Sitti Nurbaya/Bab 12
XII. Percakapan Nurbaya Dengan Alimah
sunting"Bum, bum!" bunyi tabuh. Seketika lagi kedengaranlah orang bang di langgar dan mesjid, karena magrib telah ada, waktu orang akan sembahyang.
Ahmad Maulana dan istrinya, kelihatan berjalan menuju ke tikar sembahyang, lalu sujud ke hadirat Tuhan, dua laki-istri.
Tiada berapa lama kemudian, selesailah mereka daripada berbuat bakti kepada Tuhannya, itu: tetapi Ahmad Maulana tiada lekaslekas berdiri dari tikar sembahyangnya, melainkan terus membaca doa, sampai kepada waktu isya, lalu sembahyang pula.
Tatkala itu kelihatan Alimah dan Nurbaya menyediakan makanan di atas tikar rumput, yang telah dialas dengan kain putih, terbentang di tengah rumah. Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, duduklah Ahmad Maulana makan, dihadapi istrinya; sedang Alimah dan Nurbaya, duduk jauh sedikit dari sana, sebagai menunggu, kalau-kalau Ahmad Maulana minta apa-apa.
"Sedih hatiku melihat untung Rapiah tadi. Baru berumur delapan belas tahun, telah meninggal dunia. Lebih-lebih sebab ia meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Yang tua, perempuan, baru berumur tiga tahun dan yang bungsu, laki-laki berumur tengah dua tahun," kata Ahmad Maulana, sambil menyenduk sayur-sayuran ke piringnya.
"Ya, memang kasihan benar," jawab istrinya. "Siapakah yang akan memelihara anak-anak ini?" .
"Itulah yang menambahkan sedih hatiku," kata Ahmad Maulana pula, "sebab tak ada kaumnya yang mampu, yang akan mengambil dan memelihara kanak-kanak ini. Yang mati, sudahlah; tidak dipikirkan lagi; barangkali ia telah senang, karena telah terlepas daripada segala azab dunia; melainkan dengan doalah harus dibantu, supaya dilapangkan Allah juga ia dalam kuburnya. Tetapi anak-anak yang tinggal ini, bagaimanakah halnya kelak? Sekecil itu, sudah tak beribu lagi."
"Ayahnya bukankah masih ada? Masakan tiada diperdulikannya anak-anaknya?" jawab Fatimah, istririya.
"Ayahnya?" tanya Ahmad Maulana, sambil memandang istrinya dengan merengut. "Uh, masakan mau ia menanggung beban itu! Bukankah telah menjadi adat di sini, anak pulang kepada mamak. Orang bangsawan sebagai Sutan Hamzah pula, 'kan suka menyelenggarakan anaknya; sedangkan dirinya sendiri tak terurus olehnya! Berapa banyak anaknya di kota Padang ini, yang tiada diindahkannya. Lebih-lebih sekarang ini, karena ia rupanya sedang asyik kepada istri mudanya.
Walaupun ia sudi memelihara anak-anaknya ini sekalipun tentulah akan bertambah-tambah juga sengsara anak ini; sebab mereka niscaya akan diserahkan kepada ibu tirinya itu.
Engkau tahu sendiri betapa kelakuan perempuan kepada anak tirinya. Dalam seratus, jarang seorang yang baik. Hampir sekaliaiinya memandang anak tirinya, sebagai musuhnya; sebab anak madunya. Anak-anak yang tiada bersalah dan tiada tahu apa-apa dalam perkara orang tuanya, disiksanya dan dideranya akan melepaskan sakit hatinya kepada madunya yang telah tak ada lagi dan yang acap kali tiada berdosa, bahkan teraniaya, karena suaminya dirampas orang."
Rupanya kebenaran perkataan ini tiada dapat dibatalkan oleh Fatimah; oleh sebab itu berdiamlah ia sejurus kemudian bertanya pula ia dengan memutar haluan percakapannya, "Tetapi apakah sakitnya Rapiah itu?"
"Sakitnya yang sebenarnya tiada kuketahui. Kata setengah orang demam-demam saja dan kata setengahnya batuk darah. Ada pula yang mengatakan sakit dalam badan.
Khabarnya, semenjak ia berkelahi dengan suaminya, sebab ia marah, Sutan Hamzah kawin dengan istrinya yang baru ini, tiadalah ia bangun lagi, sampai kepada waktu mautnya, karena ia kena terjang suaminya itu.
Entah mana yang benar, tiada kuketahui. Tetapi kabar ini tak guna diceritakan pula kepada siapa pun; kalau kedengaran oleh polisi, jadi perkara, nanti. Bukannya kita boleh terbawabawa saja, tetapi kalau sampai Sutan Hamzah terhukum, bermusuhmusuhanlah kita dengan Penghulu Sutan Mahmud.
Dan lagi apakah jadinya dengan anaknya yang masih kecilkecil itu kelak? Ibu mati, bapa terbuang."
"Masakan hamba gila, membukakan rahasia ini," jawab Fatimah.
Tatkala itu kelihatan Nurbaya berdiri, lalu masuk ke dalam biliknya, sebagai hendak mengambil apa-apa, tetapi sesungguhnya hendak menyembunyikan air matanya, yang keluar, tak dapat ditahannya, karena ingat akan nasibnya sendiri, hampir sama dengan perempuan yang baru berpulang dan anaknya yang ditinggalkannya itu.
Setelah keringlah air matanya, barulah ia keluar pula dan kelihatan olehnya mamandanya sudah selesai makan, lalu membasuh tangannya.
"Alimah, coba ambil rokokku dari dalam bajuku!" kata Ahmad Maulana. Alimah segera berdiri mengambil rokok itu dan memberikannya kepada ayahnya.
"Sekarang makanlah kamu sekalian!" kata Ahmad Maulana pula, sambil membakar rokoknya.
Alimah dan Nurbaya mendekatlah ke sana, lalu makan bersama-sama dengan Fatimah.
"Sebenarnya pikiranku, sekali-kali tiada setuju dengan adat beristri banyak; karena terlebih banyak kejahatannya daripada kebaikannya," kata Ahmad Maulana, sambil termenung mengembuskan asap rokoknya. "Banyak kecelakaannya yang sudah kudengar dan banyak sengsaranya, yang sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri."
"Ya, tetapi sudah adat kita begitu; bagaimana hendak diubah? Dalam agama kita pun tiada dilarang laki-laki beristri lebih dari seorang. Bila kita beranak laki-laki, alangkah malunya kita, walaupun kita bukan orang berbangsa tinggi sekalipun bila anak kita itu hanya seorang saja istrinya; sebagai orang yang tak laku kepada perempuan," jawab Fatimah.
"Jadi aku ini tak laku kepada perempuan, sebab istriku hanya engkau scorang? Engkau tiadakah malu pula Alimah, sebab ayahmu tak laku kepada perempuan lain?" tanya Ahmad Maulana kepada anaknya, seraya tersenyum.
Aliniah tiada menjawab pertanyaan ayahnya ini, melainkan tunduk kemalu-maluan.
"Rupanya Mak Mudamu ini, suka kepada laki-laki yang beristri banyak, Nurbaya; sebab itu baiklah kaupinangkan aku perempuan barang selusin lagi. Kalau tiada, ia nanti minta surat cerai kepadaku, sebab malu, kepada orang, suaminya tak laku kepada perempuan," kata Altmad Maulana pula.
Nurbaya pun tiada berani menjawab olok-olok itu hanya tersenyum, karena dilihatnya Mak Mudanya merengut.
"Suatu lagi yang tak baik," kata Ahmad Maulana; sedang senyumnya hilang dari birinya, "perkawinan itu dipandang sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual kepada laki-laki, artinya si laki-laki harus memberi uang kepada si perempuan; akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh perempuan, sebab perempuan; memberi uang kepada lakilaki.
Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan hanya diperhubungkan oleh . tali uang saja atau karena keinginan kepada keturunan yang baik; sekali-sekali tidak dipertalikan oleh cinta kasih sayang.
Itulah sebabnya tali silaturahim antara suarni dan istri mudah putus, sehingga lekas bercerai kedua mereka. Bila telah bercerai, tentulah si laki-laki beristri pula dan si perempuan bersuami kernbali. Jadi laki-laki banyak istrinya dan perempuan banyak suaminya.
Pada bangsa Barat, biasanya suami dan istri tiada diperhubungkan oleh tali uang atau harta, melainkan terutama oleh tali percintaan dan kasih sayang. Karena itulah maka perhubungan mereka lebih erat sebab cinta kasih sayang itu, acap kali tiada mengindahkan harta, bangsa atau pangkat, Lagi pula, mereka itu terikat oleh perjanjian setia yang seorang kepada yang lain; tak boleh bercerai, bila tak ada sebab yang penting, sehingga bertambah kuatlah perhubungan itu."
"Ah, mengapa pula kita kan menurut adat kafir itu," jawab Fatimah, sambil membasuh tangannya, sebab telah selesai makan: Alimah dan Nurbaya mulailah mengangkat sisa-sisa makanan, lalu menyuruh cuci piring dan mangkuk, bekas tempat makan, kepada bujang.
Sungguhpun Nurbaya bekerja, tetapi telinganya selalu dipasangnya, akan mendengar perkataan Bapa Mudanya, karena buah pikirannya sesuai benar dengan pendapatnya.
"Mereka itu kafir, kata kita; tetapi mereka barangkali berkata, kitalah yang kafir, sebab tak menurut agama mereka.
