Saat Qahar Dewasa
oleh Ulil Amri

Saat Qahar Dewasa

Ulil Amri

PGSD UNP





"Qahar! kan, sudah Uda bilang dari dulu. Kalau mau kencing, bilang-bilang dulu!" teriakanku menembus langit-langit ruang tengah. "Kasihan kan Mak Iyah, tiap kali kamu buang air, beliau mesti ngepel lagi!".

Qahar tersudut, mata beningnva berkaca. Ekspresi yang sama ratusan kali kerap membuat benteng kesabaranku habis.

"Biar saja, Nak Alwi, indak usahlah dimarahi. Kasihan, kan, nanti Qaharnya menangis," ujar Mak Iyah bela-belain Qahar.

"Biar saja! Qahar itu sudah besar, sudah waktunya dia tahu kalau anak tujuh belas tahun itu indak ada yang kencing sembarangan."

"Tapi, Nak Alwi, kita sama-sama tahu kalau Nak Qahar itu..." Mak Iyah menghentikan ucapannya. Deg! Astagfirullah......karena kesal aku sampai lupa.

Pokoknya, besok aku dan teman-temanku mau belajar. Aku indak mau ujianku kali ini gagal. Jadi, sepanjang sore Qahar harus di kamar. "Kau dengar itu, Qahar?" Ultimatum itu terlempar begitu saja. Tak kupedulikan ekspresi sedih dan tangis adik bungsuku yang polos itu. Ah, aku capek mesti sabar terus.

***

Syndrome Brown. Istilah kasarnya, idiot. Orang Padang bilang gadang bodoh. Qahar menyandang cacat itu sejak lahir. Awalnya kami semua tak bisa menerima kenyataan itu, terutama Bunda. Akibatnya, beliau terlalu memanjakan Qahar. Begini jadinya. Padahal, seorang anak lelaki di Minang sangat penting harakatnya, penjaga marwah keluarga. Pengganti ninik mamak nantinya.


"Hei, lagi mikirin tes anatomi tadi, ya?” Andi menepukbahuku saat kami bergelantungan di atas bus kota yang melaju kencang. "Sudahlah, lupain, aja. Dokter Bahroelym itu, kan, sudah terkenal sadis. Kalau tidak dapat nilai D, pasti kamu dikasih nilai E, alias angka tiga ngakak!" kujitak kepala anak itu, luput.


"Bener, Wi, indak usah dipikirin. Yang penting, ujian praktikum Mikrobiologi besok berhasil. Makanya, ntar diskusinya yang serius," timbrung Margono.

"Oke, deh, kamu tenang aja..."

"Yang penting servisnya harus memuaskan, Wi. Snack-nya harus banyakan. Tamu, kan raja," celetuk Andi lagi.

"Antum ini nggak sopan begitu. Justru, karena kita tamu seharusnya kita yang lebih sopan," protes Aminuddin. Dia ini satu-satunya anak SKI temanku. Dari dialah aku tahu banyak tentang tarbiyah. Bahkan, sudah sebulan ini aku ikut liqo' yang diadakan forum studi tersebut, meski sering bolos juga.

"Oke deh, Ustaz...," jawab Andi menirukan sebuah iklan makanan di TV. "Lho. Ini kan sudah masuk Jalan Patimura, Wi?"tanya Andi kemudian.

Aku tersentak, "Eh, iya, stop... stop!" kami menggedor atap bus kota kuat-kuat, Uuuh... udah kelewatan. Terpaksa jalan kaki lagi.

Beres, sejauh ini semua baik-baik saja. Mak Iyah sudah mengamankan Oahar di markasnya. Bunda lagi ke Bukittinggi menghadiri persiapan perhelatan nikah sanak kami di sana, sedangkan Ayah masih di Jakarta, tiga hari lagi baru pulang. Berarti, aman...

“Soal nomor satu serahkan kepada saya!” ujar Gono.

“Uu... sombong, lu!” cibir Andi.

“Oke, Ndi, antum jawab soal nomor tiga. Biar ana kebagian nomor dua dan empat,” seperti biasa Aminuddin yang meng-coaching pembagian tugas.

“Ya..., kok yang paling sulit, sih? Andi langsung protes.

“Sudah, jangan cerewet!” sergah Amin. “Antum yang nomor lima, ya, Wi. Kita-kita tahu, kalau untuk urusan suspensi dan menghitung total bakteri, antum jagonya.”

