Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perampasan Aset Tindak Pidana

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perampasan Aset Tindak Pidana  (2015) 

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
  1. bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjamin perlindungan dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran guna mendukung terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
  2. bahwa perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis selain berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional sekaligus mengurangi kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan umum sehingga diperlukan pengaturan mengenai perampasan aset tindak pidana,
  3. bahwa sistem dan mekanisme yang berlaku mengenai perampasan harta kekayaan hasil aset tindak pidana, pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan, sehingga diperlukan pengaturan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis.
  2. Aset Tindak Pidana adalah Aset yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana atau sarana dalam melakukan tindak pidana.
  3. Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh negara untuk merampas Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
  1. Penelusuran adalah serangkaian tindakan untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul dan keberadaan Aset Tindak Pidana.
  2. Pemblokiran adalah serangkaian tindakan pembekuan sementara Aset Tindak Pidana dengan tujuan untuk mencegah Aset tersebut dialihkan kepada pihak lain.
  3. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik atau Penuntut Umum untuk mengambil alih penguasaan atas Aset yang diduga merupakan Aset Tindak Pidana untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan guna Perampasan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Penyidik adalah pejabat dari instansi yang oleh Undang-Undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan.
  5. Pengelolaan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Pengelolaan Aset adalah kegiatan penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana.
  6. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (a) tulisan, suara, atau gambar, (b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, atau (c) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
  7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
  8. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Pasal 2
  1. Aset yang dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini meliputi:
    1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana;
    2. Aset dari tindak pidana yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
    3. Aset yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
    4. Aset tindak pidana dari terpidana tidak menjadi uang pengganti, aset tindak pindana terkait lansung dengan status pindana dari terpidana;
    5. Aset yang ditemukan barang temuan yang diduga kuat berasal dari tindak pidana;
    6. Aset korporasi yang diperoleh dari tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
    7. Aset tersangka atau terdakwanya yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya pada saat dilakukan penyidikan atau proses peradilan, yang secara diperoleh dari tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
    8. Aset yang terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan, tetapi berdasarkan bukti asetnya telah digunakan untuk kejahatan;
    9. Aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan, tetapi berdasarkan bukti asetnya telah digunakan untuk kejahatan;
    10. Aset yang perkara pidananya telah diputus bersalah oleh Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas;
  1. Aset Pejabat Publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah maka Aset tersebut dapat dirampas berdasarkan Undang-Undang ini;
  1. Aset yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
    2. Aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
  2. Dalam hal terjadi perubahan nilai minimum Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a maka dilakukan penyesuaian nilai minimum.
  3. Tatacara Sebagai mana yang dimaksud ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB II
PENELUSURAN, PEMBLOKIRAN, DAN PENYITAAN


Bagian Kesatu
Penelusuran


Pasal 4
  1. Dalam hal terdapat Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Penyidik atau dapat mengajukan permohonan perampasan aset kepada jaksa agung.
  2. Jaksaan Agung memeriksa permohonan perampasan aset sebagaiama yang dimaksud ayat (1) paling lama 5 (lima) hari.
  3. Jaksaan Agung dapat mengembalikan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk dikembalikan kepada Penyidik atau Penuntut Umum.
  1. Dalam hal Jaksaan Agung menerima permohonan Penyidik atau Penuntut Umum maka kejaksaan agung menunjuk Jaksa Pengacara negara untuk melakukan perampasan aset.
  2. Jaksa pengacara dalam melakukan Perampasan aset bersama sama dengan Penyidik atau Penuntut Umum.
  3. Tata Cara pemeriksaan permohonan sebagimana yang dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Jaksaan Agung.

Pasal 5
  1. Jaksa pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum melaksanakan Penelusuran,
  2. Dalam melaksanakan penelusuran sebagaimana ayat (1) Jaksa pengacara negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum berwenang meminta Dokumen kepada Setiap Orang atau instansi pemerintah.
  3. Setiap Orang atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan Dokumen kepada Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum.
  4. Setiap Orang atau instansi pemerintah dilarang memberitahukan kepada pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai permintaan dan pemberian Dokumen.
  5. Pemberian Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kerahasiaan.
  6. Setiap Orang atau instansi pemerintah wajib menyimpan catatan dan Dokumen mengenai permintaan dan pemberian Dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Setiap Orang atau instansi pemerintah yang memberikan informasi dengan beritikad baik tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun secara pidana.


