Sitti Nurbaya/Bab 3
III. Berjalan-Jalan ke Gunung Padang
suntingPada keesokan harinya, pukul lima pagi. Samsulbahri terperanjat bangun dari tidurnya, karena mendengar bunyi lonceng jam yang ada di rumahnya, lima kali memukul.
Dengan segera diangkatnya kepalanya lalu menoleh ke celah-celah dinding biliknya, akan melihat, sudah adakah cahaya matahari yang masuk ke dalam rumahnya atau belum.
Rupanya ia takut kesiangan. Akan tetapi walaupun ia menoleh ke sana kemari dan mendengar hatihati, kalau-kalau ada suara orang, tiadalah lain yang dilihatnya daripada sinar lampu biliknya sendiri. Sekaliannya masih sunyi senyap; orang yang telah , meninggalkan tempat tidurnya, belum ada. Hanya dari jauh kedengaran olehnya kokok ayam jantan bersahutsahutan di segala pihak, sebagai orang bersorak bergantiganti, karena berbesar hati menyambut kedatangan fajar. Dari sebelah timur, kedengaran bunyi puput kereta api di setasiun Padang sekali-sekali, sebagai hendak memberi ingat kepada mereka yang hendak menumpang dan berangkat pagipagi.
Dari sebelah barat kedengaran ombak yang memecah di tepi pantai, sebagai guruh pagi hari, yang menyatakan hari akan hujan sehingga kecillah hati Samsu mendengar bunyi ini, takut kalau-kalau maksudnya, akan bermain-main ke gunung Padang, tiada dapat disampaikannya. Dari surau yang dekat di sana, kedengaran orang bang, memberi ingat kepada sekalian yang hendak berbuat ibadat kepada Allah subhanahu wataala, bahwa subuh telah ada.
Oleh sebab nyata oleh Samsu, bahwa hari baru pukul lima pagi, direbahkannyalah kembali badannya ke atas tilamnya; bukannya hendak tidur pula, melainkan sekadar berbaringbaring, menunggu hari siang. Akan tetapi ia gelisah, karena pikirannya telah digoda oleh kenang-kenangan akan pergi bersuka-sukaan itu. Sebentar-bentar berbaliklah ia ke kanan dan ke kiri, sebagai berduri tempat tidurnya. Akhirnya, karena tak dapat menahan hati, bangunlah ia dari tempat tidurnya, lalu dibukanya pintu biliknya perlahan-lahan, karena kuatir kalaukalau ayahnya yang sedang tidur, terbangun pula.
Tatkala sampailah ia ke luar, kelihatan olehnya cuaca amat terang, bukan karena sinar matahari, melainkan karena cahaya bulan, yang hampir tenggelam di sebelah barat. Di langit banyak bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, seakan-akan embun di tengah padang yang luas, mengilat di celah-celah rumput. Akan tetapi bintang timur, mulai pudar cahayanya, diliputi cahaya fajar yang telah menyingsing di sebelah timur. Burung murai mulai berkicau di pokok kayu, lalu terbang ke tanah akan menangkap ulat-ulat dan cengkerik yang alpa, belum masuk bersembunyi ke dalam lubangnya.
Burung-burung yang lain pun mulai pula meninggalkan sarangnya, ke luar mencari mangsanya. Ada yang melompatlompat dari cabang ke cabang pohon yang segar rupanya, ditimpa embun pagi. Ada pula yang bersiul dan berbunyi, sebagai riang menyambut kedatangan cahaya matahari, yang memberi kehidupan kepada segala makhluk di atas dunia ini. Dan ada pula yang memberi makan anaknya, rezeki yang diperolehnya pagi-pagi itu, sehingga ramailah bunyi mencicitcicit kedengaran dalam sarangnya. Kemudian ada pula yang bertengger di atas cabang, membersihkan bulunya, sebagai mandi mencucikan badannya. Kelelawar mengirap ke sana kemari dengan deras jalannya, mencari tempat yang gelap, sebagai orang yang takut kesiangan di tengah jalan. Ayam betina keluar dari kandangnya, sambil memimpin anaknya, berbunyibunyi memanggil dan mengumpulkan yang ketinggalan atau yang pergi ke tempat, lain, takut biji matanya akan sesat di jalan yang masih gelap.
