BAB VIII

JAMAN PENDUDUKAN JEPANG

( 1942 ― 1945 ).

  1. KEADAAN PEMERINTAH.

Pada waktu Jepang mula-mula masuk ke Bengkulu, daerah ini sebagaimana daerah lain di Indonesia berada dalam kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda. Sebelum perang Dunia ke II, Sumatera terdiri dari 10 Keresidenan, yaitu, Keresidenan Aceh dengan ibu kotanya Kutaraja, Sumatera Timur dengan ibu kotanya Medan, Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga, Sumatera Barat ibukotanya Padang, Jambi dengan ibukotanya Jambi, Palembang dengan ibukotanya Palembang, Lampung dengan ibukotanya Teluk Betung, Bangka-Beliton dengan ibukotanya Pangkal Pinang dan Keresidenan Bengkulu beribukota di Bengkulu; Riau di Tanjung Pinang. Pimpinan tertinggi pemerintah di Sumatera dipegang oleh Gouverneur (Gubernur) berkedudukan di Medan, yang merupakan koordinator dari Residen-Residen tadi.

Cara pemerintahan di Sumatera pada waktu itu dapat dibagi dua yaitu :
  1. Zelfbestuurende Landschappen (daerah-daerah Swapraja).
  2. Rechtstreeks Bestuursgebied (Pemerintahan langsung oleh Belanda).

Yang dimaksud dengan ad. pertama (Swapraja) pada hakekatnya adalah hasil perjanjian perusahaan hutan, antara Sultan atau raja-raja dengan Belanda, seperti yang terlihat di Sumatera Timur dan Riau. Pada prinsipnya di daerah tersebut Sultan atau Rajalah yang memerintah, sejauh tidak bertentang dengan undang-undang dan kepentingan Politik Belanda. Sedangkan yang dimaksud dengan ad. dua. (pemerintahan langsung oleh Belanda) adalah jenjang pemerintahan yang sepenuhnya dikuasai oleh Belanda mulai dari urutan teratas sampai urutan paling bawah. Urutan tersebut adalah sebagai berikut :

Tingkat teratas dipegang oleh Gubernur Jen­deral Hindia Belanda berkedudukan di Batavia (Jakarta). Di bawahnya adalah Directeur van het Binnenlands (Kepala Urusan Umum), di bawahnya adalah Gubernur dari beberapa Propinsi (Sumatera pada waktu itu termasuk salah satu Propinsi dengan ibukota di Medan). Di bawah Gubernur ini adalah Residen; kemudian Assisten Residen yaitu afdeling (Kabupaten), di bawahnya lagi Controleur yang mengepalai suatu onder afdeling dan di bawahnya lagi adalah districts hoofd yaitu kepala districts (Demang) kemudian onderdistricts hoofd (Assisten Demang) yang mengepalai onder districts atau wilayah dan tingkat yang terakhir nagari hoofd (kepala Nagari) yaitu wilayah pemerintahan terendah. Istilah Nagari dipakai di Sumatera Barat dan Lampung, di Tapanuli Utara "Negri", di Tapanuli Selatan "Kuria", di Jambi Palembang dan Bengkulu disebut "Marga".

Sewaktu balatentara Jepang masuk dan menduduki Sumatera, pimpinan Angkatan Perangnya dipusatkan di Bukit Tinggi. Sejak saat itu secara resmi Bukit Tinggi menjadi ibukota Sumatera. Panglima angkatan darat Jepang merangkap pula sebagai kepala pemerintahan sipil disebut Saiko Sikikan , yang tunduk kepada atasannya di Syoonan (Singapura). Semua istilah Jepang, begitu pula orang-orangnya. Nama Keresidenan ditukar dengan Syu, Residen disebut syucekan, afdeling (Kabupaten) ditukar dengan bun-syu yang dikepalai bunsyu, onderafdeling ditukar dengan gun yang dikepalai oleh gunce. Jabatan Controleur ini sebagian diserahkan kepada Bangsa Indonesia, yaitu daerah yang dianggap pemerintahan tidak begitu penting. Daerah-daerah Swapraja dalam jaman Jepang dihapuskan.Yang sekarang ini setingkat dengan Kecamatan pada jaman Jepang disebut son, dikepalai oleh son-co.

Balatentara Jepang datang di Bengkulu pada bulan Juni 1942 dari Palembang, melalui jalan darat lintas lahat — Lubuk Linggau — Curup — Bengkulu. Pada saat Jepang datang, Bengkulu telah dikosongkan oleh Belanda. Hanya terdapat beberapa pejabat di antaranya Residen Belanda yang bernama Groenneveld. Tanpa perlawanan yang berarti Jepang berhasil menguasai Bengkulu dengan mudah. Pada mulanya rakyat menerima dengan baik kedatangannya, Hal itu disebabkan oleh karena pada permulaannya Jepang bersikap ramah tamah, bahkan bersikap sebagai saudara tua. Terutama organisasi pergerakan waktu itu di antaranya Parindra berorientasi cukup baik pada Jepang, bahkan menganjurkan agar masyarakat menerima baik kedatangannya. Untuk menarik hati rakyat, maka kalau pada jaman Belanda untuk masuk kantor Residen terlampau formal maka pada Jaman Jepang setiap orang bebas untuk masuk ke dalamnya. Kepada rakyat ditanamkan jahatnya Pemerintahan Kolonial Belanda dan membujuk rakyat membantu usaha peperangan Jepang untuk melenyapkan kolonial. Segera dipropagandakan pergerakan 3 A (Nippon Pelindung Asia, Cahaya Asia, Pemimpin Asia). Sisa-sisa pemerintahan Hindia Belanda yang tidak sempat melarikan diri di tawan. Residen Belanda dan seorang kepala penjara (orang Bengkulu asli di hukum mati.

