X. Kenang-Kenangan Kepada Samsulbahri

sunting

Hari kira-kira pukul setengah tujuh, petang berebut dengan senja, siang hampir akan hilang, malam hampir akan datang.

Matahari yang telah menjalankan kewajibannya, yakni memberi cahaya dan panas kepada muka bumi yang sebelah timur, telah setengah jam lamanya terbenam ke bawah ujung langit, yang sebelah barat. Hanya bekas jejaknyalah yang masih kelihatan, mengembang dari tempat silamnya, ke atas, sebagai kipas besar, yang memancarkan bermacam-macam sinar yang permai warnanya. Bintang kejora, mulai bercahaya, sebagai suatu mustika, yang bersinar di tempat gelap. Bin-, tang yang lain pun, mulai pula gemerlapan cahayanya, sebagai berlian pada peniti, yang selalu digoyang oleh pegas.

Burung-burung yang melayang di udara, sekaliannya telah mencari sarangnya masing-masing, akan melepaskan lelahnya, sebab bekerja berat sehari-hari itu mencari rezeki, untuk kehidupannya, sehingga perlulah ia beristirahat, akan mengumpulkan tenaganya untuk keesokan harinya. Hanya burung murailah yang masih kedengaran kicau mengicau di puncak kayu, sebagai hendak mengucapkan selamat tidur kepada kawan-kawannya. Demikian pula ayam jantan, masih ada di luar kandangnya, menoleh ke segenap tempat, seolaholah hendak mengetahui, sudahkah masuk sekalian anak dan bininya ke dalam kandangnya. Tetapi induk ayam, telah lama ada di tempatnya, mengeram akan memanaskan anakanaknya yang masih kecil. Kelelawar telah meninggalkan tempatnya pula, terbang kian kemari dengan tiada kedengaran bunyi kelepaknya, memburu kelekatu yang melayang di segala tempat. Di bawah pohon kayu, kedengaran kumbang, terbang mencari mangsanya. Kupukupu malam kelihatan mengembangkan sayapnya yang berukirukiran itu, melayang ke atas dan ke bawah, terbang dipikat bunga sedap malam. Cengkerik pun mulai pula mengerit, seakan-akan orang yang sedang asyik mengaji dan berzikir di surau.

Sekonyong-konyong timbullah di sebelah timur, dari puncak gunung yang tinggi, perlahan-lahan dengan tiada berasa jalannya, putri malam yang cantik molek itu, sebagai bidadari baru turun dari kayangan. Datangnya itu adalah diiringkan oleh dayang pengasuhnya, yakni bintang-bintang yang mengelilinginya dan diwakili oleh beberapa pahlawan hulubalangnya, yaitu awan dan mega yang memagarinya.

Maksudnya menjelma itu, ialah akan menunjukkan wajahnya yang gilang-gemilang, kepada bumi, yang disinarinya dengan sinar yang lembut dan segar.

Alangkah senang dan sentosanya hati dan perasaan sekalian mahluk di muka bumi, menyambut kedatangan putri kamariah ini, sehingga terlipur rasanya duka nestapa mereka, karena ditinggalkan kekasihnya, raja siang itu. Amat indah paras mukanya yang bundar jemih itu, sebagai emas bam disepuh, melimpahkan cahayanya yang hening dan bening, sampai ke bawah-bawah pohon kayu dan ke celah-celah batu.

Sekalian hamba Allah, tua muda, besar kecil, yang mulamulanya hendak mencari tilam dan kasurnya, akan melepaskan lelahnya, karena peperangan di padang penghidupan yang baru dilakukannya, tertariklah kembali ke luar, sebab hendak merasai kesenangan dan kesedapan yang dikaruniakan oleh putri malam ini. Anak-anak yang biasanya telah mendekur di tempat tidur, keluarlah bermain-main, berkejar-kejaran dan bernyanyi di malam sunyi dan piatu itu.

Di muka rumah, banyak orang duduk bercakap-cakap dengan anak dan istrinya atau sahabat kenalannya, membicarakan hal-ihwal yang telah lalu atau sesuatu yang akan datang.

Di tepi laut kota Padang, terbayang-bayang di atas beberapa bangku sebagai orang duduk berdekatan, bercakap perlahanlahan. Siapakah mereka, yang telah sengaja mencari tempat yang sunyi-senyap ini, sebagai takut akan diganggu orang? Itulah asyik dan masyuknya, yang sedang melepaskan dahaga cinta berahinya. Mereka tiada ingat lagi akan dirinya dan tiada mengindahkan sekalian yang mengelilinginya; sebagai tak adalah baginya makhluk di atas dunia ini, lain daripadanya berdua. Dan sesungguhnya, mereka itulah orang sesenang-senang dan semujur-mujur manusia waktu itu.

Disuluhi oleh cahaya yang permai, dinyanyikan oleh geloinbang yang menderu-deru memecah di tepi pantai, tersembunyi di tempat yang lengang, bebas daripada segala keramaian, penglihatan dan pendengaran, memang dapatlah mereka merasai kenikmatan asmara sepenuhpenuhnya.