Bagian Kedua
Pemblokiran dan Penyitaan


Pasal 6
  1. Jika dari hasil Penelusuran diperoleh dugaan kuat mengenai asal usul atau keberadaan Aset Tindak Pidana, Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum dapat memerintahkan Pemblokiran kepada lembaga yang berwenang.
  2. Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti dengan Penyitaan.
  3. Lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Pemblokiran segera setelah menerima perintah Pemblokiran.
  4. Perintah Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
    1. nama dan jabatan Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum;
    2. bentuk, jenis, atau keterangan lain mengenai Aset Tindak Pidana yang akan dikenakan Pemblokiran;
    3. alasan Pemblokiran; dan
    4. tempat Aset Tindak Pidana berada.

Pasal 7
  1. Pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak perintah Pemblokiran diterima.
  2. Pemblokiran sebagimana yang dimaksud ayat (1) dapat diperpanjang satu kali.

Pasal 8
Jaksa Pengacara Negara, Penyidik, dan atau Penuntut Umum yang memerintahkan Pemblokiran, dan lembaga yang melaksanakan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang beritikad baik tidak dapat dituntut secara perdata maupun secara pidana.

Pasal 9
Selama masa Pemblokiran, Aset Tindak Pidana tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 10
Penyidik atau Penuntut Umum melakukan penyitaan Aset dan/atau Dokumen pendukungnya, jika dari hasil Penelusuran terdapat dugaan kuat Aset tersebut merupakan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Pasal 11
  1. Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 harus berdasarkan surat perintah Penyitaan.
  2. Dalam melakukan Penyitaan, Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum wajib menunjukkan surat perintah Penyitaan kepada orang yang memiliki atau menguasai Aset Tindak Pidana tersebut.
  3. Setelah Penyitaan dilakukan, Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum segera membuat berita acara Penyitaan dan menyerahkan tembusan berita acara Penyitaan kepada orang yang memiliki atau menguasai Aset Tindak Pidana tersebut.
  4. Dalam hal Penyitaan Aset Tindak Pidana berupa tanah, Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum segera memberitahukan, mendaftarkan, atau mencatatkan Penyitaan atas tanah ke kantor pertanahan disertai dengan berita acara Penyitaan.

Pasal 12
  1. Dalam hal Aset Tindak Pidana berada di luar negeri, permintaan Pemblokiran atau Penyitaan Aset Tindak Pidana diajukan kepada lembaga yang berwenang di negara tersebut.
  2. Dalam hal permintaan Pemblokiran atau Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Jaksa Pengacara Negara bersama Penyidik atau Penuntut Umum dapat memblokir atau menyita Aset lainnya yang terdapat di Indonesia sebagai pengganti yang nilainya setara dengan nilai Aset Tindak Pidana yang akan diblokir atau disita.

Pasal 13
  1. Setiap Orang dapat mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan Pemblokiran dan atau penyitaan.
  2. Pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan Pemblokiran disampaikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau hakim.
  3. Jangka waktu pengajuan keberatan dilakukan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak dilakukannya adanya Pemblokiran.
  4. Keberatan disampaikan secara tertulis dan dilengkapi dengan alasan keberatan disertai penjelasan mengenai hubungan atau kaitan pihak yang mengajukan keberatan dengan Dana yang diblokir dan bukti, dokumen asli, atau salinan yang telah dilegalisasi yang menerangkan sumber dan latar belakang Dana atau aset.
  5. Dalam keberatan diterima, maka harus dilakukan pencabutan pelaksanaan Pemblokiran oleh PJK atau instansi berwenang yang melakukan Pemblokiran berdasarkan permintaan Jaksa Pengacara Negara atau hakim.
  6. Dalam hal keberatan ditolak, pihak yang mengajukan keberatan dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
  7. Apabila tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 5 (lima) hari sejak tanggal Pemblokiran,
Jaksa Pengacara Negara menyiapkan berkas permohonan perampasan aset Tindak Pidana untuk diajukan ke pengadilan negeri.

Pasal 14
  1. Jaksa Pengacara Negara wajib menyerahkan Aset Tindak Pidana yang telah disita beserta Dokumen pendukungnya diserahkan kepada Lembaga Pengelola Aset.
  2. Atas permintaan Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, Menteri wajib menghadirkan Aset Tindak Pidana beserta Dokumennya pada setiap tingkat pemeriksaan.