Kedatangan Jepang diperlancar berkat jauh sebelum pasukan-pasukannya di terjunkan di Bengkulu, di daerah ini sejak jaman Belanda telah banyak orang-orang Jepang membuka usaha. Bahkan menurut perkiraan mereka-mereka ini bukanlah semata-mata pedagang atau usahawan biasa namun aktif membantu keberhasilan negara leluhurnya. Fakta bisa ditunjukkan sebagai berikut : Matsukawa yang sejak lama telah tinggal di Bengkulu, pada jaman Hindia Belanda membuka kedai minuman es kacang. Bung Karno erat hubungannya dengan Matsukawa ini, kerapkali terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan rahasia tentunya diusahakan tanpa sepengetahuan polisi rahasia yang senantiasa mengawal Bung Karno dengan ketat. Pertemuan mereka sekali-sekali ditemani oleh Inggit Garnasih, diduga ada pembicaraan rahasia. Bung Karno sendiri tidak menyaksikan Jepang masuk di Bengkulu. Beberapa saat sebelum Jepang masuk ia telah "diamankan" oleh Belanda dan diungsikan ke Padang dengan jalan darat arah Muko-muko. Sedangkan Matsukawa oleh penguasa pemerintahan Jepang diberi fungsi sebagai penterjemah, kemudian secara berturut-turut nasibnya terangkat menjadi kepala P dan K, setelah itu menjadi Kepala Bagian Pemerintahan Umum. Orang Jepang lainnya yang turut berjasa dalam memperlancar kedatangan Jepang di Bengkulu yaitu Mikasa, Medan yang paling menonjol adalah seorang Jepang yang bernama Aso. Orang ini pada jaman Hindia Belanda membuka usaha kelontong serba ada yang terbesar di Bengkulu. Ia dikenal sebagai kaum intelek. Pada waktu Belanda diserbu oleh Jerman, ia pergi ketanah leluhurnya. Menurut Zulkifli Darsah yang mendapat penjelasan dari Yokomoto Aso bahwa ia telah dipanggil oleh pasukan Jepang di Bengkulu untuk menjadi Residen Bengkulu tetapi sayang kapal Belanda yang ditumpanginya telah tenggelam oleh terpedo Jerman.

Sesuai dengan strategi perang Jepang, maka untuk memenangkan perang Asia Timur Raya dibangun kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai. Bekas-bekasnya sampai sekarang masih terdapat di pasar Bengkulu, pantai Panjang dan lain-lain, demikian juga beberapa waktu kemudian, yaitu setelah Jepang berkuasa mutlak di Bengkulu dibangun lapangan terbang Padang Panjang (Bengkulu Selatan) dan Talang Betutu (Palembang). Kesemua pembangunan inin membutuhkan tenaga yang diambil dari dalam dan luar kota. Para pekerja paksa (Romusya) banyak juga yang dikirimkan secara paksa ke Pulau Enggano bahkan juga keluar Negeri dan banyak di antaranya tidak pernah lagi melihat negeri asalnya. Kantor kantor pemerintahan dan para pejabat dipakai untuk mengikuti disiplin diktator Jepang. Demikian juga anak-anak sekolah.

Setiap pagi diadakan apel pagi (Taiso) sambil membungkuk dan menghormati matahari. Setiap bentuk pelanggaran dihukum dengan keras. Polisi Jepang (Kempetai) yang dikenal kejam itu betul-betul telah menimbulkan rasa takut dalam hati rakyat. Sebagai contoh bentuk hukuman ala Jepang ditunjukkan oleh peristiwa berikut, seseorang bernama Masawang bin Budut telah membunuh seorang Depati (Kepala Dusun) akibat pertengkaran soal pajak. Supaya di kalangan rakyat timbul rasa takut dan kepatuhan tidak terbatas, Masawang dipenggal di hadapan Umum, kepalanya dipancang di atas tonggak dan dipajangkan di depan jalan (rumah penjara) untuk disaksikan oleh masyarakat beramai-ramai. Sejak semula Jepang melarang semua rapat-rapat apalagi sesuatu yang mengarah pada politik. Bahkan dengan tegas pada tanggal 20 Maret 1942 mengeluarkan peraturan membubarkan semua perkumpulan-perkumpulan. Namun demikian pemerintah Jepang pada tanggal 15 Juli 1942 memperbolehkan berdirinya perkumpulan-perkumpulan yang sifatnya hiburan.

Pemerintah Jepang di Bengkulu tidak mengganggu gugat kesenian daerah setempat seperti tari-tarian, juga olah raga, drama dan lain lain dengan terlebih dahulu pimpinan groupnya bersumpah bahwa tidak akan menimbulkan aksi-aksi politik yang otomatis juga segala tadi termasuk tempat-tempat peribadatan tidak sejenakpun terlepas dari pengawasan pemerintah dan kaki tangannya.

