Seri Pahlawan: Abdul Moeis/Bab 1
Sudah pernahkah Anda berkunjung ke Sumatra Barat? Belum? Mudah-mudahan kelak Anda dapat berkunjung ke sana.
Alam Sumatra Barat terkenal indah. Bukit Barisan sambung-menyambung dan berlapis-lapis. Danau Maninjau dan Danau Singkarak menambah semaraknya alam yang permai itu. Lembah Anai dan Ngarai Sianok terkenal keindahannya ke mana-mana. Dari leretan Bukit Barisan tersembul beberapa buah gunung. Dua buah di antaranya sangat terkenal. Kedua buah gunung itu berdiri berhadap-hadapan seolah-olah mengawal alam permai yang terbentang di bawahnya. Gunung itu ialah Gunung Merapi dan Gunung Singgalang.
Saya tidak akan mengajak Anda untuk menjelajahi seluruh daerah itu. Kita hanya akan pergi ke sebuah negeri kecil. Negeri itu terletak di kaki Gunung Merapi. Tempatnya tidak jauh di sebelah tenggara Bukittinggi. Negeri itu bernama Sungai Puar.
Negeri itu sangat terkenal di Sumatra Barat. Ibu-ibu yang memasak di dapur pasti mengenalnya. Para petani yang bekerja di sawah atau di ladang tentu mengenalnya pula. Sebab, ibu-ibu itu tentu menggunakan periuk dan kuali atau wajan. Para petani itu tentu menggunakan pacul dan sekop. Barang-barang itu adalah buatan Sungai Puar. Tetapi bukan hanya barang-barang itu saja buatan Sungai Puar, Masih banyak lagi yang lain. Pisau, parang, sterika, gergaji, juga dibuat di Sungai Puar. Mutu barang-barang itu cukup baik. Lagipula kuat. Karena mutunya yang baik itu, Sungai Puar sering disamakan orang dengan Solingen di Jerman
"Apa besi" adalah tempat memproduksi alat-alat rumah tangga, pertukangan dan pertanian.
Barat. Solingen adalah sebuah kota yang banyak menghasilkan barang-barang yang dibuat dari besi atau baja. Dalam zaman Belanda, Sungai Puar disebut orang Solingen van Sumatra. Karena itu Sungai Puar tidak hanya dikenal di Sumatra Barat, tetapi juga di daerah-daerah lain di Sumatra.
Di mana-mana di negeri itu menjulang cerobong asap. Cerobong itu adalah cerobong dari pabrik-pabrik kecil tempat barang-barang itu dibuat. Orang Sumatra Barat menamakan tempat itu apa basi, artinya tempat menempa besi. Karena itu Sungai Puar dikenal pula dengan nama nagari apa basi. Umumnya pabrik atau industri kecil itu merupakan industri rumah.
Di mana-mana terdengar hiruk pikuk bunyi besi yang ditempa. Semua orang sibuk melakukan pekerjaan masing-masing. Mereka menempa besi untuk dijadikan cangkul, kuali, pisau, dan sebagainya.
Di negeri itu, pada tanggal 3 Juli 1883, lahir seorang bayi laki-laki. Tak· ada yang istimewa pada bayi itu. Hanya saja, ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya bernama Haji Abdul Gani yang ketika itu menjadi Laras Sungai Puar. Laras itu kira-kira sama dengan camat pada masa sekarang. Selain menjadi laras, Haji Abdul Gani memiliki pula perusahaan korek api. Korek api itu terkenal dengan merek "Tuanku Laras Sungai Puar".
Ibu bayi itu berasal dari Koto Gadang, negeri yang terkenal maju di Sumatra Barat. Ia masih berfamili dengan keluarga Haji Agus Salim, seorang Pahlawan Nasional yang cukup terkenal. Koto Gadang terkenal pula, sebab banyak orang terpelajar Sumatra Barat berasal dari negeri itu.
Keluarga Haji Abdul Gani diliputi suasana bahagia. Di rumah gadang, wanita-wanita sibuk melayani tamu-tamu yang datang untuk menengok si buyung yang baru lahir. Maklumlah, anak itu adalah anak Tuanku Laras.
Bayi yang baru lahir itu diberi nama Abdul Moeis (baca: Abdul Muis). Sejak kecil sudah nampak, bahwa anak itu akan menjadi laki-laki yang gagah. Roman mukanya bagus. Kulitnya kuning langsat.
