Selamat Jalan, Yo
oleh Fadilla Dwi Arianty

Selamat Jalan, Yo

Fadilla Dwi Ardianty

MTs N Penampung Kab. Agam




Yosi Mutiara Annisa. Gadis pemilik nama itu di mataku adalah sosok yang sempurna. Tingkah lakunya terpuji. Sopan santunnya tinggi. Yang tua dia hormati, sama besar dia hargai, yang lebih kecil dia sayangi. Kecerdasannya belum ada yang menandingi. Juara umum di sekolahku selalu berada dalam genggamannya. Jabatan ketua OSIS juga dipercayakan kepadanya. Kecantikan, jangan ditanya. Kulit kuning bersih, alis mata tebal bagai semut beriring. Rambut panjang bagai mayang terurai. Tubuh tinggi semampai. Bibir bagus bagai pauh dilayang. Mata bening bagaikan embun. Bulu mata lentik bagai semut menungging. Gigi tersusun rapi bagai dipesan dari toko cina.

Yang paling menonjol pada Yosi ialah keramahtamahannya. Siapa saja akan betah berlama-lama apabila bicara dengan Yosi. Apa yang dibicarakan dengannya selalu nyambung. Dia tahu kapan harus mendengar, memberi pendapat, berdebat, atau mengemukakan suatu masalah. Apalagi ditopang dengan kecerdasan yang tinggi. Acap kali Yosi dijadikan sebagai tempat untuk mendiskusikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh teman-temannya. Kalau sudah begitu, ide-ide bernas Yosi, biasanya akan mengalir dan menjadi alternatif pemecah masalah yang mangkus sekali.


Aku merasa beruntung bisa kenal dan berteman dekat dengan Yosi. Pituah dan nasihatnya mampu mengubah diriku. Aku yang semula dikenal sebagai raja cabut, kini berubah menjadi siswa yang rajin. Jangankan cabut, permísi ke belakang di dalam jam pelajaran pun kini tak pernah. Itu kulakukan karena cabut, menurut Yosi, akan menimbulkan kerugian pada kita. Kita akan ketinggalan pelajaran. Aku yang semula sangat membenci PR dan selalu meminta teman-teman mengerjakannya untukku, kini berubah sangatmenyukainya. Bahkan, kalau guru tidak memberi PR, aku sering mengingatkan agar kami diberi PR. Itu kulakukan karena menurut Yosi, PR akan membuat kita terlatih dan terbiasa membahas pelajaran di rumah dan akan sangat membantu sekali dalam ujian.


Aku yang semula suka berkelahi, kini tidak lagi. Bahkan, kini aku acapkali mendamaikan teman-teman yang berselisih. Itu kulakukan karena, menurut Yosi, memiliki seribu teman lebih baik daripada memiliki satu orang musuh. Aku yang semula perokok, kini tidak lagi. Jangankan merokok, melihat teman yang merokok pun kini aku muak dan berusaha menasihati mereka agar berhenti merokok. Itu kulakukan karena, menurut Yosi, merokok adalah pekerjaan mubazir dan Tuhan sangat membenci pekerjaan yang mubazir. Ya, banyak sekali perangai burukku yang berhasil diperbaiki oleh Yosi hingga kini aku merasa sudah menjadi diriku yang sebenarnya. Seribu predikat jelek yang dulu tersampir di pundakku, sejak berkenalan dengan Yosi, berganti arah 180 derajat. Guru-guru yang dulu begitu benci, kini berubah sayang. Kawan-kawan yang dulu menjauh, kini berubah mendekat. Citra sebagai siswa pencabut dan pemalas, kini berubah menjadi juara kelas. Itu semua terjadi berkat kegigihan Yosi mengubah diriku.


Perkenalanku dengan Yosi berlangsung tanpa sengaja. Siang itu aku duduk-duduk di warung samping sekolah. Sambil mengisap rokok, mataku tetap awas memandang ke gerbang sekolah. Aku selalu waspada. Lalu, ada guru yang muncul, aku siap lari mengamankan diri. Strategi itu harus kuterapkan, kalau tidak ingin diseret ke kantor. Ketika sedang nikmat-nikmatnya mengisap rokok, tiba-tiba di gerbang sekolah muncul Yosi, sang bintang sekolah.


Aku cuek saja. Aku tak peduli sebab aku yakin, dia akan bersikap sama dengan teman-teman yang lain padaku yang berandalan.

"Nggak belajar, Tom," sapa Yosi. Aku berpaling.

"Nggak, lagi malas," jawabku singkat.

"Beli apa?" aku balas bertanya.

"Beli busur. Lagi belajar matematika, kebetulan lupa bawa busur," Yosi menjawab seraya memandangku. Kupalingkan wajah ke gerbang sekolah. Yosi kemudian juga memandang ke gerbang sekolah.

"Kok, lihatnya ke gerbang sekolah terus. Ada yang ditunggu, ya," tanya Yosi seraya duduk di sampingku.

