Reform-Aktie dan Doels-Aktie

REFORM – ACTIE DAN DOELS – ACTIE

"AKSI PERBAIKAN SEKARANG" DAN "AKSI MAKSUD TERTINGGI"

Di dalam pergerakan Indonesia ada dua uitersten, dua "ujung". Ujung yang kesatu,- ujung reformis, tidak mau utamakan aksi maksud tertinggi seperti aksi Indonesia Merdeka atau aksi jatuhnya stelsel kapitalisme. Yang mereka kerjakan sehari-hari hanya apa yang bisa dicapai ini hari sahaja, seperti turunnya pajak atau tambahnya sekolahan. Ujung yang kedua, – ujung "radikal mbahnya radikal", – tidak mau tahu akan aksi "kecil-kecilan" sebagai yang mengejar turunnya pajak itu, tetapi hanya mau kepada "Indonesia Merdeka" dan "jatuhnya kapi­talisme" sahaja,: "alles of niets" (semua atau tidak samasekali)!

Ujung yang kesatu memusatkan mata kepada ini hari sahaja, ujung yang kedua pada hari kemudian sahaja. Mana yang benar? Dua-duanya salah, dua-duanya tak akan bisa membangunkan pergerakan massa aksi radikal yang besar. Tentang soal ini,- soal yang amat penting bagi sikapnya sesuatu partai yang ingin menjadi partai-pelopor saya di lain tempat

telah menulis:

Tetapi bagi partai-pelopor memberi keinsyafan sahaja belum cukup. Keinsyafan adalah benar sangat menghaibatkan kemauan massa, keinsyafan adalah benar sangat mengobarkan semangat massa, keinsyafan adalah benar sangat membajakan keberanian massa, – mengusir tiap­-tiap kuman reformisme dari darah-daging massa tetapi keinsyafan sepanjang teori sahaja belum cukup. Rakyat barulah menjadi radikal di dalam segala-galanya kalau keinsyafan itu sudah dibarengi dengan pengalaman-pengalaman sendiri. Pengalaman-pengalaman inilah yang sangat sekali membuka mata massa tentang kekosongan dan kebohongan taktik reformisme, – meradikalkan semangat massa, meradikalkan ke­mauan massa, meradikalkan semangat keberanian massa, meradikalkan ideologi dan aktivitetnya massa. "Bukan sahaja rakyat yang tak dapat menulis dan membaca, tetapi juga rakyat yang terpelajar, haruslah mengalami di atas kulitnya sendiri, betapa kosong, bohong, munafik dan lemahnya politik tawar-menawar, dan sebaliknya betapa kaum burjuis saban-saban menjadi gemetar, bilamana dihadapi dengan suatu aksi yang radikal, yang hanya kenal satu wet, – wetnya perlawanan yang tak mau kenal damai." Inilah ajaran seorang pemimpin besar yang sering saya pinjam perkataannya. Oleh karena itu partai-pelopor tidak harus hanya membuka mata massa sahaja: – partai-pelopor harus juga mem­bawa massa ke atas padangnya pengalaman, ke atas padangnya perjoangan. Di atas padangnya perjoangan inipun partai-pelopor itu mengolah tena­ganya massa, memelihara dan membesar-besarkan kekuatannya massa, mengukur-ngukur dan menaker-naker keuletannya massa, menggembleng kekerasan-hati dan energinya massa, – men-"trin" segala kepandaian dan keberaniannya massa untuk berjoang. "Lebih menggugahkan kein­syafan daripada semua teori adalah perbuatan, perjoangan. Dengan kemenangan-kemenangan perjoangannya melawan si musuh, maka partai menunjukkan kepada massa betapa besar kekuatannya massa itu, dan oleh karenanya pula, membesarkan rasa-kekuatan massa dengan sebesar­-besarnya. Tetapi sebaliknya juga, maka kemenangan-kemenangan ini hanyalah bisa terjadi karena suatu teori, yang memberi penyuluh kepada massa, bagaimana caranya mengambil hasil yang sebanyak-banyaknya daripada kekuatan-kekuatannya setiap waktu", – begitulah perkataan salah seorang pimpinan lain dengan sedikit perobahan.

Hanya begitulah sikap yang pantas menjadi sikapnya suatu partai radikal yang dengan yakin mau menjadi partai-pelopornya massa, menyuluhi massa, dan berjoang habis-habisan dengan massa: menyuluhi massa sambil berdyoang dengan massa, – berjoang dengan massa sambil menyuluhi massa. Di dalam perjoangan ini partai-pelopor harus sela­manya mengarahkan mata massa dan perhatian massa kepada maksud yang satu-satunya harus menjadi idam-idaman massa, yakni gugurnya stelsel kapitalisme-imperialisme via jembatan Indonesia Merdeka. Partai­ pelopor haruslah selamanya tetap memusatkan semangat massa, kemauan massa, energi massa kepada satu-satunya maksud itu, – dan tidak lain. Tiap-tiap penyelewengan harus ia buka kedoknya di muka massa, tiap-tiap pengkhianatan kepada radikalisme harus ia hukum di muka mahkamahnya massa, tiap-tiap keinginan akan "menggenuki" untung-untung kecil-hari­sekarang harus ia bakar di atas dapurnya massa, tiap-tiap aliran yang hanya mau menambal masyarakat-amoh ini harus ia musnakan dengan simumnya radikalisme massa. Satu tujuan, satu arah perlawanan, satu perguletan, dan bukan dua-tiga, yakni tujuan radikal, zonder banyak menoleh-noleh melihat dan menggenuki hasil-hasil-kecil-ini-hari.

