BAB IV.

J A M A N  B A R U
( ± 1500 – 1800 M )

Dalam jaman ini terjadilah segala perkembangan yang saling berjalin dalam rangkaian hubungan dengan Bengkulu dengan Banten, Aceh, Kompeni Belanda dan Inggris. Daerah Bengkulu yang tadinya belum banyak diketahui dan belum banyak dikenal dan merupakan daerah yang tertutup, terungkaplah sedikit demi sedikit.

  1. BENGKULU DAN BANTEN.

Pada permulaan abad ke-16 di Jawa Barat ada suatu kerajaan yaitu Pajajaran. Pajajaran mempunyai pelabuhan di tepi pantai Utara, yaitu Banten, Pontang, Tanggerang, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Negara Pajajaran berdagang merica yang diambil daerah sekitarnya, termasuk Lampung. Besar kemungkinannya, lada di pasar pasar Pajajaran itu ada juga yang berasal dari Bengkulu, misalnya dari Silebar, Bintuhan, Manna dan Krui. Pada permulaan abad ke-16 dan sebelumnya orientasi perdagangan lada masih menuju ke pelabuhan Malaka. Jadi Lada Bengkulu lebih banyak diangkut melalui perahu lewat sungai ke Palembang dan diteruskan ke Malaka sebagai pelabuhan internasional.

 Tetapi sesudah orang Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 dan merebut Pasai pada tahun 1511, keadaan menjadi berubah. Pedagang-pedagang Islam banyak yang mencari jalan laut lain. Kalau dulu lewat Selat Malaka, maka sekarang lewat pantai Barat Sumatera dan Selat Sunda akibatnya pelabuhan Pajajaran menjadi makin ramai. Banten dan Sunda Kelapa menjadi lebih hidup. Selat Sunda makin terlihat banyak perahu. Besar sekali kemungkinan pada waktu itu pelabuhan-pelabuhan di pantai Bengkulu mulai berkembang. Dari utara ke Selatan terdapat pelabuhan-pelabuhan Muko-muko, Silebar, Seluma, Manna, Bintuhan dan Krui.

 Pelabuhan-pelabuhan itu pada abad ke 16 merupakan desa-desa nelayan dan pasar. Di tepi muara sungai, terdapat perahu-perahu dan menjual lada mereka. Di tempat tempat itu niscaya sudah terdapat · kelompok masyarakat-masyarakat yang berupa negara dengan syarat-syarat seperti wilayah, rakyat pemerintahan dan peraturan, misalnya adat istiadat. Di antaranya ialah negara-negara Sungai Serut, Sungai Lemau dan sebagainya. Negeri-negeri ini mungkin sudah ada sejak jaman Sriwijaya dan merupakan republik-republik yang masing-masing bersifat otonom dan mempunyai peraturan adat istiadat sendiri-sendiri.

Dalam tambo Rejang Lempat Petulai susunan M. Harun Nur Rasyid ada diceritakan tentang Sungai Serut sebagai berikut :

Sungai Serut pernah diperintah oleh seorang Raja bernama Ratu Agung. Ratu Agung mempunyai anak 7 orang, yaitu : 1. Ratu Cili, 2. Ratu Mincor, 3. Lemang Batu, 4. Rindang Papan, 5. Tajuk Rompong, 6. Anak Dalam Muara Bengkulu, 7. Putri Gading Cempaka.

Setelah Ratu Agung wafat maka Anak Dalam Muara Bengkulu menggantikan ayahnya. Kira-kira sejalan dengan kerajaan sungai Serut ada pula cerita tentang kerajaan Sungai Lemau yang terletak di sekitar pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara. Diceritakan bahwa tidak jauh dari muara sungai Pondok Kelapa. Oleh raja Sungai Lemau pernah dibangun sebuah balai yang diberi nama Balai Bundar. Balai Bundar ini dibuat oleh tukang-tukang yang didatangkan dari kaki Gunung Bungkuk. Atap balai itu terbuat dari rambut dan tiang-tiangnya dari tulang manusia. Konon setelah balai ini selesai, semua tukangnya dibunuh dengan maksud agar tidak ditiru oleh orang lain. Tentang kebenaran ini masih perlu diadakan penyelidikan.

Merah Ismaun dalam tulisannya mengenai Tanah Serawai menambah penjelasan. Dikatakan pada abad abad yang lalu, mungkin pada abad ke-14 sudah berdiri suatu negara di sekitar Sungai Pepimau (Pino) dan sungai Manak di Bengkulu selatan yang terkenal dengan nama Kerajaan Tanah Serawai. Pimpinannya bergelar Ramu Ratu dan negara itu dibagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, masing-masing dipimpin oleh seorang Keriau (Pasirah).

