Rencana Ekonomi Berjuang/Pengantar

SATU DUA PERKARA yang perlu saya sebutkan di sini sebagai kata pengantar.

Pertama sekali saya dengan ini terpaksa menyerukan “AWAS” terhadap beberapa orang yang menyamar sebagai Tan Malaka. Seorang di antara penyamar itu sudah saya jumpai di Surabaya. Menurut keterangan teman seperjuangan di sana si Penyamar ini mempunyai beribu-ribu pengikut. Menurut pengakuan si Penyamar sendiri, dia sudah lama bekerja buat Pemerintah Belanda almarhum. Berhubung dengan itu dia sudah banyak mempunyai hubungan dengan orang yang mempunyai kedudukan tinggi di bawah Belanda di antara Pangreh Praja dll. Apalagi dengan mereka dari kalangan pergerakan di berbagai tempat yang tertipu mentah- mentah.

Tak perlu disebutkan lagi bahwa Tan Malaka palsu banyak menimbulkan kekalutan di kalangan pergerakan revolusioner umumnya dan pergerakan komunis khususnya. Tiadalah susah menghubungkan aksi Tan Malaka Palsu ini dengan provokasi yang lazim dilakukan terhadap pengikut PARI di zaman Belanda terutama sejak tahun 1935-1936. Provokasi itu amat bermaharajalela dan banyak mengirimkan orang PARI ke Digul. Ini malam orang PARI didatangi oleh seorang provokator, besoknya orang itu diDigulkan. Selain daripada itu Tan Malaka Palsu “made in Batavia” (Vrijmetslaarweg) itu berhasil pula melekatkan sangkaan yang tidak- tidak terhadap Tan Malaka yang sebenarnya, berhubung dengan keributan pada tahun 1926 dan pergerakan rakyat di belakangnya.

Semua sangkaan itu satupun tak bisa dikupas dengan tiada mengupas yang berhubungan dengan aksi dan organisasi komunis di mana-mana negara. Persangkaan itu tiada akan saya kupas! Muka saya cukup tebal buat melunturkan persangkaan palsu. Hati saya sebagai revolusioner tak bisa digoncangkan oleh tuduhan palsu. Sejarah hampir belum pernah mungkir mengakui kebenaran!

Dalam hal Tan Malaka Palsu yang sudah dijumpai ini bolehlah dikata saya beruntung juga. Sekiranya Penyamar ini berjalan terus, maka akan teruslah ia membohongi para pemimpin. Di antaranya yang sudah kena dibohongi banyak pula yang terkemuka. Tak mengherankan, karena mereka masih “bayi” ketika saya meninggalkan Indonesia bulan Maret tahun 1922. Untunglah beberapa pemimpin muda bisa saya jumpai di Surabaya dan lain-lain tempat dan dengan mudah saya buktikan kesilapan mereka. Alangkah kalutnya pergerakan Indonesia seandainya saya tak menyaksikan peristiwa ini. Sudahlah tentu susah akan menyaring sejarah saya yang sebenarnya, apalagi kalau lebih mendalam.

Sebetulnya sudah amat dalam. Sudah lebih dari cukup buat melemparkan saya ke neraka para pengkhianat. Pembaca tentu tak heran kalau saya terkejut mendengarkan banyak orang bercerita pada saya bahwa Pemimpin Besar ini atau itu ketika Jepang masuk menerima “perintah” dari saya buat “bekerja bersama dengan Jepang”. Siapa yang sangsi akan adanya pemberi perintah itu, yakni saya Tan Malaka, dibawa ke Sukabumi, atau Madiun atau Cirebon atau ke lain tempat buat dijumpakan dengan Tan Malaka Palsu.

Jepang piawai dalam politik “double crossing” (menipu kedua pihak) sebagai warisan dari Belanda. Tan Malaka Palsu dipakai oleh Belanda buat memikat dan melenyapkan Tan Malaka tulen. Jepang menjalankan politik semacam itu pula. Dengan lenyapnya pemerintah serdadu Jepang, rupanya pekerjaan pemalsuan politik itu diteruskan pula oleh para murid Jepang, ialah buat mencari pengaruh dan pangkat.