"Nggak," jawabku singkat. Aku mulai bosan ditanya macam-macam oleh Yosi.

"Nyinyir sekali gadis ini. Wajah cantik, tapi nyinyirnya kayak nenek-nenek saja," gerutuku dalam hati.


"Eh, Tom, cabut itu enak apa enggak, sih. Ajak-ajak, dong." Kupandang Yosi tak percaya. Kulihat mimik serius di wajahnya.

"Ngeledek, ya," suaraku meninggi

"Nggak, aku serius. Aku mau belajar cabut." Kutatap Yosi lekat-lekat. Dia tersenyum. Aku merasa tertantang.

"Kapan mau belajar cabutnya," tanyaku kemudian.

"Sekarang," Yosi menjawab pasti.

Siang itu Yosi kubawa putar-putar dengan astrea merah kesayanganku. Seluruh tempat mangkal selama ini kuper-

116

kenalkan padanya. Aku sungguh tak menyangka kalau bintang sekolah yang selama ini kuanggap takkan mau berteman dengan anak-anak berandalan seperti aku, ternyata mengikut saja ke mana kubawa. Dia tak menolak ketika kuajak duduk-duduk di Janjang Ampek Puluah. Dia juga tak menolak ketika kuajak mampir di panorama. Tak juga menolak ketika kubawa makan bakso di samping Yarsi. Begitu juga ketika aku berhenti di terminal sambil duduk dan melihat orang yang lalu lalang ke berbagai tujuan. Yosi tetap tak menolak. Dia juga menurut saja ketika kuperkenalkan dengan teman kongkow-kongkow

ku. Yang membuatku salut, tak ada sedikit pun rasa takut atau khawatir terpancar di wajahnya. Dia seakan-akan sudah terbiasa dengan duniaku. Sudah terbiasa berteman dengan para berandalan yang berasal dari bermacam status sosial.


"Tom, di mana, sih, enaknya cabut," ujar Yosi sambil meletakkan secangkir kopi dan stoples kacang tojin dihadapanku, ketika aku mengantarnya pulang setelah puas berkeliling. Aku menghela napas panjang sambil mulai menjangkau kacang tojin. Tahu saja Yosi makanan kesukaanku," ujarku dalam hati.


"Kalau hanya segitu rasanya cabut, alangkah ruginya kita, Tom. Apa, sih, yang kita peroleh dengan cabut?" Yosi duduk di kursi di depanku.

"Kepuasan," jawabku santai.

"Kepuasan? Kepuasan apa? Merasa hebat karena berani meninggalkan pelajaran? Mengapa tidak berhenti sekolah saja sekalian." Aku tertunduk. Kuresapi kebenaran kata-kata Yosi. Namun, aku malu mengakuinya.

"Yang kita peroleh ini adalah kepuasan semu, Tom. Kepuasan sesaat. Di balik kepuasan itu, tanpa kita sadari sebenarnya kita telah mengaburkan masa depan kita. Kita harus sadar, Tom, kita harus sadar bahwa masa depan kita terletak di tangan kita, terletak pada usaha kita sekarang. Apakah kamu tak ingin memiliki masa depan yang baik. Tom?" Aku tertunduk. Kebenaran kata-kata Yosi semakin dalam kurasakan.

"Tom, dalam hidup, kita punya kewajiban. Setidak-tidaknya ada dua kewajiban besar kita. Pertama, kita wajib bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan kita dengan sempurna. Caranya, gunakan kesempurnaan yang ada pada kita dengan sungguh-sungguh. Sadarlah, betapa banyaknya orang lain yang tidak sesempurna kita. Yang kedua, kewajiban kita membahagiakan orang tua. Salah satu cara membahagiakan orang tua adalah dengan berprestasi yang tinggi Dengan prestasi yang tinggi, kita beri kebanggaan kepada mereka. Mereka bangga pernah melahirkan kita sebagai anaknya.” Aku tertunduk semakin dalam. Tak sepatah kata pun yang mampu kuucapkan untuk menyanggah kuliah singkat yang diberikan Yosi kepadaku. Tak biasanya begini Biasanya, aku selalu punya kata untuk mementahkan kebenaran yang disampaikan teman-teman kepadaku Namun, pada Yosi, aku seakan-akan anak kecil yang tak mampu bicara.

“Apa sebenarnya yang kamu cari, Tom.” Aku menatap Yosi. Kuhela napas dengan pelan.

“Mencari sensasi? Atau, mencari perhatian?”

“Entahlah, Yos, aku pun tak tahu apa sebenarnya yang aku cari. Namun, yang pasti, dalam hatiku ada suatu keinginan untuk diperhatikan. Aku rasa, dengan tindakan yang kulakukan selama ini, aku akan memperoleh perhatian, terutama dari orang tuaku.”

“Memangnya, orang tuamu selama ini kurang perhatian.”