Rakyat Tanah Serawai berasal dari daerah pegunungan di Pasemah yang kemudian berpindah tempat dengan menyusur sungai dan mendirikan desa- desa sepanjang sungai, sehingga sampai di daerah pantai Lautan Hindia. Aturan tata pemerintahan dalam negara Tanah Serawai yang bercorak agraris itu, berdasarkan adat istiadat yang pada intinya masih tetap dipakai hingga sekarang. Kepercayaan penduduk sebelum masuknya agama Islam, berupa penghormatan terhadap nenek moyang dan dewa-dewa misalnya Dewanating nyawa (mematikan dan menghidupkan manusia), Dewa nabung rezeki dan sebagainya. Dalam masyarakat Tanah Serawai di kemudian hari masuk juga pengaruh-pengaruh dari Pagar Ruyung, Demak, Banten dan Palembang. Gambaran tentang keadaan seperti Tanah Serawai itu mungkin sekali terjadi juga di berbagai bagian lain di Bengkulu pada masa dulu.

Pengaruh Pagar Ruyung terutama ada di bagian utara Bengkulu yaitu dengan Sungai Serut. Ada dikatakan bahwa di Sungai Serut pernah memerintah Raja yang berasal dari Pagar Ruyung yaitu Tuanku Maharaja Sakti.

Menurut ceritera ke daerah Lebong pernah datang putera dari Majapahit yang bernama Tuanku Biku Selanjang Jiwo dan kemudian diangkat menjadi Raja di Renah Sekalawai yang kemudian bertukar menjadi Lebong.

Pada jaman Sultan Maulana Hasanuddin (1552 - 1570) keadaan Banten sudah kuat. Di sini jelas diberitahukan bahwa Sultan Hasanuddin pernah datang di Lampung dan Sileber (Bengkulu) dengan diikuti oleh Kepala Negeri Tulang Bawang, yaitu Pangeran Batu. Sungai Bengkulu menjadi batas kesultanan Banten. Daerah Silebar dihadiahkan kepada Sultan Hasanuddin. Sejak itu secara yuridis Lampung dan Bengkulu berada di bawah kesultanan Banten. Vlekke dalam petanya juga menggambarkan daerah kekuasaan Banten pada akhir abad ke-16, meliputi daerah Bengkulu, sampai batas Sungai Bengkulu.
Pada akhir abad ke-16 itu daerah kesultanan Banten meluas hingga Lampung, Silebar, Bengkulu dan Sunda Kelapa. Demikian pula Prof. H. Kramer mengatakan bahwa daerah Lampung dan Bengkulu masuk wilayah Raja Banten Hasanuddin, sebab daerah itu menghasilkan merica yang perlu di jual kepada saudagar-saudagar Islam asing.

Dengan melebarnya pengaruh Banten hingga Bengkulu, maka agama Islam yang juga menyebar kesana, dan menyusup seperti minyak jatuh di kertas. Sultan Hasanuddin atau Sultan Sabakingking (1552-1570) menyebarkan agama Islam di Bengkulu dan Silebar. Bahwa perluasan wilayah oleh Sultan Hasanuddin ke Bengkulu dan Lampung itu juga bercorak penyiaran agama Islam, pendapat R.A. Kern dalam bukunya "De Islam in Indonesia" bisa juga memberi penguatan. Dikatakan bahwa peperangan dari Banten ke Sumatera bagian Selatan itu dalam babad dinamakan perang sabil, yaitu perang untuk menyiarkan agama Islam. Akan tetapi bagi kota Pelembang pendapat ini kurang tepat, karena Palembang sudah memeluk agama Islam sebelum tahun 1511. Bagi Lampung dan Bengkulu hal itu dapat diterima, terutama sekali untuk pedalamannya, yang sebelumnya masih menganut kepercayaan lama.

Mengenai masuknya agama Islam ada pendapat lain sebagaimana dikemukakan oleh Team Penelitian dari Fakultas Keguruan Universitas Lampung pada tahun 1971, yang mengatakan bahwa agama Islam untuk pertama kalinya datang di Lampung dari Aceh. Karena penyiaran itu melalui jalan dagang lewat pelayaran sepanjang pantai Sumatera Barat, maka sebelum sampai di Lampung tentu kapal-kapal Aceh itu terlebih dahulu singgah di pelabuhan Bengkulu, dan tersiarlah agama Islam itu.

Pendapat bahwa agama Islam masuk ke Lampung dan juga ke Bengkulu dari Aceh berdasarkan perkiraan, bahwa sebelum abad ke-13, mungkin sekali Aceh sudah terpengaruh oleh agama Islam, dan pedagang-pedagang yang sekaligus juga mubaligh itu berlayar melalui pantai barat Sumatera. Tentu mereka menyinggahi pantai Bengkulu juga.

Pendapat ini juga diperkuat dengan adanya penemuan batu nisan di daerah Pallas Pasemah Kalianda yang bermotif mirip batu nisan Malikul Saleh dari Pasai (1297), sedangkan tipe seperti itu tidak dijumpai di Banten.

Motivasi tersebarnya kekuasaan dan pengaruh Banten di Bengkulu terutama lada, De Graaf juga mengatakan bahwa pada abad ke-17, Bengkulu termasuk daerah kekuasaan Banten dan dari Bengkulu diambil ladanya. Banten sendiri tidak begitu banyak menghasilkan lada, tetapi Banten merupakan bandar lada yang terbesar dan dikenal di pasaran Eropa. Lada itu memang didatangkan dari Bengkulu Silebar dan Lampung.

Sebenarnya sejak abad ke-16, kekuasaan Banten terasa di Bengkulu. B.J.O. Sehrieke juga menyebut abad ke-16, sebagai tahun penguasaan Banten atas Silebar dan Bengkulu.

Dibandingkan dengan di Lampung besar kemungkinan kekuasaan Banten di Bengkulu lebih longgar. Kekuasaan itu hanya terasa di daerah pelabuhan dan tidak menyinggung pemerintahan dan adat istiadat rakyat Bengkulu sendiri.

Lagi pula antara adat istiadat Banten dengan Bengkulu tidak ada perbedaannya. Keduanya mempunyai adat istiadat yang berasal dari suatu sumber, dan agama yang dipeluknya juga sama. Tambahan lagi perdagangan lada itu menguntung­kan kedua belah pihak. Hubungan antara Banten dan Bengkulu boleh disebut sebagai hubungan dua saudara. Sultan Banten mempunyai wakil-wakilnya di Lampung dan bergelar Jenang. Para Jenang itu mempunyai wewenang melaksanakan dan mengawasi tertibnya perdagangan lada dan mengadili perkara yang tidak besar, misalnya hutang piutang. Pada jaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651 ― 1682) di Bengkulu tidak ada wakil Sultan Banten. Tetapi tiap tahun Jenang Banten yang berkedudukan di Semangka yaitu Raja Ngombar (Pengganti dari Pangeran Purba Negara) pergi ke Silebar dan Bengkulu untuk membeli lada dari penduduk Rejang dan Pesemah. Jenang Banten juga mengangkat Kepala-kepala daerah dan memberi gelar Pangeran, Pasirah (Datuk), Depati dan Pemangku untuk ketua suatu wilayah sekitar Rukun Tetangga. Sebagai contoh pada abad ke 17, kita mengenal beberapa nama penguasa dan anak raja-raja di daerah Bengkulu, seperti Radin Cili, Lemang Batu, Tejuk Rompong, Rindang Papan, Anak Dalam Muara Bengkulu dan Putri Gading Cempaka.

Keadaan ini berakhir sesudah kelak orang Inggris mendirikan benteng di Bengkulu. Inggris kemudian mengangkat kepala Sungai Lemau dan Sungai Itam sebagai Pangeran. Pada jaman Sultan Agung Tirtayasa secara administratif daerah Liwa di Bengkulu berada dibawah pimpinan Adipati Menak Demang dan Kyai Mas Kartawisa Tumenggung Santa Baya yang berkedudukan di Betung. Sedangkan Betung termasuk daerah pengawasan Jenang Pangeran Purba Negara yang kemudian digantikan oleh Raja Ngombar dari Semangka.

Rakyat Bengkulu mempunyai kewajiban melakukan kerja bakti untuk Sultan Banten, misalnya dalam keadaan perang, bencana alam dan sebagainya. Dalam perang antara Sultan Ageng Tirtayasa melawan Sultan Haji (1682), rakyat Bengkulu ikut membantu Sultan Ageng. Tetapi pemerintahan di Bengkulu dipegang oleh kepala kepala Bengkulu sendiri. Kepala-kepala Bengkulu itu sekali setahun atau pun pada hari besar yang dirayakan memerlukan datang ke Keraton Banten untuk melakukan jalan Seba menghaturkan buku bakti kepada Sultan. Sebaliknya Sultan menghadiahkan brang-barang kepada penguasa Bengkulu, seperti pakaian kebesaran, piagam dan senjata. Misalnya layang atau Undang-undang yang diberikan Sultan Banten kepada Pangeran Natawilajaya di Silebar bertanggal 5 hari Selasa, bulan Rabiul awal , tahun Hijriyah 1079 (1668 M).

Di Keraton Banten, Sultan mengangkat penggawa pemerintahan yang berasal dari Silebar dan Bengkulu. Dari piagam dapat diketahui antara Banten dengan Silemar, Bengkulu, Lampung dan Inderapura terdapat ikatan perjanjian yang akrab dan bersatu.

Ketika di Banten suasana menjadi hangat , berhubung akan meletusnya peperangan antara Sultan Tirtayasa melawan Sultan Haji yang dibantu V.O.C. maka Sultan Ageng mempererat hubungannya dengan Lampung, Silebar Bengkulu, Cirebon dan Mataram. Juga dengan Sumedang dan Karawang. Para penguasa dan rakyat di negara tersebut mempunyai pendirian yang sama dengan Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu menentang sistem dagang VOC yang monopolistis.

Pada tanggal 7 April 1682, pasukan VOC mendarat di Banten dan menyerang Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Pasukan Sultan Agung menderita kekalahan dan pada tanggal 22 Agustus 1682 Sultan Haji menanda tangani perjanjian yang menguntungkan VOC. Sejak itu terjadi perubahan politik di Banten, Lampung dan Bengkulu. VOC menempatkan pegawai di Semangka dan Tulang Bawang untuk menjaga sistem monopoli dagangnya. Orang - orang Inggris kemudian menetap di Bengkulu.

VOC memang sudah mempunyai rencana untuk menguasai Banten, Lampung dan Bengkulu sesudah mendarat di Banten, VOC memberi instruksi kepada Koopman van der Schuur, Nata negara dan Aria Wangsa Yuda untuk memimpin ekspedisi guna meletakkan kekuasaan Sultan Haji di Lampung dan Bengkulu. Dalam instruksi terdapat suatu pasal yang berbunyi :

Apabila sambutan orang Lampung memasukkan, maka Van der Schuur harus mencari tempat yang baik untuk mendirikan benteng guna mengawasi perdagangan merica di Silebar dan Ketahun.

Ekspedia van der Schuur berangkat pada tanggal 24 Agustus, 1682, dan membawa surat Pangeran Dipaningrat dari Banten kepada pembesar dan Nakhoda di Silebar. Duta-duta Banteng dari pemerintahan Sultan Haji berusaha keras untuk menjelaskan kepada penduduk tentang perubahan politik di Banten. Bahkan mereka mengutus nakhoda dagang dari Silebar bersama Datu Besi ke Lampung Utara melalui jalan darat untuk menyiapkan kabar itu. Tanggapan rakyat di Lampung dan Bengkulu pada tahap pertama tidak mememuaskan karena rakyat di situ masih setia kepada Sultan Ageng Tirtayasa. VOC dan penguasa baru di Banten bergiat menjalankan diplomasinya. Mereka mengirim seorang ulama bernama Tuwan Mashur untuk membujuk orang di Silebar dan Lampung agar menurut Sultan Haji dan menjual ladanya kepada VOC. Bujukan ini berhasil dan mereka menjual lada kepada VOC dengan harga sebelas ringgit tiap bahu.

B. BENGKULU DAN ACEH

Yang dipertuan Ali Mughayatsyah ( 1516 - 1530 ) berhasil menduduki pimpinan di Aceh Dares Salam dan membuat Aceh menjadi negara besar. Perjuangan itu tidak mudah karena Aceh harus menghadapi Portugis yang berkuasa di Malaka. Aceh bergiat meluaskan daerah kekuasaannya guna menguasai sumber penghasil lada dan menyiarkan agama Islam. Sebagian besar daerah pesisir Timur dan Barat pulau Sumatera pada pertengahan abad ke 16, jatuh di bawah dominasi politik dan ekonomi Aceh.

Ekspansi teritorial Aceh ke daerah Pesisir Sumatera di mulai sejak pemerintahan Sultan Alaudin Riyatsyah al Bahhar (1539 - 1571) dan mencapai puncaknya di jaman Sultan Iskandar Muda melebarkan kekuasaannya sampai Bengkulu. Pesisir Barat pulau Sumatera dari Barus di Utara hingga teluk Ketahun di Selatan selama itu secara nominal takluk di bawah pemerintahan yang dipertuan di Minangkabau. Tetapi daerah-daerah yang merupakan republik-republik kecil itu dalam waktu yang relatip pendek dapat dikuasai oleh Aceh. Daerah Daerah pesisir Barat itu adalah daerah penghasil benda-benda yang berguna seperti : emas, lada, kapur barus, benzein (kemenyan), cengkeh, buah dan kulit pala, kulit kayu manis dan sebagainya.

Selama seabad lebih, Aceh dapat mempertahankan kedudukannya sebagai pembeli tunggal dari hasil bumi tersebut dan sebagai penjual tunggal dari hasil bumi tersebut seperti tekstil. Di Inderapura, Aceh menempatkan seorang Syahbandar untuk menguasai perdagangannya, tetapi kekuasaan Aceh hanya sampai di Utara teluk Ketahun (Majunta), sedangkan Sultannya termasuk daerah Kesultanan Banten, meskipun kapal-kapal Aceh sampai juga di Bengkulu untuk berdagang. Dalam hal ini di sebelah selatan kota Bengkulu sekarang terdapat tempat yang dikenal dengan nama Pondok Aceh atau Pasar Aceh. Letaknya tidak jauh dari Silebar. Di samping itu di bagian Utara terdapat suatu tempat yang disebut Sungai Serut. Kemungkinan sekali tempat-tempat ini ada kaitannya dengan cerita rakyat tentang Putri Gading Cempaka yaitu ketika Anak Dalam Muara Bengkulu memerintah Sungai Serut datang anak raja Aceh meminang Putri Gading Cempaka. Pinangan ini ditolak dan kemudian terjadilah peperangan. Kono Anak Dalam Muara Bengkulu beserta Putri Gading Cempaka melarikan diri ke kaki Gunung Bungkuk dan selanjutnya tak terdengar lagi beritanya. Diberitakan bahwa di balik Bukit Barisan memerintah Pasirah Tiang IV dan Hulu balangnya pergi ke Gunung Bungkuk menaklukkan sisa pelarian dari Sungai Serut yang mereka sebut juga Rejang Sawah. Beberapa lama Sungai Serut di bawah pemerintahan Pasirah Tiang IV di Lebong. Lalu dikirim utusan ke Pagar Ruyung. Kemudian Pagar Ruyung mengirim Maha Raja Sakti dari Sungai Tarap menjadi raja di Sungai Serut. Daerah kekuasaan Sungai Serut sebelah Utara Sungai Hitam dan Selatan Air Lempuing.