Ayam jantan berlari ke sana kemari memburu ayam betina, lalu berdiri sejurus, mengangkat kepalanya dan berkokok dengan tangkasnya, seolah-olah seorang hulubalang yang sedang mengerahkan laskarnya di medan peperangan. Di jalan besar mulai kelihatan orang, seorang dua, berjalan tergesagesa, sebagai ada yang diburunya. Gerobak yang ditarik kerbau dan lembu atau disorong orang, kedengaran berbunyi gentanya, sebagai menyatakan hari telah siang.
Sesungguhnya di sebelah timur mulailah tampak cahaya matahari, yang memancar ke sana kemari menerangi sekalian benda yang ditimpanya.
Samsu pergi ke bilik kusir tuanya Pak Ali, lalu diketuknya pintu bilik ini sambil bcrkata, "Pak Ali, bangunlah! Hari telah siang."
Sejurus kemudian terbukalah pintu bilik ini dan kelihatan Pak Ali mengeluarkan kepalanya dari pintu ini, sambil menggosokgosok matanya, sebagai hendak menerangkan pemandangannya.
"Pukul berapa sekarang, Engku Muda?" tanya kusir ini.
"Hampir pukul enam," jawab Samsu.
Mendengar jawab ini, keluarlah sais Ali dari biliknya, masuk ke kandang kudanya akan membersihkan bendi, pakaian kuda, dan kandangnya. Sementara itu pergilah Samsu mandi ke sumur. Tatkala ia masuk kembali ke rumahnya, kelihatan olehnya ayahnya sudah bangun, duduk di kursi malas, serambi belakang.
"Lekas benar engkau bangun pagi ini," kata ayahnya.
"Supaya jangan terlalu kepanasan di jalan, Ayah," jawab Samsu.
"Jadi juga engkau pergi?" tanya ayahnya pula.
"Jadi, Ayah," sahut Samsu.
"Nurbaya pergi pula?" tanya Sutan Mahmud..
"Pergi, katanya tadi malam," jawab Samsu.
"Hati-hati engkau menjaga anak orang, he!"
"Ya, Ayah," jawab Samsu pula.
"Baiklah," kata Sutan Mahmud, seraya berdiri, lalu turun ke bawah.
Kira-kira pukul enam lewat seperempat, kelihatanlah Samsulbahri dengan Nurbaya dalam bendi, yang dikemudikan sais Ali ke luar pekarangan rumahnya, menuju ke Muara. Di tengah jalan bertanya Ali kepada Samsu, dengan tiada menoleh ke belakang, "Terus ke Muara, Engku Muda?"
"Tidak, Pak Ali, ke rumah Arifin dahulu, ke jalan Gereja."
Karena mendengar jawab ini, ditujukan oleh sais Ali bendinya ke jalan Gereja.
"Nyaris aku kesiangan, Sam," kata Nurbaya dalam bendi itu, "karena tadi malam aku hampir tak dapat tidur sebab takut mendengar bunyi katuk-katuk."
"Aku pun ngeri mendengar bunyi tanda bahaya itu, sehingga pukul dua malam, tatkala ayahku telah datang, barulah aku dapat tidur. Tetapi pukul lima pagi aku telah terbangun pula," jawab Samsu.
"Di mana orang mengamuk itu?" tanya Nurbaya.
"Aku pun tak tahu," jawab Samsu. "Katuk-katuk kedengaran berbunyi pada segenap pihak dan lama pula bunyinya."
Tengah bercakap-cakap demikian, dengan tiada diketahui mereka, berhentilah bendi itu di hadapan rumah Kopjaksa Sutan Pamuncak, di Kampung Sebelah. Di muka ini telah berdiri dua orang anak muda laki-laki, yang umurnya hampir sama dengan Samsu. Tatkala dilihat mereka bendi Samsu berhenti, lalu dihampirinya seraya berkata, "Hai! Nurbaya mengikut pula?" Sebab dilihatnya Nurbaya ada bersama-sama Samsu. "Baiklah! Lebih banyak orang, lebih girang."
"Mengapa Tiar? Tak bolehkah aku mengikut, sebab aku perempuan?" kata Nurbaya, sambil tersenyum.