Di jalan raya, kelihatan kereta;kereta ditarik oleh kuda yang besar-besar, bersiar-siar perlahan-lahan kian kemari. Di pinggir jalan yang dilindungi pohon yang rindang-rindang, kelihatan beberapa orang bangsa Barat, berjalan berpegangpegangan tangan dengan istrinya, akan mengambil hawa yang sedap.

Akan tetapi, bila kedua asyik dan masyuk itu berjauh jauhan, seorang dengan yang lain, hilanglah segala kesenangan dan kesukaan tadi, berganti dengan duka dan sedih, yang menghancurkan hati. Segala yang pada waktu itu menambahkan kesukaan dan kesenangan, seperti tempat yang sunyi senyap, cahaya bulan yang permai, gelombang yang memecah di pasir pantai, angin yang bertiup sepoi-sepoi, sekalian itu akan terbalik menambahkan rindu dendam, yang disertai oleh sedih dan pilu yang amat sangat.

Demikian pula bagi dagang yang jauh di rantau orang, sekalian itu acap kali mendatangkan kesedihan hati serta rindu dendam yang tiada terkira-kira; karena teringat akan tanah air, rumah tangga, kampung halaman, ibu-bapa, sanak saudara, kaum keluarga, handai dan tolan, yang telah lama luput dari mata, tetapi tiada kunjung hilang dari hati. Terlebihlebih jika teringat bahwa Allah sajalah yang mengetahui akan untung manusia itu, entahkan terjejak kembali tanah tepi, entahkan tersangkut di rantau orang, sebagai kata pantun: Bergetah tangan kena cempedak, digosok dengan bunga karang. Entah berbalik entah tidak, entah hilang di rantau orang.

Jarang berbunga tapak leman, orang Padang mandi ke pulau. Orang berkampung bersalaman, dagang membilang teluk rantau.

Makin lama, makin malam, dan bulan pun mengambang kian bertambah-tambah tinggi. Anak-anak yang bermain-main bersorak-sorak tadi, tiadalah kedengaran lagi suaranya, karena telah lama berselimut di tempat tidurnya. Orang yang duduk bercakapcakap di muka rumahnya tiada pula kelihatan lagi; masingmasing telah masuk ke dalam rumahnya. Di jalan besar, bendibendi telah mulai kurang, dan orang pun hampir tak ada lagi. Tiada lama kemudian daripada itu sunyi senyaplah jalan raya yang ramai tadi. Hanya sekawan orang jaga, yang memakai serba hitam, masih kelihatan berjalan perlahan-lahan dengan tiada bercakap-cakap, supaya keadaan mereka jangan diketahui penjahat.

Kota yang ramai tadi menjadi sunyi senyaplah, sebagai negeri yang telah ditinggalkan orang. Sekaliannya tidur. Hanya di puncak kayu yang tinggi, masih kedengaran sejurus-sejurus bunyi burung pungguk, yang sedang merindukan bulan, mendayu-dayu antara ada dengan tiada, seakan-akan ratap tangis yang sedih, tersedu-sedu dengan putus-putus suaranya.

Hai Pungguk! Mengapakah engkau merindu sedemikian itu, seraya memandang dengan tiada berkeputusan kepada bulan yang tinggi itu? Apakah yang menjadikan sedih hatimu, dan apakah maksud perbuatanmu itu? "Aduh bulan, aduh jiwaku, jantung hatiku, cahaya mataku! Bilakah engkau turun ke dunia ini, melihat aku, yang telah sekian lama mengandung rindu dendam kepadamu? Bilakah engkau jatuh ke bumi, ke atas pangkuanku untuk mengobati luka hatiku, yang telah tembus kena panah berahi, yang telah kaulepaskan daripada busurnya menuju dadaku? Tiadakah belas dan kasihan hatimu, melihat aku selalu merayu di puncak kayu ini, merindukan engkau dengan tiada mengindahkan jerih dan lelah, hujan dan basah? Sampai hati gerangan engkau, melihat halku sebagai orang mabuk cendawan.

Adapun maksudku hendak terbang mendapatkan engkau, akan memperhambakan diriku yang hina ini kepadamu kalaukalau beroleh kasihan daripadamu, tetapi apatah dayaku? Sayapku yang lemah ini, tiada dapat membawa aku terbang lebih tinggi, dari pohon ini: Putih berkembang bunga kecubung, mati tiram di tepi pantai.

Maksud hendak memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.

Aduh, aduh! Bilakah dapat kusampaikan hasrat hatiku ini? Karena apabila telah sianglah hari kelak, bila telah datanglah suamimu raja Samsu, memancarkan sinarnya yang tajam ke segenap penjuru alam ini, haruslah aku lari bersembunyi ke tempat yang gelap, supaya jangan buta mataku ditembus panah suamimu."

Sebagai burung Pungguk ini meratap, menangis, merayu di puncak kayu, merindukan bulan yang tinggi di atas langit yang biru, demikian pulalah duduk seorang perempuan muda, termenung berawan hati, di jendela sebuah rumah di kampung Belantung di kota Padang; adalah sebagai seorang yang sedang merindukan kekasihnya, yang jauh dari matanya.