Kira-kira tahun 1856 dan tahun 1859 Pasirah Tiang IV tunduk kepada pemerintah penjajah di Palembang dengan perjanjian :

  1. Adat pusaka jangan di rusak.
  2. Rejang Lebong dimasukkan ke dalam Keresidenan Palembang.

Kira-kira tahun 1866 datang Kontrolir P. Ruis Van der Hoeven ke Tapus. Kemudian tahun 1904 Rejang Lebong masuk Keresidenan Bengkulu.

Seperti disebutkan bahwa kapal Aceh sampai di Bengkulu untuk berdagang. Sultan Alaudin menempatkan salah seorang putranya menjadi panglima. Syahbandar di Pariaman. Putra raja Aceh ini kemudian terkenal sebagai Ulama besar bernama Syekh Burhanuddin, Tuanku Ulahan. Beliaulah yang mengislamkan Yang dipertuan di Minangkabau, sultan Muhammad Alip (1581).
Mungkin pula pada jaman ini agama Islam masuk ke Bengkulu dari Aceh, terutama sekali di Utara. Tetapi pendapat umum mengatakan bahwa agama Islam di Bengkulu masuk dari Banten dan Palembang.

Pada permulaan abad ke-17, harga lada membubung tinggi. Hal ini disebabkan makin banyaknya permintaan dari Eropa. Bangsa Eropa sendiri makin banyak mendatangi dan membuka lojinya di Indonesia. Tidak mengherankan bahwa penguasa-penguasa di Aceh dan Banten dua kota dagang yang mempunyai reputasi internasional, berusaha untuk mendapatkan daerah lada di tempat lain. Banten berusaha menguasai Palembang, karena Palembang merupakan kota dagang, walaupun hasil ladanya lebih kecil dari Jambi dan Tulang Bawang (Lampung). Aceh melebarkan pengaruhnya di Semenanjung Malaka dan pantai Barat pulau Sumatera sampai Bengkulu. Tetapi beberapa puluh tahun kemudian kekuasaan Aceh makin mundur. Pada tahun 1663, Aceh didesak dari Pantai barat oleh Belanda VOC.

C. BENGKULU DAN KOMPENI BELANDA

Di Propinsi Bengkulu terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Enggano. Jumlah penduduk aslinya pada tahun 1862 ada 3.000 jiwa, tetapi kemudian merosot. Tahun 1885 terdapat 870 jiwa, tahun 1914 hanya 294 jiwa. Ditambah dengan pendatang baru, yang terdiri dari orang orang Batak, Melayu dan pekerja-pekerja onderneming kelapa, maka jumlahnya ada 457 jiwa. Jadi penduduknya sudah campuran. Separoh dari penduduk Enggano itu memeluk agama Kristen Protestan, karena sejak sebelum Perang Dunia ke-I (1914 - 1918) sudah ada kegiatan zending.

Rumah penduduk Enggano asli, berbentuk bulat seperti sarang labah-labah. Di depan terdapat pintu yang juga berbentuk bulat. Pulau Enggano memang tidak terkenal. Tetapi kapal-kapal Belanda dalam pelayaran pada abad ke-16 ke tanah air kita, justru untuk pertama kalinya· singgah di pulau Enggano yang sunyi ini. Kapal-kapal Belanda itu esudah sampai di Tanjung Harapan, lalu mengarungi Samudera Hindia. Sesudah sampai di perairan sekitar Indonesia, mereka mulai membelokkan kemudinya kearah jurusan Timur laut dengan tujuan masuk Selat Sunda dan sampai di Banten, terus ke Maluku untuk mengambil rempah-rempah. Tetapi ada kalanya mereka terlalu cepat membelok kemudinya, dan sampailah mereka ke pesisir barat Pulau Sumatera, seperti Natal dan Padang. Ada kalanya mereka terlambat membelokkan kemudinya dan terdamparlah mereka di pesisir barat benua Australia (Nieuw Holland). Rupanya dalam pelayaran mereka yang pertama itu mereka sedikit agak cepat membelok ke timur dan sampailah kapal-kapal mereka di Pulau Enggano.

Ketika kekuasaan Aceh tidak lagi terasa di Selatan Sungai Singkel, maka VOC dapat berkuasa di pantai barat Sumatera. Mereka pada tahun 1664 mendirikan kantor lada di Bengkulu, tetapi dalam tahun 1670 Belanda sudah meninggalkannya. Jadi Kompeni hanya enam tahun di Bengkulu, dan mengapa VOC tidak lama menetap di sana, mungkin karena tidak kuat menghadapi politik ekonomi Sultan Ageng Tirtayasa (1651 - 1683) yang berusaha keras menjadikan Banten sebagai bandar internasional, pusat jual beli lada.

Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 12 Pebruari 1663 telah mengeluarkan dekrit yang mengatur cara transaksi lada di daerah kekuasaan Banten, antara lain : lada itu boleh di jual kepada siapa saja seperti kepada orang Jawa, Cina, Inggris, Belanda, tetapi harus dibawa ke Banten dulu. Kalau dilanggar anak dan isterinya akan dihukum diangkut ke Banten.

Lagi pula penduduk Bengkulu tidak suka kepada Belanda karena sistem dagang monopolinya. Kenyataan bahwa Kompeni hanya bertahan enam tahun di Bengkulu, dapat ditafsirkan bahwa Belanda tidak cukup mendapat jaminan akan memperoleh untung dari pedagang lada disana. Selanjutnya menunjukkan bahwa politik ekonomi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil dijalankan di Bengkulu dan menunjukkan pula bahwa rakyat mematuhi dekrit Sultan Banten. Belanda lalu kembali ke Batavia dan bersiap menguasai Bengkulu dengan cara menguasai Banten dulu. Apabila Banten sudah dikuasai, Lampung dan Bengkulu akan mudah diatur. Berdasarkan strategi yang demikian, Belanda ikut campur dalam perang antara Sultan Haji melawan Sultan Agung Tirtayasa (1682).

Tetapi maksud VOC untuk menguasai Bengkulu tidak juga terkabul, meskipun Belanda sudah bersahabat dengan Sultan Haji dan mendapat hak monopoli lada sejak tanggal 22 Agustus 1782, karena Inggris lebih cepat mendirikan loji dan bentengnya di Bengkulu. Kurang lebih 150 tahun Inggris berada di Bengkulu dan menguasai perdagangan lada. Inggris berkali-kali berusaha menyukarkan Belanda di Banten, Lampung, Minangkabau dan Palembang.
Belanda selalu terancam karena itu mendirikan Benteng di perbatasan Bengkulu, yaitu di Semangka pada tahun 1763.

D. INGGRIS DI BENGKULU

Sesudah orang Portugis yang mula-mula sampai, di perairan Indonesia, lalu disusul oleh orang Inggris.
Pada abad ke-17 terjadi persaingan di Indonesia antra Inggris dengan Belanda, dan orang Inggris terusir dari Jakarta (1629), dari Makasar (1667) dan juga dari Banten (1682).

Konkurensi antara Inggeris dan Belanda paling terasa di Sumatera. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoen Coen, pernah menangkapi kapal Inggris di Tiku, tetapi sekonyong-konyong datang instruksi dari Eropa, supaya Inggris dan Belanda hidup rukun di Indonesia. Terjadilah perdamaian sementara antara tahun 1620 - 1624 tetapi pecah lagi permusuhan, hingga Inggris terdesak dari Jawa dan Indonesia bagian Timur.

Pada bulan Desember 1624 orang Inggris masih berusaha untuk mendirikan pos di pulau Lagundi (Lampung) tetapi pada bulan Mei 1625, mereka meninggalkannya, dengan alasan daerahnya tidak sehat. Tetapi sebenarnya Inggris bermaksud Lagundi sebagai saingan Batavia.

Antara tahun 1624 - 1682 orang Inggris masih bertahan di Banten. Kemudian timbul konplik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang membawa akibat besar bagi Inggris, Belanda, Denmark dan Portugis, Peta Politik di Indonesia berubah, yaitu kekuatan: Banten dan Mataram merosot, kekuatan Belanda menaik.

Pada tanggal 8 Maret 1682, armada VOC muncul di bandar Banten, dengan maksud membela Sultan Haji. Sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 7 April 1682, pasukan Belanda mendarat dan membebaskan Sultan Haji. Karena semua orang asing di Banten pada tahun 1862 termasuk Inggris dan Denmark, yang selama ini bersimpati kepada Sultan Ageng diusir.
Toko-tokonya dibongkar, hingga tahun 1973 bekas-bekas toko-toko dan gedung-gedung orang asing di Banten lama masih kelihatan.

Karena itu orang Inggris jengkel kepada Belanda. Mereka mau menyerang Batavia. Kapal-kapal mereka sudah berlabuh di Teluk Jakarta, tetapi rupanya mereka tidak jadi menyerang. Orang orang Inggris lalu menetap di Pariaman. Kekuasaan Inggris di sini tidak berarti. Kemudian mereka menuju ke Aceh tetapi usahanya untuk mendirika loji di sana mengalami kegagalan. Akhirnya mereka menetap di Bengkulu dan diterima baik ole masyarakat yang masih setia kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Mula-mula mereka membangun gudang lada di Pasar Silebar dan dinamakan York. Pada saat itu situs York ini masih dapat kita lihat di daerah Pasar Bengkulu. Daerah ini dirasakan kurang memuaskan orang-orang Inggris. Pada tahun 1714 pindah ke tempat kota Bengkulu yang sekarang. Di tempat ini orang-orang Inggris mendirikan bentengnya bernama Marlborough. Dewasa ini Fort Marlborough merupakan satu-satunya benteng Inggris yang masih berdiri di kepulauan Indonesia bahkan mungkin di Asia Tenggara. Bangunan ini lengkap dengan parit-parit dan bagian-bagian di bawah tanah. Mulai tahun 1977 benteng Marlborough mulai dipuar. Pemugaran ini dimaksudkan karena nilai bangunan ini dipandang dari sejarahnya dan direncanakan dijadikan museum daerah.

Pada bulan September 1971, Sekretaris Kedutaan Inggris di Jakarta pernah datang melihatnya. Dan bahkan A.W. Comb duta besar Inggris di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1972 datang melihatnya. L. van der Vinne yang menyaksikan pada tahun 1842 mengatakan bahwa benteng tersebut masih kelihatan gagah. Benteng itu mempunyai 72 meriam dan menaranya masih utuh tetapi lonceng jamnya sudah tidak ada, karena dibawa ke Batavia. Pada saat ini meriam di sekitar Benteng hanya tinggal empat buah. Sebagian besar dipindahkan ke tempat lain pada tahun 1945 - 1949 dengan maksud dimanfaatkan dalam menghadapi agresi Belanda.

Benteng tersebut terletak berhadapan dengan Kampung Cina dan tak jauh dari pasar penduduk, Pada tahun 1843 Benteng Marlborough ditempati oleh pasukan Belanda, di bawah pimpinan seorang Kapten. Rupanya hubungan antara orang-orang Inggris di Bengkulu dengan rakyat Bengkulu tidak selamanya baik dan tenang. Seringkali terjadi perselisihan.
Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1705 Konsul Inggris sudah merencanakan mengurangi jumlah penghuni posnya di Bengkulu dengan alasan "not being willing to have our threats cut" dan pada tahun 1719 orang-orang Inggris pernah diusir oleh penduduk Bengkulu meskipun kemudian mereka datang kembali.

Orang-orang Inggris tidak hanya beroperasi di kota Bengkulu. Mereka juga melebarkan sayap. Pada tahun 1717 mereka mendirikan benteng Ana di Muko-muko. Tidak jauh dari reruntuhan benteng Ana ini terdapat sebuah tugu dengan ukuran 80 cm, tinggi 100 cm dan tebal 30 cm. Di atas semen terdapat batu kali yang bertuliskan To the memory of Mr. Cha Kirk patrik who depo this life of Mocomoco the 29th Oct.

1774 Aged-I.

Pada batu ini terdapat pula tengkorak dan tulisan Palawa. Di samping itu terdapat pula sebuah lonceng besar dengan tulisan : DE VOLHARDING F.J.H. BAYER 1865. Pada tahun 1745 Inggris mendirikan pos di Pulau Pinang dekat Krui.
Dari Pulau Pinang Inggris berhubungan dagang dengan Lampung dan usaha Belanda untuk mencegahnya tidak berhasil. Barang yang diselundupkan antara lain lada dan kopi.

Pada abad ke-18 orang-orang Inggris membuka faktori lainnya di pantai barat Pulau Sumatera, seperti Natal. Bengkulu menjadi pusat dari kekuatan Inggris di Pantai barat. Selama perang laut Inggris yang ke-4 ada tujuh kapal Inggris dari Bengkulu merebut pos-pos Belanda di Pantai barat yang selama ini terpencil kedudukannya. Pada tanggal 30 Nopember 1795 orang-orang Inggris merebut Padang yang dikuasai Belanda. Tuntutan itu berdasarkan Surat Kew, atas nama Fris van Oranye dan orang Belanda itu segera menyerahkan Padang. Sebaliknya pada tahun 1760, kapal perang Perancis berjumlah dua buah berkekuatan 500 awak kapal di bawah komando Graaf d' Estaing telah menembaki Fort Marlborough. Orang-orang Inggris di Natal juga menderita kekalahan. Mereka ditawan Perancis, karena jengkelnya, seorang pemimpin orang Inggris mengenai bentengnya berkata, "Marlborough village, for fort, there is not the of ( Desa Marlboro, karena tidak ada sedikit bukti pun yang menunjukkan pantas untuk disebut benteng."

Walaupun demikian Fort Marlborough tetap merupakan bangunan yang indah dan kuat. Pada tahun 1913, Walcott masih mengatakan benteng itu dalam keadaan baik dan terpelihara. Benteng itu disebutnya "Little fortification miniature fort". Keadaannya masih lumayan, tetapi paritnya sudah kering. Bagian-bagian lainnya masih tetap baik, seperti dinding, parapet (tembok rendah di tepi jembatan), gardu pengawal dan penjara di bawah tanah. Tetapi keadaannya sudah lebih jauh ketinggalan jaman Benteng itu dapat mengawasi lautan dan daratan. Rupanya fungsi sebagai gardu penjaga itu hingga jaman modern tetap belum hilang. Sampai tahun 1942 ditempati oleh Polisi Belanda dan sampai tahun 1948 oleh Polisi RI. Selama tahun 1949 ditempati oleh tentara Belanda, sejak tahun 1950 hingga saat ini ditempati oleh TNI Angkatan Darat sebagai kantor Kodim 0407 Bengkulu Utara. Pada jaman pendudukan Jepang (1942 - 1943) disamping sebagai tempat polisi dipakai juga oleh Jepang sebagai Look out post untuk mengawasi gerak-gerik musuhnya. Juga selama beberapa tahun di sini ditempatkan oleh Jepang interniren wanita wanita serta anak-anak Belanda. Sejak tahun 1977 benteng ini mulai dipugar dan dipersiapkan pula untuk dijadikan museum.