Perekonomian rakyat runtuh sama sekali , batang-batang kopi, cengkeh dibabat dan diwajibkan ditanami pelawija dan pohon jarak. Bahkan kewajiban menanam pelawija dan pohon jarak ini dikenakan juga untuk para anak sekolah.

Padi rakyat persiapannya dikuras habis untuk dikirim ke front-front perang Jepang. Untuk itu Jepang membentuk perusahaan-perusahaan dagang, tempat mana rakyat menjual berasnya secara paksa dengan harga teramat rendah. Sedangkan untuk makanan rakyat umumnya dikenal dengan sistem antri, beras dicampur ubi (antri pakai kupon).

Rasa ketakutan akhirnya rnenimbulkan kebodohan pada masyarakat. Rakyat menganggap bahwa politik itu tabu. Gerakan politik tidak dapat meluas dalam masyarakat. Gerakan-gerakan ditekan sama sekali oleh pemerintahan. Jepang mengadakan beberapa perusahaan antara lain perubahan beberapa wilayah pemisahan kekuasaan kepolisian dengan pamongnya, perubahan dibidang peradilan, yaitu masing-masing Keresidenan Bengkulu mengeluarkan peraturan (syumei) yang menyederhanakan berbagai lembaga peradilan yang beraneka ragam di jaman Hindia Belanda.

  1. PENYELENGGARAAN HIDUP DALAM MASYARAKAT.
  1. K e a d a a n   S o s i a l

Ternyata bahwa mulut manis dan bujuk-bujukan Jepang tersebut semata-mata sebagai kedok untuk membohongi rakyat. Beberapa bulan setelah pasukan-pasukan Jepang berada di Bengkulu, suasana kegelisahan mencekam rakyat. Pemerintah Jepang yang keras dengan disiplin matinya, telah menumbuhkan rasa ketakutan dan kepatuhan yang membabi buta di kalangan rakyat. Bayangan untuk dipaksa menjadi romusya senantiasa mengancam setiap laki-laki yang telah dewasa.

Pembangunan kubu-kubu pertahanan Jepang sepanjang jalur pantai telah menyerap tenaga kerja yang banyak yang diperoleh Jepang dengan mengambil tenaga-tenaga sukarela (romusya) baik dari dalam kota maupun luar kota , terutama menjadi momok rakyat adalah diromusyakan ke pulau Enggano. Pulau tersebut yang letaknya terpencil, oleh Jepang dibangun kubu pertahanan terkuat, sekaligus sebagai gudang perbekalan perangnya. Rakyat yang diromusyakan ke Pulau Enggano sedikit sekali kemungkinan dapat meloloskan diri dengan selamat.

Ataupun kalau dapat kembali ke rumah, keadaannya sudah sangat menyedihkan, keadaan fisik dan mentalnya rusak sama sekali. Pangkalan pangkalan udara dibangun pula oleh Jepang di daerah Bengkulu. Yaitu di kota Curup. Bengkulu dan (Padang Panjang) di kota Manna. Lapangan terbang Padang Kemiling dibangun pada jaman Jepang.

Sementara itu Jepang dengan kaki tangannya mulai meranjah memasuki ke pelosok-pelosok pedesaan. Kegelisahan yang dialami rakyat pedesaan adalah karena gudang-gudang beras mereka dirampas Jepang dipaksa harus dijual dengan harga di bawah standar. Musim panen berikutnya hampir 85% beras rakyat masuk ke dalam gudang-gudang pemerintah Jepang, tentu dengan dalih bahwa kesemua itu untuk kepentingan bersama, harus rela dan patriotik, untuk kemenangan dan kemakmuran Asia Timur Raya.

Hodohan (Badan Propaganda Jepang) terus menerus meniup-niupkan semangat militerisme. Roda pemerintahan hanya menggelincir pada satu arah; kemenangan perang Asia Timur Raya. Perang di atas segala-galanya. Dalam situasi demikian, kehidupan politik, ekonomi, sosial, keagamaan dan lain-lain otomatis beku sama sekali.

Dalam benak rakyat hanya dua pertanyaan.

Pertama bagaimana agar hari ini dan esok tetap dapat makan dan bagaimana dapat terhindar dari "dipanggil" ke kantor Kenpetai. Kebebasan masyarakat dikekang sehingga tidak memungkinkan dapat tumbuhnya kreativitas. Keadaan ini tercermin di Bengkulu baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Kehidupan sosial macet sama sekali. Pesta-pesta perkawinan misalnya, yang sejak jaman Belanda merupakan kehidupan yang khas dan meriah di Bengkulu, tetapi pada jaman Jepang itu tidak pernah lagi diadakan oleh rakyat, sebab kemiskinan yang parah tidak memungkinkan hal seperti itu. Demikian juga upacara penggotongan "Tabot" yang sudah sejak lama menjadi peristiwa rutin di kota Bengkulu, tidak pernah lagi diadakan. Kesenian atau permainan yang menyenangkan tidak terlintas lagi dalam pikiran masyarakat.

Segala bentuk pertemuan apalagi yang mengarah pada politik tidak diperbolehkan Jepang. Rakyat takut untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya. Peristiwa Masawang meninggalkan bekas sangat mendalam pada masyarakat.