Mana yang benar, wallahualam! Tak dapat kita putuskan; hanya Allah yang mengetahui. Sekalian agama datang dari pada-Nya, untuk keselamatan manusia. Tentu saja tiap-tiap bangsa akan memuji agamanya sendiri, sebagai tiap-tiap orang memuji dirinya sendiri pula; tetapi pujian kepada diri sendiri itu, tak boleh menjadi sebab, untuk mencela diri orang lain; apalagi kalau pengetahuan kita hanya baru sekadar tentang diri kita sendiri saja. Bagaimana dapat kita perbandingkan dua buah benda, kalau kita hanya tahu satu saja, daripada keduanya? Tentang agama itu, yang kita ketahui hanya agama kita sendiri, itu pun belum sempurna pula. Agama lain sekali-kali tiada kita ketahui. Bagaimana dapat kita katakan buruk baiknya? Bagaimana dapat kita perbandingkan, mana yang benar, mana yang salah, antara kedua agama itu? Cobalah pikir benar-benar! Bila aku mempunyai sebuah batu dan engkau mempunyai pula sebuah, dapatkah kaukatakan, mana lebih berat di antara kedua batu itu, jika tiada kauketahui berat keduanya? Dan bagaimanakah dapat kaukatakan, batumu lebih berat daripada batuku, kalau kau belum tahu berapa besar dan berapa berat batuku? Sedangkan batumu sendiri pun belum kauketahui benar-benar, berat dan ringannya."
"Tetapi bukankah dapat dilihat dengan mata, ditaksir dengan pikiran, menurut besarnya?" jawab Fatirnah.
"Penglihatan dan taksiran tiada selamanya benar. Tirnah yang kecil, terkadang-kadang lebih berat daripada kayu yang besar. Sungguhpun demikian, harus juga kaulihat dahulu besar kedua benda itu, supaya dapat kautaksir beratnya.
Sekarang apakah pengetahuanmu tentang agama si kafir itu? Lain tidak, hanya tentang keburukannya saja; itu pun karena mendengar cerita orang dan engkau turutlah menyebutnya sebagai seekor burung tiung meniru perkataan yang diajarkan kepadanya, dengan tiada tahu sekali-kali apa artinya.
Tidak baik begitu, sesuatu yang belum kauketahui benarbenar, janganlah kaucela lekas-lekas. Dalam agama kita pun dilarang menuduh seseorang kafir atau Islam, karena sekalian itu, hanya Tuhanlah yang tahu. Apalagi sebab hati manusia itu tiada tetap, bertukar-tukar juga sebilang waktu.
Sekarang baik, besok barangkali jahat; tak dapat ditetapkan, karena manusia itu bersifat lemah. Janganlah menilik yang lahir saja, sebab yang batin itulah yang lebih berharga. Dan tahukah engkau akan batin orang? Walaupun pada lahirnya ia kafir, siapa tahu, pada batinnya barangkali ia Islam. Biarpun sekarang ia kafir, boleh jadi nanti berpaling hatinya, menjadi Islam. Dan lagi pada pikiranku, agama itu tak ada yang jahat, sekaliannya baik, karena maksudnya baik belaka dan tujuannya kepada Tuhan Yang Esa."
Perkataan itu tiada juga dijawab oleh Fatimah, sebab itu berkata pulalah Ahmad Maulana, setelah berdiam diri sejurus, "Sungguhpun mereka itu bangsa kafir, kata kita, ada juga adat dan aturannya yang baik. Aturan, lain, dan agama pun, lain; jangan disamakan saja. Adat dan aturan kita benar banyak yang baik, tetapi ada juga yang salah. Apakah salahnya, kalau ditiru adat bangsa lain yang baik dan dibuang adat kita yang buruk? Adat mereka yang jahat itu jangan kita ambil dan adat kita yang baik disimpan benar-benar.
Banyak aturan dan adat bangsa asing yang sudah kita tiru dengan tiada dipikirkan dalam-dalam buruk baiknya. Baju jas dan sepatu, pakaian siapa itu? Bukankah pakaian orang Barat? Mengapakah dipakai juga? Orang haji dan Arab pun banyak pula yang meniru pakaian Barat itu. Berkursi, bermeja, berlampu gantung, bukan adat nenek moyang kita turut juga.
Piring dan mangkuk, perbuatan siapa? Tetapi dipakai juga? Adat dan aturan siapakah yang harus diturut orang Islam? Adat orang Arab? Orang Arab makan kurma dan minum susu unta; mengapa tidak ditiru pula? Manakah adat dan aturan kita yang asli? Ah Fatimah, sekalian itu, hanya dunia saja; bukan akhirat; lahir, bukan batin. Pada pikiranku, walaupun apa juga yang engkau pakai atau perbuat, asal hakikatmu suci dan hatimu tiada bcrubah, tiada jadi apa-apa. Tetapi walaupun kauturut bcnar tiaptiap perkataan yang tersebut dalam kitab, kalau hatimu tiada suci dan lurus, tak ada gunanya."
"Ya itu betul; tetapi adat kita, pusaka nenek moyang kita, tak boleh disia-siakan atau ditukar-tukar saja. Dan lagi, tak baik kita membuang-buangnya; buruk dan baik harus diturut.
Itu tandanya kita beradat. Kalau hendak menambahnya dengan aturan lain, baik, tetapi adat kita, dipakai juga."
"Memang kurang baik membuang yang lama, karena nrendapat yang baru. Tetapi ada di antara adat dan aturan lama itu, yang sesungguhnya baik pada zaman dahulu, tetapi kurang baik atau tak berguna lagi waktu sekarang ini. Adalah halnya seperti pakaian tatkala mula-mula dibeli, boleh dan baik dipakai, tetapi makin lama ia makin tua dan lapuk; akhirnya koyakkoyak, tak dapat dipergunakan lagi. Kalau sayang membuang pakaian tua ini, karena mengingat jasanya, sudahlah, simpanlah ia, untuk jadi peringatan! Tetapi pakaian baru, harus juga dibeli, bukan? Demikian juga adat itu; bertukar-tukar, menurut zaman.
Walaupun tiada disengaja menukarnya, ia akan berganti juga; sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian beralih, kata pepatah. Dan memanglah begitu."
"Baiklah, sekarang cobalah Kanda terangkan apa kejahatan adat kita di Padang ini, tentang beristri lebih daripada seorang?" tanya Fatimah pula.
"Dengarlah," sahut Ahmad Maulana. "Pertama, makir. banyak istri makin banyak belanja; scbab tiap-tiap istri itu harus dibelanjai dengan secukupnya. Bila kurang belanja, tentu saja kurang hati istri-istri itu. Dengan demikian, mudah timbul perselisihan; dan bila selalu berbantah saja, dengan tiap-tiap istri yang banyak itu, tentulah kehidupan kurang senang."
"Rupanya Kakanda lupa akan perkataan Kakanda tadi dan adat kita yang asli, yaitu laki-laki tak usah memberi belanja istrinya atau anaknya, karena anak istrinya itu tanggungan mamaknya. Laki-laki dipandang sebagai orang semenda, orang menumpang saja; jadi walaupun istri dan anak banyak, tiada menyusahkan."
"Bukan aku lupa," jawab Ahmad Maulana. "Itulah yang lebih terasa di hatiku. Laki-laki tak usah memberi belanja dan memelihara anak istrinya, bahkan dapat makan dan pakaian pula dari perempuan. Dan apabila laki-laki itu berbangsa, tatkala kawin, dijemput pula oleh perempuan, dengan uang dan pakaian. Jadi apa namanya laki-laki itu? Karena sesungguhnya laki-laki itulah yang harus memberi nafkah dan memelihara anak istrinya, sebab perempuan lebih lemah dari laki-laki.
Bila dibandingkan laki-laki dengan perempuan, tentang bentuk badannya, kekuatannya, akalnya dan lain-lain, nyatalah laki-laki bangsa yang melindungi anak-istri, sanak saudara, harta benda, kampung halaman, baik tentang musuh ataupun keperluan yang lain-lain, untuk kehidupan.
Perempuan tempat menyimpan dan mempertaruhkan anak dan harta benda. Tetapi menurut adatmu tadi, perempuari menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi perempuan. Tiada sesuai dengan aturan alam."
"Boleh jadi." jawab Fatimah, "tetapi bukan perempuan itu sendiri yang memberi makan suaminya, melainkan mak-bapa dan ahli s i perempuan itu."
"Baik, aku terima jawabmu itu, walaupun memang ada negeri yang sesungguhnya perempuannya yang mencari penghidupan, karena ialah yang bekerja, berniaga dan lainlain sebagainya, sedang suami tidur-tidur, bersuka-suka hati, mengadu ayam, mengadu burung atau berjudi. Tetapi apakah namanya laki-laki yang sedemikian itu? Bukankah laki-laki ini dapat disamakan dengan bapa kuda atau bapa sapi, yang dipelihara baik-baik dan diberi makan cukup, semata-mata hanya karena hendak mengharap keturunannya saja? Kalau laki-laki itu bangsawan atau iupawan, sudahlah; sebab ada yang diharapkan dari padanya yaitu rupa yang balk atau bangsanya yang tinggi itu, supaya turun kepada anaknya, meskipun bangsa itu makin lama makin berkurang harganya dan makin kurang dipandang orang. 'Fetapi, kalau laki¬laki itu tiada berbangsa tinggi, tiada berupa baik, kepala bersegi, telinga lebar, mata juling, hidung penyek, mulut lebar, gigi keluar, punggung bungkuk, kaki timpang pula sebelah, apakah yang diharapkan dari orang yang sedemikian? Segala cacatnya itukah, supaya anak cucunya sama bagusnya dengan dia?"
"Laki-laki yang serupa itu masakan laku! Yang dibeli, tentulah yang bangsawan, rupawan, pintar, berpangkat atau lainlainnya," jawab Fatimah.
