II. Sutan Mahmud Dengan Saudaranya yang Perempuan sunting

Pada senja hari yang baru diceritakan, kelihatan bendi Sutan Mahmud masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di kampung Alang Lawas. Di dalam bendi ini duduk Sutan Mahmud.

Memang gagah rupanya Penghulu ini duduk.di atas bendinya, bertopangkan tongkat ruyung dengan kedua belah tangannya. Destamya yang berbentuk "ciling menurun" itu adalah sebagai suatu mahkota di atas kepalanya. Bajunya jas putih, berkancingkan "letter W," dan ujung lengan bajunya itu berpetam sebagai baju opsir. Celananya—celana panjang putih, sedang di antara baju dan celana kelihatan sarungnya, kain sutera Bugis hitam, yang terjuntai hampir sampai ke lututnya.

Sepatunya sepatu kasut, yang diperbuat dari kulit perlak hitam.

Rupanya Penghulu ini, tak guna kita rencanakan, karena adalah sebagai pinang dibelah dua dengan rupa anaknya Samsulbahri. Di antara Penghulu-penghulu yang delapan di kota Padang waktu itu, Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya pun baik; pengasih penyayang kepada anak buahnya, serta adil dan lurus dalam pekerjaannya.

Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan Mahmud, dan Penghulu ini turun dari atas kendaraannya, lalu naik ke atas rumah ini. Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana, pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat hitam. Di dalam pekarangan ini, banyak tumbuh-tumbuhan yang sedang berbuah dan bungabungaan yang sedang berkembang.

Jalan masuk ke rumah ini, bentuknya sebagai bulan sebelah, dan kedua pintunya, dapat ditutup dengan pagar besi yang bercat putih. Pada bentuknya nyata, gedung ini buatan lama; karena bangunnya tinggi, tiangnya besar-besar berukirukiran, lantainya papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi dengan rumbia, sehingga tak mudah bocor.

Pada dindingnya yang dicat putih itu, tergantung beberapa gambar Sultan Turki dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di bawah rumah itu, sekelilingnya berkisi-kisi papan kecil-kecil, yang bercat hitam. Di serambi muka, yang dipagari kisi-kisi kayu berpahat, ada sebuah lampu gantung, yang dapat dikerek turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran timah, bertutupkan gelas, sedang di bawah lampu itu adalah sebuah meja marmar bulat, yang kakinya berukir-ukiran pula, dikelilingi oleh empat buah kursi goyang, macam dahulu. Serambi ini tengahnya menganjur ke muka sedikit. Di sanalah bertemu kedua tangga yang terletak di kanan-kiri serambi.

Rupanya Sutan Mahmud telah biasa masuk rumah ini, karena ia terus berjalan ke serambi belakang. Di sana kelihatan olehnya seorang anak gadis yang berumur kira-kira 15 tahun, sedang duduk menjahit di atas tikar pandan dekat sebuah pelita.

Tatkala Sutan Mahmud melihat anak perempuan ini, berhentilah ia sejurus, lalu bertanya, "Ke mana ibumu, Rukiah?"

Mendengar perkataan ini, terperanjatlah anak perempuan itu, lalu mengangkat mukanya menoleh, kepada Sutan Mahmud. Tatkala dilihatnya Penghulu ini berdiri di belakangnya, segeralah diletakkannya jahitannya, lalu berdiri, sambil berkata, "Sedang sembahyang, Mamanda." Kemudian ia hendak masuk ke dalam sebuah bilik, akan melihat, sudahkah ibunya sembahyang.

"Sudahlah, biarlah! Aku nanti sebentar," kata Sutan Mahmud, lalu duduk di atas sebuah kursi makan, di sisi sebuah meja marmar kecil.

Tatkala itu terdengarlah suara seorang perempuan bertanya dari dalam bilik, tempat perawan tadi akan masuk, "Siapakah itu, Rukiah?"

"Mamanda Penghulu," jawab Rukiah.

"O, tunggulah sebentar! Kukenakan pakaianku dahulu, karena aku baru sudah sembahyang."