"Ah, masakan tak boleh, Nona," jawab anak muda, yang dipanggil Tiar oleh Nurbaya. "Aku berkata demikian bukan karena tak suka bahkan karena suka hatiku, melihat engkau ada bersama-sama."
"Bohong! Karena ia kuatir tak cukup akan mendapat kuekue yang kita bawa," menyela Arifin.
"Baiklah, kalau benar engkau bersuka hati melihat aku mengikut, niscaya engkau kelak takkan takut memanjat pohon jambu Keling untuk aku," sahut Nurbaya sambil tersenyum pula untuk membujuk Bakhtiar, yang mulai merengut mendengar perkataan Arifin.
"Boleh kaulihat sendiri nanti, mana yang lebih pandai memanjat, aku atau kera," jawab Bakhtiar dengan bangganya.
"Kalau untuk makan si Tiar memang lebih pandai memanjat dari kera," mengusik pula Arifin.
Sementara itu kedua anak muda tadi, naiklah ke bendi Samsu, yang langsung berangkat ke Muara.
Kedua anak muda yang baru kita kenali itu, ialah Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan Pamuncak dan Muhammad Bakhtiar anak guru kepala sekolah Bumiputra kelas II di Belakang Tangsi. Keduanya teman sekolah Samsulbahri, yang tiga bulan lagi akan pergi bersama-sama dengan dia ke Jakarta, meneruskan pelajarannya; Arifin pada Sekolah Dokter Jawa, Bakhtiar pada Sekolah Opseter (KWS).
"Pada sangkaku aku terlambat," kata Arifin, setelah ia duduk dekat Samsu.
"Biarpun engkau terlambat, tentu akan kutunggu juga, sebab demikian perjanjian kita," jawab Samsu.
"Apa sebabnya engkau akan terlambat?" tanya Nurbaya.
"Sebab aku memang seorang yang suka tidur, apalagi sebab tadi malam aku tak dapat lekas-lekas tidur," jawab Arifin.
"Mengapa? Ada keramaiankah di rumahmu tadi malam?" tanya Samsu.
"Ya, memang ada. Keramaian yang amat besar. Sampai pukul dua belas malam masih jaga aku," jawab Arifin, sambil menutup mulutnya menahan kuapnya.
"Cobalah lihat, Sam, baik hatinya Arifin ini! Ada keramaian di rumahnya, tiada dipanggil-panggilnya kita," kata Nurbaya mengumpat.
"Ah masakan engkau tiada dapat panggilan!" ujar Arifin pula.
"Benar tidak," jawab Nurbaya.
"Jika demikian, tiada sampailah panggilan itu kepadamu."
"Mengapa tidak?" mendakwa Bakhtiar. "Sebab panggilan itu dijalankan dengan katuk-katuk."
"Dengan katuk-katuk?" tanya Nurbaya sambil tercengang.
"Macam baru, memanggil orang dengan tanda bahaya."
Mendengar olok-olok Arifin ini Samsu tersenyum. Akan tetapi Nurbaya belum mengerti sindiran perkataan Arifm itu.
"Tiadakah kaudengar bunyi katuk-katuk tadi malam?" tanya Arifin pula.
"Betul ada, tetapi pada sangkaku, sebab ada orang mengamuk," jawab Nurbaya.
"Ya, itulah dia! Bukankah tiap-tiap ada orang mengamuk, di rumahku ada keramaian besar, sebab orang yang mengamuk, orang yang diamuk, opas-opas, saksi-saksi, kepala-kepala dan ketua-ketua kampung dan lain-lainnya, begitu pula orang yang menonton, sekaliannya datang berkumpul ke rumahku, untuk memberi selamat kepada kami?" kata Arifin pula seraya tersenyum.
"Ah, itu maksudmu. Kusangka, benar engkau beralat," jawab Nurbaya kemalu-maluan sebab ia baru merasa telah dipermainkan oleh Arifin.
"Beralat tidak, tetapi keramaian ada," jawab Arifin sambil tertawa.
"Memang kau tukang olok-olok; patut jadi alan-alan," jawab Nurbaya Sambil tertaWa pula.
"Siapa yang mengamuk tadi malam dan di mana ia mengamuk?" tanya Samsu.
"Siapa yang mengamuk itu tiada kuketahui, tetapi rupanya sebagai penjahat, kulihat."
"Kaulihat orangnya?" tanya Bakhtiar, mencampuri percakapan ini. "Tentu, sebab ia dibawa ke rumahku, sebelum dimasukkan ke dalam penjara," jawab Arifin.
"Cobalah kauceritakan kepada kami, bagaimana asalnya dan kejadiannya pengamukan itu!" kata Bakhtiar pula.
"O, oleh sebab engkau sekalian minta supaya kuceritakan hal ini, itulah tandanya engkau sekalian ingin hendak mendengarnya, bukan? Akan tetapi oleh sebab kita hampir sampai ke Muara, kutahan keinginan hatimu itu, sampai nanti, kalau kita telah mendaki, penawar lelah mendaki," kata Arifin.
"Coba lihat, kikirnya Arifin," jawab Bakhtiar yang hendak membalas dendam pada Arifin. "Sudah tiada dipanggilnya kita, tatkala ada keramaian di rumahnya, sekarang ditahannya pula keinginan hati hendak mengetahui keramaian itu.
Dimahalkannya harga barangnya, sebab diketahuinya banyak yang suka membeli."
"Benar engkau berani? Engkau memang dengan sengaja tiada kupanggil, sebab aku tahu, engkau lebih suka pergi ke tempat keramaian yang ada kue-kue, daripada ke tempat keramaian yang ada darah," jawab Arifin.
Bakhtiar sebagai merengut mendengar sindiran sahabatnya ini.
"Pada sangkaku lebih baik Arifin menjadi seorang saudagar daripada menjadi seorang dokter, karena saudagar memang demikian adatnya. Apabila diketahuinya, orang suka kepada barang perniagaan, ditahannya barang itu dan dinaikkannya harganya," kata Samsu. Akan tetapi tatkala itu juga ia merasa menyesal, telah mengeluarkan perkataan itu, takut kalaukalau Nurbaya menjadi gusar kepadanya. Dengan sudut matanya dikerlingnya Nurbaya, yang duduk di sisinya, tetapi rupanya gadis ini tiada mendengar celaan itu, karena ia sedang asyik melihat beberapa perahu kail, yang baru masuk ke muara sungai Arau.
Sesungguhnya keempat anak muda itu telah sampai ke dekat sebuah rumah jaga di Muara. Di belakang rumah jaga ini kelihatan beberapa kuda tambang, sedang dimandikan oleh kusirnya di pinggir pantai, tempat sungai Arau bermuara ke laut. Dekat tempat mandi kuda ini adalah sebuah pangkalan, yang menganjur sampai ke tepi sungai, tempat berlabuh kapal-kapal api kecil, yang berlayar ke Terusan. Di sebelah pangkalan ini, berlabuh beberapa perahu kail, yang baru datang dari lapt membawa ikan-ikan, yang dapat dikailnya pada malam itu. Di muka pangkalan ini, adalah sebuah rumah tempat pengailpengail menjual ikannya, dan di sebelah baratnya menjulang gunung Padang, sebagai kepala seekor ular Naga yang timbul dari dalam laut. Yang menjadi leher Naga ini ialah bagian yang rendah, tempat orang naik mendaki gunung Padang. Makin ke selatan makin bertambah besar gunung ini; itulah badan ular Naga yang membelok ke timur, diiringkan oleh sungai Arau, yang mengalir di kakinya.
Di sebelah selatan pangkalan yang diperkatakan tadi, adalah kantor bea perahu-perahu yang masuk sungai Arau atau kapalkapal yang berlabuh di pulau Pisang, pelabuhan kota Padang dahulu yang sekarang telah dipindahkan ke Teluk Bayur. Sejak dari kantor bea ini, kelihatan di pinggir sungai Arau, yang menceraikan gunung Padang dari kota Padang, beberapa perahu besar dan kapal api kecil; berlabuh berleret-leret, sepanjang tepi su,ngai, yang ditembok dengan batu.
Sejajar dengan tembok ini adalah jalan kereta api dan jalan besar untuk mengangkut barang-barang ke kota Padang. Pada sebelah utara jalan ini, berleretlah beberapa gudang, disambung toko-toko, sampai jauh ke kampung Cina dan Pasar Gedang.
Tempat ini memang bagian kota Padang yang amat indah; oleh sebab itu kerap kali dikunjungi oleh mereka yang suka berjalan jalan pada petang hari, tatkala matahari hampir silam, untuk mengambil hawa yang baik; karena tempat ini baik letaknya dan banyak memberi pemandangan yang elokelok.
Lagi pula tiada terlalu ramai, sehingga mereka yang berjalan jalan di sana, tiada terganggu oleh lalu-lintas. Hanya pada waktu hari raya, sampai dua tiga hari sesudah puasa, jalan ini hampir tiada dapat ditempuh orang yang berjalan kaki, karena berpuluhpuluh bendi dengan berbuka tenda, berlumba-lumba di sana, mengadu deras lari kudanya. Itulah suatu kesukaan yang sangat digemari anak muda-muda kota Padang.
Apabila kembali kita, menurut jalan yang telah diceritakan tadi, arah ke utara, sampailah kita ke pantai laut Padang.
Sepanjang pesisir pantai ini, kira-kira sepal jauhnya, adalah suatu taman bunga-bungaan, yang dihiasi oleh beberapa jalan kecilkecil. Pada beberapa tempat, di bawah pohon ketapang yang rindang, adalah bangku-bangku tempat berhenti mereka yang lelah karena perjalanannya. Kira-kira, di.tengah taman ini adalah sebuah rumah punjung yang bundar dan cantik bangunnya, diperbuat di atas suatu gunung-gunungan, sebagai suatu mahligai di dalam istana. Tiadalah heran kita, apabila taman ini menjadi suatu tempat yang sangat menarik hati bangsa Eropah, yang tinggal di kota Padang; karena sesungguhnya amat senang perasaan-dan indah pemandangan, apabila pada petang hari duduk di sana, melihat matahari terbenam di sebelah barat.
Misalkanlah oleh pembaca yang belum ke sana, tempat ini suatu taman bunga-bungaan yang permai tetapi sunyi senyap.
Di atas sebuah bangku yang ada dalam mahligai yang letaknya di tengah-tengah taman itu, bernaung di bawah pohon kayu yang rindang, duduk seorang anak muda yang sedang termenungmenung ke sebelah barat, kepada suatu kolam yang amat luas, yang membentahg di sisi taman itu, sedang ombaknya memecah di kaki anak muda tadi, menyiram bunga-bungaan yang di sana. Jauh di sebelah barat di tengah-tengah kolam ini, kelihatan beberapa buah pulau, yang berleret¬leret letaknya sebagai pagar kolam ini. Di balik pulau-pulau itu adalah suatu mestika yang bundar, sebagai sebuah bola mas, yang menyala-nyala, memancarkan cahayanya yang kilau-kemilau ke muka air kolam, yang seakan-akan suatu kaca besar, membalikkan cahaya yang jatuh ke atasnya, ke dalam taman tadi, menyinari segala pohonpohonan dan bunga-bungaan yang ada di sana.
Perlahan-lahan, dengan tak kelihatan jalannya turunlah mestika itu ke bawah, sebagai ditarik oleh seorang jin, yang tiada kelihatan sehingga akhirnya tenggelamlah ia ke dalam kolarn yang ujungnya bagaikan bersabung dengan langit, meninggalkan gambar-gambar, yang rupanya seakan-akan timbul dari dalam air. Ada yang sebagai Naga yang sedang berjuang, ada yang sebagai kuda yang sedang berlari, ada pula yang sebagai kapal tengah berlayar atau pulau yang merapung di atas air dan lain-lain sebagaiya.
Mereka yang menaruh pilu dan sedih, janganlah ke sana, pada waktu itu, karena sejauh tepi langit dari tepi kolam itu, sejauh itu pulalah kelak pikiran dan kenang-kenangan mereka.[1] Tetapi bagi mereka yang berkasih-kasihan tempat itu, pada waktu terang bulan, adalah sebagai dengan sengaja diperbuatnya.
Sayang di ujung selatan tanian ini ada rumah penjara dan di ujung utaranya ada kantor pengadilan, keduanya tempat yang mendatangkan dahsyat dan sedih hati, apabila diingat beberapa orang yang telah dipenjarakan karena mendapat hukuman di sana, yang barangkali ada juga di antaranya tiada bersalah.
