Satu Mei  (2001) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi 16/XXX/18 - 24 Juni 2001

Ketika saya berumur sembilan tahun, saya belajar bernyanyi:

Tanggal satu Mei ‘ni

Perayaan kita,
Kaum proletariat

Di seluruh dunia

Seperti anak-anak umumnya, saya bisa hafal kata dan melodi nyanyian Satu Mei itu, tapi saya tak paham betul apa maksudnya. Ketika itu kata “kaum proletariat” terkadang diganti jadi “kaum yang bekerja”, atau terkadang “kaum pekerja”?tapi apa makna “pekerja” tetap saja tak saya pahami. “Buruh” memang bukan sebuah kata asing, tapi saya jarang bisa mengerti apa yang khas dari orang-orang yang dihisap tenaganya ini.
Sebab, buruh yang saya ketahui di waktu saya kecil bukan mereka yang tergambar dalam Ibunda Maxim Gorki yang saya baca semasa remaja. Di sekitar saya tak ada pabrik dengan cerobong berasap yang tinggi dan peluit tanda kerja yang membentak-bentak hari. Yang saya kenal adalah nelayan-nelayan yang bekerja buat perahu para juragan?sejumlah lelaki berpakaian gelap yang tiap malam menyanyikan lagu erotik sambil mendayung perahu menuju laut. Atau pencangkul sawah ladang yang mengukir kayu sengon di saat mereka tidak bekerja. Atau, yang paling dekat dengan mesin-mesin, pekerja bengkel yang berlumur minyak pelumas dan tukang las yang melindungi matanya dari pijar. Ada juga para pengolah tembakau dan pelinting rokok di sebuah perusahaan sigaret yang terselip di sebuah gang: tapi saya mengenal mereka hanya ketika mereka, setelah jam enam sore, bergilir membacakan cerita Sam Pek Eng Tay dalam bahasa Jawa yang mengharukan.
“Proletariat” sebagai “kelas” adalah konsep yang datang kemudian. Marxisme memang bisa menyadarkan kita: ia mengajarkan tentang penghisapan yang terjadi, karena “nilai-lebih” yang tak dihargai, karena dusta yang disebarluaskan tentang bagusnya masyarakat yang akur dan selaras. Tapi guru yang terbaik adalah pengalaman. Semakin dewasa seseorang akan semakin tahu ia tentang itu semua?terutama ketika kemudian ia sendiri menjadi orang upahan di dunia usaha yang tak adil. Saya kira dalam hidup manusia di abad ke-20 selalu ada, tercetus atau tidak, amarah yang benar.
Itu sebabnya selalu datang saat-saat gagasan radikal, dengan atau tanpa doktrin. Lagu Internationale berseru dengan bergelora, “Perjuangan penghabisan, marilah, melawan!” tapi gelora itu bisa datang tanpa sebuah nyanyian partai. Charles Frankel pernah mengatakan bahwa bukan Marxisme yang meciptakan orang-orang radikal, melainkan setiap generasi orang radikal yang menciptakan Marx-nya sendiri.
Itu sebabnya amarah dan gagasan yang menghendaki sebuah dunia yang berubah sampai ke akar yang terdalam, punya sesuatu yang bisa mirip dengan semangat keagamaan. Itu sebabnya orang seperti Haji Misbach di latar Indonesia tahun 1920-an bisa menggabungkan Islam dengan komunisme dalam dirinya. Bagi agama, seperti halnya bagi Marxisme-Leninisme, dunia yang ada kini dan di sini adalah sebuah cacat. Kaki yang berpijak di dunia yang seperti itu juga kaki yang hendak terbang dari sana?setelah menyepaknya. Dalam agama dan dalam komunisme ada pandangan etis yang terang berapi-api dalam persoalan ketakadilan dunia. Ada sesuatu yang?apalagi jika disebut sebagai kehendak Allah, atau sesuatu yang ilmiah?menjadi mutlak.
Tapi tak seluruhnya gampang. Antara sikap etis dan proses politik terdapat bukan saja sebuah ngarai, tapi juga ketegangan yang tak kelihatan. Di sebelah sini adalah tuntutan, atau sebuah gambaran ideal, tentang apa yang adil. Di sebelah sana adalah politik yang, seperti kata sebuah klise, merupakan “the art of the possible“. Di sebelah sini satu imperatif moral. Di sebelah sana politik sebagai kiat menemukan modus dan efektivitas kerja dalam kondisi yang apa-adanya.
Di suatu masa ketika amarah jadi sesuatu yang benar, karena ketidakadilan begitu menyesakkan napas, imperatif moral itu cenderung diharap jadi dasar. Tapi sejarah berangsur-angsur membuka perspektif lain. Mungkin sebab itu Max Weber bisa mengatakan bahwa dalam percaturan politik, ada dua kemungkinan: politik sebagai sebuah pelaksanaan “etika tanggung jawab” atau politik sebagai sebuah realisasi “etika hati nurani”. Yang pertama menunjukkan kesediaan menerima batas. Yang kedua menunjukkan kesediaan mengabdikan diri pada tujuan yang absolut. Yang pertama lebih pragmatis; ia juga bersedia berkawan kembali dengan sang lawan di medan pergulatan. Yang kedua melahirkan orang-orang yang digerakkan oleh api kemurnian?dan karena itu tak menghendaki rekonsiliasi.
Bagi Weber, hanya “etika tanggung jawab” yang mungkin jika orang menghendaki perdamaian dalam kehidupan politik. Tapi tentu saja Weber membayangkan sebuah masyarakat yang didasari kemufakatan untuk saling menghormati hak sesama?sebuah masyarakat yang plural. Dalam masyarakat seperti itu manusia diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil sebuah rumusan. Dalam masyarakat seperti itu manusia diakui justru sebagai sesuatu yang tak-terumuskan, sesuatu yang tak bisa diterangkan oleh ideologi?yang menurut Marx sama artinya dengan ide palsu dan topeng bagi kepentingan tertentu.
Sebab itu, dengan “etika tanggung jawab”, buruh bukan hanya tampil sebagai “proletariat” yang diseru tiap awal Mei: sebuah makhluk yang telah disulap jadi konsep. Buruh bukan hantu yang membayang-bayangi zaman, bukan pula dewa yang akan melintasi waktu. Ia punya impian, kemarahan yang benar, tapi ia ternyata juga punya batas–seperti halnya para manajer dan majikan. Dan ia tak sendirian, kini dan di kemudian hari.