Aku mengangguk. Kutaruh preparat di atas meja. Kuatur lensa mikroskop dengan perbesaran awal sepuluh kali, mendinginkan alat yang baru disterilisasi, mem-fiksasi bahan dan kaca alas, dan lantas bekerja seperti biasa...

“Minum dulu, Nak...,” Mak Iyah datang menyuguhkan lepat, godok pisang, dan teh. Mata Andi langsung pindah dari kertas ke atas piring kue. Dasar!

“Mak, makan siang Oahar langsung diantar ke kamar,ya. Ini kuncinya.” bisikku pada Mak Iyah. “Nanti kuncinya tolong dikembalikan ke saya, ya?” perempuan tua itu mengangguk meski kutahu ada warna protes di wajahnya.

Sehabis minum teh dan mengobrol ngalor-ngidul, kami melanjutkan lagi aktivitas belajar hingga tengah malam. Pukul setengah sebelas baru semua selesai. Teman-temanku sudah pada pulang. Aku kelewat capek dan mengantuk hingga tak sempat lagi membereskan peralatan dan sampah yang berserakan. Biar besok pagi saja. Uaaah... aku menguap lebar. Kutarik selimutku hingga menutupi kepala.

“Yeah...succeed, boy !” Andi melempar snell jas-nya kegirangan, begitu keluar dari lab mikrobiologi tempat kami ujian.

Enggak sia-sia, deh, kita begadang semalaman”.

“Patut dirayakan, nih!”

“Yo.”

“Ke mana,” tanyaku. "Biasa..., 'MP', Minang Plaza. Makan-makan, 'JJS', en ngecengin cewek kece..." usul Andi. Amin langsung memotong, "kalau makan-makan sih ana setuju, tapi kalau ngeceng... sorry, deh. Mubazir dan dosa".

"Ayolah Ustaz..., satu jam saja?" bujuk Andi. Amin tak bergeming. "Oke deh. No ngecenk...," ujar Andi lesu.

Tapi, yang satu jam itu molor jadi tiga jam. Makan-makan, ketawa-ketiwi, "mencuci tangan" di baju diskon, sampai nongkrong di tangga depan plaza, ngitungin cewek kece yang lewat. Untuk yang satu ini, aku nggak sempat ikutan karena Amin langsung menyeretku ke halte.

"Wi, liqo' minggu ini Antum hadir, ya." Aku mengangguk. "Tapi, barengan perginya, ya. Soalnya, kalau pergi sendiri aku malas."

"Katanya Antum punya adik cowok, ajak aja sekalian."

"Iya, deh. Nanti saya bicarakan sama... deg! Astagfirullah, Qahar! Kok, aku bisa lupa kalau dia masih terkunci di kamar. Buru-buru aku menyetop bus dan meninggalkan Amin yang kebingungan. Aku benar-benar kelewatan. Bagaimana kalau Qahar kelaparan, pengen buang air, atau.. kehabisan napas? Aku tak bisa membayangkan reaksi seperti apa yang diberikan Bunda apabila beliau tahu kealpaan yang kulakukan ini. Padahal, beliau sudah wanti-wanti agar aku menjaga Qahar selagi beliau dan ayah tidak ada di rumah.

"Alwi, mendapatkan anak seperti Qahar bukanlah hukuman, tetapi rahmat. Tidak semua orang ditakdirkan mendapatkan anak sepertinya, iyo, kan? Dan tidak semua orang mampu sabar dalam merawat anak seunik dia. Dari sampai akhir hayat..., hidup ini seperti gelombang, Wi. Ada gunung, ada lembahnya. Kekurangannya mungkin dari segi intelektualitas, tapi kelebihannya, wallahu a'lam."

Mataku berkaca, selaksa sesal dan kecemasan menyerangku. Selama ini aku justru berpikir kehadiran Qahar di tengah "kesempurnaan" keluargaku seperti titik noda permanen. Astagfirullah... What kind of Bro I am ? Aku justru sering berharap betapa menyenangkannya apabila tak ada Qahar, betapa indahnya apabila sehari saja aku tak melihat mulut segitiganya, atau ilernya yang meleleh, atau mendengar suara ngoroknya yang selalu menggangu konsentrasiku lahir belajar. Belum Iagi cemoohan beberapa tetanggaku yang selalu mengejek Oahar, terutama Si Joni, anak kurang taratik yang tinggal di belokan jalan dan selalu mengucapkan “pagi idiot..., “ saat adikku itu lewat. Saking marahnya, aku menghajar anak itu dan menghadiahkan banyak “kentang” di wajahnya.