Sekarang marilah kita kembali mengikuti keempat sahabat kita, yang kita tinggalkan di atas bendi tadi, sebab kalau terlalu lama kita berhenti di taman ini, pastilah takkan dapat lagi kita
"Bukan demikian," jawab Arifin, tatkala mendengar perkataan Samsu. "Ada beberapa sebabnya, maka aku tak mau menceritakan hal yang sangat penting ini, kepadamu sekalian. Pertama supaya kamu dapat belajar menahan hati, karena itulah suatu sifat yang baik benar bagi manusia. Orang yang sabar dan dapat menahan keinginan hatinya, jarang salah barang perbuatannya. Ingatlah cerita perempuan dengan kucingnya dan cerita ayam yang bertelur emas itu!"
"Bagaimanakah ceritanya?" tanya Nurbaya.
"Tidak tahukah engkau cerita itu, Nur? Nanti aku ceritakan," jawab Samsu.
"Kedua..." kata Arifin pula, akan menyambung uraiannya.
"Hai, kita sudah sampai," kata Bakhtiar, dan seketika itu juga bendi mereka berhenti dekat sebuah gudang.
"Ya," jawab Samsu, "baiklah kita turun."
Sekaliannya turunlah dari atas bendi, sambil membawa bekal-masing-masing, lalu pergi ke pinggir sungai Arau, akan mencari sebuah sampan tambangan, yang dapat membawa mereka ke seberang.
"Pukul bqrapa Engku Muda pulang?" tanya Pak Ali.
"O ya," jawab Samsu, sambil menoleh ke belakang, "datang sajalah pukul dua belas."
"Baiklah," jawab Pak Ali, lalu memutar kudanya pulang ke rumahnya.
Tatkala keempat anak muda itu sampai ke pinggir sungai Arau, datanglah beberapa sampan mendekat ke sana.
"Di sampanku inilah! Di s ini baik, sampan tak oleng! Di sini seduit seorang!" demikianlah kata tukang-tukang sampan.
"Lebih baik kita tunggu sampan yang datang itu, karena sampan itu besar, jadi tak oleng," kata Nurbaya.
"Benar," jawab Samsu.
Seketika lagi sampan yang besar itu pun sampailah ke pinggir, lalu keempat anak muda tadi naik dan didayungkan ke seberang.
"Kedua," kata Arifin di atas sampan ini tiba-tiba, untuk menyambung cerita tadi, ' jika kita sangat ingin kepada barang sesuatu dan lekas kita peroleh keinginan hati kita itu, boleh mendatangkan penyakit kepada kita.
Ketiga, kebesaran hati karena segera beroleh keinginan itu, tiada lama, sebab lekas jemu akan benda yang diingini itu.
Misalnya: kita umpamakan, Bakhtiar amat suka kepada kuekue.
Tetapi itu hanya perumparnaan saja, Bakhtiar, jangan marah," kata Arifin pura-pura bersungguh-sungguh tetapi sebenarnya, akan mempermainkan temannya ini; sehingga dalam hatinya ia tertawa.
"Walaupun sebenarnya kaukatakan aku suka kue aku tidak juga akan marah," kata Bakhtiar, "sebab memang suka kuekue."
"Ya, itulah sebabnya kuambil perumpamaan ini, supaya tepat kenanya," jawab Arifin. "Kalau misalnya si Bakhtiar dalam setahun tiada dipertemukan dengan idamannya kue-kue, tentulah keinginannya hendak memakan kue-kue itu tak dapat_dikatakan besarnya."
"Biar kujual kepalaku untuk pembeli kue-kue," jawab Bakhtiar.
"Tetapi kalau engkau tak berkepala lagi, bagaimana pula engkau dapat memakan kue-kue itu?" tanya Arifin sambil tertawa, sehingga seisi sampan sekaliannya ikut tertawa pula.
"Memang tak tepat jawabanku," kata Bakhtiar, sambil tertawa pula bersama-sama.
"Setelah setahun tak makan kue, tiba-tiba si Bakhtiar dibawa ke toko kue nyonya Jansen, dan dikatakan kepadanya, "Boleh kaumakan, apa yang kausukai!" kata Arifin pula.
"Tentulah perkataan itu tak kusuruh ulang lagi," jawab Bakhtiar dan sesungguhnya, air ludahnya bagaikan keluar, karena mengingat kue-kue yang enak itu, "dan dengan segera kuterkam kue tar, bolu, sepekuk, yang lezat cita rasanya itu."
"Sedikitkah atau banyakkah kaumakan kue-kue itu?" tanya Arifin.
"Sepuas-puas hatiku, sampai tak termakan lagi," jawab Bakhtiar.
"Nah, itulah dia! Oleh sebab terlalu kenyang, boleh jadi kau mendapat penyakit atau jemu kepada kue-kue atau tak bernafsu makan lagi. Bukankah tak baik itu?" kata Arifin.
"Ya, benar," jawab Samsu.
"Jemu katamu? Aku jemu kepada kue kue? Pada sangkaku jika habis sekalipun umurku, belum juga habis nafsuku kepada kue-kue," jawab Bakhtiar.
"Aku belum mengerti orang yang tak berumur lagi, masih bernafsu kepada kue-kue," kata Arifin.
"Bakhtiar, Bakhtiar!" sahut Nurbaya, sambil menggelenggelengkan kepalanya. "Lebih baik engkau jadi tukang kue saja, seperti nyonya Jansen, supaya kenyang perutmu."
"Di dalam. sepekan, tentulah jatuh tokoku itu, sebab habis kumakani segala kueku. Tiap-tiap orang yang hendak membeli kue-kueku, kuusir, supaya makanari itu jangan habis olehnya," kata Bakhtiar. Sekalian yang mendengar tertawa.
"Keempat," kata Arifin pula, "acap kali merusakkan badan.
Ingatlah kalau kuda terlalu,panas, jadi terlalu haus, atau orang yang telah empat lima hari tiada minum, tiba-tiba diberi minum terlalu banyak, boleh mendatangkan ajalnya.
Yang kelima, yaitu yang terutama sekali, yang hampir lupa kusebutkan, yakni supaya kelak jangan engkau rasai lelah mendaki, karena ingatanmu telah diikat oleh ceritaku yang amat menarik."
"Keenam," menyela Bakhtiar, "sebab kita telah sampai ke seberang, haruslah kita bayar sewa sampan orang," seraya ia mengeluarkan uang empat sen dari koceknya dan memberikan uang itu kepada tukang sampan, lalu melompat ke darat.
Ketiga temannya pun melompat pula mengikutiny,a.
"Di kedai itu aku lihat ada tebu, marilah kita beli! Tentu kita nanti akan haus di jalan," kata Samsu.
"Aku ada membawa seterup dua botol," jawab Bakhtiar.
"Kalau cukup; kalau tak cukup, di mana kita cari air nanti?" kata Samsu pula.
Sesudah membeli tebu, mulailah keempat anak muda ini mendaki.
Gunung Padang yang tingginya kira-kira 322 M, ialah ujung sebelah utara gunung-gunung rendah, yang memanjang di sebelah selatan kota Padang. Itulah sebabnya, maka pinggir laut di situ pada beberapa tempat curam dan jarang didiami orang. Asalnya gunung-gunung ini pada Bukit Barisan, yang memanjang di tengah-tengah pulau Sumatera dari ujung barat laut ke ujung tenggara. Gunung Padang adalah sebagai suatu cabang Bukit Barisan itu, yang menganjur ke barat, sampai ke tepi laut kota Padang.
Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg (gunung kera[2]), sebab di puncaknya banyak kera yang jinak jinak, yang memberi kesukaan kepada mereka yang mendaki gunung itu. Apabila dipanggil dan diberi pisang, datanglah kerakera itu berpuluh-puluh banyaknya, memperebut-rebutkan makanan ini. Kera yang besar-besar, terkadang-kadang berani merampas pisang atau makanan lain, dari tangan orang.
Sungguhpun demikian., tak ada orang yang berani berbuat apaapa atas kera-kera ini, sebab pada sangka anak negeri kota Padang, kera-kera itu keramat, tak boleh digangguganggu.
Jika dibunuh, tentulah yang membunuh itu akan mati pula, dan jika ditangkap, tentulah yang menangkap itu tak dapat mencari jalan pulang. Ada pula yang bersangka, bahwa kera-kera itu asalnya dari sekalian orang yang telah mati, yang dikuburkan di gunung itu, hidup kembali sebagai kera jadi jadian.