Bagian Ketiga
Perampasan


Paragraf 1
Umum

Pasal 15
  1. Perampasan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
  2. Aset yang telah dirampas berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Aset yang telah dirampas berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dimohonkan untuk dirampas dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana.

Pasal 16
  1. Jika dalam pemeriksaan perkara pidana terdapat kesamaan objek yang akan dirampas dengan permohonan Perampasan Aset, pemeriksaan terhadap permohonan Perampasan Aset ditunda sampai adanya putusan Hakim dalam perkara pidana.
  2. Dalam hal putusan Hakim terkait perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan Aset Tindak Pidana yang menjadi objek dalam permohonan Perampasan Aset dirampas, permohonan Perampasan Aset menjadi gugur.

Pasal 17
  1. Sebelum terdapat putusan Perampasan Aset yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Lembaga Pengelola Aset dapat memberikan izin sementara kepada pihak ketiga yang telah menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut dengan persyaratan sebagai berikut:
    1. tidak mengubah bentuk fisik Aset;
    2. tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya;
    3. dilakukan pemeliharaan dan perawatan; dan
    4. tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
  2. Segala biaya perawatan, pajak, rekening tagihan, dan pengeluaran lain yang diperlukan selama menggunakan atau memanfaatkan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan kepada pihak ketiga yang menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Permohonan Perampasan Aset

Pasal 18
Setelah melakukan Pemblokiran dan/atau Penyitaan, Jaksa Pengacara Negara segera melakukan pemberkasan, baik terhadap Dokumen maupun bukti yang dapat mendukung permohonan Perampasan Aset.

Pasal 19
  1. Jaksa Pengacara Negara dalam waktu 10 (Sepuluh) hari kerja setelah pemblokiran dan atau penyitaan harus mengajukan berkas permohonan ke pengadilan.
  2. Aset Tindak Pidana yang telah disita untuk dilakukan perampasan menurut Undang-Undang ini.

Pasal 20
  1. Permohonan Perampasan Aset diajukan oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat secara tertulis yang dilengkapi dengan berkas perkara.
  2. Pengajuan Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1)sesuai lokasi aset tindak pidana. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
    1. nama dan jenis Aset;
    2. berat, ukuran, dan/atau jumlah menurut jenis Aset;
    3. tempat, hari, dan tanggal Penyitaan;
    4. identitas pemilik atau yang menguasai Aset yang diblokir dan atau disita;
    5. dasar hukum dan alasan dilakukan permohonan Perampasan Aset;
    6. permintaan agar segera memeriksa dan memutus permohonan Perampasan Aset tersebut; dan
    7. dokumen pendukung lain.
  3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberi tanggal dan ditandatangani oleh Jaksa Pengacara Negara.

Pasal 21
Jaksa Pengacara Negara berdasarkan Undang-Undang ini diberi wewenang melakukan tindakan untuk dan atas nama negara tanpa perlu adanya surat kuasa khusus untuk itu.

Pasal 22
  1. Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Perampasan Aset adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan Aset Tindak Pidana.
  2. Dalam hal Aset Tindak Pidana yang dimohonkan untuk dirampas berada dalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri, Penuntut Umum dapat memilih salah satu dari Pengadilan Negeri tersebut.

Pasal 23
Dalam hal Pengadilan Negeri tidak memungkinkan untuk memeriksa permohonan Perampasan Aset, Mahkamah Agung atas usul Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, menetapkan Pengadilan Negeri lain untuk memeriksa permohonan tersebut.

Pasal 24
Aset Tindak Pidana yang dimohonkan untuk dirampas berada di luar negeri maka permohonan Perampasan Aset diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pasal 25
  1. Setelah Pengadilan Negeri menerima permohonan Perampasan Aset dari Jaksa Pengacara Negara, Ketua Pengadilan Negeri menentukan perkara yang disampaikan tersebut termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
  2. Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa permohonan Perampasan Aset tersebut berada dalam wewenangnya, Ketua
Pengadilan Negeri memerintahkan Panitera untuk mengumumkan permohonan Perampasan Aset tersebut pada papan pengumuman.
  1. Salinan permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (l) disampaikan kepada para pihak yang diketahui berkepentingan dengan Aset tersebut.
  2. Dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan terhadap permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Panitera menyampaikan salinan permohonan Perampasan Aset tersebut kepada pihak yang mengajukan keberatan.

Paragraf 4
Tata Cara Pemanggilan

Pasal 26
  1. Dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan terhadap permohonan Perampasan Aset, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan surat panggilan kepada pihak yang mengajukan keberatan dan memberitahukan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk datang langsung ke sidang pengadilan.
  2. Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal sidang melalui alamat tempat tinggal para pihak.
  3. Dalam hal alamat tempat tinggal para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui, surat panggilan disampaikan melalui tempat kediaman terakhir para pihak.
  4. Dalam hal para pihak tidak ada di tempat tinggal atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa, Lurah, atau nama lainnya dalam daerah hukum tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir para pihak.
  5. Dalam hal terdapat pihak yang ditahan dalam rumah tahanan negara, surat panggilan disampaikan melalui pejabat rumah tahanan negara.
  1. Dalam hal Korporasi menjadi pihak maka panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat kedudukan Korporasi sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar Korporasi tersebut.
  2. Salah seorang pengurus Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menghadap di sidang pengadilan mewakili Korporasi.
  3. Penerimaan surat panggilan oleh para pihak, oleh orang lain, atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.

Pasal 27
  1. Dalam menetapkan hari persidangan, ketua majelis hakim harus mempertimbangkan jarak antara alamat tempat tinggal pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan dilakukan.
  2. Tenggang waktu antara pemanggilan pihak yang berperkara dan waktu sidang tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari kerja, kecuali dalam hal sangat perlu dan mendesak untuk diperiksa dan hal tersebut dinyatakan dalam surat panggilan.

Paragraf 5
Acara Pemeriksaan

Pasal 28
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan terhadap Perampasan Aset dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 29
  1. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan Perampasan Aset dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim atau hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut.
  1. Hakim yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan Panitera untuk mengumumkan permohonan Perampasan Aset tersebut.
  2. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dilakukan pengumuman permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Hakim menetapkan hari sidang.
  3. Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk memanggil Jaksa Pengacara Negara dan/atau pihak yang mengajukan perlawanan untuk hadir di sidang pengadilan.

Pasal 30
  1. Pada hari sidang yang telah ditetapkan, pengadilan wajib membuka persidangan.
  2. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia.

Pasal 31
  1. Hakim membuka sidang perkara permohonan Perampasan Aset dengan menyebut objek Perampasan Aset dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.
  2. Jaksa Pengacara Negara menyampaikan permohonan Perampasan Aset beserta dalil tentang alasan Aset tersebut harus dirampas.
  3. Jaksa Pengacara Negara menyampaikan alat bukti tentang asal usul dan keberadaan Aset Tindak Pidana yang mendukung alasan Perampasan Aset.
  4. Dalam hal diperlukan, Jaksa Pengacara Negara dapat menghadirkan Aset Tindak Pidana yang akan dirampas atau berdasarkan perintah Hakim dilakukan pemeriksaan terhadap Aset Tindak Pidana di tempat Aset tersebut berada.
  1. Dalam hal terdapat perlawanan dari pihak ketiga, Hakim memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk mengajukan alat bukti berkenaan dengan keberatan tersebut.
  2. Setelah mendengarkan pembuktian dari pihak ketiga, Jaksa Pengacara Negara dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari pihak ketiga selama persidangan.
  3. Hakim mempertimbangkan seluruh dalil yang diajukan oleh Jaksa Pengacara Negara dan/atau pihak ketiga sebelum memutus untuk menerima atau menolak permohonan Perampasan Aset.

Pasal 32
Hakim ketua sidang memeriksa kehadiran semua saksi atau ahli yang dipanggil dan memberi perintah untuk mencegah saksi atau ahli berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.

Pasal 32
  1. Jaksa Pengacara Negara terlebih dahulu mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Pengacara Negara.
  2. Setelah Jaksa Pengacara Negara selesai mengajukan pertanyaan, pihak ketiga dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli.
  3. Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada pihak ketiga.
  4. Pihak ketiga mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh pihak ketiga.
  5. Setelah pihak ketiga selesai mengajukan pertanyaan, Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli.
  1. Pihak ketiga selanjutnya dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada Jaksa Pengacara Negara.
  2. Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau pihak ketiga kepada saksi atau ahli apabila hakim ketua sidang menilai bahwa pertanyaan tersebut tidak relevan dengan perkara yang disidangkan dengan menyebutkan alasannya.
  3. Dalam hal diperlukan, Hakim berwenang mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau pihak ketiga kepada saksi atau ahli.
  4. Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat meminta kepada saksi segala keterangan yang diperlukan untuk mendapatkan kebenaran.

Pasal 30
  1. Setelah memberi keterangan, saksi diharuskan tetap hadir di sidang, kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, jika Jaksa Pengacara Negara atau pihak ketiga mengajukan permintaan agar saksi tersebut tetap menghadiri sidang.
  3. Para saksi selama sidang berlangsung dilarang saling berkomunikasi.

Pasal 35
  1. Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
  2. Keterangan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan Hakim.

Pasal 36
  1. Setelah saksi memberi keterangan, pihak ketiga atau Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang agar di antara saksi tersebut yang tidak dikehendaki kehadirannya dikeluarkan dari ruang sidang, dan saksi yang lain dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
  2. Hakim karena jabatannya dapat meminta agar saksi yang telah didengar keterangannya keluar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain.

Pasal 37
  1. Jika keterangan saksi di sidang diduga palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada saksi jika tetap memberikan keterangan palsu.
  2. Jika saksi tetap memberikan keterangan yang diduga palsu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan para pihak dapat memberi perintah agar saksi ditahan dan dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
  3. Panitera dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan saksi tersebut palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta Panitera dan segera Pengacara Negara untuk diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38
  1. Jika pihak ketiga atau saksi tersebut bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, hakim ketua sidang dapat menunjuk seorang penerjemah atau orang yang pandai bergaul dengan mereka untuk mendampingi dalam memberikan keterangan di sidang.
  2. Jika pihak ketiga atau saksi tersebut bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada pihak ketiga atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.

Pasal 39
  1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
  2. Semua ketentuan mengenai saksi, berlaku juga bagi ahli yang memberikan keterangan, dengan ketentuan bahwa ahli yang mengucapkan sumpah atau janji tersebut akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Pasal 40
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula meminta agar diajukan bahan pendukung baru oleh yang berkepentingan.

Pasal 41
  1. Setelah kesaksian dan bukti disampaikan oleh kedua belah pihak, masing-masing pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan lisan yang menjelaskan tentang bukti yang diajukan di persidangan guna mendukung pendapat mereka mengenai perkara tersebut.
  1. Dalam hal pemeriksaan dinyatakan selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup.

Pasal 42
  1. Dalam hal tertentu, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya maupun atas permintaan salah satu pihak dengan memberikan alasan yang dapat diterima, sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dapat dibuka kembali.
  2. Setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan.
  3. Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan atas surat permohonan Perampasan Aset dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
  4. Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan kepada setiap hakim anggota dan setelah itu hakim ketua majelis mengemukakan pendapatnya.
  5. Pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan pertimbangan beserta alasannya.

Pasal 43
  1. Putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika permufakatan tersebut setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
  2. Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam buku himpunan putusan yang sifatnya rahasia yang disediakan khusus untuk keperluan tersebut.
  3. Putusan Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus
diberitahukan kepada Jaksa Pengacara Negara dan/atau pihak ketiga.

Pasal 44
  1. Keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan.
  2. Dalam hal saksi tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual dengan dihadiri oleh para pihak.
  3. Keterangan 1 (satu) orang saksi hanya dapat menjadi alat bukti yang sah jika diperkuat dengan alat bukti lain.
  4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
  5. Keterangan beberapa saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus saling berhubungan satu sama lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
  6. Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran belaka bukan merupakan keterangan saksi.
  7. Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, Hakim wajib memperhatikan:
    1. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
    2. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
    3. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
    4. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dipercayanya keterangan tersebut; dan/atau
    5. keterangan saksi sebelum dan pada waktu sidang.
  8. Keterangan saksi yang tidak disumpah yang sesuai satu dengan yang lain, walaupun tidak merupakan alat bukti, dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah jika keterangan tersebut sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari alat bukti lainnya.

Pasal 45
Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) adalah apa yang dinyatakan oleh seorang ahli berdasarkan keahliannya di depan persidangan.

Pasal 46
  1. Alat bukti yang sah terdiri atas:
    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. Dokumen; dan
    5. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
  2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 47
Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni:
  1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya;
  2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan;
  1. surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya; dan
  2. surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Pasal 48
  1. Dalam hal Hakim menyatakan permohonan Perampasan Aset diterima maka Hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan Aset tersebut dirampas untuk negara.
  2. Dalam hal permohonan Perampasan Aset ditolak, Hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan Aset tersebut dikembalikan kepada yang berhak.