Jika ditilik pada rupanya, adalah perempuan ini seorang janda yang masih remaja kira-kira berumur tujuh atau delapan belas tahun. Rupanya cantik, badannya lemah semampai dan kulitnya kuning langsat. Rambutnya yang hitam lagi ikal itu, jatuh berlingkar-lingkaran di keningnya, sebagai rambut gadis bangun tidur. Sanggulnya yang besar itu tergantung bagaikan terurai pada kuduknya. Matanya yang lembut pemandangannya itu merenung dengan tiada berkeputusan, bulan, yang hampir diselimuti mega, di atas langit. Pada air mukanya nyata kelihatan, ia sangat berdukacita, karena dari matanya yang merah, jatuhlah berderai ke tanah, air matanya yang telah berlinang-linang di pipinya, sebagai mutiara putus pengarang. Tangannya yang putih kuning, dihiasi gelang emas ular-ularan, yang nyata kelihatan, tatkala lengan baju sutera jepunnya surut ke bawah, tiadalah lelah menopang dagunya, yang sebagai lebah bergantung.

Siapakah perempuan muda itu? Apakah sebabnya maka ia berdukacita sedemikian itu dan mengapakah pula maka selalu ia memandang kepada bulan yang tinggi di atas langit, sebagai di sanalah tempat yang menjadikan dukacita hatinya? "Aduh kekasihku yang sangat kucintai! Betapakah akhirnya aku ini? Karena semenjak aku kautinggalkan, adalah halku ini sebagai orang yang tiada bemyawa lagi dan adalah dunia ini rasanya telah menjadi sangat sempit, tiada lebih besar daripada engkau berdiri seorang diri, tempat aku bergantung: Jika begini condongnya padi, tentu ke barat jatuh buahnya.

Jika begini bimbangnya hati, tentu melarat badan akhirnya.

Jika begini naga-naganya, kayu hidup dimakan api. Jika begini rasa-rasanya, badan hidup rasakan mati.

Lurus jalan ke Payakumbuh, kayu jati bertimbal jalan. Hati siapa tidakkan rusuh, ayah mati kekasih berjalan. Anak Judah duduk mengarang, syair dikarang petang pagi: Alangkah susah hidup seorang, bagi menentang langit tinggi.

Jika 'ndak tahu di Tanjung Raja, bermalam semalam di kampung Pulai, mudik berkayuh ke Merangin, Cerana Nanggung di Supayang.

Jika 'ndak tahu diuntung saya, lihat kelopak bunga bulai, kalau pecah ditimpa angin, entah ke mana terbang melayang.

Wahai jantung hatiku, cahaya mataku! Betapakah sampai hatimu meninggalkan aku ini seorang diri dengan nasibku yang malang ini? Jika siang tiadalah lain yang kupikirkan, melainkan engkau dan untungku yang celaka ini. Bekerja yang lain tiada dapat, karena pikiranku selalu melayang. Walaupun badanku ada di sini, tetapi nyawaku tiadalah jauh daripadamu.

Wajah mukamu senantiasa terbayang-bayang di mataku.

Jangankan bekerja, sedangkan makan dan minum tiada ingin, karena nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri.

Tiadalah lain yang kukerjakan sehari-hari, melainkan duduk termenung bertopang dagu, memandang dengan tiada berkeputusan kepada benda yang tiada kulihat. Ini, lihatlah! Telah berapa lamanya aku duduk sedemikian ini, tiadalah kuketahui. Selalu kupandang bulan yang jauh di atas langit, karena ialah yang dapat memperhubungkan pemandangan kita berdua. Jika engkau pun melihat pula kepada bulan itu, niscaya bertemulah pemandangan kita di sana. Aduhai! Betapakah baiknya, bila bulan itu dapat pula menyambung perkataan dan perasaan kita! Apabila hari telah malam, tiadalah dapat kupejamkan mataku barang sekejap pun, karena bayang-bayangmu berdiri di mukaku. Suaramu terdengar di telingaku, ciunvnu terasa di pipiku. Walaupun aku telah tertidur, sebab lelah pikiran dan badanku, acap kali aku terbangun kembali, karena bermimpikan engkau. Wahai! Sebagai sungguhkah rasanya engkau datang kepadaku, akan menghibur hatiku yang kecewa ini dengan perkataan yang lemah-lembut, serta memeluk dan menciumku, akan memperlihatkan hatimu yang belas kasihan kepadaku. Maka hilanglah segala kesusahan dan duka nestapa yang menggoda pikiranku. Akan tetapi, ya Allah! Bila tersadar pula aku dan teringat, bahwa sekalian itu hanya permainan kalbuku saja dan nyata pula olehku, bahwa aku masih ada di dalam tempat tidurku, terbaring seorang diri, hanya ditemani oleh guling dan bantalku, bertarnbahtarnbahlah sedih hatiku dan hancur luluh rasa jantungku. Air mataku bercucuran membasahi bantal dan kasurku dan mataku tiada dapat kututupkan lagi.