Sementara itu bertanyalah Sutan Mahmud kepada Rukiah, "Apakah yang kaujahit itu, Rukiah?"

"Baju kerawang, Mamanda," jawab Rukiah, seraya berkemas, untuk menyimpan penjahitannya.

"Coba kulihat!" kata Sutan Mahmud pula. Rukiah, membawa jahitannya, talu memperlihatkannya kepada Sutan Mahmud.

"Bagus benar buatanmu ini," kata Sutan Mahmud. "Untuk siapa baju ini?"

Mendengar pertanyaan sedemikian, terdiamlah Rukiah, lalu tunduk kemalu-maluan. "Untuk siapa-siapa saja yang suka," jawabnya.

"Yang suka, tentu banyak. Aku misalnya, ingin sekali memakai baju kerawang yang sedemikian," kata Sutan Mahmud, akan mempermain-mainkan gadis ini.

"Kalau Mamanda suka, bolehlah Mamanda ambil. Tetapi rasa hamba baju ini kecil bagi Mamanda."

"Pada sangkaku pun demikian juga, Rukiah. Orang yang akan memakai baju ini, tentulah remaja yang sebaya dengan engkau, dan yang badannya seramping badanmu; bukannya lakilaki tua tambun, sebagai aku ini," jawab Sutan Mahmud dengan tersenyum.

Rukiah tunduk kembali kemalu-maluan, serta merah mukanya. Tatkala itu keluarlah seorang perempuan yang umurnya kira-kira 45 tahun, dari dalam bilik tadi, memakai baju kebaya panjang, dari cela hitam dan kain Bugis. Rupanya perempuan ini hampir seroman dengan Sutan Mahmud: hanya badannya kurus sedikit. Pada air mukanya yang agak berlainan dengan wajah muka Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik, yaitu dengki dan bengis.

Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud duduk di atas kursi lalu ditegurnya, "Engkau, Penghulu! Alangkah besar hatiku melihat engkau ada pula di rumah ini; karena telah sekian lama engkau tiada datang kemari. Hampir aku bersangka, engkau telah lupa kepada kami."

"Bukan demikian, Kakanda! Maklumlah hal kami pegawai Pemerintah! Pekerjaan tiada berkeputusan: rodi, ronda, perkara jalan, perkara polisi, perkara ini dan itu, tidak berhenti," jawab Sutan Mahmud.

"Ya, tentu; tetapi ... Rukiah, pergilah masak air panas, untuk mamandamu ini! Masih adakah kue-kue dalam lemari?"

"Ada, Bunda," jawab Rukiah.

"Ah, tak usah, karena aku baru minum teh di rumah, Rukiah," kata Sutan Mahmud pula.

"Mengapa? Tidakkah sudi lagi engkau makan di sini? Tidakkah percaya lagi engkau kepada saudaramu?" tanya perempuan itu, seraya rnengangkat mukanya, sebagai hendak marah.

"Ah, apakah sebabnya Kakanda berkata demikian? Masakan hamba menaruh syak wasangka pada Kakanda? Kalau tiada Kakanda, siapa lagi yang boleh hamba percayai?" jawab Sutan Mahmud dengan tenangnya, tetapi, senyumnya mulai hilang dari bibirnya.

"Pergilah Rukiah masak air, tetapi kopinya jangan terlalu keras!" kata perempuan itu pula.

Setelah itu, anak perawan ini lalu pergi ke dapur, mengerjakan apa yang telah dikatakan ibunya.

"Jangan engkau marah, apabila aku berkata demikian kepadamu, karena sesungguhnya engkau rupanya makin lama makin kurang kepada kami. Dahulu setiap hari engkau datang kemari, makan dan minum di sini dan kadang-kadang tidur pula di s ini. Baran apa yang kaukehendaki, engkau minta atau kauambil sendiri. Rumah ini kaupandang sebagai ramahmu sendiri. Akan tetapi sekarang ini, jangankan tidur di sini, menjaga kami, datang melihat kami kemari sekali sejumat pun tidak.