Siapakah yang rugi, siapakah yang beruntung sampai sekarang, Tan Malaka atau musuhnya?

Siapakah yang akan rugi dan akan beruntung di hari depan?

Kenapakah Tan Malaka yang dipakai buat merusak partainya Tan Malaka?

Tetapi tuan-tuan yang arifin tentu juga bisa menjawabnya.

Saudara yang masih memihak kepada kebenaran saya persilahkan membaca brosur saya Naar de Republik Indonesia tahun 1924 dan Semangat Muda serta Massa Aksi in Indonesia. Semangat Muda ditulis di Manila dan dicetak di Manila, sebelum keributan permulaan tahun 1926. Massa Aksi ditulis dan dicetak di Singapura sebelum keributan tahun 1926 pula. Maksud buku itu ialah buat menjelaskan cara partai komunis mengadakan organisasi, menyaring pengikutnya, dan menjalankan aksi yang cocok dengan paham massa-aksi, yang bertentangan dengan cara aksi militer sematamata. Saya yang bertanggung jawab atas pergerakan komunis di Indonesia dan bagian lain di Asia di masa itu merasa wajib menjaga supaya Partai Komunis jangan tergelincir disebabkan provokasi, supaya Partai Komunis Indonesia khususnya terus berjalan di atas rel massa-aksi.

Tulen palsunya seorang pemimpin tiadalah bisa diukur dengan tuduhan orang lain terhadap dirinya semata-mata. Palsu tulennya itu bisa juga diukur dengan perkataan dirinya itu sendiri dahulu dan sekarang. Palsu tulennya itu juga bisa diukur dengan seberapa cocoknya perkataan si Pemimpin dengan perbuatannya sendiri. Kalau di sini didapat perbedaan atau pertentangan, maka barulah tuduhan itu mendapatkan bukti yang sah.

Saya tak akan naik perahu bermingu-minggu lamanya diombang- ambingkan gelombang menuju ke Sumatera dan Jawa, satu dua bulan sesudah Jepang masuk, kalau saya takut memimpin pergerakan revolusioner yang sebenarnya. Tak perlu saya sembunyi bekerja sebagai buruh di Bayah Kozan sampai Jepang lenyap, kalau saya percaya pada lain kemungkinan selain “Massa Aksi” di Indonesia. Saya percaya bahwa saya sekurangnya mesti dapat memasuki Gedung seperti Chuo Sangi In dan mendapat gedung besar di bawah perlindungan Hinomaru, kalau saya mau “sehidup semati” dengan serdadu kempetai Jepang, yakni tak percaya akan timbulnya "Aksi Rakyat" yang sebenarnya. Aksi Murba yang meluap mendidih inilah yang saya tunggu-tunggu.

Massa-Aksilah yang saya kehendaki lebih kurang 18 tahun yang lalu. Massa-Aksi pulalah yang saya kehendaki sekarang! Ujian buat perkataan saya itu kalau mau diuji dengan paham, bolehlah dibandingkan dengan isi lima atau enam buku yang terpaksa saya keluarkan di masa ini. Terpaksa, karena Massa-Aksi itu saya rasa belum cukup juga dimengerti, pun sekarang! Memang sekarang sudah ada Aksi Massa, ialah aksinya massa (murba), tetapi belum lagi Massa-Aksi. Kalau perbuatanlah yang mesti dijadikan batu ujian itu pula, maka saya harap sejarah akan memberi penerangan cukup, kalau kelak sejarah itu sudah sampai waktunya bersuara!

Tegasnya, bandingkanlah dasar, suara, dan semangat tulisan saya kini dengan dasar, suara, dan semangat tulisan saya 24 tahun yang lalu.