"Kalau begitu, tak jadi apalah. Tiap-tiap yang berharga, tentu tak dapat dipinta saja, walaupun barang yang berharga ini, bagiku tak seberapa artinya. Tetapi adat yang kita perbincangkan tadi, yaitu laki-laki dipandang sebagai orang yang inenumpang saja, kedapatan juga pada orang kebanyakan, jadi bukan pada orang yang istimewa saja.
Lagi pula, daripada sifat-sifat yang kausebut itu, hanyalah kebangsawanan dan rupawan saja yang dapat diturunkan kepada anak cucu. Tetapi pangkat yang tinggi atau ilmu yang dalam itu apa gunanya, kalau tak dapat menolong anak?"
Maka tiadalah pula dapat Fatimah memberi jawaban.
"Kedua," kata Ahmad Maulana, setelah berhenti sejurus, "makin banyak istri; dan makin banyak anak, makin banyak pula belanja..."
"Tunggu dulu," kata Ahmad Maulana, sebab dilihatnya istrinya hendak menjawab, "aku tahu, apa yang hendak kau katakan, yaitu anak yang banyak itu tiada menjadi alangan, bukan? Sebab sekalian anak itu ada bermamak, yang harus memeliharanya. Tetapi karena hal itulah, tak ada pertalian cinta kasih sayang antara anak dan bapa, sebagai antara laki dan istri tadi itu pula. Dengan demikian, laki-laki itu tiadalah tahu yang dinamakan: Cinta kasih sayang kepada anak dan istrinya. Yang dikenalnya hanya sayang kepada kemanakannya. Tetapi kesayangan kepada kemanakan, tiada dapat disamakan dengan cinta kepada anak, darah daging sendiri. Dan anaknya itu takkan tahu pula cinta kepada bapanya, hanya kepada ibunya saja, sedang cinta kepada mamaknya tiada seberapa. Istrinya hanya cinta kepada anaknya, sebab darah dagingnya, tetapi suaminya orang lain pada perasaannya. Sebab itu jaranglah mereka mendapat persatuan suami-istri dan kesenangan berumah tangga, yang sangat berharga bagi bangsa Barat.
Dan lagi, pikirlah! Kesalahan siapa maka anak itu sampai ada di dunia? Bukannya ia yang minta dilahirkan, melainkan makbapanya yang menjadikannya. Sekarang sesudah anak itu lahir, ia diserahkan kepada orang lain, yang sekali-kali tiada bersalah dalam hal ini. Walau mamaknya sekalipun, kesayangannya tiadalah akan sama dengan kesayangan ayahnya sendiri...
Bagaimana rasanya itu? Cobalah kaupikir benar-benar! Jangan buta tuli, memandang adat saja. Mana yang dekat kepada si bapa, anaknya atau kemanakannya? Anaknya darah dagingnya, kemanakannya anak saudaranya, walaupun yang sedarah dengan dia.
Ada orang yang bersangka, anak itu sesungguhnya terlebih dekat kepada mamaknya daripada bapanya, karena itu terang kemanakan mamaknya, sebab kelihatan dilahirkan oleh saudara si mamak itu, yang sedarah dengan dia. Tetapi ia belum tentu anak si bapa; boleh, jadi juga anak laki-laki lain, yaitu kalau ibunya tiada setia kepada suaminya. Jadi si bapa itu sebagai kurang percaya kepada anak dan istrinya.
Hal yang ganjil ini pada sangkaku, asalnya dari adat zaman dahulu kala, tatkala perempuan boleh bersuami banyak atau tatkala perkawinan belum teratur benar sebagai sekarang ini.
Tetapi adat itu tiada sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.
Perkara perkawinan pun telah teratur dengan baik, artinya tiaptiap laki-laki tentu istrinya dan perempuan tentu pula suaminya, disaksikan oleh orang banyak, waktu mereka kawin.
Aku tiada hendak mengatakan, bahwa tiap-tiap anak itu, tak dapat tiada anak bapaknyalalt; tentu boleh jadi juga anak lakilaki lain. Tetapi hal yang sedemikian, jarang terjadi sehingga sekali-kali tak patut menjadi alasan, anak mengganjilkan diri dari apa adat orang sedunia ini, yaitu pusaka turun kepada anak.
Kaulihat, itulah suatu contoh yang menyatakan, bahwa sesuatu adat yang dahulu barangkali baik, tetapi sekarang ini, mungkin tiada berharga lagi. Tak baiklah adat yang telah lama seperti ini, disimpan saja dalam peti, kalau perlu, akan jadi tanda mata daripada'nenek moyang kita dahulu kala?"
Perkataan itu pun tiada dapat disalahkan oleh Fatimah, sebab itu diputarnya tujuan perbincangan ini sedikit dengan berkata, "Tetapi bukankah baik banyak anak, supaya bangsa kembang biak."
"O, kalau itu maksudmu, memang benar sekali.
Seharusnyalah tiap-tiap bangsa itu mengembangkan bangsanya, sebagai tersebut dalam agama. Tetapi memelihara bangsa itu, kewajiban pula. Jangan menjadikan saja pandai, mernelihara tak mau. Betapa bangsa itu dapat kembang dengan sempurna, jika tiada dipelihara sendiri baik-baik? Bekerja jangan tanggung, Mah! Ketiga, walaupun tersebut dalam kitab (agama), laki-laki boleh beristri sampai empat orang, tetapi haruslah harta si lakilaki itu berlebih dahulu daripada untuk memelihara seorang istri dengan sempurna dan haruslah pula ia adil dengan seadiladilnya, dalam segala hal, kepada keempat istrinya itu; haruslah boleh. Kalau tiada, menjadi dosa; sebab kelakuan yang tak adil itu mendatangkan dengki khianat antara istri-istri itu. Tetapi kebanyakan laki-laki itu tiada adil kepada sekalian istrinya. Biasanya yang baru itulah yang lebih disayanginya, daripada yang lama; yang muda lebih digemari daripada yang tua; yang bagus, lebih disukai daripada yang buruk. Itu tak boleh; sekaliannya harus sama, belanja, pakaian, rumah tangga, cinta kasih sayang dan lain-lain sebagainya.
Adakah laki-laki kita yang dapat berbuat sedemikian? Dalam seribu jarang seorang. Kebanyakan, dalam segala hal, dilebihkannya yang terlebih dicintai. Mustahil akan dapat sama cinta kepada segala istri, sebab telah ditakdirkan Tuhan, manusia itu terlebih ingin dan terlebih sayang kepada yang molek daripada yang buruk. Kelakuan yang serupa itulah yang acap kali menimbulkan cemburu dan dengki, antara istri-istri itu, sehingga terbitlah perbantahan, antara laki-laid dengan istrinya dan antara istri dengan istri. Walaupun kepada istri yang mana laki-laki itu pergi, yang diterimanya tiada lain daripada muka masam, perkataan yang kurang sedap didengar, penjagaan yang kurang sempurna, terkadangkadang umpat dan maki, sehinb ga akhirnya jadi berkelahi.
Adakah senang kehidupan yang sedemikian? Lagi pula, istri-istri yang dipermadukan itu, tiada lurus hatinya kepada suaminya, baik dalam perkara apa juga. Ada pula istri itu yang menjadi jahat, yang berbuat kelakuan yang tak senonoh, karena hendak membalaskan sakit hatinya kepada suaminya. Perhubungan yang memang kurang kuat tadi, menjadi bertambah-tambah longgarlah, sehingga akhirnya, hanya tinggal surat kawin saja lagi, yang memperaihatkan kedua mereka.
Meskipun aku laki-laki, tetapi pada pikiranku, tiada boleh suami berkecil hati, bila istrinya yang dipermadukannya itu tiada mengindahkan suaminya, karena suami itu pun tiada pula mempedulikan perasaan hati istrinya. Perempuan manakah yang dapat menahan hati, meliltat suaminya dengan perempuan lain? Adakah laki-laki yang dapat senang hatinya, melihat istrinya dengan laki-laki lain? Pada pikiranku tak ada.
Keempat, ada juga perempuan yang rupa-rupanya, tiada mengindahkan kelakuan suaminya, yang suka beristri banyak itu, sebab perempuan itu sangat sabar. Tetapi acap kali kesabaran inilah, tanda kurang sayang kepada suaminya.
Karena cemburu itu bukankah timbulnya daripada hati yang cinta? Apabila istri-istri itu sama cinta kepada suaminya, tentulah masing-masing mencari akal supaya ia lebilt disayangi suaminya daripada madunya. Kebanyakan akal ini bukan dijalankan dengan memperbaiki kelakuan atau rumah tangga atau apa saja yang dapat menarik hati suami tadi, melainkan dengan jalan berdukun dan pekasih.
Tiap-tiap istri, mencari dukun yang pandai akan mengobati si suami, supaya ia lebih dicintai daripada madunya; terkadangkadang sampai berhabis harta benda. Si dukun bukannya mempergunakan ilmu saja, melainkan acap kali memakai ramuan dan obat-obatan yang harus dimakan si lakilaki.
Betul maksudnya baik, tetapi sebab ramuan pekasih itu tiada selamanya barang yang bersih, lama-kelamaan, karena terlalu banyak makan obat itu, dari sana-sini, dari sekalian istrinya rusak juga badannya. Bukan seorang dua orang lakilaki yang telah menjadi kurban perbuatan dukun seperti itu.
Sayang! Perempuan yang tiada sabar, terkadang-kadang, karena sangat sakit hatinya dipermadukan, bukan pekasih yang diberikannya kepada suaminya yang sedemikian, tetapi racun; sehingga bertambah-tambalt lekaslah ia berpulang ke negeri yang baka.
Alimah, coba beri aku air teh segelas! Kering mulutku rasanya bercerita ini," kata Ahmad Maulana kepada anaknya.
Alimah segera keluar dari dalam biliknya, mengambil apa yang diminta oleli ayahnya itu. Kemudian kembali pula ia ke dalam biliknya, sedang Nurbaya di sana, pura-pura duduk menjahit, tetapi sesungguhnya didengarkannya benar-benar segala perkataan bapa mudanya ini.
"Kelima, apabila perempuan tadi hatinya kurang baik." kata Ahmad Maulana pula, sesudah minum teh, "bukannya suarninya saja yang diberinya ramuan itu, tetapi madunya pun diberinya juga; bukan supaya sayang kepadanya, hanya supaya dibenci oleh suaminya, ada pula yang membuat, agar madunya itu lekas berkalang tanah. Siapa tahu, barangkali Rapiah ini kurban perbuatan yang sedemikian pula. Kasihan! Keenam, banyak perempuan yang telah dipermadukan itu, karena takut beroleh kesakitan dan kesedihan pula, tiada hendak kawin lagi, bila ia telah diceraikan oleh suaminya. Jika sekalian perempuan berbuat demikian bagaimanakah akhirnya? Bagaimanakah engkau dapat mengentbangkan bangsamu dengan perempuan yang tak hendak kawin? Barangkali waktu ini hal ini belum memberi khawatir, karena kebanyakan perempuan, belum dapat mencari kehidupan sendiri akan tetapi kalau mereka telah pandai pula sebagai laki-laki, tentulah lebih suka mereka mencari penghidupan sendiri daripada selalu makan hati, sebab dipermadukan oleh suaminya. Perempuan pun kawin, karena hendak mencari kesenangan juga, bukan karena hendak mengabdi kepada laki-laki."
"Itulah sebabnya tak baik arak perempuan disekolahkan," kata Fatimah.
"Supaya tinggal budoh dLn selama-lamanya menjadi budak laki-laki, bukan? Boleh diperbuat sekeh ndak hati; sebagai kerbau, diberi bertali hidungnya, supaya dapat ditarik. Dan disuruh ke mana suka oleh yang mengembalakannya. Jika engkau sendiri, sebagai seorang perempuan, suka bangsamu diperbuat sedemikian, suka hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi perempuan, sekali-kali aku tak mau menerima peraturan ini."
Tatkala itu terdiamlah pula Fatimah, karena tak dapat menjawab perkataan suaminya. , "Ketujuh, perempuan yang dipermadukan itu, hatinya tiada lurus kepada suaminya dalam segala hal, seperti telah kukatakan tadi. Janganlah dipandangnya suaminya sebagai kekasihnya,, sebagai sahabatnya pun tak dapat dibenarkannya; karena pada penglihatan dan perasaannya, laki-laki itu ialah tuannya yang bengis. Bagaimanakah dapat hidup senang dan sehati dengan musuh yang dibenci? Ah Fatimah, banyak lagi kejahatan adat beristri banyak itu; kemudian boleh kuceritakan pula. Sekarang mataku sudah mengantuk, suruhlah, si Hasan memadami lampu dan menutup pintu!"
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, gelaplah rumah Ahmad Maulana, sunyi senyap; karena lampu sudah dipadami dan sekalian pintu jendela sudah ditutup. Hanya di belakang rumah itulah masih kedengaran suara si Hasan, bujang Ahmad Maulana, bersenandung perlahan-lahan, akan menggolekkan dirinya sendiri.
Di dalam biiik Alimah, kelihatan Nurbaya dengan saudara sepupunya ini, masih menjahit. Sebentar-sebentar Nurbaya berhenti, lalu termenung, sebagai ada yang dipikirkannya.
"Nur, datang pula penyakitmu?" tanya Alimah.
"Bukan. Lim; hanya aku masih ingat akan perkataan bapa tadi sebab pikirannya itu sangat terbenar dalam hatiku dan menimbulkan ingatan kepada untung kita bangsa perempuan ini," jawab Nurbaya.
"Nur, jangan kau banyak menyusahkan pikiranmu dengan ingatan yang sedih-sedih! Penyakitmu rupanya masih ada.
Segala kenang-kenangan yang pilu-pilu, belum hendak hilang dari hatimu. Bukankah engkau sudah berjanji kepadaku, akan menetapkan pikiranmu supaya jangan tergoda pula lagi?"
"Bukan hatiku rawan, Lim; memang hal ini sudah lama terpikir olehku. Cobalah kaupikir benar-benar, nasib kita perempuan ini! Demi Tuhan yang bersifat rahman dan rahim, kita telah dikurangkan daripada laki-laki, teman kita itu.
Sengaja kukatakan teman kita laki-laki itu, karena sesungguhnyalah demikian walaupun banyak di antara mereka yang menyangka, mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya. Pada persangkaan mereka, mereka lebih daripada kita, tentang kekuatan dan akal mereka. Betul kita lemah daripada laki-laki dan barangkali juga tiada sepandai laki-laki, akan tetapi kelemahan tubuh kita dan kekurangan akal kita itu, bukanlah sebab kelihatan kita yang kurang atau otak kita yang tiada sempurna; hanya karena tubuh kita, sangat berlainan dengan laki-laki. lngatlah. kita ini bangsa ibu, karena anak itu kita yang mengandungnya melahirkannya, menyusukannya, memeliharanya dan membesarkannya. Laki-laki tak tahu apa-apa, hanya tahu senangnya saja.
Ingatlah perasaan perempuan yang hamil itu, muntahmuntah sakit-sakit, tak sedap perasaan badan. Bukanlah sekalian itu penyakit? Oleh sebab kira-kira dua bulan sesudah kita beranak, kita telah bunting pula, bolehkah dikatakan, kita hampir selamanya dalam sakit-sakit. Lihatlah perempuan yang tiap-tiap tahun beranak! Bagaimana halnya? Badan rusak, lekas tua, umur pendek. Bagaimana kita dapat menyamai kekuatan laki-laki, yang boleh dikatakan selalu dalam sehat? Lagi pula, segala pekerjaan laki-laki menambah kekuatan badannya dan tajam pikirannya, tetapi pekerjaan kita perempuan dari rumah ke dapur dan Jari dapur ke rumah, menjaga anak, rnemasak, mencuci dan membersihkan rumah tangga; sekali-kali bukan pekerjaan yang rnenambahkan kekuatan dan pikiran.
Laki-laki tahu perbedaan ini dan ia tahu pula penanggungan kita tatkala kita hamil. Akan tetapi pengetahuannya itu jangankan menjadi pandangan padanya, yang menimbulkan iba kasihan kepada kita, tidak, melainkan ditertawakan dan dipermainkan pula kita. Ada pula yang kawin, di waktu istrinya bunting atau beranak. Kitakah yang berkehendak akan nasib yang malang ini? Kitakah yang meminta, supaya dijadikan begitu? Oleh sebab laki-laki itu tiada merasai penanggungan, kesengsaraan dan kesakitan kita ini, itulah sebabnya tiada diindahkannya hal kita. Jarang lakilaki yang ingat, bahwa ibunya yang telah bersusah payah mengandung, melahirkan dan memeliharanya, bangsa perempuan juga, bukan bangsanya sendiri, yaitu laki-laki."
"Benar sekali katamu itu, Nur," jawab Alimah, sarnbil termenung memikirkan perkataan adiknya ini.
"Marilah kuteruskan uraian ini! Terlebih dahulu penanggungan perempuan, karena anaknya, yang sebetulnya bukan anaknya sendiri, melainkan anak berdua dengan lakilaki.
Oleh sebab itu haruslah kesusahan dan kesenangan yang diperoleh, karena anak itu, terbagi sama rata atas ibu dan bapa. Tetapi bukan begitu halnya, sebagai yang telah kupaparkan tadi. Dan walaupun perempuan yang terlebih bersusah payah atas anak itu, bahagia yang diperoleh lebih kepada bapanya daripada kepada ibunya, karena anak itu kelak lebili dikenal sebagai anak ayahnya daripada anak ibunya. Bila anak itu menjadi orang yang berpangkat tinggi misalnya, siapakah yang terlebih beroleh nama baik, bapanya atau ibunya? Bila orang bertanya. "Anak siapakah yang baik, itu?" Yang disebut nama ayahnya, bukan nama ibunya.
Perempuan Barat, harus pula memakai nama suaminya.
Adakah adil perempuan ini? Ah, keadilan! Adakah engkau dalam dunia ini atau tidak? Kalau ada, di manakah engkau tersembunyi? keluh Nurbaya, lalu termenung seketika.
Kemudian berkata pula ia, "Apabila kita hamil dua tiga bulan bedan kurang segar kepala pening-pening, penglihatan kurang terang pendengaran kurang nyata, perut selalu tak enak, acap kali muntah, nafsu makan tiada tentu, yang enak, tak lazat rasanya tetapi yang tak enak, disukai. Terkadangkadang barang yang tak ada atau sukar dicari atau tak patut dimakan, itulah yang diidamkan. Kalau tak dapat, hati susalt dan sedih. Pikiran pun kurang sempurna, acap kali suka marah dan benci kepada seorang, tetapi sayang kepada yang lain, dengan tak ada sebab karenanya. Kelakuan pun senantiasa berubah pula.
Bila hamil telah enam bulan, perut bertambah-tambah besar dan mulai berat, sehingga susah berjalan, berdiri, bekerja, berhenti, duduk, dan tidur. Pantangan bertambahtambah banyak. Ada makanan yang tak boleh dimakan, banyak pekerjaan yang tak boleh dikerjakan, pendengaran yang tak boleh didengar dan penglihatan yang tak boleh dilihat.
Tatkala anak hampir dilahirkan, tak dapatlah berbuat apaapa lagi, karena perut makin lama makin besar dan makin berat, tetapi duduk selalu pun tak baik pula, karena susah kelak melahirkan anak kata orang. Berjalan ke luar rumah, malu, takut dikatakan tukang tambur.
Bila laki-laki disuruh mendukung anaknya sejam saja, lelahlah ia katanya; tetapi perempuan sembilan bulan lamanya; terkadang-kadang lebih lama pula, tiada berhentihenti siang malam, pada segala tempat, mengandung anak dan sesudah itu beberapa tahun pula mendukungnya, perempuan itu tiada botch mengatakan lelah.
Bila waktu akan melahirkan anak telah datang, tak dapatlah dikatakan perasaan diri kesakitan yang ditanggung. Alam dan dunia rasakan lenyap, pikiran benar menjadi hilang, bertukar dengan ketakutan dan was-was. Sakit pun tiada terderita, seluruh badan rasakan hancur, pemandangan menjadi gelap, perasaan tiada tentu. Bila susah bersalin itu, karena sesuatu hal, acap kali membawa kita ke pintu kubur, jika tiada lekas dapat pertolongan. Walaupun mendapat pertolongan sekalipun, dari dukun atau dokter yang pandai, acap kali terlalu sakit juga, karena terkadang-kadang dengan kekerasan. Ada yang dipotong, dibedah dan dijahit, sekaliannya boleh mendatangkan cacat dan penyakit seumur hidup.
Apabila anak itu telah lahir ke dunia, beberapa lamanya perempuan itu harus tidur diam-diam, tak botch bergerakgerak, serta harus pula memakan bermacam-macam obat yang kurang sedap rasanya, supaya lekas sembuh. Ada kalanya penyakit itu lama maka baik, padahal dalam waktu itu kita telah harus menjaga dan menyusukan anak, karena kurang baik jika anak itu diberi susu lembu.
Bila kita telah sernbuh, tiadalah pula dapat melepaskan lelah barang sedikit pun, sebab kewajiban yang lain telah menanti, yaitu menjaga, memelihara dan membesarkan anak itu. Tak tentu susah, tak tentu payah, tak tahu siang dan tak tahu malam; karena makanannya harus diberi dan dijaga, pakaiannya harus dibuat dan dibersihkan. lika menangis harus dibujuk dan didukung, jika mengantuk harus ditidurkan dan diayunkan. Kalau ia sakit, berjam-jam lamanya didukung dan dinyanyikan; siang malam tak dapat tidur atau mengerjakan apa-apa yang lain, karena berjaga-jaga.
Bila anak ini telah besar sedikit, permainan harus diadakan belanja harus diberi dan ia harus dididik pula dengan sempurna, supaya ia kelak menjadi orang yang baik.
Belum selesai pekerjaan ini tanggungan yang baru sudah datang pula, karena anak yang kedua telah dikandung.
Tatkala anak ini telah besar, harus disekolahkan dan kemudian dikawinkan. Anak perempuan, sesudah kawin pun masih ditolong oleh ibunya."
"Sesungguhnya demikian hal perempuan bangsa kita," jawab Alimah. "Betul aku sendiri belum merasai beranak, tetapi aku acap kali bercakap-cakap dengan perempuan yang telah beranak dan menolong mereka. Oleh sebab itu kuketahui perasaan dan penanggungan mereka."
"Dan adakah selamanya baik balasan anak itu kepada ibunya?" kata Nurbaya pula. "Lebih-lebiht anak laki-laki acap kali tak tahu membalas guna. Terkadang-kadang, air susu ibunya dibalasnya dengan air racun. Bila ia telah beristri, tiadalah diindahkannya lagi ibunya. Ada pula yang tiada hendak mengaku ibu lagi kepada makiiya, karena ia telah kaya atau berpangkat tinggi malu beribukan perempuan yang biasa saja atau perempuan yang bodoh. Dan ada pula yang memusuhi sampai memukul dan menyiksa ibunya sendiri.
"Memang anak laki-laki yang acap kali berbuat begitu; anak perempuan jarang," sahut Alimah. ' "Boleh jadi sebab angkuhnya juga. Walaupurt asalnya dari ibunya, tetapi pada sangkanya, ibunya itu hina, sebab ia bangsa perempuan," kata Nurbaya seraya mengangkat kepalanya.
Setelah sejurus terhenti, berkata pula ia, "Hal yang kedua, yang menyebabkan kita lebih lemah dan lebih kurang tajam pikiran kita daripada laki-laki, ialah pemeliharaan, pekerjaan dan kewajiban kita. Tentang pemeliharaan kita, sejak kita mulai pandai berjalan, sampai berumur enarn tujuh tahun sajalah kita boleh dikatakan bebas sedikit; boleh berjalan-jalan ke sana kemari; boleh bermain-main ke luar rumah. Itulah waktu yang sangat mulia bagi kita, waktu kita berbesar hati, waktu kita merasa bebas. Sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah lain kehidupan kita melainkan dari rumah ke dapur dan dari dapur kembali pula ke rumah.
Apabila telah berumur tujuh delapan tahun, mulailah dikurung sebagai burung, tiada diberi melihat langit dan bumi, sehingga tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita.
Sedangkan pakaian dun makanan, tiada diindahkan, apalagi kehendak dan kesukaan hati. Sementara itu kita disuruh belajar memasak, menjahit, menjaga rumah tangga, sekaliannya pekerjaan yang tiada dapat menambah kekuatan dan menajamkan pikiran.
Tetapi anak laki-laki waktu itu, lain daripada disuruh ke sekolah dan ke langgar, disuruli pula belajar menari, memencak, berenang, berkuda dan lain-lainnya, untuk menguatkan tubuh dan menajamkan pikirannya. Jadi sekalian pelajaran dan pekerjaan itu pada laki-laki selalu menambah kemauan, kekuatan dan menajamkan pikirannya sedang pada perempuan melemahkan tubuhnya dun tiada berapa menambah kepandaiannya.
Jadi pekerjaan dan kewajiban kita pula, ialah mengandung dan menyusukan anak; kepada anak, memelihara, membesarkan dan mengajari dia; kepada suami, menjaga rumah tangga mengatur makanan, pakaian dan lain-lainnya dan kepada ibu-bapa serta kaum keluarga menurut sebarang kehendaknya. Sekalian itupun tiada pula menambah kekuatan dan akal kita, sebagai pada laki-laki.
Pekerjaan, pemeliharaan dan kewajiban ini, bukan kita yang menghendaki; kita terpaksa harus menjauhkannya. Dan untuk siapa? Untuk laki-laki dengan anaknya. Demikian pula tentang sifat-sifat perempuan itu, bukan ia yang memintanya.
Adalah patut laki-laki menghinakan dia, sebab kita beroleh sifat-sifat ini? Pada pikiranku, tentang kemauan dan akal itu, bila kita perempuan diberi pelajaran, pemeliharaan, makanan, pendeknya sekaliannya sama benar-benar dengan laki-laki, tentulah kita tak akan kalah dari laki-laki."
"Pikiranku pun demikian juga, Nur," jawab Alimah.
"Perbedaan itu adanya, hanya karena berlainan pemeliharaan, pelajaran, kewajiban dan lain-lainnya."
"Sungguhpun begitu, banyak juga yang asalnya dari kesalahan perempuan sendiri, maksudku kesalahan ibu.
Karena kurang pikirannya, banyak perbuatannya yang tidak baik. Misalnya dilarangnya anak perempuannya pergi ke sekolah, sebab takut anak itu menjadi jahat, karena pandai membaca dan menulis, sehingga memberi malu. Pikiranku persangkaan ini salah benar; karena hal itu, bergantung kepada, hati, serta tabiat kelakuannya dan pelajaran yang diperolehnya. Bila cukup kepandaian, luas pemandangan dan jauh pendengarannya, hingga tahu ia membedakan yang baik dengan yang jahat, artinya dapat ia menimbang buruk dan baik perbuatannya, tentulah tiada mudah ia terjerumus ke dalam lubang godaan laki-laki. Di mana diperolehnya ilmu-ilmu itu, kalau tiada di sekolah? Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat juga dipergunakannya untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang baik dan pikiran sempurna. Bila perempuan itu memang tiada baik tabiatnya atau sebab salah ajarannya, walaupun ia tak berkepandaian sekolah sekalipun, dapat juga ia berbuat pekerjaan jahat. Tak adalah perempuan jahat, pada bangsa yang masih bodoh?"
"Jika dipikir dalam-dalam, nyatalah kita perempuan ini, diperbuat sebagai anak tiri dan laki-laki sebagai anak kandung, sebab sangat diperbedakan. Dan perempuan tiada pula diberi tempat bergantung." kata Alimah.
"Memang," jawab Nurbaya, "dari Tuhan kita telah mendapat alangan yaitu dalam hal mengandung dan menjaga anak, sehingga tiada dapat melawan laki-laki, tentang apa pun; oleh agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab laki-laki diizinkan beristri sampai ernpat, tetapi perempuan, ke luar rumah pun tak boleh; oleh suami dihina dan disia-siakan dan oleh ibu bapa serta kaum kerabat, dipaksa menwut segala kehendak hati mereka. Bangsa dan negeri pun tiada pula hendak menolong."
Di situ terhentilah Nurbaya berkata-kata, termenung memikirkan hal dan nasib bangsanya perempuan.
"Ya seadil-adilnya, tentulah perempuan boleh pula bersuami dua tiga, kalau laki-laki boleh beristri banyak," kata Alimah.
"Apa, perempuan bersuami banyak. Sedangkan melihat muka laki-laki lain; tak boleh. Jika hendak ke luar rumah, haruslah ditutup muka rapat-rapat, begitu pula bagian badan yang lain-lain. Sudah demikian, talak diserahkan pula kepada si laki-laki. Mengapakah begitu? Mengapa laki-laki saja yang boleh menceraikan dan mengawini perempuan, sesuka hatinya? Apakah sebabnya maka perempuan tiada boleh berbuat begitu pula? Perempuan sajakah yang boleh berbuat kesalahan dan menerima hukuman dari laki-laki? Tiadakah laki-laki itu boleh pula berbuat kesalahan kepada istrinya? Apabila dikatakan kelaliman ini kepada laki-laki, tentulah mereka akan gelak tersenyum saja, karena pada sangkanya, itulah yang seadil-adilnya. Bukankah laki-laki itu tuan perempuan, dan perempuan itu hamba laki-laki? Tentu saja mereka boleh berbuat sekehendak, hatinya kepada kita; disiksa, dipukul dan didera dengan tiada diberi belanja yang cukup dan rumah tangga yang baik; tiada pula dilepaskan hati kita, tiada diberi melihat permainan apa pun, yang boleh menyenangkan hati dan meuambalt penglihatan dan tiada diizinkan pula mendengar bunyi-bunyian yang menghilangkan kesusahan.
Jika salah sedikit, karena belum tahu, bukan pelajaran atau peringatan yang diperoleh, hanya maki dan nistalah yang diterima; ada kalanya disertai pula oleh pukul dan terjang. Jika terlambat menyediakan makanan atau pakaian, perkataan yang hina tentulah kedengaran. Menjawab, sekali-kali tak boleh; apa yang terasa di hati tak boleh dikeluarkan, harus disimpan saja dalam dada. Kalau berani melawan, tentulah akan diusir sebagai anjing. Jika lekas diceraikan, sudahlah, tetapi acip kali, digantung tak bertali; tiada dan tiada pula dipulang-pulangi[1] sehingga segala maksud, jadi terhalang."
"Sungguhpun demikian, penanggungan itu belumlah seberapa, jika dibandingkan dengan penanggungan dipermadukan," kata Alimah. "Aku lebih suka dipukul, dikurung atau dihinakan, daripada dipermadukan."
"Tentu," jawab Nurbaya, "itulah sebabnya agaknya, engkau sampai bercerai dengan suamimu."
"Memang," kata Alimah.
"Cobalah ceritakan, bagaimana asalnya perceraian itu!" kata Nurbaya pula.
"Asal mulanya, ialah asutan perempuannya dan maknya.
Kata mereka, aku yang mengasut suamiku, supaya ia benci kepada mereka, sebab selama ia kawin dengan aku, mereka tiada dapat berbelanja dari suamiku. Tetapi aku, sekali-kali tiada berbuat demikian. Hanya ada aku minta kepada suamiku, supaya belanja rumah setiap hari, jangan sampai kurang, sebab orang tuaku bukan hartawan. Mendengar permintaanku ini, diberikannya segala pendapatannya kepadaku. Dari uang itu, aku berikan kepada ibunya sepuluh rupiah dan saudaranya lima belas rupiah sebulan. Pada sangkaku, jika sekedar makan, cukuplah belanja sekian itu.
Tetapi rupanya kemauan mereka, sekalian pendapatan suamiku harus diberikan kepada mereka, sebagai tatkala suamiku belum kawin dengan aku.
Mana boleh jadi, sebab orang telah bertambah, rumah telah dua. Bukanlah telah diketahuinya, sebelum kami kawin, ayahku bukan orang yang mampu; jadi tak dapat menerirna suamiku, sebagai menerima anak-anak bangsawan di Padang ini; segala disediakan dan diadakan, tinggal pulang saja lagi.
Lagi pula, suamiku bukan seorang yang berbangsa tingki.
Meskipun demikian, mula-mula ia hendak dijemput juga. Akan tetapi tatkala ayahku, berkata, ia tiada beruang, sudilah ia sebagai biasa, suka sama suka saja.
Sesungguhnya perkawinan itu, atas kemauan mentua dan ipar perempuanku itulah. Tetapi tatkala dilihat mereka, pemberian suamiku berkurang kepadanya, bencilah mereka kepadaku dan bibujuknyalah suamiku, supaya menceraikan aku.
Setelah dilihat mereka, suamiku tak mau saja menurut asutan mereka dicarinyalah dukun ke sana kemari, supaya suamiku benci kepadaku dan aku diceraikannya. Kabarnya mereka sampai berniat hendak mengerjakan aku, supaya aku menjadi gila atau mati.
Tatkala maksudnya yang jahat ini, dengan jalan demikian, tak sampai pula, dikawinkannyalah suamiku dengan seorang perempuan hartawan. Ketika aku mendengar kabar ini, tak dapatlah kurencanakan, bagaimana rasa hatiku; marah, sedih, benci bercampur baur tak tentu. Mataku gelap, kepalaku pening, pendengaran hilang dan perasaan pun lenyap. Bibir dan sekujur badanku gemetar, hatiku berdebar-debar, rasakan belah, segala sendi anggota menjadi lemah, sehingga terjatuhlah aku ke tempat tidurku beberapa lama¬ya, tiada khabarkan diri.
Semalam-malam aku menangis, karena tak dapat menahan hati. Tatkala aku bertemu pula dengan suamiku adalah sebagai aku melihat binatang rasanya, aku melihat dia: benci dan marah, datang berganti-ganti. Segala kesukaan dan kasih sayangku kepadanya, tiada berasa lagi. Jika tiada disabarkan oleh ibuku, niscaya kukenakanlah tanganku ke kepalanya; begitulah geram hatiku. Berapa kali aku minta bercerai, tetapi tiada dikabulkannya. Apa dayaku? Karena talak dalam tangannya. Jika aku yang memegang talak tentulah tak sampai kulihat lagi mukanya, kujatuhkan talak ttga sekali.
Sejak waktu itu, tiadalah kuindahkan lagi dia, baik tentang makanannya atau pakaiannya; sebab hatiku telah berubah kepadanya, tiada lurus lagi. Jika ada laki-laki lain, yang menggodaku pada waktu itu, agaknya kuturutkan, karena sakit hatiku. Hendak aku lari, takut, kalau-kalau digantungkan aku selama-lamanya; tiada diceraikan dan tidak pula dibelanjai.
Path suatu hari tatkala aku berjalan jalan dengan makku, pada, malarrtd hari di pasar Kampung Jawa, kelihatanlah olehku suamiku itu, sedang berjalan-jalan bersuka-sukaan, membeli apaapa dengan maduku itu. Ketika kulihat mereka itu, gelaplah mataku, tak tahu lagi, apa yang kuperbuat. Kata ibuku, aku terus memburu perempuan itu, lalu menghela rambut dan bajunya sambil memaki-makinya, sehingga berkelahilah kami di tengah~ orang banyak, bergumul dan bertarik-tarikkan rambut. Setelah kami dipisahkan orang, kuberi malulah suamiku itu dengan perkataan yang keji-keji serta kukatakan ia bukan laki-laki, kalau tiada berani menceraikan daku. Ituiah sebabnya maka di pasar itu juga dijatuhkannya talak kepadaku.
Inilah akhirnya perkawinan yang telah menghabiskan beberapa biaya dan menimbulkan beberapa susah payah, disebabkan perkara pemaduan."
"Jadi berapa lamanya kau bercampur dengan suamimu itu?" tanya Nurbaya.
"Tak sampai setahun," jawab Alimah. "Sejak itu aku bersumpah, tiada hendak kawin lagi. Apakah gunanya kawin, jika untuk menyusahkan hati, merusakkan badan dan menghabiskan harta? Maksudku kawin helidak mendapat kesenangan dan menumpangkan diriku. Jika tiadadapat yang sedemikian, lebih baik janda sebagai ini; bebas sebagai burung di udara, tiada siapa dapat mengalangi barang sesuatu maksudku."
"Atau tinggal perawan selama-lamanya." kata Nurbaya.
"Itu tak boleh, karena terlalu aib, bagi kita; dikatakan tak laku, sebab ada cacat," jawab Alimah.
"Aib itu karena diaibkan. Akan tetapi jika telah banyak yang berbuat begitu, menjadi biasalah pula," kata Nurbaya.
"Barangkali," jawab Alimah.
Setelah Nurbaya termenung sejurus, berkata pula ia, seraya mengeluh, "Memang demikianlah nasib kita perempuan.
Adakah akan berubah peraturan kita ini? Adakah kita akan dihargai oleh laki-laki, kelak? Biar tak banyak, sekadar untuk yang perlu bagi kehidupan kita saja pun, cukuplah. Aku tiada hendak meminta, supaya perempuan disamakan benar-benar dengan laki-laki dalam segala hal; tidak, karena aku mengerti juga, tentu tak boleh jadi. Tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu memandang perempuan, sebagai adiknya, jika tak mau ia memuliakan dan menghormati perempuannya, sebagai pada bangsa Eropa. Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan mendengar segala ,yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya, supaya dapat bertukar-tukar pikiran, untuk menajamkan otaknya. Dan berilah ia kuasa atas segala yang harus dikuasainya, agar jangan sama ia dengan boneka yang bernyawa saja.
Perkara rumah tangga, pada pikiranku boleh dimisalkan dengan sebuah negeri, yang diperintahi oleh dua orang wazir.
Kedua wazir ini hampir sama besar kekuasaannya. Seorang wazir perkara dalam negeri, yaitu istri dan seorang pula wazir perkara luar negeri, yaitu suami. Segala hal dalam negeri, yakni perkara rumah tangga, penjagaan anak, makanan, perkakasperkakas dan lain-lainnya, harus dikuasai oleh istri.
Oleh sebab itu harus perempuan faham dalarn segala hal-hal ini. Perkara luar negeri, jadi perkara mencari penghidupan, pekerjaan, perlindungan dan lain-lain, harus dikuasai oleh lakilaki; perempuan tak boleh campur dalam hal itu. Di dalam segala perkara yang penting, yang mengenai kewajiban keduanya, tentulah kedua wazir itu boleh campur-mencampuri kewajiban masing-masing dan bermupakat kedua, supaya dapat yang sebaik-baiknya."
"Tetapi siapakah yang menjadi raja?" tanya Alimah.
"Raja tak ada; segala sesuatu boleh dimupakatkan berdua, supaya bertambah-tambah baik negeri. Jika hendak dilebihkan sedikit kekuasaan wazir luar negeri itu, biarlah, tak mengapa; sebab pahamnya lebih tua, lebih-lebih dalam memutuskan perkara yang sukar-sukar, asal jangan lupa ia, pangkatnya sesungguhnya sama dengan wazir dalam negeri dan janganlah ia sampai bersangka, bahwa ialah raja, jadi dapat berbuat sekehendak hatinya kepada temannya itu.
Kedua mereka itu sebenarnya satu, hanya terjadi dari dua badan. Wazir dalam negeri perlu dapat pertolongan dari wazir luar negeri, dan kebalikannya, wazir luar negeri harus pula dibantu oleh wazir dalam negeri, dalam pekerjaan dan kewajibannya; jadi tolong-menolonglah keduanya, dalam segala kesusahan dan kesenangan, sebagai kata pepatah: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Sekali-kali janganlah masingmasing bersangka, mereka dapat hidup sendiri-sendiri, karena pekerjaan dan kekuasaannya yang berlain-lainan itu.
Sekalian penghasilan laki-laki atau perempuan, tak boleh disembunyi-sembunyikan; baik dengan sebenar-benarnya dinyatakan, supaya dapat dikumpulkan jadi satu. Dari jumlah hasil ini, diberikan sebagian kepada perempuan, untuk belanja rumah tangga, makanan dan lain-lain sebagainya; sebagian pula kepada laki-laki, untuk biaya di luar rumah. Jika ada kelebihan, simpanlah di atas nama berdua atau di atas nama anak. Jika lakilaki kurang percaya kepada perempuan, sebetulnya tak boleh laki-laki demikian, sebab laki-istri itu harus percaya-mempercayai dan harus berhati sama lurus lebih baik janganlah dicampurkan perkara keuangan itu.
Tetapi kalau misalnya pada sangka laki-laki, istrinya kurang pandai menjalankan uang belanja atau pada sangka si perempuan, suaminya sangat boros, tentulah mereka boleh campur-mencampuri tugas dalam perkara keuangan ini.
Lain daripada itu, haruslah masing-masing selalu mencari akal, untuk menyenangkan temannya dan selalu menjaga, supaya jangan sampai sakit menyakiti hati. Jika tumbuh silang selisih, janganlah masing-masing hendak beraja di hati dan bersutan di mata sendiri-sendiri saja, karena jika demikian, menjadi kusutlah penghidupan. Jika terbit marah, tahanlah hati, jangan ber¬katakata atau berbuat apa-apa melainkan dinginkanlah darah yang panas itu dahulu, supaya jangan berbuat atau mengatakan sesuatu, dalam marah; karena hal itu boleh mendatangkan sesal yang tak habis kemudian hari.
Kalau marah tak hendak hilang, bawalah tidur atau berjalanjalan.
Setelah habis marah dan pikiran yang baik timbul pula, bicarakanlah pertikaian itu dengan sabar bersama-sama, supaya mendapat kebenaran. Tak jua dapat diputuskan, barulah dibawa kepada orang tua atau guru, minta diselesaikan; karena biasanya, mereka banyak mempunyai pendapat tentang hal ini. Kalau sudah demikian, tak dapat jua diselesaikan kekusutan itu baiklah bercerai keduanya. Apa boleh buat. Daripada bercampur dalam neraka, lebih baik bercerai dalam surga. Tetapi bercerai itu hendaklah dengan baik, jangan sampai menaruh dendam kesumat. Tatkala kawin dengan baik, bercerai pun dengan baik pula. Siapa tahu, barangkali jodoh masih ada: jadi mudah kembali. Biarpun telah habis sekalipun jodoh, apako gunanya bekas suami atau istri itu dipandang se,bagai musuh? Karena kita telah bercampur beberapa lamanya; menjadi satu dengan dia.
Bukankah lebih baik ia dipandang sebagai saudara? Sedangkan hewan yang telah dipelihara, lagi tak dapat dilupakan dalam sekejap mata, mengapakah manusia, yang terkadang-kadang telah terikat kepada kita dengan tali anak, diperbuat musuh? Berselisih bermaki-makian, sampai terbuka rahasia yang penting-penting, berteriak-teriak, sampai gempar orang sebelahmenyebelah, berpukul-pukulan, sampai berluka-lukaan atau cara lain yang semacam itu bukan saja tak berguna, tetapi menyatakan kita bukan orang yang betertib sopan dan tak tahu peraturan yang baik. Lagi pula ia boleh mendatangkan, bahaya kepada badan sendiri. Bukankah lebih baik, kalau hendak berselisilr, masuk berdua ke dalam bilik, tutup pintu, lalu bicarakan atau keluarkan apa yang terasa dalam hati, perlahan-lahan, supaya jangan diketahui orang.
Apakah gunanya perselisilran kita, diperlihatkan kepada orang lain, yang tiada bersangkut paut dengan hal itu; apalagi karena tiada berapa lama sesudah itu, kita akaii berdamai pula? Pada rasa hatiku, perkara yang sedemikian, masuk rahasia rumah tangga kita; tak ada faedahnya diketahui orang lain. Lagi pula aib rasanya seperti kelakuan anak kecil, sebentar berkelahi, sebentar berbaik. Lihatlah anak-anak! Tatkala berkelahi, bermaki-makian, berpukul-pukulan, seakanakan hendak berbunuh-bunuhan rupanya, tetapi sejurus kemudian berbaik pula, bermain-main, bersama-sama, sebagai orang yang berkasih-kasihan. Sedangkan pada anak-anak telah ganjil rasanya kelakuan yang sedemikian, istimewa pula pada orang yang telah cukup umurnya.
Perselisilian yang kecil-kecil, terkadang-kadang memang tak dapat dihindarkan. Tetapi tak mengapa; itulah tanda bercampur dua barang yang hidup. Sedangkan senduk dengan periuk, ada kalanya lagi berlaga, kata orang; apa pula manusia, yang pikirannya tiada selamanya tetap. Dan acap kali perselisihan itu sebagai garam, menyedapkan makanan; sebab lebih besai perselisihan, lebih nikmat pula perdamaiannya."
Sedang mereka bercakap-cakap itu, kedengaranlah dari jauh, tukang jualan kue berteriak, "Eeee bipang, kue kerambil, kue kacang, wajik lemang, enak-enak eeeii! ... Eee bipang!"
"Hai, telah berapa kali aku dengar tukang kue itu berteriakteriak; rupanya sudah ada pula orang berjual kuekue, pada malam hari di sini," kata Nurbaya, yang telah mulai lelah berkata-kata sedang perutnya mulai merasa lapar pula.
"Benar rupanya; tetapi baru semalam ini kudengar suara itu. Biasanya tiada kemari jalannya, sebab di sini sunyi.
Barangkali ia sesat," jawab Alimah.
"Mari kita panggil ia, Lim! Barangkali enak-enak kuenya," kata Nurbaya pula.
"Ah, apa gunanya? Jika engkau hendak makan kue-kue, di lemari ada, aku sediakan untuk jamu yang datang. Aku sesungguhnya kurang suka makan kue-kue yang dibeli di jalan raya, sebab tak tahu, siapa yang membuatnya dan biasanya barang dagangan itu, tiada diindahkan amat memasaknya; terkadang-kadang kotor," jawab Alirnah.
"Ah, masakan kotor! Aku di kampung Jawa Dalam, acap kali membeli kue-kue itu dengan Samsu. Kami makan bersama-sama dalarn kebun: belum pernah kedapatan yang kotor. Alangkah senang hatinya, bila ia ada bersama-sama dengan kita sekarang ini! Marilah kita beli, nanti bertambahtambah jauh ia," kata Nurbaya seraya menarik tangan saudaranya, mengajaknya keluar, supaya dapat memanggil tukang kue itu.
"Bipang, bawa kemari!" seru Nurbaya.
Setelah hainpir tukang kue itu, bertanyalah Alimah, "Kue dari mana ini?"
"Kue Mak Sati," jawab si penjual.
"Mak Sati di Kampung Jawa?" tanya Nurbaya.
"Saya," jawab tukang kue itu.
"Mengapa belum pernah kulihat engkau di Kampung Jawa?" tanya Nurbaya pula. "Tukang kuenya yang seorang lagi acap kali berjaja di Kampung Jawa Dalam. Aku kenal benar padanya Amat namanya, bukan?"
"Benar. la berjaja di Kampung Jawa Dalam, hamba di s ini," jawab tukang kue itu.
"Tetapi apa sebabnya, baru sekarang ini, kudengar suaramu? Selama ini, di mana engkau?" tanya Alimah.
"Hamba baru datang dari Padang Darat," sahut tukang kue itu, sambil membuka tempat kuenya, akan memperlihatkan jualannya. "Sebab hamba belum dapat pekerjaan yang baik, menjadi tukang kuelah hamba sementara."
"Di mana negerimu," tanya Nurbaya, sambil memeriksa kuekue itu.