Dus, massa tidak boleh beraksi buat hasil-hasil-kecil-ini-hari? Tidak begitu, samasekali tidak begitu! Massa hanya tidak boleh menggenuki aksi buat hasil-hasil-kecil-ini-hari itu! Massa hanya tidak boleh ketarik oleh manisnya hasil-hasil-kecil itu, sehingga lantas lupa akan maksud yang besar tahadi-tahadinya, atau menomor-duakan maksud-besar yang tahadi‑tahadinya itu. Massa sambil berjalan harus selalu mengarahkan mata­nya kearah puncak gunung Indonesia Merdeka, dan memandang hasil­-hasil-kecil itu hanya sebagai bunga-bunga yang ia sambil lalu petikkan dipinggir jalan. Sebab, selama stelsel kapitalisme-imperialisme belum gugur, maka massa tidak bisa mendapat perbaikan nasib yang 100% sem­purnanya. Tapi asal tidak "digenuki", asal tidak di nomor-duakan, maka perjoangan untuk hasil-sehari-hari itu malahan adalah baik juga untuk memeliharakan strijdvaardigheid-nya massa. Perjoangan untuk hasil­sehari-hari itu. malahan harus dijalankan sebagai suatu training, suatu gemblengan tenaga di alam perjoangan yang lebih besar.

"Ohne den Kampf fiir Reformen gibt es keinen erfolgreichen Kampf fiir die vollkommene Befreiung, ohne den Kampf fiir die vollkommene Befreiung keinen erfolgreichen Kampf fiir Reformen", – "Zonder perjoangan buat perobahan sehari-hari tiada kemenangan bagi perjoangan buat kemerdekaan; zonder perjoangan buat kemerdekaan, tiada ke­menangan bagi perjoangan buat perobahan sehari-hari".

Oleh karena itulah maka partai-pelopor harus membikin pergerakan massa itu menjadi pergerakan untuk kemerdekaan dan untuk perbaikan­-perbaikan-ini-hari.Ya, partai-pelopor jangan jijik kepada "hasil-­kecil" itu, karena "die Reform ist ein Nebenprodukt des radikalen Massenkampfes" yakni karena "Perbaikan-kecil-kecil itu adalah rontogan daripada perjoangan massa secara radikal".

Banyak kaum yang menyebutkan dari kaum: "radikal 100%", yang emoh akan "perjoangan kecil" sehari-hari itu. Mereka dengan jijik mencibir kalau melihat partai mengajak massa berjoang buat turunnya pajak, buat lenyapnya "heerendienst" (rodi), buat tambahnya upah-buruh, buat turunnya tarief-tarief, buat lenyapnya bea-bea, buat perbaikan kecil sehari-hari, dan selamanya dengan angkuh berkata: "Seratus persen kemerdekaan, dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan." Akh, mereka tidak mengetahui, bahwa di dalam politik radikal tidak adalah pertentangan antara perjoangan yang leluasa, tetapi justru suatu hubungan yang rapat sekali, suatu "perkawinan" yang rapat sekali, suatu "wisselwerking" yang rapat sekali. "Zonder perjoangan buat perobahan sehari-hari, tiada kemenangan bagi perjoangan buat kemerdekaan; zonder perjoangan buat kemerdekaan, tiada kemenangan bagi per­joangan buat perobahan sehari-hari!" Inilah a-b-c-n y a aksi radikal, inilah ha-na-ca-ra-ka-nya perlawanan radikal; perlawanan kecil sebagai "moment" daripada perlawanan yang besar, perlawanan-kecil sebagai mata rantai di dalam perlawanan yang besar, – berbedaan samasekali setinggi langit dengan "perlawanannya" kaum reformis yang hingga buta menggenuki perjoangan sehari-hari untuk perjoangan sehari-hari. Semboyannya "kaum 100%" yang berbunyi: "Seratus persen kemerdekaan, dan hanya aksi buat seratus persen kemerdekaan", dan aksi semboyan itu harus kita koreksi menjadi "seratus persen kemerdekaan dan aksi apa sahaja yang mencepatkan seratus persen kemerdekaan!", dan politik reformisme harus kita enyahkan ke dalam kabutnya ketiadaan, kita usir ke dalam liang-kuburnya kematian, – melalui kumidi-bodor ketawaan rakyat. Demikian, dan hanya demikian partai-pelopor harus bekerja!

"Fikiran Rakyat", 1933