Apabila kuberikan apa-apa kepadamu, tak hendak kaumakan, sebagai takut dan tak percaya engkau kepada rumah ini dan isinqa; padahal di sinilah tumpah darahmu, di sinilah tumpah darahku dan di sinilah pula orang tua-tua kita tinggal telah lebih dari 80 tahun dan di sini pula ayah-bunda kita berpulang ke rahmatullah. Bagaimana boleh sampai hatimu sedemikian itu, tiadalah dapat kupikirkan," kata putri Rubiah, seraya menyapu air matanya, yang berlinang-linang di pipinya.

Melihat kakandanya menangis, menjadi lemahlah kembali hati Sutan Mahmud yang tadi mulai panas, lalu ia menjawab, "Janganlah Kakanda berkecil hati, sebab tidaklah ada hamba berhati sedemikian itu; hanya maklumlah Kakanda, Tuan Kemendur ini baru, perintahnya keras; jadi harus berhati-hati memegang pekerjaan, supaya jangan mendapat nama yang kurang baik. Kakanda tahu sendiri, sejak dari nenek moyang kita, yang semuanya bekerja pada kompeni, belum ada yang mendapat nama jahat, melainkan pujianlah yang diperoleh selama-lamanya. Alangkah sayangnya dan malunya hamba, bila nama yang baik itu, pada hamba menjadi kurang baik!"

"Ah, tetapi pada sangkaku, walaupun engkau tiada menjadi Penghulu sekalipun, engkau akan lupa juga kepada kami dan rumah ini," kata putri Rubiah pula. "Semenjak engkau telah kawin dan beranak, tiadalah lain yang kaupikirkan anak dan istrimu, serta rumah tanggamu saja."

"Jika tiada begitu, bagaimana pula? Kalau tiada hamba yang harus memelihara anak istri hamba, siapa lagi," tanya Sutan Mahmud dengan tercengang.

"Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada mamandanya, saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat kita?" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau adat nenek moyang kita itu?"

"Benar, tetapi si Marhum tak berapa pendapatannya dan banyak pula tanggungannya yang lain; jadi malu hamba, kalau si Samsu hamba serahkan ke tangannya," jawab Sutan Mahmud.

"Ya, tetapi apabila kemenakanmu yang menjadi tanggunganmu sendiri tersia-sia, tiada engkau malu," kata putri Rubiah pula.

"Tersia-sia bagaimana?" tanya Sutan Mahmud.

"Tidakkah tersia-sia namanya itu? Tidak dilihat-lihat dan tidak diindahkan. Entah berbaju entah tidak, entah kelaparan entah kesusahan, entah sakit entah mati. Anakmu kaumasukkan ke sekolah Belanda, kauturut segala kehendaknya, makan tak kurang, pakaian cukup. Jika hendak pergi, bendimu telah tersedia akan membawanya, dan tiada lama lagi akan engkau kirim pula ia ke Jakarta, meneruskan pelajarannya. Dari situ barangkali ke negeri Belanda pula karena kepandaian di sana, belumlah memadai baginya. Kalau ada sekolah untuk menjadi raja, tentulah. ke sana pula kauserahkan anakmu itu, sebab ia tak boleh menjadi orang sebarang saja, melainkan harus menjadi orang yang berpangkat tinggi. Bukankah sekalian itu memakan biaya? Untuk anakmu selalu ada uangmu, untuk anakku selamanya tak ada."

"Rukiah tidak bersekolah itu bukan salah hamba, melainkan salah Kakanda sendiri. Sudah berapa kali hamba minta kepada Kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi Kakandalah yang tak suka, karena tak baik, kata Kakanda, anak perempuan pandai menulis dan membaca; suka menjadi jahat.

Sekarang hamba yang disalahkan. Lagi pula hamba sekolahkan si Samsu bukan karena apa-apa, melainkan sebab pada pikiran hamba, kewajiban bapaklah memajukan anaknya," kata Sutan Mahmud sambil merengut.

"Bukan kewajibanmu, melainkan kewajiban mamaknya[1]" jawab putri Rubiah. "Untung anakku perempuan, tak banyak merugikan engkau. Akan tetapi walaupun ia laki-laki sekalipun, belum tentu juga akan kauserahkan ke sekolah, karena orang bersekolah itu orang yang hina dan miskin, yang tak dapat makan, kalau tiada berkepandaian. Anakku putri, bangsanya tinggi, tak perlu bekerja untuk mencari makan. Biarpun ia bodoh, masih banyak orang kaya dan bangsawan yang suka kepada ketinggian bangsanya. Anakmu bukan demikian halnya; ia hanya marah karena ibunya orang kebanyakan.

Kalau tak berkepandaian, tentu tak laku..." kata putri Rubiah dengan keras suaranya, lalu berhenti sejurus, sebagai tak dapat meneruskan sesalannya.

"Sampai sekarang aku belum mengerti, bagaimana pikiranmu, tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau pandang? Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau bangsa tak ada, Serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang suka menjemputnya?" [2] "Rupanya bagi Kakanda, perempuan itu haruslah berbangsa tinggi, baru dapat diperistri. Pikiran hamba tidak begitu; bahwa kawin dengan siapa saja, asal perempuan itu hamba sukai dan ia suka pula kepada hamba. Tiada hamba pandang bangsa, rupa atau kekayaannya," jawab Sutan Mahmud yang mulai naik darahnya.

"Memang adat dan kelakuanmu telah berubah benar. Tiada lama lagi tentulah akan kautukar pula agamamu dengan agama Nasrani," kata putri Rubiah.

Sutan Mahmud tiada menjawab melainkan mengangkat bahunya, seraya menoleh ke tempat lain.

"Pekasih[3] apakah yang telah diberikan istrimu itu kepadamu, tidaklah kuketahui; hingga tidak tertinggalkan olelunu perempuan itu; sebagai telah tetikat kaki tanganmu olehnya. Sekalian Penghulu di Padang ini beristri dua tiga, sampai empat orang. Hanya engkau sendirilah yangdari dahulu,hanya obat-obatan (guna-guna di tanah Jawa). perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada bertambah-tambah. Bukankah harus orang besar itu beristri banyak? Bukankah baik orang berbangsa itu beristri berganti-ganti, supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristri hanya seorang saja? Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada berpangkat dan tiada berbangsa, terkadangkadang sampai empat istrinya, mengapa pula engkau tiada?"

"Pada pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia tidak," jawab Sutan Mahmud dengan merah mukanya. "Kalau perempuan tak boleh bersuami dua tiga, tentu tak harus laki-laki beristri banyak."

"Cobalah dengar perkataannya itu! Adakah layak pikiran yang sedemikian? Tiap-tiap laki-laki yang berbangsa dan berpangkat tinggi, malu beristri seorang, tetapi engkau malu beristri banyak. Bukankah sttdah bertukar benar pikiranmu itu? Sudah lupakah engkau, bahwa engkau seorang yang berbangsa dan berpangkat tinggi? Malu sangat rasanya aku, bila kuingat saudaraku, sebagai seorang yang tak laku kepada perempuan, kepada putri dan Sitti-Sitti Padang ini, walaupun bangsa dan pangkatnya tinggi," kata putri Rubiah. "Dan bukankah rugi itu? Tentu saja tak sampai-menyampai belanjamu, bila gajimu saja yang kauharapkan. Cobalah lihat adikmu! Walaupun tiada bergaji, tetapi tidak pernah kekurangan uang. Belum tahu ia kemari dengan tiada memberi aku dan kemanakannya. Wahai, kasihan Anakku! Celaka benar untungnya. Sudah tiada diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula dicarikannya.

Anak orang umur 12 atau 13 tahun, setua-tuanya umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku, hampir beruban, masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya, tentulah tiada akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan digadaikannya kepalanya. Dan aku ini mengapalah sampai begini nasibku? Berbeda benar dengan untung perempuan yang lain. Meskipun ada saudaraku yang berpangkat tinggi, tetapi aku adalah sebagai anak dagang, yang tiada berkaum keluarga. Tiada diindahkan, tiada dilihatlihat; belanja dan pakaian pun tak diberi. Kepada siapakah aku akan meminta lagi, jika tiada kepadamu, Mahmud?" kata putri Rubiah, sambil menangis bersedih hati.

Sutan Mahmud yang mulai merah mukanya, karena marah mendengar umpatan yang sedemikian, hatinya menjadi reda kembali, tatkala melihat saudaranya menangis.

"Sudahlah Kakanda, jangan menangis lagi! Memang maksud hamba datang ini hendak membicarakan hal Rukiah."

"Apakah gunanya dibicarakan juga lagi? Menambah sedih hatiku saja. Kalau engkau tak beruang, masakan ia mau.

Sudahlah, biarlah anakku menjadi perawan tua. Bukan aku saja yang akan malu, tetapi terlebih-lebih engkau; karena tentulah orang akan berkata, "Seorang Penghulu tiada sanggup mencarikan suami kemanakannya!"

"Berapa uang jemputan yang dimintanya?" tanya Sutan Mahmud pula dengan tiada mengindahkan perkataan saudaranya itu.

"Sudah beberapa kali kukatakan 300 rupiah[4]," jawab perempuan itu.

"Tak mau ia kurang? 200 atau 250 rupiah misalnya?" tanya Sutan Mahmud.

"Kalau kepada tukang ikan ia akan dikawinkan, tentu tak usah menjemput sedikit jua pun. Tetapi engkau tentu maklum, anakku tak boleh dan tak suka kukawinkan dengan sebarang orang saja. Apakah jadinya dengan keturunan kita kelak?"

"Baiklah, apa lagi permintaannya?" tanya Sutan Mahmud dengan sabar.

"Arloji mas dengan rantainya, cincin berlian sebentuk, pakaian selengkapnya, dengan beberapa helai kain sarung Bugis dan kain batik Jawa, bendi dengan kudanya," jawab putri Rubiah.

"Astaga! Dari mana akan hamba peroleh sekaliannya itu?" kata sutan Mahmud.

"Bukankah sudah kukatakan; kalau tak cakap engkau mengadakan permintaan orang itu, janganlah dibicarakan juga perkara ini. Apa gunanya engkau menyedihkan hatiku? Lakilaki lain, aku tak suka."

"Sudahlah, apa boleh buat! Jemputlah dia!" kata Sutan Mahmud, sambil mengeluh. "Perkara bendi itu gampang; jika tak ada, boleh ambil bendiku."

"Benar?" tanya putri Rubiah, dan matanya terang kembali karena mendengar perkataan ini.

"Benar," jawab Sutan Mahmud dengan pendek.

"Di mana engkau dapat uang?" tanya perempuan itu pula.

"Dari Datuk Meringgih," jawab Sutan Mahmud. "Berapa?"

"3000 rupiah," jawab Sutan Mahmud.

"O, kalau sekian, tentu cukup; sebab engkau maklum, perkakas Rukiah untuk penyambut' suaminya, tentu harus cukup. Ranjangnya tentulah sekurang-kurangnya tiga lapis kelambunya, daripada sutera. Dan bantal seraga (bantal tinggi) harus dari sutera pula, diberi bertekat benang Makau sekaliannya harus diadakan. Belanja alat yang tujuh hari tujuh malam, dengan biaya perarakan dan gajah mena[5] tidak sedikit."