Tatkala berkokoklah ayam bersahut-sahutan di segala tempat, barulah terperanjat aku, karena bunyi itu kudengar sebagai suaramu, mernanggil aku dari jauh. Bunyi ombak yang menderuderu memecah di tepi pantai, sebagai mengingatkan aku, bahwa kekasihku jauh di seberang lautan yang dalam, di balik gunung yang tinggi. Dadaku rasakan belah, tali jantungku rasakan putus. Maka menelungkuplah aku, menekankan dadaku ke bantal, akan menahan sakit yang mengiris hatiku, sehingga terkadang-kadang pingsanlah aku, tiada khabarkan diri. Waktu yang dua belas jam, menjadi dua belas tahun lamanya, karena lama menanti siang.

Bila menyingsinglah fajar di sebelah timur dan bersuitlah burung di dahan kayu, alamat hari akan s iang, bangunlah aku seorang diri, keluar perlahan-lahan, supaya jangan menyusahkan orang. Walaupun had masih gelap dan dingin, aku basuh mukaku, karena malu, kalau diketahui orang halku, melihat mataku yang bengkak dan merah: Tetapi hawa yang sejuk dan embun yang mengabut itu pun tiada juga dapat menyegarkan badanku dan menenangkan pikiranku, melainkan bertambahtambahlah sedih hatiku, sebab di sana nyata benar olehku buruk untungku, sunyi daripada scgala makhluk yang dapat mengobati penyakitku.

Sungguhpun pada siang hari banyak pekerjaan yang boleh dikerjakan, tetapi luka hatiku tak dapat ditawari dengan pekerjaan. Dan bila malamlah pula hari, penyakit yang hebat ini datang kembali berlipat ganda kerasnya, menggoda aku.

Wahai nasib yang malang, bilakah engkau lepaskan aku dari kungkunganmu? Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata perempuan ini, mengalir ke pipinya, yang dihiasi oleh sebuah tahi lalat yang hitam.

"Bagimu, kekasihku, karena engkau ada di negeri besar, tentulah kesusahanmu tiada seberapa, sebab banyak yang dapat mclipur hatimu. Tetapi aku yang ada di negeri Padang ini, terkurung dalam rumah yang kecil, tempat aku menumpangkan diriku yang malang ini, tiada beribu-bapa, tiada bersanak saudara, atau sahabat kenalan, siapakah 'kan dapat melipur hatiku ini? Seorang pun tiada.

Ya Allah, ya Tuhanku! Apakah sebabnya hamba-Mu disiksa sedemikian ini? Apakah kesalahanku, maka tiada boleh mendapat ampun dan maaf, supaya terlepas dari azab dunia ini, karena tiadalah sanggup rasanya hamba-Mu menanggung siksaan ini. Jika tiada lekas aku terlepas dari sengsara ini, niscaya luputlah badan dan nyawaku dari negeri yang fana ini.

Akan tetapi, bila sesungguhnya aku tiada akan mendapat ampun lagi, sebaik-baiknyalah dengan lekas diceraikan nyawaku dari tubuhku, karena tiadalah terderita lagi olehku azab yang sedemikian ini: Ya Allah, ya Rabbana, Tiadakah kasih hamba yang hina? Menanggung siksa apalah guna, Biarlah hanyut ke manamana.

Tiada sanggup menahan sengsara, Sebilang waktu mendapat cedera, Dari bencana tidak terpiara, Seorang pun tiada berhati mesra.

Mengapakah untung jadi melarat? Bagai dipukul gelombang barat, Suatu tak sampai cinta dan hasrat, Kekasih ke mana hilang mengirat? Apakah dosa salahku ini? Maka mendapat siksa begini, Badan yang hidup berasa fani, Seorang pun tiada mengasihani.

Semenjak ayahku telah berpulang, Godaan datang berulang-ulang, Sebilang waktu berhati walang, Untung yang mujur menjadi malang.

Ditinggal ibu ditinggal bapa, Kekasih berjalan bagaikan lupa, Sudahlah malang menjadi papa, Penuh segala duka nestapa.

Mengapa nasib hamba begini? Azab siksaan tidak tertahani, Jika tak sampai hayatku ini, Biarlah badan hancur dan fani.

Aduhai bunda, aduh ayahda! Mengapa pergi tinggalkan ananda? Tiada kasihan di dalam dada, Melihat yatim berhati gunda.

Mengapa ditinggalkan anak sendiri? Biasa dijaga seharihari, Sakit sebagai inengandung duri, Ke mana obat hendak dicari?"

Maka bercucuranlah pula air mata perempuan ini, jatuh berderai tiada berasa. Tatkala kedengaran kokok ayam bersahutsahutan, karena hari telah pukul dua malam, bertambahlah pilu dan sedih hatinya, lalu menangkup ke jendela, menangis tersedusedu, karena terkenang akan nasibnya yang malang; sudah yatim piatu, mendapat pula beberapa kesengsaraan yang amat sangat.

Sedang ia menangis sedemikian itu, tiba-tiba dirasainya bahunya dipegang orang dari belakang dan didengamya suara yang lemah-lembut, demikian bunyinya, "Nur, belum juga kautidur? Hari telah jauh malam; lonceng telah berbunyi dua kali."

Tetapi pertanyaan ini tiada dapat disahuti oleh Sitti Nurbaya, yang sedang menangis, menyadari untungnya, di runiah saudara sepupunya Sitti Alimah, di kampung Belantung.

"Pada sangkaku engkau telah tidur, karena engkau lekas masuk ke bilikmu tadi. Kalau aku tahu engkau masih bangun, tetulah aku datang menemani engkau di sini."

Perkataan ini pun belum dapat disahuti oleh Nurbaya karena belum dapat ia mengeluarkan suaranya, sebab hatinya terlarnpau arrlat sedih.

"Tutuplah jendela ini, Nur, supaya engkau kelak jangan mendapat penyakit! Rasailah angin yang masuk ini!" Lalu Alimah memegang tangan Nurbaya perlahan-lahan, seraya mengangkatnya dan memimpinnya ke tempat tidurnya.

Setelah didudukkannya Nurbaya, yang sebagai tiada sadar akan dirinya, di tempat tidurnya, pergilah ia menutup jendela tempat Nurbaya duduk menangis tadi. Tatkala itu terperanjatlah ia amat sangat, karena tampak olehnya di bawah jendela itu, seakan-akan ada orang yang memakai serba hitam, bersembunyi. Hendak ia menjerit, takut kalaukalau orang itu memaksa dia membukakan jendela itu kembali. Jika demikian, apalah dayanya, karena waktu itu lakilaki tak ada dalam rumah. Oleh sebab itu dengan gopohgopoh dikuncinya jendela uni, lalu pergilah ia mendapatkan Nurbaya,.yang sedang duduk termenung, melihat gambar Samsulbahri, yang ada dalam medaliunnya. Kemudian duduklah ia di s isi Nurbaya, memegang tangan kirinya, sedang tangannya yang lain mengusap-usap rambut adiknya ini, sambil berkata perlahan-lahan, "Nur, janganlah engkau turutkan benar hatimu yang sedih itu! Sabarkanlah sedikit! Tiadakah engkau kasihan akan dirimu? Lihatlah, badanmu telah kurus, mukamu telah pucat dan matamu telah bengkak, karena menangis bersedih hati sehari-hari. Apakah jadinya engkau kelak, jika selalu berawan hati, sebagai ini?"

Sungguhpun Alimah berkata-kata itu, tetapi pikirannya masih juga kepada orang yang telah dilihatnya di bawah jendela tadi. Siapakah orang ini dan apakah maksudnya di sana, tiada dapat dipikirkannya. Maka diberanikannya hatinya, supaya jangan nyata takutnya oleh Nurbaya.

"Lim, perkataanmu itu benar sekali," sahut Nurbaya yang baru dapat berkata-kata, dengan sedih dan putus-putus suaranya. "Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, atas kesudian hatimu, menolong aku yang tengah berdukacita ini.

Di dalam halku ini, hanya engkau seoranglah yang masih setia kepadaku; suka bersusah payah memimpin aku, supaya aku jangan sesat kepada jalan yang salah. Engkaulah yang selaiu masih menghiburkan hatiku dan engkaulah yang masih sudi memberi nasihat yang baik kepadaku. Oleh sebab itu, bagiku pada waktu ini, engkaulah jua yang menjadi ganti Ibu bapaku."

Tatkala menyebut kedua perkataan yang akhir ini, berlinanglinanglah pula air matanya lalu meratap, "Aduhai Ibubapaku yang kucintai! Sampai hati Ayah-bunda meninggalkan ananda seorang diri, dengan nasib yang malang ini'. Apakah sebabnya tiada dibawa bersama-sama supaya terlepas ananda daripada azab yang tiada terderita ini."

"Nur, adikku yang manis!" kata Sitti Alimah, yang sangat cinta dan sayang kepada Nurbaya. "Itu bukan tanda engkau sayang kepada orang tuamu. Engkau tahu, mereka sedang berjalan, menempuh jalan yang sulit, akan mendapatkan Tuhannya. Bila engkau panggil dan engkau tangisi juga, tentulah akan tertahan-tahan mereka di dalam perjalanannya.

Sudahlah, jangan dipanggil-panggil jupyang telah berpulang itu! Senangkanlah hatimu dan doakanlah kepada Tuhan, mudahmudahaq selamat mereka di dalam kubur!"

Setelah sejurus, berkata pula Nurbaya, "Lim, kebaikanmu ini tiada dapat kubalas, melainkan kupohonkanlah siang dan malam kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, moga-moga dilimpahkannya rahmat dan rahim, berlipat ganda kepadamu, supaya bolehlah engkau mendapat selamat dan kesenangan dunia akhirat."

"Nur, jangan berkata begitu!" jawab Alimah, "atas pekerjaanku ini, tak perlu kau ininta terima kasih, sebab aku berbuat demikian, bukan karena berharap barang sesuatu daripadamu sebagai pembalasan, tetapi semata-mata sebab aku sangat kasih dan sayang kepadamu. Maklumlah, aku ini sebagai engkau pula, tiada bersaudara, melainkan hidup menunggal diri. Oleh sebab itu pada perasaanku, engkaulah adikku dunia akhirat, tempat aku bergantung, tempat aku melindungkan diri dan menyerahkan nasibku, yang jauh daripada baik ini. Tambahan pula, seharusnyalah aku membantu engkau dalam segala halmu. Jika tiada aku, siapa lagi?" kata Sitti Alimah pula, sambil mengurut-urut rambut dan tangan Nurbaya.

"Itulah sebabnya maka segala nasihatmu hendak kuturut, kutaruhkan dalam hati, dan itulah pula sebabnya maka aku selalu mencari daya upaya, supaya jangan sampai mengecilkan hatimu. Akan tetapi, apa dayaku, Lim? Walaupun kulipur hatiku, walaupun kucoba menghilangkan kenang-kenangan yang menggoda pikiranku tiadalah dapat juga: makin dilupakan makin teringat, makin dijauhkan makin dekat, makin dienyahkan makin datang. Putus pengharapanku, akan dapat menyenangkan hatiku," sahut Nurbaya dengan berlinanglinang air matanya, sambil memeluk Alimah.

Oleh Alimah dipeluknya pula adiknya ini dan diciumnya pipinya, seraya berkata dengan manis suaranya, "Walaupun demikian, janganlah putus asa, melainkan perbanyaklah juga sabar dan tawakkal kepada Seru Sekalian Alam, karena Tuhan itu pengasih penyayang. Bukankah segala sesu,atu terjadi atas kehendaknya? Masakan tiada dipertemukannya engkau dengan kekasihmu dan tiada disampaikannya hasrat yang kaucita-citakan slang dan malam itu? Masakan selalu hujan dengan tiada berganti-ganti panas'? Barangkali pada waktu ini, belurn masanya engkau beroleh keinginan hatimu itu; oleh sebab itu sabarlah dahulu!"

"Memang, Lim; pada mulanya demikianlah pikiranku.

Dengan pengharapan itulah kulipurkan hatiku yang rawan ini.

Tetapi entah apa sebabnya, tiada kuketahui; pengharapan itu makin lama makin kurang, sehingga akhirnya putuslah ia.

Tiaptiap aku berpikir, seperti kaukatakan tadi, sebagai ada pula suatu suara yang timbul dalam hatiku, mengatakan, pengharapanku itu akan s ia-sia belaka, karena dalam dunia ini tiadalah akan disampaikan Tuhan cita-citaku itu dan tiadalah pula akan dikabulkan-Nya permintaanku itu, meskipun hasrat berurat berakar dalun hatiku.

Aduh, Lim! Jika kauketahui, betapa beratnya bagiku akan meninggalkan dunia ini dengan penghaharapan yang sedemikian, tentulah tiada heran engkau, melihat haiku sebagai ini. Bukannya aku takut mati, bukannya aku sayang akan nyawaku, istimewa pula sebab di sana ada ibu-bapaku menanti aku. Tetapi... bagaimanakah halnya kekasiliku itu, sepeninggal aku kelak?"

"Nur, pikiranmu itu salah. Mustahil...! Ah, tak dapat kubenarkan! Masakan engkau..." perkataan ini tak dapat diteruskan oleh Alimah, karena khawatir, kalau-kalau benar persangkaan Nurbaya ini. Teristimewa karena nyata kelihatan olehnya putus asa yang terbayang di muka adiknya ini. Oleh sebab itu dicobanyalah mengenyahkan was-was hatinya ini dengan membujuk Nurbaya pula, "Jika engkau bersangka demikian, tentulah karena engkau sakit, sehingga pikiranmu tiada tetap. Sebaik-baiknyalah kau usahakan dirimu dengan sebesar-besar usaha, supaya pikiranmu itu menjadi baik kembali. Jika tiada, tentulah penyakitmu akan bertambahtambah keras. Dan ingatlah, bahwa badan dan nyawamu pada waktu ini bukan milikmu sendiri saja lagi. karena dua orang yang lain, yaitu Samsu dan aku, telah menjatuhkan cinta kasih sayangnya kepadamu. Bila terjadi apa-apa atas dirimu, niscaya kami berdua pun akan berdukacita dan bersedih hati pula. Oleh sebab itu, jika benar engkau cinta kepada Samsu dan suyang kepadaku, jagalah dirimu baik-baik, supaya jangan sampai mendapat sesuatu hal. Bila kausia-siakan dirimu, tandanya eqgkau tiada cinta kepada Samsu dan tiada sayang kepadaku."

"Aku tiada sayang kepadamu dan tiada cinta kepada Samsu?" tanya Nurbaya, sambil mengangkat kepalanya.

"Hanya Allah yang mengetahui hatiku kepadamu berdua.

Tetapi sesungguhnya, Lim, tiada dapat kuketahui, apakah sebabnya perasaan yang memutuskan pengharapan ini, kian lama kian bersarang dalam hatiku, mengalahkan harapan yang kauberikan.

Pada pikiranku, sebaik-baiknya kautunjukkanlah suatu jalan kepadaku, supaya aku dapat bertemu kembali dengan dia.

Apabila aku telah bertemu dengan dia, biarlah terjadi atas diriku, apa maunya. Aku hendak melihat mukanya sekali lagi, hendak mendengar suaranya sekali lagi. Aku hendak melihat sendiri pada air mukanya, bagaimana hatinya kepadaku sekarang ini.

Aku hendak mendengar sendiri dan mulutnya, betapa perasaannya kepadaku, sejak ia diusir ayahnya. Barangkali juga ia tiada cinta lagi kepadaku atau ia marah kepadaku dan menyesal akan perbuatannya." kata Nurbaya pula. sambil menutup mukanya, hendak menahan air matanya yang keluar, lalu menangkup kepada Alimah.

Alimah dengan segera mengangkat kepala Nurbaya perlahanlahan, lalu menyapu air matanya dengan sehelai setangan sutera, sambil berkata, "Bagaimana perkataanmu, Nur? Dahulu engkau sendiri mengatakan, ia sangat cinta kepadamu dan engkau hampir setiap Jumat mendapat surat dari padanya, yang menyatakan cinta hatinya dan kasih sayangnya kepadamu. Betapa pula engkau boleh berpikir seperti ini?"

"Ah Lim, surat itu dapat dikarang-karang. Yang tak bernar pun, dapat dituliskan. Bunyi surat tiada selamanya bunyi perkataan, yang timbul dari hati. Kalau benar ia masih cinta kepadaku, masakan ditinggalkannya aku, dibiarkannya aku dengan nasibku sedemikian ini? Ia berjalan tiada memberi tahu kepadaku. Memang laki-laki mulutnya manis, tetapi hatinya jarang yang lurus," jawab Nurbaya.

"Nur, ingat akan dirimu! Jangan diturutkan godaan setan! Engkau sakit, sakit keras. Itulah sebabnya pikiranmu tiada tetap. Akan Samsu, walaupun engkau lebih tahu hatinya daripada aku tetapi aku bukan percaya saja, bahkan berani menanggung, bahwa ia bukanlah seorang laki-laki yang mengubah janji atau berhati lancung, melainkan seorang yang lurus hati, setia, boleh dipercayai, pengasih, penyayang dan sabar. Cintanya kepadamu bukan bohong, karena sejak kecil ia kasih dan sayang kepadamu. Mengapakah sampai berubah hatimu kepadanya? Bukannya aku hendak memenangkan dia, sebab ia bukan kaum keluargaku, sedang engkau saudaraku yang sangat kucintai. Sungguhpun demikian, persangkaanmu itu tak dapat kubenarkan. Apakah salahnya, maka sampai bertukar pikiranmu kepadanya, Nur? Alangkah sedih hatinya, bila diketahuinya pikiranmu itu!"

"Ya, Lim," sahut Nurbaya, sambil memegang dan mencium tangan saudaranya, sedang air matanya mengalir kembali.

"Benar pikiranmu itu; memang aku ini sakit dan pikiranku tiada keruan. Memang tiada patut aku berpikir sedemikian, karena belum ada kesalahan Samsu, yang nyata kepadaku.

Ya, memang pikiraiiku tiada betul. Maui dan ampun, Lim, akan kesalahan adikmu yang celaka ini! Kepadamu pun aku banyak minta maaf dan ampun, Sam, atas perkataan dan syak wasangkaku tadi," kata Nurbaya pula, sambil memandang potret Samsulbahri, yang ada dalam medaliunnya itu. Kemudian dicium dan ditaruhnya gambar itu ke atas dadanya. "Aku dakwa engkau, atas perbuatan, yang tentu tiada kaulakukan; aku hukum engkau, dengan tiada berdosa. Tetapi janganlah engkau berkecil hati, karena sesungguhnya aku sakit; tak tahu, apa yang kuperbuat. Bila penyakitku ini tiada diobat dengan penawarnya, tentulah tiada akan sembuh. Oleh sebab itu lekaslah beri obat yang mustajab, supaya aku dapat baik kembali. Jika tiada lekas kautawari, tentulah aku tiada dapat hidup lama lagi di atas dunia ini dan sia-sialah maksudmu, hendak membela aku.

Dan engkau, Lim, ibu-bapaku yang kedua. Tunjukkanlah olehmu suatu jalan, supaya bangat aku terlepas dari neraka dunia ini!"

"Nur," jawab Alimah, "jalan akan mengobati luka hatimu itu, mudah benar. Bukankah masih banyak kapal di laut yang dapat mempertemukan engkau dengan dia?"

Setelah berpikir sejurus, berkata Nurbaya, "Sungguh benar katamu itu; sebab ia tentu tiada akan datang lagi ke Padang ini karena negeri ini mungkin telah dihitamkannya."

"Jika demikian, tentulah engkau yang harus pergi kepadanya," jawab Alimah. "Takutkah engkau berlayar sendiri ke Jakarta? Orang yang akan mengantarkan engkau ke sana, dapat dicari. Pak Ali yang sangat cinta kepada Samsu, kabarnya telah berhenti menjadi kusir bapanya, sebab ia bersedih hati, Engku mudanya itu diusir oleh bapanya.

Tentulah ia mau membawa engkau ke Jakarta."