“Bukan kurang, mereka selama ini sangat memperhatikanku. Semua pintaku selalu dipenuhi. Ingin motor dibelikan motor, ingin HP dibelikan HP. Ingin sepatu dan pakaian mahal, tinggal sebutkan dan mereka pasti akan belikan. Namun, Yo, yang kuminta bukan perhatian seperti itu. Yang kuinginkan adalah perhatian secara batin. Aku ingin mereka tanya, bagaimana belajarku, bagaimana raporku bagaimana hubunganku dengan teman dan guru di sekolah, apa permasalahan yang kuhadapi. Itu yang kuminta. Namun, itu yang tak kudapatkan selama ini. Orang tuaku memperhatikanku secara salah, Yo.”

“Bukan salah, Tom, tapi mungkin mereka terlalu sibuk.”

“Ya, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Itu makanya, aku mencoba mencari perhatian,” ujarku.

“Makan lagi kacangnya, Tom. Bukankah kacang tojin makanan kesukaanmu.” Aku menatap Yosi dengan pandangan terkejut.

Kok, tahu.”

“Aku selalu memperhatikan apa yang kamu makan di kafe Sekolah ataupun di warung samping sekolah. Kamu selalu makan kacang tojin.”

“Ja ..., jadi?” aku tergagap.

“Ya, aku selama ini selalu memperhatikan kamu.” ,

Mulai saat itu kami jadi akrab. Entah siapa yang memulai. Setiap saat kami selalu bersama. Ketika jam istirahat tiba, aku selalu menyinggahinya ke kelas sebelum ke kafe. Pulang Sekolah pun, kalau tidak ada keperluan yang sangat penting, aku selalu mengantarkannya pulang. Di rumah pun begitu. Di saat-saat senggang aku belajar dengannya. Aku mencoba menjemput ketertinggalanku selama ini. Nasihat dan motivasi yang diberikan Yosi mampu mengubah diriku sehingga aku Yang sekarang berbeda 180 derajat dibandingkan yang dulu. Siswa rajin, patuh, penurut, santun, dan berprestasi mulai disampirkan di pundakku.

Walaupun sangat akrab, tak pernah sekali pun kanmi mempermasalahkan bagaimana hubungan kami. Keakraban kami adalah keakraban dua orang sahabat yang tulus. Sebenarnya, pernah juga terlintas di kepalaku untuk mempertanyakan status kebersamaan kami. Namun, aku tak Punya keberanian untuk mengutarakannya. Kharisma dan Wibawa Yosi yang begitu besar memupus keberanianku untuk menyampaikannya.

“Biarlah waktu yang menentukannya,” pikirku.

Waktu ternyata berkata lain.

Siang itu ketika sedang makan siang sepulang sekolah, tiba-tiba telepon berdering.

“Assalamualaikum, Tomi di sini, Dan siapa ini?” sapa ku Setelah mengangkat gagang telepon. "

“Tom, ini mama. Yosi dalam keadaan kritis, Tom...."kudengar suara cemas di balik gagang telepon. Kutahu itu Suara mamanya Yosi.

“Bagaimana dengan Yosi, Ma?” Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara isakan tangis.

“Ma..... ma, jawab ma,” aku berteriak-teriak di gagang telepon. Namun, tetap tak ada jawaban. Kuletakkan gagang telepon dengan terburu-buru. Lalu, dengan langkah setengah berlari kunaiki astrea merahku. Tujuanku hanya satu, secepatnya sampai di rumah Yosi. Berjuta tanya tersampir d! kepalaku sepanjang perjalanan. Apakah sakit Yosi semakit parah? Apakah daya tahan tubuh Yosi semakin memburuk? Memang, beberapa bulan belakangan, kesehatan Yosi mengalami penurunan. Menurut dokter, Yosi menderita kanker darah.

“Tom, Yosi telah pergi,” mama Yosi berteriak ketika aku sampai di ambang pintu. Aku terpaku. Serasa batinku ingi" menjerit. Tubuhku terasa lemah tak berdaya melihat jasa yang terbujur di tengah rurnah diselimuti kain panjang. Aku tahu, itu adalah jasad Yosi.

Aku tak bisa menahan air mata yang siap mengaliri pipiku. Tapi, aku berusaha tegar menerima kenyataan " walau di sudut lain aku merasa ada bahagian diriku yang hilang. Nasihat-nasihat Yosi yang selama ini mampu mengubah diriku takkan pernah kudapatkan lagi. Motivasi-motivasi Yosi yang senantiasa melecut semangatku ternyata harus berakhir. Keakraban dan kebersamaan kami juga harus terhenti. Ini semua karena kanker darah yang menggerogotinya diam-diam selama ini.

Namun begitu, aku tak mau mengecewakan Yosi. Aku ingat pesannya. Kita harus siap kehilangan karena yang kita miliki sekarang hanyalah titipan dari Yang Mahakuasa. Aku harus menggapai masa depanku tanpa Yosi. Selamat jalan, Yo.