Tatkala itu datanglah putri Rukiah membawa suatu hidangan, yang berisi semangkuk kopi dengan kue-kue, ke hadapan Sutan Mahmud, lalu diletakkannya di atas meja. Kemudian masuklah ia ke dalam biliknya. Rupanya ia mengerti, bahwa orang tuanya itu sedang memperbincangkan hal yang tak boleh didengarnya, sebab ketika ia sampai ke sana, tiba-tiba kedua mereka berhenti sejurus berkata-kata. Tetapi ada juga didengarnya namanya disebut. "Barangkali mereka memperbincangkan perkara perkawinanku," pikir putri Rukiah dalam hatinya. Tetapi tatkala itu juga ia berkata dalam hatinya, sebagai hendak melenyapkan pikiran yang demikian, "Ah, tak layak bagi seorang anak perawan, memikirkan hal ini."

"Jadi bilakah maksud Kakanda hendak melangsungkan pekerjaan itu?" tanya Sutan Mahmud, tatkala putri Rukiah tak ada lagi, sambil mengangkat mangkuk kopinya.

"Kehendak hatiku selekas-lekasnya," jawab putri Rubiah.

"Tetapi engkau tentu maklum, pekerjaan ini tak dapat diburuburukan. Tiga bulan lagi, barulah dapat pada sangkaku, karena tentulah aku harus bersedia-sedia lebih dahulu.

Pakaian Rukiah belum ada dan pakaian penerimaan Sutan Mansyur, yang bakal menjadi suaminya itu pun belum cukup.

Perkakas ranjang dan bantal-bantal seraga pun belum disediakan, demikian pula kuekue. Lagi pula tentulah sekalian kaum keluarga sahabat kenalan kita yang dekat dan yang jauh, harus diberi tahu lebih dahulu."

"Kepada sanak saudara yang jauh jauh, boleh hamba tulis surat, tetapi kepada yang dekat-dekat biarlah si Hamzah saja memberitahukan," kata Sutan Mahmud.

Belum sampai habis diminum kopi itu oleh Penghulu Sutan Mahmud, tiba-tiba kedengaranlah dari jauh katuk-katuk berbunyi, alamat ada orang mengamuk. Sutan Mahmud segera mengangkat kepalanya, akan mendengarkan benarbenar bunyi itu. Katuk-katuk itu makin lama makin keras dan makin cepat bunyinya, dan sejurus kemudian disahutinya oleh katuk-katuk rumah jaga yang dekat dari sana.

"Orang mengamuk!" kata Sutan Mahmud, sambil berdiri hendak pergi ke luar.

"Ya," kata putri Rubiah dengan gemetar suaranya, "tetapi janganlah kaupergi ke sana."

"Mesti," jawab Sutan Mahmud, "barangkali dalam daerah hamba." Tatkala itu juga putri Rukiah keluar dan dalam biliknya, lalu pergi kepada mamandanya, sarnbil memegang tangan Sutan Mahmud, dan berkata dengan gemetar dan pucat mukanya, "Jangan Mamanda pergi! Hamba sangat takut, kalau-kalau orang itu masuk ke dalam rumah ini."

"Ah, barangkali di kampung Jawa atau di Olo; bukan di kampung ini," sahut Sutan Mahmud akan menghilangkan takut kemanakannya.

"Tetapi janganlah pergi! Sebab di sini tak ada laki-laki. Si Lasa sakit dan si Hamzah tak ada," kata putri Rubiah pula.

Sutan Mahmud terdiri sejurus, tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Pergilah ia menjalankan kewajibannya atau tinggalkan menjaga saudaranya dan kemanakannya.

"Ke mana si Hamzah?" tanyanya, setelah berdiam seketika.

"Entahlah," jawab saudaranya, "jangan jangan ia yang mendapat bahaya."

Ketika itu kedengaran suara orang cepat-cepat naik tangga rumah. Kedua perempuan ini makin bertambah-tambah takut, lalu datang menghampiri Sutan Mahmud dan berdiri di belakangnya.

"Siapa itu?" tanya putri Rubiah kepada Sutan Mahmud.

"Ah, barangkali si Ali akan memberitahukan hal ini," jawab Sutan Mahmud.

"Engkau Ali?" tanyanya. Tiada beroleh jawaban.