Akibat rakyat yang selalu ditekan fisik dan mentalnya itu, terlihat suatu gejala rasa takut yang berlebih-lebihan kepada Jepang dan kaki tangannya.

Pamong-pamong mempunyai kekuasaan dan teramat disegani oleh rakyat. Sedangkan di antara para pamong sendiri masing-masing berusaha mengambil hati pada Jepang.

Kekurangan makan dan kesehatan yang diabaikan mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Di antaranya yang paling menonjol adalah penyakit kulit (kudis-kudis). Seiringan dengan kedatangan Jepang di Bengkulu seperti juga daerah lain di Indonesia disebarkan pula jenis kutu putih (tuma) dan keong-keong racun. Sedangkan penyakit malaria, akibat banyaknya nyamuk di daerah Bengkulu, telah tercatat menelan banyak korban baik penduduk setempat maupun orang Jepang sendiri.

Dengan ditutupnya segala bentuk pengiriman barang dari luar, maka pakaian-pakaian rakyat pada jaman Jepang sudah tidak terurus lagi. Banyak di antara rakyat memakai lantung (pakaian dari kulit kayu).

Mengenai kehidupan para remaja pada waktu itu terlihat gejala adanya usaha dari pihak Jepang untuk menanamkan doktrin-doktrin militer dan semangat anti orang Eropa khususnya Sekutu. Hal ini terlihat dari berdirinya organisasi-organisasi ala Jepang seperti Seinendan, Geigun, Fujimkai, Heiho dan lain-lain, yang melatih mereka untuk berdisiplin militer dan memompakan semangat untuk memenangkan perjuangan di Asia Timur Raya. Efek sosial yang ditimbulkannya terlihat pada sementara pemuda sikap hidup meniru budaya Jepang. Anak-anak sekolah setiap pagi, diwajibkan melaksanakan senam pagi (Tai-so) membungkukkan badan ke arah matahari dan menyanyikan lagu ciptaan Jepang. Mata pelajaran di sekolah hanya 30 % merupakan pengetahuan umum yang dipelajari dibangku sekolah. Selebihnya adalah diperuntukkan latihan-latihan kemiliteran dan berkebun palawija dan pohon jarak. Mengenai kewajiban menanam tanaman palawija dan pohon jarak, pada tahun 1943 telah menjadi kewajiban rakyat di daerah Bengkulu sampai di pelosok-pelosok pedesaannya.

Pada permulaan Jepang masuk terjadi beberapa kasus yang menggelisahkan kalangan kaum wanita di Bengkullu sebagai akibat kebuasan Jepang. Menyadari keadaan seperti ini sangat merugikan strategi perang, maka pihak pimpinan bala tentara Jepang mendatangkan wanita wanita yang berasal dari Korea. Dalam batas-batas tertentu, pasukan Jepang di Bengkulu bersikap sopan kepada para wanita dan anak-anak. Kegelisahan lain yang dialami oleh kaum ibu adalah terhadap anak laki-laki mereka yang telah berumur 15 tahun ke atas, sebab sewaktu waktu ia bisa diambil sebagai romusa atau ikut tentara Jepang. Demikian juga kehidupan keagamaan, sejauh tidak mengarah pada politik diberi kebebasan. Para penganut agama tidak mendapat gangguan dalam melaksanakan peribadatannya. Ditengah tengah penekanan kreativitas, hondokan mempropagandakan bahwa kehidupan keagamaan, kesenian, sosial budaya mamasyarakat akan dijamin perkembangannya dan bahkan harus bertumbuh subur bersama kedatangan orang Jepang.

Memang segala bentuk yang dapat menyokong garis depan peperangan termasuk kesenian dan kebudayaan tetap terpelihara bahkan dihidup suburkan. Hal ini terlihat pada kejadian berikut. Suatu saat Pemerintahan Jepang melaksanakan sayembara mengarang untuk seluruh Sumatera, yang berhasil sebagai pemenang kedua adalah Bukit Tinggi. Karena tertariknya Jepang akan hasil karangan tersebut, maka diperintahkanlah mementaskan di seluruh Sumatera. Untuk Bengkulu, karangan tersebut yang berisikan semangat kepahlawanan Asia Timur Raya, dipentaskan dengan judul "TABERO" singkatan dari Tokio, Berlin, Roma. Pementasan berlangsung selama enam hari berturut-turut di Bengkulu. Bahkan dipentaskan juga di lain-lain daerah dalam Keresidenan Bengkulu antara lain di Curup selama dua hari.

Di samping segi-segi negatip yang ditimbulkan oleh pemerintahan Jepang, dari satu segi dapat terlihat pula segi-segi positipnya. Penderitaan telah menyuburkan semangat berjuang untuk mengusir penjajahan dari tanah air. Rakyat bagai dicambuk untuk maju merebut hak-haknya, setelah selama ini dininabobokkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tempaan disiplin yang keras menimbulkan jiwa tangguh dan tidak mengenal menyerah.
  1. Ketentuan ekonomi.

Kehidupan perekonomian rakyat Bengkulu pada jaman pemerintahan Jepang hancur sama sekali. Inflasi meningkat hebat akibat uang yang beredar tidak diimbangi dengan adanya persediaan barang di gudang-gudang. Hasil perkebunan sebagai produksi utama di Bengkulu sangat merosot, bahkan dengan diwajibkannya menanam palawija dan buah jarak, sisa-sisa perkebunan cengkeh, kopi, teh dimusnahkan dan diganti dengan tanaman-tanaman yang berfaedah untuk menyokong garis depan.

Impor dan ekspor barang-barang terhenti, akibatnya persediaan barang semakin menipis dan harga-harga jadi melonjak. Sementara para pedagang menutup toko-toko mereka menimbun barang-barang untuk persediaan konsumsi sendiri. Jepang dengan kaki tangannya masuk sampai, ke pelosok-pelosok pedesaan paling terpencil untuk menguras lumbung-lumbung beras orang desa. Pada waktu itu di tiap tingkat kecamatan Jepang mempentuk suatu jenis badan usaha, ke tempat mana penduduk wajib menjual berasnya dengan harga yang sangat rendah.

Akibatnya persediaan beras di pasaran tidak beredar, atau kalau ada juga harganya tidak terjangkau rakyat. Secara beramai-ramai mereka mengalihkan menu makanannya dari beras menjadi talas, ubi kayu dan kelapa muda. Sedangkan beras dan jagung pada saat-saat tertentu dalam jumlah sangat sedikit diperoleh rakyat melalui restribusi (antrian dengan kupon). Untuk kebutuhan akan garam, di sepanjang pantai rakyat membuat garam sendiri, tentunya dengan kwalitas rendah , hal ini sebagai akibat pembuatannya yang tidak memenuhi persyaratan. Hasil garam itu sebagian besar dibawa ke pasar untuk dijual secara barter dengan sayur-mayur dan ikan-ikan kecil. Monopoli Jepang berlangsung dari hal-hal yang vital sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Demikianlah para nelayan juga tidak terlepas dari sifat monopoli tersebut. Seluruh hasil tangkapan ikan harus dijual kepada pemerintah. Badan usaha Jepang mengadakan sortir dan hanya ikan-ikan kecil saja yang dilemparkan kepasaran.

Minyak tanah tidak terlihat lagi di

pasaran. Rakyat menggunakan minyak kelapa atau buah jarak sebagai penerangan. Pada waktu itu sinar lampu-lampu dilarang menembus dinding rumah, dinding rumah dilabur dengan ter dan ditutup dengan sabut-sabut kelapa.

Untuk kebutuhan akan sabun, rakyat membuat sendiri dari suatu pohonan yang banyak terdapat di Bengkulu. Dengan latar belakang ekonomi yang kacau tersebut dalam masyarakat timbul "smokkel" (penyelundup) dan korupsi yang merajalela mulai dari tingkatan teri dikalangan rakyat berupa menyelundupkan 1-2 kg. beras, sampai ketingkat menengah yaitu para pamong dan penyelewengan-penyelewengan dalam pembukuan yang dilakukan oleh sesama orang Jepang sendiri.

  1. KEHIDUPAN SENI DAN BUDAYA.

Sebagaimana telah disinggung di atas, pemerintah Jepang yang keras dan bercorak militerisme dengan kekangan yang ketat terhadap kebebasan, tidak memungkinkan dapat tumbuhnya kreativitas tingkah laku yang tercermin dalam masyararakat adalah semata-mata karena unsur paksaan.

Rakyat bukanlah subyek hukum melainkan hanyalah obyek hukum yang dilaksanakan Pemerintahan Jepang. Rakyat hanya punya kewajiban tanpa mempunyai hak. Apalagi hak bertentangan dengan strategi militer Jepang. Keadaan ini tercermin dalam kehidupan pendidikan di Bengkulu pada jaman Pemerintahan Jepang, sebab pada hakekatnya pendidikan suatu aspek penting dari kehidupan kemasyarakatan.
  1. Pendidikan

Sistem pendidikan jaman Pemerintahan Hindia Belanda Jepang dan Republik Indonesia berbeda satu dari yang lain, baik dalam tujuannya, aspek-aspek didaktik-metodik dan administratifnya. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan pendidikan pada jaman Pemerintahan Jepang di Bengkulu perlu menarik garis perbandingan berikut :

  1. Pada jaman penjajahan Belanda, aspek tujuan pendidikan adalah manusia sebagai alat Pemerintah Kolonial Belanda, sifatnya feodalistis intelektualistis dan individualistis, dengan administratif

diselenggarakan hanya oleh Pemerintah Kolonial, sedangkan sekolah yang diadakan oleh kaum pergerakan dianggap sekolah liar seperti umpamanya Muhammadiyah dan Taman Siswa.

  1. Pada jaman pendudukan Jepang, aspek tujuan pendidikan adalah manusia mengabdi untuk Tenno Heika (Raja Jepang). Sifatnya praktis dan secara militer. Administratif diselenggarakan oleh Pemerintah pendudukan Jepang dan sebagai dedaktik/metodiknya ditekankan hanya kepada aktipitas fisik.
  2. Pada jaman Republik Indonesia tujuan pendidikan diatur dalam Undang-undang Pendidikan nomor 4, sifatnya demokratis dan pragmatis. Administratif diselenggarakan oleh Pemerintah dengan dibantu rakyat; swasta di bawah pengawasan dan bimbingan pemerintah.
    Sebagai didaktik/metodiknya, pendidikan disesuaikan dengan anak didik dari kehidupan setempat dengan prinsip learning by doing (belajar sambil berbuat).


Dari perbandingan tersebut sudah tampak jelas wujud pendidikan pada jaman pendidikan Jepang yang dilaksanakan di daerah daerah kekuasaannya. Sebagai realisasi dari tujuan pendidikan agar manuisia mengabdi kepada Tenno Heika, semua sekolah yang ada di Bengkulu mempunyai kewajiban tidak tertulis, setiap pagi mengadakan senam pagi (Tai-so), membungkukkan badan ke arah Timur. Hal itu dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap dewi Amaterasu Omikami yang menurut kepercayaan Jepang, Tenno Heika adalah keturunan langsung dari dewa matahari ini.

Sesuai dengan taktik dan strategi kolonial yang manapun juga, maka administratip pendidikan hanya diselenggarakan oleh pendudukan Jepang. Aspirasi dari para guru dan para murid tidak diberikan tempat berpijak. Guru-guru sudah didikte oleh Jepang. Semacam up-grading dan santiaji untuk para guru secara rutin dilaksanakan/diberikan oleh Pemerintahan Jepang. Berlainan dengan sifat pendidikan jaman pemerintahan Hindia Belanda yang feodalistis intelektualistis, maka sifat pendidikan pada jaman Jepang praktis dan secara militer. Sesuai dengan strategi perang Jepang dimana potensi yang ada dikerahkan untuk menyokong garis depan maka hanya keahlian praktis atau ketrampilan bekerja yang mendapat penghargaan tinggi. Kemampuan yang intelektuil dan teori teori hanya dianggap omong kosong saja.

Semua harus serba cepat, tepat, terarah, dan perang Asia Timur Raya mesti dimenangkan Jepang. Itulah semboyan Jepang yang senantiasa didengung-dengungkan baik kepada para guru maupun anak didik. Akibatnya kurikulum tidak dipegang teguh bahkan diabaikan sama sekali. Hanya 30% dari kurikulum yang dituntut dibangku sekolah, selebihnya adalah untuk berkebun palawija dan menanam pohon jarak, serta latihan kemiliteran. Jelas bahwa dalam didaktik dan metodiknya ditekankan hanya pada aktivitas fisik. Pendidikan pertukangan seperti tukang lukis, tukang kayu, tukang batu sangat diutamakan. Mereka ini dikerahkan untuk membangun kubu-kubu pertahanan di sepanjang pantai Bengkulu dan dikirim ke kubu pertahanan terkuat di pulang Enggano. Sebagai bentuk formal pendidikan kemiliteran adalah Giugun, dan Heiho.

Untuk menjadi anggota Giugun atas kehendak

sendiri sedangkan Heiho secara paksa. Giugun inilah bergabung dengan beberapa anggota Heiho dan KNIL yang menjadi cikal bakal TKR. Beberapa di antara tokoh atau anggota Giugun ini kelak dikemudian hari menjadi orang penting di Propinsi Bengkulu.

Nama-nama abituren tersebut antara lain Simbolon, Santoso, Berlian, Nawawi, Zainul Asyikin, Mahyudin, M. Daud Mustapa dan lain-lain. Dalam situasi kemelut perang , kehidupan pendidikan tidaklah dapat tumbuh subur. Sekolah-sekolah yang ada pada jaman pendudukan Jepang adalah Sekolah Desa (4 tahun), Sekolah Rakyat 6 tahun, tetapi SMP (Cugako) hanya ada satu dalam Keresidenan Bengkulu yang berada di kota Bengkulu. Kemudian dalam sejarah Keresidenan Bengkulu didirikan lagi sekolah guru (Sihanggako) di Kepahyang sedangkan pelajaran pelajaran pertukangan sifatnya insidental, diadakan sesuai dengan keperluan pemerintah pendudukan Jepang.

  1. Kesenian.
Di antara kehidupan sosial budaya yang

paling macet perkembangannya adalah kesenian. Sejak jaman Belanda, Inggris, Jepang bahkan sampai Republik Indonesia terbentuk kehidupan kesenian di Bengkulu belum bertumbuh subur. Apalagi dalam jaman Jepang di mana penderitaan yang parah dan kemiskinan batas benar-benar melumpuhkan kreasi-kreasi masyarakat. Kesenian tradisional khas Bengkulu seperti tari kejai, tari sapu tangan, randai dan lain-lain boleh dikatakan selama pendudukan Jepang tidak pernah dipestakan. Bahkan kesenian Tabot yang sebelumnya merupakan acara rutin, pada jaman pendudukan Jepang tidak pernah lagi diadakan.

  1. Pengaruh seni budaya Jepang.

Pengaruh seni budaya Jepang tidak menimbulkan terlalu mendalam di Bengkulu. Rakyat daerah ini mayoritas taat beragama Islam bahkan mendekati kepanatikan. Kebudayaannya berbeda dengan seni budaya Jepang. Pola tingkah laku orang-orang dari negeri matahari terbit itu tidak sesuai dengan iklim budaya Rakyat Bengkulu. Rakyat Bengkulu terpaksa untuk mengikuti segala kebiasaan Jepang. Pengaruh seni budaya Jepang berumur amat pendek, yaitu selama pemerintahan pendudukan Jepang di Bengkulu.

Ajaran agama Islam tidak membenarkan bahwa menentang keras karena segala bentuk peribadatan yang mengarah kepada menduakan Tuhan. Tuhannya umat Islam hanyalah Allah Swt. Maka karena itu rasa masgul dan dendam dialami orang Bengkulu, apabila rukuk pada tiap hari ke arah matahari terbit.

Dipandang dari segi lahirlah, selama pendudukan Jepang pola hidup ala Jepang menjadi mode di Bengkulu bahkan bagi sementara orang terdapat gejala lebih Jepang dari orang Jepang sendiri. Mereka pakai cawat di tempat umum, kepala gundul pelontos, menyandang dan pakaian kimono ala Jepang pernah jadi mode di Bengkulu. Namun semua itu luntur kembali setelah pendudukan Jepang berakhir. Tetapi kesenian dan kebudayaan Jepang ada juga yang membekas pada hampir semua daerah pendudukannya. Kesenian bela diri Jepang seperti karate, sumo, yin yitsu dan lain-lain sangat di gemari oleh para pemuda waktu itu.

Juga pada dasarnya bangsa Jepang memiliki beberapa watak dasar yang positip. Orang Jepang dikenal sebagai bangsa yang rajin, senang belajar, berani, ulet dalam mewujudkan cita-cita, disiplin, cinta yang mendalam kepada tanah air dan mempunyai rasa kehormatan diri yang tinggi, serta tidak kenal arti menyerah. Pada jaman Hindia Belanda rakyat Indonesia umumnya terlalu lama dininabobokkan sehingga menjadi bodoh dan malas. Peranan Jepang tidak kecil dalam menambah atau mempermatang situasi yang hangat di Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Ciri-ciri dari organisasi organisasi yang dibentuk Jepang untuk pemuda-pemuda dan pemudi pemudi Indonesia seperti Seinendan (untuk pemuda umur 14 sampai 25 tahun), Keibodan (untuk yang berumur 25 tahun keatas) dan Fujinkai, adalah pendidikan watak disiplin menjadikan rakyat bersifat pemberani, hal ini merupakan modal pertama untuk mencapai kemerdekaan. Juga pemuda-pemuda yang tergabung dalam Giugun, Heiho berkat gemblengan Jepang dan disiplin yang tegas akhirnya menjadi prajurit-prajurit

pilihan.

  1. ALAM PIKIRAN DAN KEPERCAYAAN.

Rakyat Bengkulu yang mayoritas beragama Islam menyadari sepenuhnya bahwa alam semesta dan isinya telah ada yang mengaturnya yaitu Allah swt. keyakinan inilah dijadikan modal utama dalam hidup di jaman kemelut pemerintahan Jepang. Justru pada saat mengalami kesulitan dan penderitaan orang-orang merasa menjadi lebih dekat dengan Tuhannya.

Dengan adanya kemacetan pada hampir semmua sektor kehidupan maka perkembangan agama juga otomatis mengalami kemunduran. Setiap muslim yang hidup bersama dengan unsur keterpaksaan oleh pihak Jepang, hari demi hari merasa sakit hati. Setiap pagi harus rukuk ke Timur ke arah matahari terbit.

Dipandang dari segi Islam hal ini bukan tidak dibenarkan tetapi juga dilarang dengan keras, sebab mengarah kepada sirik (menduakan Tuhan).

Perlawanan diam-diam berupa kutuk serapah tersebar dari mulut setiap muslim.

Hal ini merupakan perlawanan dengan motif agama. Mengenai kehidupan kaum intelektual, pada zaman pemerintahan pendudukan Jepang betul-betul terpojok. Dai Nippon dalam situasi perang hanyalah menghargai ketrampilan tukang, bukan teori-teori ilmiah kaum intelektuil.

  1. HUBUNGAN DENGAN DUNIA LUAR.

Pada saat masuknya Jepang, pergerakan nasional sedang sangat aktif melancarkan aktivitasnya. Daerah Bengkulu sama sekali tidak absen dari pergerakan Nasional ini. Pada tanggal 28 Oktober 1928, hasil sumpah pemuda yang keramat itu Bengkulu mengirimkan 2 orang pemuda masing-masing Zulkifli Darsa dan Asmarahadi. Hubungan dengan sesama kaum pergerakan tetap terpelihara, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Pada jaman pendudukan Jepang para pimpinan partai di pusat secara rahasia memberikan petunjuk-petunjuk atau pun pengarahan kepada anggotanya yang berada di Bengkulu.

