setelah putusan tersebut diucapkan.
  2. Dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan, putusan disampaikan juga kepada yang bersangkutan.

Pasal 47
  1. Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi.
  2. Putusan kasasi bersifat final dan mengikat.
  3. Pengajuan dan pemeriksaan kasasi dilaksanakan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48
  1. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara.
  2. Dalam hal putusan menyatakan Aset dirampas negara, pelaksanaan putusan dilakukan dengan menyerahkan Aset yang dirampas kepada lembaga yang berwenang mengelola Aset Tindak Pidana.
  3. Penyerahan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak putusan diterima, dengan membuat berita acara penyerahan yang ditandatangani oleh Jaksa Pengacara Negara yang menyerahkan, lembaga pengelola, dan 2 (dua) orang saksi.

Pasal 49
Ketentuan mengenai proses peradilan dalam perkara permohonan Perampasan Aset diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.


BAB IV
PENGELOLAAN ASET


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 50
Pengelolaan Aset dilaksanakan oleh Jaksa Agung berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas.


Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang


Pasal 51
  1. Jaksa Agung wajib melaksanakan tugas Pengelolaan Aset.
  2. Tugas Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
    1. penyimpanan Aset Tindak Pidana;
    2. pengamanan Aset Tindak Pidana;
    3. pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
  1. penilaian Aset Tindak Pidana;
  2. pemindahtanganan Aset Tindak Pidana;
  3. penggunaan Aset Tindak Pidana;
  4. pemanfaatan Aset Tindak Pidana; dan
  5. pengembalian Aset Tindak Pidana.

Pasal 52
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Jaksa Agung berwenang:
  1. melakukan penyimpanan Aset Tindak Pidana;
  2. melakukan pengamanan Aset Tindak Pidana;
  3. melakukan pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
  4. melakukan penilaian Aset Tindak Pidana;
  5. menetapkan penggunaan Aset Tindak Pidana;
  6. menetapkan pemanfaatan Aset Tindak Pidana; dan
  7. memindahtangankan Aset Tindak Pidana.
  8. mengembalikan Aset Tindak Pidana.


Bagian Ketiga
Tata Cara Pengelolaan Aset


Pasal 53
  1. Jaksa Agung bertanggung jawab atas penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana yang ada di bawah penguasaannya.
  2. Penyimpangan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan nilai Aset tersebut.
  3. Dalam melakukan penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung dapat menunjuk Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau pihak lain untuk membantu melakukan pemeliharaan Aset tersebut.

Pasal 54
Pengamanan terhadap Aset Tindak Pidana meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum.

Pasal 55
  1. Penilaian terhadap Aset Tindak Pidana dilakukan oleh Jaksa Agung pada saat Aset tersebut diterima atau pada saat Aset tersebut diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara.
  2. Dalam melakukan Penilaian terhadap Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jaksa Agung dapat melakukan kerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
  3. Hasil penilaian Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk laporan hasil penilaian Aset Tindak Pidana.
  4. Laporan hasil penilaian Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Penyidik dan Jaksa Pengacara Negara.

Pasal 56
  1. Jaksa Agung dapat melakukan pemindahtanganan Aset Tindak Pidana, baik sebelum maupun setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Pemindahtanganan Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui penjualan Aset Tindak Pidana.
  3. Penjualan Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan atas permintaan Penyidik atau Jaksa Pengacara Negara.
  4. Penjualan Aset Tindak Pidana oleh Jaksa Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kantor lelang negara.
  5. Hasil lelang Aset Tindak Pidana disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 57
  1. Dalam hal Aset Tindak Pidana tidak terjual setelah dilakukan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), aset tindak pidana tersebut dinyatakan sebagai barang milik negara berdasarkan Undang-Undang ini.
  1. Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan barang milik negara.

Pasal 58
  1. Terhadap Aset Tindak Pidana yang dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dilakukan penggunaan atau pemanfaatan setelah Jaksa Agung memperoleh persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
  2. Penggunaan atau pemanfaatan Aset rampasan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum.

Pasal 59
  1. Pengembalian Aset Tindak Pidana terhadap pihak ketiga atau pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya, dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Dalam hal Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut sudah dipindahtangankan oleh negara, pengembaliannya dilakukan sebesar nilai Aset Tindak Pidana ketika dipindahtangankan.
  3. Pengembalian Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan gugur karena kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 60
  1. Jaksa Agung harus membangun sistem informasi Aset Tindak Pidana berbasis elektronik yang terintegrasi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
  2. Sistem informasi Aset Tindak Pidana berbasis elektronik yang terintegrasi sebagimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
    1. jenis Aset Tindak Pidana;
  1. nilai Aset Tindak Pidana;
  2. status Aset Tindak Pidana;
  3. ringkasan kasus posisi;
  4. surat perintah Pemblokiran / Penyitaan;
  5. lokasi fisik penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
  6. pendapatan yang diterima dari hasil pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
  7. biaya yang dikeluarkan untuk penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
  8. informasi mengenai Aset Tindak Pidana yang dilakukan lelang, termasuk nilai hasil penjualan lelang; dan
  9. informasi mengenai putusan atas Aset Tindak Pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 61
  1. Jaksa Agung bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas Pengelolaan Aset dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas Pengelolaan Aset secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Presiden.
  2. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
    1. menerbitkan laporan kinerja dan pertanggungjawaban keuangan terkait Pengelolaan Aset;
    2. menerbitkan laporan tahunan Pengelolaan Aset; dan
    3. membuka akses informasi Pengelolaan Aset.

Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB V
KERJA SAMA INTERNASIONAL


Pasal 63
  1. Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional mengenai bantuan untuk Penelusuran, Pemblokiran,
Penyitaan, dan Perampasan Aset.
  1. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian dengan negara lain, baik bilateral, regional, maupun multilateral atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas.

Pasal 64
  1. Pemerintah dapat membuat perjanjian dengan pemerintah negara lain untuk mendapatkan bagi hasil termasuk penggantian biaya atas hasil Perampasan Aset yang melibatkan negara tersebut baik yang dilakukan di Indonesia maupun di negara lain.
  2. Perjanjian bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VI
PENDANAAN


Pasal 65
Segala pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan pada:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan/atau
  2. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 66
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan Aset yang ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 67
Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 68
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA.



PRATIKNO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …