Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Anti Pornografi (2003)

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Anti Pornografi  (2003) 

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR…………….. TAHUN 2003 TENTANG ANTI PORNOGRAFI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan Pribadi;

bahwa untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang serasi dan harmonis dalam keanekaragaman suku, agama,ras, dan golongan/kelompok, perlu adanya sikap dan perilaku masyarakat yang dilandasi moral, etika, akhlak yang mulia, dan kepribadian luhur yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Bahwa meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dalam masyarakat dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa; Bahwa Peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini belum secara tegas mendefinisikan pornografi sebagai pedoman dalam upaya penegakan hukum untuk tujuan melestarikan tatanan kehidupan masyarakat; Bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatas, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Anti Pornografi;

Mengingat : 1. Pasal 20 ayat (1), Pasa 21, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa;


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ANTI PORNOGRAFI

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : Pornografi adalah subtansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika. Media massa cetak adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara visual kepada masyarakat luas berupa barang-barang cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah, dan tabloid. Media massa electronik adalah alat atau sarana Penyampaian informasi san pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, dan yang dipersamakan dengan film. Alat komunikasi medio adalah sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada satu orang dan/atau seumlah orang tertentu antara lain berupa telepon, surat, pamflet, leaflet, booklet, selembaran, poster, dan media elektronik baru yang berbasis komputer seperti internet dan intranet. Iklan komersial adalah isi media yang mempromosikan sesuatu barang atau jasa dengan tujuan akhir mencari keuntungan finansial. Iklan layanan masyarakat adalah isi media yang mempromosikan sesuatu sebagai bentuk pemberian layanan kepada masyarakat. Barang pornografi adalah buku, suratkabar, majalah, tabloid dan media cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan dengan film, seperti video, video compact Disc, Digital Video Disc, Compact Disc, Personal Computer-Computer Disc Read Only Memory, dan kaset, yang materinya mengandung sifat pornografi.

Jasa Pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang dapat diperoleh antara lain melalui saluran telepon, televisi kabel, internet, dan alat komunikasi elektronik lainnya dengan cara pesanan atau berlangganan, serta layanan pornografi berupa barang-barang pornografi yang dapat diperoleh secara langsung dengan cara menyewa. membuat adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan memproduksi materi media massa cetak, media massa elektronik, media media komunikasi lainnya, dan memproduksi barang-barang pornografi. menyebarluaskan adalah kegiatan atau serangkaian kegaiatan mengedarkan materi media massa cetak, media massa elektronik, media mediakomunikasi lainnya , dan mengedarkan komunikasi lainnya, dan mengedarkan barang-barang yang mengandung sifat pornografi dengan cara memperdagangkan, memperlihatkan, memperdengarkan, mempertontokan, mempertunjukan, menyiarkan, menempelkan dan/atau menuliskan. menggunakan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan memakai materi media massa cetak, media massa elektronik, media media komunikasi lainnya, dan memakai barang-barang pornografi. badang kegamaan adalah lembaga kemasyarakatan yang berfungsi melakukan pembinaan Umat Beragama, seperti majelis Ulama Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Persatuan Gereja Indonesi, Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Wali Umat Budha Indonesia, dan lembaga sejenis yang diakui sah keberadaannya di indonesia Setiap orang adalah orang perseorangan, perusahaan, atau distributor sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. pemerintah adalah Menteri atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Presiden.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi berasaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan memperhatikan nilai-nilai budaya, susila dan moral yang dianut oleh masyarakat, keadilan, perlindungan hukum, dan kepastian hukum.

Pasal 3

Pelarangan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi bertujuan memberikan perlindungan, pembinaan, dan pendidikan moral dan akhlak masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dalam rangka membentuk masyarakat yang berkepribadian luhur, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa.

BAB III PELARANGAN PORNOGRAFI

Pasal 4

Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan pornografi dalam media massa cetak, media massa elektronik, dan alat komunikasi medio.

Pasal 5

Setiap orang dilarang dengan sengaja m enjadikan diri sebagai model atau obyek pembuatan pornografi.

Pasal 6

Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan mengunakan jasa pornografi.

Pasal 7

Setiap orang dilarang membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan karya seni yang mengandung sifat pornografi di media massa cetak, media massa elektronik, atau alat komunikasi medio, dan yang berada di tempat-tempat umum yang bukan dimaksudkan sebagai tempat pertunjukan karya-karya seni.

BAB IV PENGECUALIAN PORNOGRAFI

Pasal 8

Pembuatan, Penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, Pasal 6, atau Pasal 7 dikecualikan untuk tujuan pendidikan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada lembaga riset atau lembaga pendidikan yang bidang keilmuannya bertujuan untuk pengembanagn pengetahuan.

Pasal 9

Penggunaan barang pornografi dapat dilakukan untuk keperluan pengobatan gangguan kesehatan.

Penggunaan barang pornografi untuk keperluan gangguan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter, rumah sakit dan/atau lembaga kesehatan yang mendapatkan ijin dari Pemerintah.

BAB V PERIZINAN

Pasal 10

Pemerintah memberikan izin kepada setiap orang untuk mengimpor dan menyebarluaskan barang pornografi dalam media cetak dan/atau media elektronik untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan pasal 9. Setiap orang yang melakukan Penyebarluaskan barang dalam media cetak dan/atau media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan denga memenuhi syarat: a. Penjualan barang dan/atau jasa pornografi hanya dilakukan oleh badan-badan usaha yang memiliki izin khusus; b. Penjualan barang dan/atau jasa pornografi secara langsung hanya dilakukan di tempat-tempat tertentu dengan tanda khusus; c. Penjualan barang pornografi dilakukan dalam bungkus rapat dengan kemasan bertanda khusus dan segel tertutup; d. Barang pornografi yang dijual ditempatkan pada etalase tersendiri yang letaknya jauh dari jangkauan anak-anak dan remaja berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun;

BAB VI BADAN ANTI PORNOGRAFI NASIONAL

Bagian Pertama Nama, kedudukan, Fungsi, dan Tugas

Pasal 11

Untuk pencegahan dan penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dalam masyarakat dibentuk Badan Anti Pornografi Nasional, yang selanjutnya disingkat BAPN; BAPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.

Pasal 12

BAPN Berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia; Apabila diperlukan BAPN dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Provinsi untuk membantu pelaksanaan tugasnya; Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan BAPN.

Pasal 13

BAPN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemeritah serta mewakili kepentingan masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 14

Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, BAPN mempunyai tugas : a. memberikan saran dan rekomendasi kepada Pemerintah dalam pembuatan kebijakan penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; c. memantau dan melakukan penilaian terhadap perkembangan pornografi dalam masyarakat; d. melakukan advokasi dan edukasi kepada masyarakat dalam menanggulangi masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; e. mendorong berkembangnya lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi membantu upaya penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; f. menerima pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan masalah pornografi, dan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk meninjaklanjuti pengaduan tersebut; g. menjadi saksi ahli dalam proses pemeriksaan di persidangan; h. melakukan supervisi terhadap proses penyidikan proses pornografi.

Bagian Kedua Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 15

Anggota BAPN dipilih oleh dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas usul masyarakat. Anggota BAPN secara administrasi ditetapkan oleh Presiden atas usul dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 16

BAPN terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota, seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, serta sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang Anggota yang mewakili unsure-unsur dalam masyarakat. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BAPN adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua BAPN dipilih dari dan oleh Anggota.

Pasal 17

Sebelum memangku jabatannya, Anggota BAPN mengucapkan sumpah/janji di hadapan Presiden Republik Indonesia. Lafal sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya ini langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga,” Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar dan idiologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala Undang-Undang yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia,” Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya.”

Pasal 18

Anggota BAPN terdiri atas unsur a. perwakilan badan keagamaan; b. pakar komunikasi; c. pakar teknologi informasi dan komunikasi; d. pakar seni dan budaya; e. pakar hokum pidana; dan f. pakar sosiologi.

Pasal 19

Persyaratan keanggotaan BAPN adalah: a. warga negara Indonesia; b. sehat jasmani dan rogani; c. berkelakuan baik; d. memiliki pengetahuan tentang pornografi; dan e. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 20

Keanggotaan BAPN berhenti atau diberhentikan karena: meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri; bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; sakit secara terus menerus; melanggar sumpah/janji; berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman srendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara.

Pasal 21

(1) BAPN dalam melakukan tugas dan fungsinya dibantu oleh Sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh BAPN (3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan BAPN.

Pasal 22

Struktur organisasi dan tata kerja BAPN diatur dengan keputusan BAPN.

Pasal 23

Pembiayaan untuk pelaksanaan tugas BAPN dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber lain yang tidak bertentangan dengan perturan perundang-Undangan yang berlaku.

Pasal 24

BAPN berkewajiban untuk menyampaikan laporan kegiatan kepada DPR dan Presiden setiap tahun.

BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 25

Setiap warga negara Indonesia berhak untuk berperan serta dalam pencegahan dan penanggulangan pornografi berupa : a. menyampaikan keberatan kepada BAPN terhadap pengedaran barang dan/ atau penyediaan jasa pornografi; b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap seseorang, sekelompok orang, dan/ atau badan yang diduga melakukan pengedaran pornografi. c. Gugatan perwakilan sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada masalah pornografi.

Setiap warga negara Indonesia berkwajiban untuk : d. melakukan pembinaan moral, mental spritual, dan akhlak masyarakat dalam rangka membentuk masyarakat yang berkepribadian luhur, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; e. membantu penyelenggaraan kegiatan advokasi dan edukasi dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;

Setiap warga negara Indonesia bertanggungjawab untuk melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila melihat dan/atau mengetahui adannya penerbitan dan/atau pengedaran pornografi.

BAB VIII PERAN PEMERINTAH

Pasal 26

Pemerintah dapat melakukan kerjasama bilateral, regional, dan multilateral dengan negara lain dalam membatasi penyebarluasan pornografi sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara. Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan hokum dan keamanan kepada penggugat dan / atau pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b dan ayat (3).

BAB IX PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 27

Penyidikan, Penuntutan, dan pemeriksaan di muka persidangan terhadap tindak pidana pornografi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X KETENTUAN SANKSI

Bagian Pertama Sanksi Administratif

Pasal 28

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan sanksi administrative berupa pencabutan ijin usaha Setiap orang yang telah dicabut ijin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan kembali ijin usaha sejenis.

Bagian Kedua Ketentuan Pidana

Pasal 29

Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pasal 5, dan/atau pasal 6, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau paling singkat 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), dan/atau Pasal 9 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua rarus lima puluh juta rupiah ).

Pasal 30

Setiap orang yang tidak memiliki ijin untuk mengimpor dan menyebarluasan barang pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana penjara paling lama 7 (tujuh)

tahun dan paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Setiap orang yang melakukan penyebarluasan barang pornografi tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Pasal 31

Setiap orang yang dengan sengaja menghalang-halangi dan/atau mempersulit penyidikan, penuntutan , atau pemeriksaan di muka persidangan perkara tindak pidana pornografi dipidana dengan pidana penjara palin lama 3 (tiga) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah)

Pasal 32

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan paling singkat 6 (enam) bulan and pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah)dan paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu juta rupiah)

BAB XI PEMUSNAHAN

Pasal 33

(1) Pemusnahan barang pornografi dilakukan terhadap: a. hasil penyitaan dan perampasan barang yang tidak berijin b. putusan pengadilan (2) Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum bekerja sama dengan BAPN. Pemusnahan barang pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat: c. nama media apabila barang disebarluaskan melalui media massa cetak dan/atau media massa elektronik; d. nama dan jenis barang yang dimusnakan;

e. hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan; f. keterangan mengenai pemilik atau yang mengusai barang yang dmusnakan; dan g. tanda tangan dan identitas lengkap para pelaksana dan pejabat yang melaksanakan dan menyaksikan pemusnahan.

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 35

BAPN dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.

BAB XIII PENUTUP

Pasal 36

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan menempatkanya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta Pada tanggal,…….. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

Diundang di Jakarta,……………. Pada tanggal,………..

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

LEMBAGA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…….. NOMOR …….

PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……. TAHUN ……… TENTANG ANTI PORNOGRAFI

UMUM

Negara Indonesia adalah negara yang menganut faham Pancasila. Keyakinan dan kepercayaan ini secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea III dan IV Sebagai penganut faham hidup berketuhanan, bangsa indonesia menyakini dan mempercayai bahwa Tuhan melarang sikap dan tindakan-tindakan a-susila, dan a-moral dalam kehidupan seks, seperti pelecehan, perselingkuhan, kekerasan seks, penyimpangan seks, dan penyebarluasan gagasan-gagasan tentang seks, karena dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat beragama tindakan-tindakan memperlihatkan, mempertontonkan, mempertunjukan, dan / atau memperdengarkan materi seks dianggap sebagai suatu ancaman terhadap kelestarian tatanan kehidupan masyarakat karena ikut berperab dalam pembentukan sikap dan tindakan a-susila dan a-moral semacam itu. Tindakan-tindakan semacam itu juga dianggap menunjukan sikap menentang kekuasaan Tuhan.

Pada era kehidupan modern di tengah globalisasi informasi seperti sekarang kelestarian tatanan masyarakat Indonesianmenghadapi ancaman yang serius. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini terjadi peningkatan penyebarluasan gagasan-gagasan tentang seks berupa pornografi dalam berbagai bentuknya melalui media massa dan alat komunikasi lainnya. Kecenderungan ini telah menimbulkan keresahan dan kekuatiran masyarakat beragama akan hancurnya sendi-sendi moral dan etika yang sangat diperlukan dalam pemiliharaan dan pelestarian tatanan kehidupan masyarakat.

Sebagai penganut keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat Indonesia memiliki hak untuk melindungi dan memiliki kewajiban berperan serta mencegah terjadinya kerusakan tatanan dan disintegrasi yang disebabkan oleh sikap dan tindakan-tindakan a-sosial, a-susila, dan a-moral yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu yang menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang seks didepan umum, atau dilingkungan ranah pablik. Dalam hal ini penyelenggara negara memiliki hak dan sekaligus kewajiban untuk melarang pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi oleh individu atau sekelompok individu yang tidak menghormati hak masyarakat umum yang lebih luas untuk melindungi diri dari dampak pornografi. Oleh karenanya agar pemenuhan hak individu dan sekelompok individu tidak melanggar pemenuhan hak masyarakat umum untuk memiliki kehidupan yang tertib dan aman, maka pembuatan, peyebarluasan, dan penggunaan pornografi harus diatur dengan undang-undang.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini pada dasarnya melarang semua bentuk aktivitas pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana diajarkan dalam faham ketuhanan Yang Maha Esa. Larangan tersebut lebih keras diarahkan pada pembuatan pornografi oleh perseorangan atau korperasi di dalam negeri agar Undang-Undang ini befungsi secara efektif dalam membantu pemerintah dalam membatasi pornografi serta membantu lembaga-lembaga keagamaan dan masyarakat dalam memecahkan perseolan-persoalan pornografi yang dihadapi sekarang ini. Undang-Undang ini mengakui peran penting lembaga-lembaga keagamaan dalam pembinaan moral dan moralitas masyarakat. Oleh karenanya, pengaturan dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk mengambil alih peran lembaga-lembaga keagamaan, tetapi diarahkan pada upaya menegakkan kesepakatan bersama antar umat beragama mengenai pornografi, dalam rangka memilihara sistem nilai budaya masyarakat yang dilandasi kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk tujuan itu maka upaya mengulanggi masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang diatur dalam Undang-Undang ini melibatkan peran serta masyarakat, lembaga-lembaga keagamaan,dan pemerintah.