Terlintas lagi di pikiranku saat Qahar mengadu kepada ayah karena diejek temannya. Berbeda denganku yang menanggapinya penuh emosional, ayah justru memberikan ucapan-ucapan kecil yang ternyata mampu menenangkan Qahar. Sederhana sekali, mengapa aku tak mampu melakukannya. Bunda pernah bilang, mungkin aku cemburu dengan segala kemanjaan yang diberikan seisi rumah kepada adikku itu. Benarkah?

Diam-diam di tengah perjalanan aku berharap semoga Qahar membobol pintunya, tetapi mana terpikir olehnya ke sana, ya? Atau, mungkin Mak Iyah yang melakukan hal itu, hibur hati kecilku.

“Mak...., Si Qahar sudah dikeluarkan?” tanyaku begitu berhadapan dengan Mak Iyah. Bagi keluargaku beliau sudah dianggap seperti nenek sendiri meski sesekali sikapku cenderung kurang respek, mungkin karena ego eksata-ku.

Jo apo ka dibukak? Kuncinya, kan, kamu bawa. Mak ini memang bukan keluargamu, Nak Alwi. Tapi, kamu sudah kelewatan. Mak benar-benar marah kepadamu. Sesore ini baru pulang, dari mana saja?”

Ngeceng, Mak,” aku bergegas naik ke atas. Sambil memasukkan kunci ke lobang handle, aku berharap semoga Qahar baik-baik... . Qahar lagi salat? Diam-diam aku duduk di ujung sofa, menantikan Gahar menyelesaikan tahiyat akhirnya.

“Uda baru pulang cekolah, ya?” pertanyaan itu seakan menghantam dadaku.

“Iya. Qahar lapar, ya, Qahar sudah makan? Oahar baik-baik saja, kan?”

Qahar tersenyum, bibirnya maju membentuk segitiga. Mm.. Qahal indak mau makan, Da. Qahal lagi puaca. Tadi malam Qahal udah pacang niat, kok!” "Qahal juga indak kencing cembalangan lagi. Kenalin, Mak lyah bilang, hali Labu besok Qahal mau ulang tahun. Belapa, ya, katana gitu tiga belas, eh...tujuh puluh."

"Tujuh belas..," ujarku meluruskan.

Iya... cegitu. Alah gadang, kata Mak Iyah. Jadi, Qahal indak boleh pipis cembalangan lagi."

Aku menepuk bahu si bungsu penuh haru. Selama ini keegoanku telah menutup rasa sayangku kepadanya. Aku merasa hebat sendiri. The best student di kampus, aktivis senat, tapi mengurus adik satu-satunya aja enggak becus!

"Tapi, Qahar jangan bilang sama ayah dan bunda soal peristiwa ini, ya? ini janji orang dewasa," akal bulusku berjalan lagi.

"Tapi, Aa' Gym bilang, boong itu doca, bunda dan ayah juga bilang begitu. Mak Iyah juga..."

Aku menaruh lenganku di bahu Qahar layaknya seorang sahabat. "Begini, adik gantengku, yang udah gadang, tiap orang dewasa itu punya rahasia. Jadi, sebagai orang dewasa, Qahar harus mampu menyimpan rahasia. Gimana, sanggup tidak? Qahar diam sejenak, berusaha memahami kata-kataku yang tak satu pun dimengertinya.

"lya, deh, Qahal canggup. Alhamdulillah kamu selamat Alwi, tapi...

"Mak Iyah yang bakal laporin!" teriak Mak Iyah di depan pintu. "Habis, kali ini Nak Alwi indak bisa dimaafkan."

Yaa.. alamat jatah uang sakuku hilang, nih.

"Mak lyah, uang jajan Alwi dibagi dua deh.

"Enak aja, gini-gini Mak Iyah anti KKN, ujar Mak Iyah memonyongkan bibirnya."

Keterangan:
Uda : abang
alah gadang : sudah besar
indak : tidak
jo apo ka dibukak : dengan apa hendak dibuka
kurang taratik : tidak sopan
iyo : iya
marwah : harga diri
snelljus : baju praktikum
antum (bhs. Arab) : kamu
lepat, godok pisang : makanan kecil khas Padang
ninik mamak : paman, pemangku adat kaum
ana (bhs. Arab) : saya
gadang bodoh : sudah besar tapi bodoh juga



66