"Bukan aku takut," kata Nurbaya, "walau ke laut api sekalipun aku berani, asal dapat bertemu dengan dia. Memang hal ini sudah juga kupikirkan, karena hanya dengan jalan inilah aku dapat memperoleh maksudku. Tetapi kupikir pula, bila aku telah sampai ke sana, apa yang hendak kuperbuat? Karena engkau maklum, ia masih murid, belum bergaji.

Walaupun ia suka menerima aku, dengan apakah kami akan hidup, sebab kami baik, di negeri besar!"

"Tetapi pada pikiranku, kalau benar ia cinta kepadamu, tentulah ada juga suatu akal padanya, untuk dapat hidup berdua dengan engkau. Masakan seorang laki-laki, yang cukup kepandaiannya sebagai Samsu, tiada dapat mencari muslihat yang baik, di negeri besar!"

"Memang ia dahulu sudah berkirim surat kepadaku, menyuruh aku pergi ke Jakarta, sebab ia kasihan akan daku dan khawatir, aku membunuh diri.

Maksudnya hendak meninggalkan sekolahnya dan akan mencari pekerjaan, supaya kami dapat hidup berdua. Tetapi adakah baik, bila kuturutkan pikirannya ini? Kuasakah aku menarik ia dari pelajaran yang boleh mendatangkan pangkat dan gaji yang besar kepadanya kelak? Ah, jika aku kaya, tiadalah kupikirkan lagi; tentu segera kubenarkan pikirannya ini dan tiadalah kuberi ia bekerja, supaya mendapat kesenangan, terlebih daripada raja. Tetapi apa hendak dikata...?" lalu Nurbaya menghapuskan air matanya yang berlinang-linang.

"Biarpun engkau tiada kaya, asal aku mampu, tentulah segala maksudmu kusampaikan. Akan tetapi, sebab kita bukannya hartawan yang mempunyai gedung di darat, kapal di laut, pada pikiranku tiada ada jalan lain, daripada membenarkan pikiran itu. Jika untungmu berdua kelak baik, tentulah akan kauperoleh juga kesenangan dan kekayaan itu."

Setelah berpikir sejurus, berkatalah Nurbaya, sambil mengeluh, "Ya, memang, tak ada jalan lain. Baiklah kuturut pikiranmu dan pikirannya itu. T etapi dari mana dicari belanja?"

"Kaugadaikan barang-barangmu yang tiada perlu kaupakai dan kaujual barang-barangku setengahnya," sahut Alimah.

"Memang engkau lebih daripada saudara kandungku," kata Nurbaya pula, sambil mencium Alimah pada pipinya.

"Jadi, benar telah tetap maksudmu hendak berangkat?" tanya Alimah. "Dan bila engkau hendak berangkat?"

"Hari Saptu yang akan datang. Tetapi rahasia ini janganlah kaubuka dahulu, Lim, sebelum aku selamat sampai ke tanah Jawa, supaya jangan mendapat alangan apa-apa. Bila orang tuamu tahu maksudku itu, niscaya tiadalah akan diizinkannya aku pergi sendiri."

"Teritu tidak, kecuali kalau Pak Ali, yang membawamu," jawab Alimah. "Sekarang sudah senangkah pikiranmu?"

"Sudah." jawab Nurbaya.

"Maukah engkau berjanji, tidak akan termenung-menung, berawan hati lagi atau menangis tersedu-sedu?" tanya Alullah pula.

Pertanyaan itu tiada dijawab oleh Nurbaya melainkan dipeluk dan diciumnya pula Alimah, sambil berkata, "Memang engkau seorang bidadari, yang selalu menolong aku dalam segala kesusahanku."

"Nah, sekarang tidurlah dengan senang, sebab hari telah pukul setengah empat pagi! Biarlah aku tidur di s ini menemani engkau. Jika tidak, kelak engkau menangis pula, sebab waktu yang beberapa hari itu, terlalu lama bagimu," kata Alimah dengan bergurau kepada adiknya ini, lalu merebahkan dirinya ke kasur, serta membawa Nurbaya tidur. "Sekarang peluklah aku dan misalkan aku Samsu serta mimpikanlah ia!"

Nurbaya tiada menyahut cumbuan saudaranya ini melainkan dengan tersenyum dan mata yang masih basah, diciumnya pula Alimah, lalu berbaring.

Tiada berapa lama sesudah itu, tertidurlah Nurbaya dalam pelukan Alimah. Maka dipandanglah muka Nurbaya oleh Alimah beberapa saat lamanya dan nyata kepadanya, bahwa di muka adiknya itu, masih terbayang kedukaan, tetapi yang disertai pengharapan.

Tatkala ia hendak menutupkan matanya, terdengarlah olehnya bunyi langkah orang, keluar dari bawah rumahnya.

Maka berdebarlah hatinya, karena teringat pula akan bayangbayang yang dilihatnya, ketika akan menutup jendela bilik itu tadi. Tetapi seketika lagi sunyi senyaplah di sana.

Sungguhpun demikian, diniharilah baru Alimah tertidur, karena takut dan heran memikirkan orang yang dilihatnya tadi.