Demikianlah misalnya pimpinan Parindra jauh-jauh telah membisikan kepada para anggotanya di daerah Bengkulu agar jangan sepenuhnya percaya mulut manis Jepang. Pergerakkan Nasional dengan mosi Wiwoho dan Petisi Sutarjo menurut pemerintah yang bertanggung jawab di Indonesia. Segala tuntutan ini tidak dihiraukan oleh penjajah. Dalam situasi demikianlah Jepang masuk di Indonesia pada bulan Maret 1942 dan pasukannya masuk ke Bengkulu (waktu itu Keresidenan) hanya beberapa bulan setelah itu. Karena kekecewaan terhadap pemerintahan Hindia Belanda sudah bertumpuk 3½ abad, maka Jepang masuk di Bengkulu disambut dengan penuh harapan sebagai saudara tua. Hanya beberapa hari saja pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Dai Nippon. Sehingga waktu Jepang masuk, Bengkulu telah dikosongkan Belanda tanpa perlawanan. Setelah itu oleh penguasa Jepang dibuatlah peraturan yang melarang semua rapat-rapat dan kegiatan-kegiatan politik. Pada tanggal 20 Maret 1942 dikeluarkan lagi peraturan yang membubarkan semua perkumpulan, tetapi pada tanggal 15 Juli 1942 diperbolehkan berdirinya perkumpulan yang sifatnya hiburan, itu pun sebagai cara-cara Dai Nippon untuk membendung jalannya pergerakan Nasional. Sebaliknya untuk memikat hati golongan Islam, Jepang pada tanggal 13 Juli 1942 menghidupkan kembali Majelis Islam Indonesia yang pada tanggal 24 Oktober 1943 di ganti dengan Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Untuk dapat menarik hati rakyat, Hodohan melancarkan gerakah 3 A (Nippon Pelindung Asia, Cahaya Asia; Pemimpin Asia). Ir. Soekarno yang baru saja dikeluarkan dari pengasingan di Bengkulu lalu dibawa ke Padang dan mendapat kebebasannya d1 Bukit Tinggi. Kemudian pada 4 Maret 1942 mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Sebagai taktik pergerakan Nasional ditempuh dua jalan : Jalan legal yang bekerja sama dengan pemerintah Jepang dan jalan illegal dengan mengadakan gerakan bawah tanah. Maret 1943 PUTERA diganti dengan Perhimpunan Kebaktian Rakyat (Jawa Hokokai).

Pada bulan September 1943 dibentuk Badan Penasehat Pusat yang dinamakan Cuo Sanggiin (sejenis DPR) yang dipimpin oleh Bung Karno. Badan ini ternyata sangat berguna untuk mencapai kemerdekaan. Satu bulan kemudian yaitu pada bulan Oktober 1943 dibentuk PETA (Pembela Tanah Air).
Rangkaian pergerakan Nasional ini bergetar sampai di daerah-daerah. Kwatir akan pengaruhnya, Jepang menjalankan aksi pengawasan yang lebih ketat. Pertemuan pertemuan tanpa izin dilarang. Radio-radio disegel. Mesjid-masjid diawasi. Pokoknya segala bentuk yang mengarah kepada adanya hubungan sesama kaum pergerakan Nasional dihilangkan sama sekali.

Pada tahun sekitar 1943 Jepang mulai terdesak oleh Sekutu karena itu Dai Nippon mencoba memikat rakyat dengan janji-janji muluk, akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pada tanggal 6 Agustus bangsa Indonesia. Pada tanggal 6 Agustus 1945 jatuhlah bom atom Amerika Serikat di kota Hirosima. Pemimpin-pemimpin Jepang mengetahui bahwa Negaranya telah mendekat kekalahan. Begitu juga Jenderal Terauci Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia-Tenggara, yang berkedudukan di Saigon, pada tanggal 7 Agustus 1945 menjanjikan memberikan Kemerdekaan kepada Indonesia sebagai anggota Kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang penyelenggaraan kemerdekaan itu Bung Karno, Bung Hatta dan Dokter Rajiman diminta datang ke Saigon pada tanggal 9 Agustus 1945. Tetapi ketika bom atom yang kedua meledak di Nagasaki, Jepang tidak ada kesempatan dan tidak punya kekuasaan lagi untuk memikirkan bangsa lain.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 menyerahlah Jepang tanpa syarat dengan Sekutu. Maka lenyaplah janji Kemerdekaan dari Jenderal Terauchi. Dan dengan penandatanganan penyerahan Jepang tanpa syarat itu pada tanggal 2 September 1945 di geladak kapal perang Amerika Serikat Missouri lenyap pulalah cita-cita Jepang untuk membentuk Kemakrnuran bersama Asia Timur Raya di bawah pimpinannya. Pemerintahan pendudukan Jepang pada mulanya menutupi kekalahannya dari penglihatan daerah daerah yang didudukinya termasuk juga di Bengkulu.

Tapi berikut tentang Jepang kalah itu bocor.

Sebelum tentara Sekutu tiba di Bengkulu telah terjadi perlawanan para pemuda pejuang dengan pasukan Jepang. Perlawanan ini terjadi dimana-mana; baik di kota Bengkulu maupun di Manna, Curup dan di berbagai tempat di mana pasukan Jepang berada. Para pejuang kita berusaha merebut persenjataan Jepang.

Akhirnya berkat perjuangan segenap Bangsa Indonesia, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasukan Sekutu datang di Bengkulu melucuti senjata Jepang. Ternyata Belanda turut membonceng pada Sekutu. Terjadi insiden segi tiga : Belanda yang berbaju Sekutu ― Jepang ― Rakyat Indonesia di sekitar pasar Bengkulu dan Pantai Panjang. Dan akhirnya Jepang dengan perempuan-perempuan Koreanya angkat kaki dari bumi Bengkulu.

-oOo-