Pasal 49
  1. Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dapat diajukan upaya hukum kasasi.
  2. Jangka waktu untuk mengajukan upaya hukum kasasi tersebut adalah 14 (empat belas hari) sejak putusan dibacakan.

Pasal 50
  1. Hakim, Jaksa Pengacara Negara, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara jika mempunyai kepentingan dengan Aset Tindak Pidana yang dimohonkan perampasan.
  2. Jika Hakim, Jaksa Pengacara Negara, atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, Hakim, Penuntut Umum, atau Panitera tersebut wajib diganti.
  3. Jika Hakim, Jaksa Pengacara Negara, atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengundurkan diri atau tidak diganti
sedangkan perkara telah diputus, perkara tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang berbeda.

Pasal 51
Sebelum majelis hakim membuat putusan, Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai dapat atau tidaknya permohonan Perampasan Aset dikabulkan.

Paragraf 6
Pembuktian dan Putusan

Pasal 52
Untuk kepentingan Pemeriksaan di sidang pengadilan, pihak yang berkepentingan wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pasal 53
  1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Hakim memerintahkan pihak yang berkepentingan untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan permohonan Perampasan Aset dimaksud bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana.
  2. Pihak yang berkepentingan membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Pasal 54
  1. Dalam hal pihak yang berkepentingan tidak dapat membuktikan bahwa Aset tersebut bukan berasal dari tindak pidana, Hakim memutuskan Aset tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
  1. Dalam hal pihak yang berkepentingan tidak hadir dipersidangan atau menolak memberikan bukti, Hakim memutuskan Aset tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

Pasal 55
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 56
  1. Putusan pengadilan memuat:
    1. kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
      "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"
    2. nama, jenis, berat, ukuran, dan/atau jumlah Aset;
    3. permohonan Perampasan Aset;
    4. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang pengadilan yang menjadi dasar penentuan diterima atau ditolaknya permohonan Perampasan Aset;
    5. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
    6. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali permohonan Perampasan Aset diperiksa oleh hakim tunggal;
    7. pernyataan diterima atau ditolaknya permohonan Perampasan Aset;
    8. ketentuan pihak yang dibebankan biaya perkara dengan menyebutkan jumlah yang pasti;
    9. perintah agar Aset dirampas untuk negara atau tetap dalam status sitaan atau blokir atau dibebaskan dari status sitaan atau blokir atau dikembalikan kepada pemilik yang sah;
  1. hari dan tanggal putusan, nama para pihak, nama Jaksa Pengacara Negara, nama Hakim yang memutus, dan nama Panitera; dan
  2. putusan mengenai pemberian ganti kerugian dalam hal memungkinkan.
  1. Petikan putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera, segera setelah putusan diucapkan.

Pasal 57
Putusan dilaksanakan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut disampaikan kepada Jaksa Pengacara Negara.

Pasal 58
  1. Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan.
  2. Berita acara sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan para pihak, saksi, dan ahli.
  3. Atas permintaan Jaksa Pengacara Negara atau pihak yang berkepentingan, hakim ketua sidang wajib memerintahkan kepada Panitera untuk membuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan dalam berita acara sidang.
  4. Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan Panitera, kecuali jika salah seorang dari mereka berhalangan dan hal tersebut dinyatakan dalam berita acara sidang.


BAB III
PENGELOLAAN ASET


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 59
  1. Pengelolaan Aset dilaksanakan berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas.
  2. Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga Pengelola Aset.


Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang


Pasal 60
  1. Lembaga Pengelola Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) wajib melaksanakan tugas Pengelolaan Aset.
  2. Tugas Pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
    1. penyimpanan Aset Tindak Pidana;
    2. pengamanan Aset Tindak Pidana;
    3. pemeliharaan Aset Tindak Pidana;
    4. penilaian Aset Tindak Pidana;
    5. pemindahtanganan Aset Tindak Pidana;
    6. penggunaan Aset Tindak Pidana;
    7. pemanfaatan Aset Tindak Pidana;
    8. pengawasan Aset Tindak Pidana; dan
    9. pengembalian Aset Tindak Pidana.
  3. Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Pengelola Aset juga bertugas:
    1. menerima Aset hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh Penyidik atau Penuntut Umum termasuk Dokumen pendukungnya; dan
    2. membantu Penyidik atau Penuntut Umum dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 61
Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Lembaga Pengelola Aset berwenang:
  1. menetapkan penggunaan Aset Tindak Pidana;
  2. menetapkan pemanfaatan Aset Tindak Pidana;
  3. memindahtangankan Aset Tindak Pidana;
  4. menjual Aset Tindak Pidana setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menjual Aset Tindak Pidana sebelum adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas permintaan Jaksa Pengacara Negara; dan
  5. menunjuk atau menetapkan pihak lain yang bertugas melakukan pengurusan Aset Tindak Pidana yang bersifat khusus atau kompleks.