Tiada lama kemudian daripada itu berdiri seorang-orang muda di hadapan mereka, yang rupanya hampir serupa dengan Sutan Mahmud. Hanya umurnya lebih muda. Anak muda ini memakai baju putih berkerawang, kain Palembang, selop hitam, topi sutera hitam yang miring letaknya di atas kepalanya. Bibirnya merah sebagai baru makan sirih. Di kocek bajunya tergantung rantai arloji naga-naga, yang terbuat daripada mas. Buah bajunya pun dari mas pula. Pada jari manisnya kelihatan sebentuk cincin yang bermata intan.

Menurut wajah mukanya, kecil badannya, bangsa dan mampu, yang dari kecilnya belum pernah merasai kesengsaraan dan kesusahan. Oleh sebab itu tiadalah lain yang diketahuinya, melainkan bersuka-suka dan bersenang-senangan. Perkara yang akan datang dan hal yang telah lalu tiadalah pernah dipikirkannya.

Apabila ada uangnya 100 rupiah, sehari itu juga dihabiskannya, diboroskannya atau diperjudikannya. Jika tak beruang, dijual atau digadaikannya segala barang yang ada padanya. Itulah sebabnya maka kehidupannya tak tentu; terkadang-kadang ada ia beruang, terkadang-kadang tak ada.

Akan tetapi sebab ia seorang yang "pandai hidup", sebagai kata peribahasa Melayu, selalulah rupanya seperti orang yang tak pernah kekurangan.

"Ha, untung engkau datang, Hamzah! Kalau tidak, tak tahu aku apa yang akan diperbuat waktu ini. Tetapi dari mana engkau?" tanya Sutan Mahmud.

"Dari tanah lapang, hendak kemari. Tatkala sampai ke rumah jaga, di ujung jalan ini, kedengaran oleh hamba bunyi katukkatuk; sebab itu hamba berlari-lari kemari."

"Di mana orang mengamuk?" tanya Sutan Mahmud.

"Entah! Orang jaga pun tak tahu pula," jawab Sutan Hamzah.

"Baiklah, tinggallah engkau di sini, sebab aku hendak pergi memeriksa pengamukan ini."

"Ah jangan, Mahmud! Biarlah mereka berbunuh-bunuhan di sana. Apa pedulimu?" kata putri Rubiah.

"Tak boleh demikian. Seorang Kepala Negeri harus mengetahui dan memeriksa hal ini; lebih-lebih kalau pengamukan itu terjadi dalam kampung pegangan hamba," jawab Sutan Mahmud.

"Lebih sayangkah kepada pangkatmu daripada kepada jiwamu?" tanya putri Rubiah pula.

"Ah, jangan kuatir! Belum tentu hamba mati."

"Kalau di dalam pegangan Kakanda terjadi pengamukan itu, sedang Kakanda tak ada, tentulah Kakanda dapat nama kurang baik," kata Sutan Hamzah mencampuri percakapan ini.

Oleh sebab tiada tertahan rupanya oleh putri Rubiah maksud saudaranya ini, berkatalah ia, "Baiklah, tetapi hati-hati menjaga diri! Pangkat dapat dicari, tetapi nyawa tak dapat disambung dan bawalah keris pusaka Ayah itu besar tuahnya."

"Baiklah," jawab Sutan Mahmud, "mana dia?"

"Tunggu!" kata. utri Rubiah, lalu masuk ke biliknya.

Sebentar lagi keluarlah putri Rubiah membawa sebilah keris tua, yang dibungkus dengan kain putih, lalu diberikannya kepada Sutan Mahmud: "Hamzah, tutuplah pintu dan tinggallah engkau di sini! Jaga rumah baik-baik!"

Sambil berkata demikian, Sutan Mahmud pun keluarlah, lalu turun dan melompat naik bendinya, yang berangkat waktu itu juga.

  1. Saudara ibu yang laki-laki
  2. Memberi uang tatkala kawin
  3. Ilmu supaya dikasihi atau dicintai, biasanya memakai
  4. Harga uang dulu tinggi dari uang sekarang
  5. Kendaraan atau usung-usungan untuk pengantin, bentuknya semacam ikan laut