Abdul Moeis dibesarkan di tengah-tengah keluarga berada dan terpandang. Sejak kecil ia sudah terbiasa mendengar hiruk pikuk besi yang ditempa. Begitupun ia sudah biasa mendengar orang-orang bersilat lidah dan berdebat. Orang Minangkabau terkenal pandai berbicara.
Teman-temannya hormat kepadanya, sebab ia anak orang berpangkat. Karena itu, dalam pergaulan, ia mempunyai kelebihan dari teman-temannya. Dalam rombongan anak-anak yang sebaya dengannya, ia selalu menjadi pemimpin. Tetapi hal itu tidak membuatnya menjadi seorang anak yang sombong. Itulah sebabnya anak-anak lain senang bergaul dengan Abdul Moeis. Lagi pula, ia selalu bersedia membantu teman-temannya yang dalam kesulitan.
Sejak kecil ia sudah senang berdebat. Pendapatnya yang dianggapnya benar, akan dipertahankannya sebisa-bisanya. Kalau pendapatnya yang benar itu disalahkan orang, ia tidak segan-segan untuk berkelahi. Tetapi kalau karena berkelahi itu ia dihukum oleh ayahnya, hukuman itu diterimanya dengan tabah. Ia tidak mengeluh karena dihukum itu.
Di lingkungan anak-anak itu tentu ada satu atau dua orang yang agak nakal. Mereka sering mengganggu Abdul Moeis. Bila hal itu terjadi, tidak ayal lagi Abdul Moeis pasti akan melayangkan tinjunya kepada anak yang mengganggu itu. Perkelahian pun terjadi. Karena ia sering berkelahi, ayahnya menugaskan seorang ”opas” untuk mengawasinya.
Ia berani melakukan pekerjaan yang berbahaya. Tetapi keberanian itu hampir saja membawa malapetaka bagi dirinya. Pada suatu kali ia mengendarai ”kereta bugis”. Kereta itu dikemudikannya seorang diri. Ia tak mau membawa kusir. Abdul Moeis sangat bangga akan dirinya. Ia merasa sudah dewasa. Ia ingin memperlihatkan kepada teman-temannya, bahwa ia seorang yang berani.
Kuda yang menarik kereta itu dilecutnya berkali-kali. Akibatnya, kuda itu melarikan kereta sekencang-kencangnya. Abdul Moeis menjadi cemas. Ia tak dapat lagi mengendalikan keretanya. Hampir saja kereta itu masuk jurang. Hanya karena nasib baik, ia terhindar dari bahaya.
Ayahnya marah bukan main. Ia sangat sayang kepada Abdul Moeis. Kalau kereta itu rusak, dapat Abdul Moeis melecut kuda berulang-ulang.
digantinya. Tetapi kalau tangan atau kaki Abdul Moeis patah, dengan apa akan digantinya. Abdul Moeis menundukkan kepala. Mukanya pucat pasi. Ia tahu bahwa ia bersalah.
Sesudah peristiwa itu ia insyaf, bahwa perbuatan yang terlalu berani tidak baik. Apalagi kalau keberanian itu tidak diukur dengan kemampuan diri sendiri.
Orang Minangkabau terkenal mahir berpantun dan menggunakan pepatah-petitih. Pantun dan pepatah itu dipakai dalam percakapan sehari-hari. Banyak sekali pantun yang terkenal di daerah Minangkabau. Misalnya;
Keratau madang di hulu
berbuah berbunga belum
Ke rantau bujang dahulu
di rumah berguna belum
Dari pantun di atas dapat pula diketahui mengapa orang Minangkabau suka merantau.
Pada waktu itu malu sekali kalau ada anak muda yang tidak pandai berpantun. Ia akan diejek dan disindir sebagai berikut :
Seelok ini rupanya parak
agak sebuah tidak berdasun
Seelok ini rupanya awak
agak sebuah tidak berpantun
Kebiasaan dalam masyarakat itu berpengaruh terhadap Abdul Moeis. Dalam berbicara, ia terlatih bersilat lidah. Lingkungan masyarakat mendidiknya menjadi seorang yang pandai berbicara. Hal itu akan terlihat kelak waktu ia menerjunkan diri ke bidang politik. Kepandaian berbicara itu sangat berguna baginya.