Bagian Ketiga
Tata Cara Pengelolaan Aset


Pasal 62
  1. Lembaga Pengelola Aset bertanggung jawab atas penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana yang ada di bawah penguasaannya.
  2. Penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan nilai Aset tersebut.
  3. Dalam melakukan penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Pengelola Aset dapat menunjuk pihak lain untuk membantu melakukan pemeliharaan Aset tersebut.

Pasal 63
Pengamanan terhadap Aset Tindak Pidana meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum.

Pasal 64
  1. Penilaian terhadap Aset Tindak Pidana tertentu dapat dilakukan oleh Lembaga Pengelola Aset pada saat Aset tersebut diterima atau pada saat Aset tersebut diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara.
  2. Hasil penilaian Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk laporan hasil penilaian Aset Tindak Pidana.
  3. Laporan hasil penilaian Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Jaksa Pengacara Negara.

Pasal 65
  1. Lembaga Pengelola Aset dapat melakukan penjualan Aset Tindak Pidana yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menjual Aset Tindak Pidana sebelum adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atas permintaan Penyidik atau Penuntut Umum.
  2. Penjualan Aset Tindak Pidana oleh Lembaga Pengelola Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kantor lelang.
  3. Hasil lelang Aset Tindak Pidana disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak, dengan terlebih dahulu mem.

Pasal 66
Dalam hal Aset Tindak Pidana tidak terjual setelah dilakukan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2), Pengelolaan Aset tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan barang milik negara.

Pasal 67
  1. Terhadap Aset Tindak Pidana yang dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dilakukan pengggunaan atau pemanfaatan setelah memperoleh persetujuan Menteri.
  2. Dalam hal persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, Aset tersebut harus dijual.
  3. Penggunaan atau pemanfaatan Aset rampasan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum.

Pasal 68
Pengembalian Aset Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf i terhadap pihak ketiga atau pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya, dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 69
  1. Lembaga Pengelola Aset dapat meminta lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan audit atas pelaksanaan pengembalian Aset Tindak Pidana.
  2. Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Keempat
Hasil Pengelolaan Aset


Pasal 70
  1. Hasil yang diperoleh dari Pengelolaan Aset disetorkan langsung ke kas negara.
  1. pihak-pihak yang berjasa dalam upaya Perampsan aset diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang atau hasil yang lain. Ketentuan lebih lanjut diatur oleh Menteri.


BAB IV
GANTI KERUGIAN


Pasal 71
  1. Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat dilakukannya Pemblokiran atau Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ganti kerugian melalui Pengadilan.
  2. Tata cara mengenai gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB V
PERLINDUNGAN TERHADAP PIHAK KETIGA YANG BERITIKAD BAIK


Pasal 72
  1. Dalam hal Aset Tindak Pidana yang diajukan permohonan Perampasan Aset terdapat milik pihak ketiga yang beritikad baik, pihak ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan Perampasan Aset kepada Ketua Pengadilan Negeri.
  2. Pihak ketiga yang beritikad baik wajib membuktikan hak kepemilikannya atas Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


BAB VI
KERJASAMA INTERNASIONAL


Pasal 73
Kerjasama internasional mengenai bantuan untuk Penelusuran, Pemblokiran, Penyitaan, Perampasan, dan Pengelolaan Aset Tindak Pidana dilakukan berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
  1. Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil Aset Tindak Pidana yang dirampas:
    1. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan Perampasan Aset atas permintaan pemerintah; atau
    2. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan Perampasan Aset atas permintaan negara asing.
  2. Pelaksanaan bagi hasil dari hasil Aset Tindak Pidana yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
PENDANAAN


Pasal 75
Segala pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 76
Peraturan perundang-undangan mengenai Pengelolaan Aset yang telah ada sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 77
Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 78
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
,

JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ....

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.