"Di Payakumbuh," jawab tukang kue.
"Kue wajik ini tak ada yang baru?" tanya Nurbaya.
"Tak ada," jawab tukang kue. "Akan tetapi jika Orang Kaya suka makan lemang bergula, ada yang masih panas."
"Mana?" tanya Nurbaya.
"Ini," jawab tukang kue, seraya membuka tempat kue yang sebuah lagi dan memilih beberapa lemang yang masih hangaf, lalu ditunjukkannya kepada Nurbaya.
"Baik, berilah empat buah lemang itu!" kata Nurbaya pula.
"Apa gunanya banyak-banyak, Nur? Aku sedang tak enak makan sekarang, nasi pun tiada habis."
Tatkala ifu mengerlinglah tukang kue dengan sudut matanya kepada Alimah. Jika kelihatan oleh Alimah sudut mata ini, tentulah nyata kepadanya, tukang kue itu marah rupanya, mendengar perkataannya ini. Tetapi Alimah tiada melihat kepadanya dan Nurbaya sedang asyik memilih kuekue yang enak-enak.
Setelah diambil Nurbaya beberapa kue yang lain, dibayarnyalah harga makanan itu, lalu berangkatlah tukang kue itu, berjalan cepat-cepat ke luar pekarangan.
Kedua perempuan muda itu pun pergilah duduk ke serambi muka, lalu bercakap-cakap pula, sedang Nurbaya membuka sebuah lemang akan dimakannya.
"Mengapa tiada terdengar lagi suara tukang kue tadi?" tanya Alimah.
"Dipanggil orang yang di rumah muka agaknya," jawab Nurbaya. "Makanlah kue-kue ini!"
"Tadi sudah kukatakan kepadamu, aku telah beberapa hari tak enak makan. Berilah wajik itu sebuah! Aku coba-coba."
"Jangan begitu, Lim! Barangkali sekali inilah lagi kita akan makan bersama-sama. Bila aku telah pergi pula ke Jakarta, tentu susah kita akan bertemu kembali, sebab Samsu rupanya tak hendak kembali lagi ke Padang ini. Ia hendak tinggal selamalamanya di tanah Jawa. Bila aku telah ada di sana, is hendak menjual segala hartaku yang masih ada di sini, untuk pembeli rumah di sana. Dan bila aku telah senang kelak, kumintalah engkau datang. Maukah engkau, Lim?" tanya Nurbaya, sambil memakan lemang yang telah dikupasnya itu.
"Tentu mau, sebab aku pun ingin hendak melihat tanah Jawa; lebih-lebih kola Jakarta."
"Hai, mengapakah lemang ini pahit gulanya?" tanya Nurbaya.
"Barangkali gula enaunya kurang baik atau angus memasaknya," jawab Alimah.
"Barangkali ini enak," kata Nurbaya pula sambil mengupas sebuah lemang lagi. Yang pertama tadi, telah habis dimakannya. "Sesungguhnya kola Jakarta itu sangat besar; sepuluh kali lebih besar dari kola Padang ini agaknya. Dan ramainya tak dapat dikatakan; siang malam di jalan raya penuh orang dan kendaraan serta kereta-kereta, bermacammacam.
Bagusnya pun tak ada bandingannya; penuh dengan gedung yang cantik-cantik dan kedai yang besar-besar. Patut dijadikan ibu negeri, tempat kedudukan Pemerintah Tinggi.
Tetapi istana yang sebenarnya ada di Bogor, karena hawa negeri ini dingin; sedang di Jakarta sangat panas. Nanti, bila aku telah ada di Jakarta pula, tentulah kami akan berjalanjalan ke Bogor, kata Samsu.
Sekarang inilah baru berasa senang benar hatiku, Lim, karena tak ada alangan apa-apa lagi. Tambahan pula, tatkala aku di Jakarta, nyata benar olehku, hati Samsu sekali-kali tiada berubah kepadaku. Alangkah senangnya rasa hatiku, ketika berjalan jalan dengan dia, bersiar-siar dam berputarputar, naik bendi dan kereta, melihat kola Jakarta... Ah, mengapa pening kepalaku ini rasanya?"
"Barangkali kurang tidur tadi malam," jawab Alimah.
"Tidak, siang tadi, lama aku tidur. Hai, seperti berputar penglihatanku."
"Marilah masuk, coba tidurkan!"
"Ya," jawab Nurbaya, lalu berdiri, hendak masuk ke ruang tengah, tetapi tiba-tiba jatuhlah ia. Oleh sebab itu dipeluklah oleh Alimah pinggangnya, lalu dibawanya masuk ke bilik dan ditidurkannya di alas tilam.
"Tolong pijit sedikit kepalaku ini, Lim! Barangkali benar aku masuk angin."
"Baiklah," jawab Alimah; lalu dipijitnya kepala Nurbaya.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, tertidurlah Nurbaya rupanya.
Tatkala memijit itu berpikir Alimah dalam hatinya, "Mengapakah Nurbaya tiba-tiba jadi pening? Apakah yang diperbuatnya tadi? Pukul setengah sebelas ia telah tidur.
Biasanya sampai jauh malam is masih bercerita-cerita dan bercakapcakap."
Walaupun Nurbaya telah terlena, masih dipijit juga oleh Alimah kepalanya, sampai beberapa lamanya. la takut adiknya itu akan terbangun pula karena kurang enak rasa badannya; apalagi karena Nurbaya rupanya senang kena pijitnya, sebab lekas ia tertidur.
Ketika ia berdiri hendak pergi tidur pula, diperhatikannya muka adiknya itu. Sangatlah is terperanjat melihat Nurbaya, sebagai tiada bernafas lagi, lalu diguncangkannya badan Nurbaya, supaya bangun. Tetapi sesungguhnyalah, perempuan yang malang itu, tak ada lagi.
Maka menjeritlah Alimah, meratap menangis amat sangat, sehingga ibu bapanya terperanjat bangun dan datang berlarilari.
Tatkala dilihat Fatimah, Nurbaya terhantar di tempat tidurnya, tiada bergerak lagi, lalu berteriaklah pula ia menangis dengan merentak-rentak dan memukul-mukulkan tangannya, sehingga ramailah bunyi ratap di rumah itu. Orang sebelah-menyebelah pun gempar datang, hendak mengetahui, apa yang terjadi di situ. Tetapi seorang pun tak dapat memberi keterangan yang nyata, selainnya daripada Nurbaya telah meninggal. Malam itu juga Ahmad Maulana pergi memanggil dokter dan dua jam kemudian datanglah dokter itu,lalu memeriksa Nurbaya dan nyatalah kepadanya, bahwa Nurbaya memang telah meninggal. Walaupun dokter mencobakan sekalian ilmunya, untuk menolong Nurbaya, tetapi sia-sia belaka.
Karena menurut cerita Alimah, Nurbaya berasa badannya tak enak sesudah memakan lemang itu, diambillah oleh dokter lemang yang tinggal lagi dengan kue-kue lain, akan disuruh diperiksanya. Pada keesokan harinya nyatalah kepadanya, bahwa Nurbaya termakan racun. Itulah yang menyebabkan mautnya.
Meskipun perkara terserah ke tangan polisi, tetapi yang bersalah, tiada kedapatan.
Untuk mengetahui penjahat ini, marilah kita kembali mengikuti tukang kue tadi.
Setelah sampai ia ke jalan besar, tiba-tiba keluarlah seseorang yang memakai serba hitam dari balik pohon kayu, lalu menghampiri tukang kue itu. Setelah dekat bertanyalah ia, "Bagaimana Pendekar Empat?"
"Dibelinya, dan aku berikan yang bergula enau."
"Bagus! Sekarang marilah kita pergi kelas-lekas dari s ini."
"Tetapi peti kue ini bagaimana?" tanya Pendekar Empat.
"Nanti; di rumah kosong itu ada sumur yang tiada dipakai lagi. Ke sanalah kaumasukkan peti ini," jawab Pendekar Lima.
"Tetapi aku khawatir juga, kalau-kalau yang lain pun kena pula," kata Pendekar Empat.
"Ada siapa lagi di sana?" tanya Pendekar Lima.
"Alimah; tetapi katanya ia tak mau memakan kue-kue, sebab perutnya tak enak. Itulah sebabnya dilarangnya Nurbaya membeli banyak-banyak. Panas hatiku mendengar perkataannya itu. Jika tidak di rumahnya, kuterjang ia, supaya mulutnya jangan dapat berkata-kata lagi," sahut Pendekar Empat.
"Berapa buah dibelinya lemangmu?" tanya Pendekar Lima pula.
" "Empat buah;" jawab Pendekar Empat.
"Masakan keempatnya dimakan Nurbaya sebab sebuah lemang pun cukup untuk membawa dua tiga orang ke pintu kubur. Akan tetapi, tahu benarkah engkau, keempatnya berisi gula?"
"Tahu, sebab yang berisi gula itu, kupisahkan."
"Jika demikian, tentulah sampai maksud kita, sekali ini," kata Pendekar Lima.
"Turutlah aku!" lalu hilanglah keduanya pada tempat yang gelap.
Pada keesokan harinya, tatkala sampai kabar kematian Nurbaya ini kepada Sitti Maryam, yang sedang sakit keras di Kampung Sebelah, karena terkejut ditinggalkan anaknya Samsu, tiba-tiba berpulanglah pula ibu Samsulbahri ini, sebab kabar itu rupanya sangat menyedihkan hatinya.
Pada hari itu, kelihatanlah dua jenazah, dibawa ke gunung Padang. Kedua perempuan yang sangat dicintai Samsu ini, dikuburkan dekat makam Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya.
- ↑ dikunjung-kunjungi