Kehadiran Inggris di Bengkulu mempunyai arti khusus. Bukan saja bangsa kita dapat mengelakkan monopoli VOC dengan menjual barang-barangnya kepada Inggris, tetapi kadang-kadang juga menjadi tempat pelarian bagi bangsa kita yang sedang terdesak Belanda. Misalnya pada tahun 1746 Tjakraningrat IV dari Madura berperang melawan Belanda. Ketika ia terjepit dikirimkanlah seorang anaknya ke Bengkulu untuk meminta bantuan Inggris ataupun untuk mendapatkan senjata. Tetapi anak mudah ini tidak pernah kembali ke Madura dan tidak diketahui nasibnya.

Dalam suatu cerita rakyat dikisahkan bahwa di Bengkulu memang pernah Kedatangan dua anak raja dari Madura bernama Radin Wiraningrat dan Radin Sang Nata. Kedua anak itu menghambakan diri pada Tuanku Sungai Lemau. Karena kelakuannya baik, maka mereka dinikahkan dengan putri Tuanku. Salah seorang keturunannya ialah seorang putri bernama Keramah Ratu Ayu. Apakah cerita rakyat ini sama dengan kejadian sejarah dari tahun 1746 itu tidak dapat dikatakan dengan pasti. Sebagaimana bangsa Indonesia lainnya maka rakyat Bengkulu juga cinta pada perdamaian. Tetapi apabila harga dirinya di singgung dan dilukai, maka rakyat Bengkulu juga dapat bertindak keras. Demikianlah pada tahun 1805 Residen Inggris Fort menemui ajalnya dibunuh rakyat. Opsir Hamilton juga tewas dibunuh rakyat pada akhir abad ke-18 tepatnya tanggal 15 Desember 1793. Sayang sekali siapa pembunuh mereka tidak diketahui. Bagi Hamilton Inggris mendirikan sebuah tugu yang indah berbentuk kerucut seperti obelisk. Pada tugu terdapat tulisan Underneath this obelisk are intered the Remains of Captain Robert Hamilton who died on the 15th of Dec. 1793 on the age of 38 years in the Command of the Troops and second member of the Government. Hingga saat ini (1977) tugu itu masih berdiri dengan utuh.

Di samping masalah politik dan ekonomi hubungan Inggris dengan Bengkulu mempunyai pengaruh pada kebudayaan. Suasana kota Bengkulu masih kelihatan adanya pengaruh Inggris.
Walcott pada tahun 1913 mengatakan bahwa lapangan di sekitar Marlborough masih terasa suasana seperti yang terdapat di desa New England. Tipe rumah-rumah gedungnya juga kelihatan corak Inggris, antara lain dengan halamannya yang luas, dan atap rumah berwarna merah yang berbentuk lancip.

Kota Bengkulu pada abad ke-18 sudah merupakan kota yang bagus. Jalan rayanya teratur dengan gapura-gapura dan tembok kota kurang terawat. Pada umumnya memang kelihatan adanya pengaruh Inggris pada arsitektur gedung dan tata kota.

Pengaruh itu juga kelihatan pada bahasa yang di pakai di daerah Bengkulu ini. Banyak kata-kata sehari-hari yang berasal dari perbendaharaan bahasa Inggris seperti : pakit (kantong celana/baju), stakin (kaus kaki), blankit (selimut), kabat (almari), kucing rabit (kelinci) ,jel (penjara), skul (sekolah), slit (batu tulis), madam (nyonya) dan banyak lagi. Demikian pula mungkin pada sementara golongan penduduk di Bengkulu ada yang mempunyai darah Inggris. Ketika membangun benteng Marlborough Inggris mendapatkan pula orang-orang dari India. Dari mereka ini Bengkulu juga mendapat pengaruh, baik dari segi jasmaniah maupun kesenian. Pada saat ini masih hidup dengan subur satu kesenian tradisionil yang dinamakan tabot. Upacara kesenian ini diadakan sekali setahun yaitu dari tanggal 1 Muharram sampai dengan tanggal 10 Muharram.

Ada beberapa kelompok keturunan siapa yang menyelenggarakan tabot ini. Dol - dol yang bertipe India dibunyikan selama 10 hari tersebut dan dibuat pula tabot-tabot yang sangat indah. Bermacam-macam permainan yang dipertunjukkan, kota Bengkulu seolah-olah pesta besar.

Sistem pemerintahan Inggris di Bengkulu bersifat indirect rule. Dan Inggris membiarkan rakyat Bengkulu memerintah sendiri.

Kepala-kepala daerah jaman Inggris disebut Patih (Depati), dan mereka menyebut kepala loji Inggris di Bengkulu itu sebagai Kemenur (Commander). Di tempat kediaman Patih, pemerintah Inggris mengangkat aparatnya yang terdiri dari bangsa kita.

Ditinjau dari segi ekonomi, pengaruh Inggris membawa masyarakat Bengkulu lebih mengenal mata uang. Di sepanjang pantai mulai dibuat jalan yang dapat dilalui kereta kuda/sapi, sehingga pengangkutan dengan gerobak makin banyak.

-o-