Sedikit panjang saya menulis buat membatalkan bermacammacam sangkaan yang berhubung dengan haluan dan aksi saya di luar negeri, sebenarnya terpencil dari teman dan jauh dari negeri bertahun-tahun. Keadaan sekarang membutuhkan kejelasan, seberapa bisa sudah saya berikan. Kalau ada lagi di antara teman seperjuangan yang ingin tahu, kenapa belum juga saya memajukan diri, maka sekali lagi saya ulang apa yang saya sebut dalam brosur Politik: Cukup sebab maka Tan Malaka memilih tempat, tempat, dan teman buat menyaksikan dirinya sendiri ke depan mata rakyat Indonesia.

Puluhan tahun lebih dahulu saya majukan “garis” yang saya anggap harus ditempuh oleh Rakyat Indonesia dalam perjuangan sekarang dengan semua brosur ini. Apabila “garis” ini disetujui dan yang menyetujui ikhlas takluk kepada susunan dan disiplin organisasi itu, maka kalau masih “diperlukan” pimpinan dari saya sendiri, tentulah saya akan tampil ke muka dengan tiada menghitung-hitung korban yang perlu diberikan. Tetapi tiada akan kekurangan kepuasan hati saya kalau seandainya “garis” itu disetujui oleh mereka yang lebih muda dan sendiri mau melaksanakan “garis” itu dengan jujur, ikhlas, dan tetap tabah.

Tiga paham yang sekarang berjuang bahu-membahu: paham keislaman, kebangsaan, dan sosialistis. Semuanya pada tingkat merebut KEMERDEKAAN NASIONAL ini berhak buat diakui. Marilah kita berharap supaya ketiga paham itu bisa mengadakan persatuan yang teguh-tetap.

Tetapi tak bisa disingkirkan kemungkinan bahwa kelak sesudah Kemerdekaan Nasional tercapai, boleh jadi ketiga paham itu, yang dalam garis besarnya mewakili kelas tani, borjuis-tangan, dan proletar, bercekcokan satu sama lainnya. Berhubung dengan itu maka perlulah dicari “persamaan” sebagai semen yang mempersatukan batu tembok. Persamaan itu didapat pada persamaan keperluan. Persamaan keperluan itu saya kira didapat dalam satu Rencana Ekonomi yang Sosialistis.

Inilah maksud brosur ini, yakni membentangkan paham saya tentang Rencana Ekonomi yang sekarang bisa dan perlu dijalankan oleh semua golongan yang ada di Indonesia. Juga dibentangkan rencana ekonomi yang bisa dan perlu dijalankan sesudah kemerdekaan 100% tercapai. Tiadalah perlu dilupakan kritik atas Kapitalisme, atas Rencana Ekonomi Fasis dan Demokratis.

Mudah-mudahan brosur ini bisa menambah pengetahuan warga negara Republik Indonesia tentang ekonomi.


Surabaya, 28 November 1945


Pendakwa modern kita, DENMAS, MR. APAL, TOKE, PACUL, dan GODAM sekarang duduk di beranda sebuah rumah, sedang besarnya, dilindungi oleh pohon jeruk yang rindang. Suasana tenang meliputi lima-seperjuangan ini.

Pabrik raksasa yang berdiri di seberang jalan yang tadi siang menderu-deru sekarang berhenti diam, sepert seekor gajah beristirahat sesudah melakukan pekerjaannya. Tak ada pekerja yang lalu lintas, menarik dan mengangkat barang di sekitar pabrik itu.

Di keliling pabrik terbentang sawah luas ditabur warna hijau dan kuning oleh pokok padi yang muda dan sudah masak. Di sana-sini tampak kampung yang diselimuti pohon buahbuahan. Terbelintang sepanjang cakrawala barisan gunung kehijau- hijauan, di antaranya ada yang diselimuti oleh awan putih seolah-olah kemalu-maluan. Sang bulan mengintip dari celah daun kelapa yang berdiri tegak di suatu desa.

Suasana yang aman tenang ini terganggu oleh suara salah seorang di antara lima-seperjuangan tadi.