Undang-undang ini juga mengakui peran penting karya-karya seni dan para seniman pembuatnya bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dan oleh karenanya keberadaan karya-karya seni serius atau seni murni (high-art) dan karya-karya seni yang berorientasi pada pasar atau seni populer (popular-art) tetap dihormati dan diharhai sebagaimana mestinya. Dalam Undang-Undang ini pornografi dibedakan dari seni. Nilai yang terkandung dalam pornografi dianggap lebih bersifat instrumental yakni berperan sebagai sarana atau alat untuk mencapai sesuatu yang lain, atau bersifat ekstrinsik yakni bertujuan lain di luar dirinya. Sebaliknya, nilai yang terkandung dalam seni dianggap lebih bersifat intrinsik, hanya berkaitan dengan pengalaman yang dilandasi moralitas yang baik, bernilai dalam dirinya sendiri, atau sebagai tujuan akhir. Karya seni dianggap memiliki keunikan karen atidak mungkin diproduksi dan direproduksi dengan kualitas yang persis sama. Sebaliknya, pronografi dianggap tidak memiliki keunikan karena bisa diproduksi dan direproduksi sebanyak mungkin atau secara massal dengan kualitas yang persis sama atau paling tidak hampir sama.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukup Jelas

Pasal 2 Dalam pengertian ini, penyebarluasan gagasan-gagasan tentang seks, kecabulan dan /atau erotika yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya, susila dan moral yang dianut oleh masyarakat. Yang dimaksud kecabulan adalah materi yang memperlihatkan ketelanjangan tubuh aktivitas hubungan seks, tindak kekerasan seks seperti perkosaan, hubungan seks yang disertai tindakan sadisme, dan aktivitas hubungan seks yang tidak mengandung unsur kekerasan namun merendahkan nilai sekral hubungan seks. Yang dimaksud erotika adalah materi yang mengandung sifat atau tema-tema seksual.

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Lembaga penyelenggara jasa pornografi yang melalui internet harus diperlengkapi dengan sistem filter.

Pasal 7 Karya seni adalah hasil ciptaan manusia yang memiliki nilai estetika yang tinggi, dan mengutamakan nilai-nilai intrinsik yaknin yang bertujuan pada dirinya sendiri. Sebuah karya yang mengutamakan nilai-nilai ekstrinsik yakni yang bertujuan lain di luar dirinya sendiri, seperti tujuan promosi, meningkatkan pernjualan, dan membangkitkan nafsu birahi, tidak dikategorikan sebagai karya seni.

Pasal 8 Cukup jelas

Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan gangguan kesehatan dalam pasal ini adalah gangguan fungsi seksual dan alat reproduksi, yang pengobatannya memerlukan alat bantu barang pornografi.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 10 Cukup jelas

Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12 Cukup jelas

Pasal 13 Cukup jelas

Pasal 14 Huruf a Cukup jelas

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Pemantauan dan penilaian dilakukan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dalam media massa cetak, media massa elektronik, dan alat komunikasi medio.

Huruf d Masukan dan saran-saran kepada Pemerintah mengenai layak atau tidaknya suatu pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi dalam media atau alat komunikasi, dapat disampaikan melalui media massa.

Huruf e Cukup jelas

Huruf f Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h Cukup jelas

Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan masyarakat adalah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap masalah pornografi.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 16 Ayat (1) Jumlah wakil setiap u nsur tidak harus sama Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18 Cukup jelas

Pasal 19 Cukup jelas

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23 Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas

Ayat (2) Huruf a Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini meliputi upaya meningkatkan moral dan akhlak bangsa melalui pendidikan keagamaan, moral, etika dan budi pekerti pada lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat Sekolah Taman kanak-kanak sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi; dan /atau mencegah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Huruf b Yang dimaksud dengan kegiatan advokasi adalah kegiatan pemberian bantuan hukum dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan porngrafi. Yang dimaksud dengan kegiatan edukasi, adalah kegiatan pemberian bimbingan, konsultasi, penerangan, dan penyuluhan dalam penanggulangan masalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 26 Cukup jelas

Pasal 27 Cukup jelas

Pasal 28 Cukup jelas

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30 Cukup jelas

Pasal 31 Cukup jelas

Pasal 32 Cukup jelas

Pasal 33 Cukup jelas

Pasal 34 Cukup jelas

Pasal 35 Cukup jelas

Pasal 36 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …..

Disahkan di Jakarta Pada tanggal …..2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

Diundangkan di jakarta Pada tanggal …… 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2 002