Memang di gunung itu banyak kuburan, sedang di puncaknya adalah sebuah makam, di dalam suatu gua batu, tempat orang berkaul dan bernazar. Sekali setahun, tatkala akan masuk puasa dan pada waktu hari raya, penuhlah gunung itu dengan laki-laki dan perempuan, yang datang mengunjungi kuburan sanak saudaranya, yang telah meninggalkan dunia, untuk mendoakan arwahnya.
Walaupun gunung ini pada hakikatnya tempat sedih dan duka cita, akan tetapi sebab pemandangan di atas puncaknya sangat indah, dijadikanlah, ia tempat bermain-main. Jalan naik ke atas bertangga-tangga, supaya pada musim hujan, mudah juga dapat didaki. Di puncaknya didirikan tiang bendera yang tinggi. Pada tiap-tiap hari Ahad, berkibarlah bendera pada ujung tiang ini. Dekat tiang bendera itu, diperbuat sebuah rumah punjung yang bundar, cukup dengan bangku dan mejanya, tempat melepaskan lelah. Akan menyejukkan badan yang panas karena mendaki, diperbuatlah pula ayun-ayunan, tempat berangin-angin, ganti kipas. Sekaliannya ini dijaga dan dibersihkan oleh orang hukuman. Oleh sebab hal yang sedemikian, pada tiap-tiap hari Ahad, dikunjungilah tempat ini oleh mereka yang hendak berjalan jalan mencari kesenangan dan kesehatan tubuhnya, seraya membawa makananmakanan dan minuman-minuman.
Ketika Nurbaya dengan teman-temannya sampai ke pertengahan gunung itu, pada suatu pendakian yang curam, berkatalah ia sambil mencari batu besar tempat duduk, "Alangkah baiknya; apabila ada kendaraan yang dapat ditunggang ke atas ini!"
"Bagaimana? Belum sampai separuh jalan, telah lelah," kata Arifin, seraya membuka buah bajunya, akan melepaskan hawa panas yang keluar dari badannya.
"Kalau tulangku sebesar tulangmu, aku tidak akan berkata sedemikian," jawab Nurbaya.
"Ha, pada sangkaku sekarang datang waktunya, aku akan menceritakan, betapa asal mulanya keramaian di rumahku tadi malam, sebab kulihat kamu sekalian berteriak, karena kelelahan," kata Arifm.
"Ya, ya," jawab Bakhtiar, "mulailah!"
"Baik, dengarlah dan perhatikan benar-benar!" kata Arifin pula, lalu bercerita, "Tatkala berbunyi katuk-katuk, aku sedang ada dengan orang tuaku di serambi belakang, hendak makan.
Sangat terkejut kami, sebab bunyi katuk-katuk itu datang dari rumah jaga, yang tiada berapa jauhnya dari rumah kami.
Ayahku lalu melompat dari kursinya dan berteriak kepada opasnya, "Saban, suruh pasang bendi!" kemudiap masuklah ia ke dalam biliknya akan menukar pakaiannya. Seketika lagi, keluarlah pula ia, lalu berteriak, sambil mengancingkan bajunya, "Sudah, Saban?"
"Sudah, Engku," jawab opas ini.
Ayahku lalu turun, sambil berkata kepada ibuku, "Masuk ke dalam dan tutup pintu!"
Ibuku yang rupanya sangat terkejut, tak dapat berkata apaapa, hanya, "Hati-hati!" tatkala dilihatnya ayahku turun.
"Jangan khawatir!" jawab ayahku, lalu melompat ke atas bendinya.
Maka tinggallah kami dengan si Baki, sebab tukang kuda tak ada di rumah. Katuk-katuk itu bunyinya kian lama kian keras, sehingga kami makin lama makin bertambah takut.
Maka disuruhlah oleh ibuku tutup pintu dan jendela, lalu kami masuk ke dalam bilik. Karena takut, tiadalah kami ingat akan lapar kami.
"Ya, benar," kata Samsu, "Kami di rumah pun demikian pula; hanya bertiga dengan bujang saja. Ayahku sejak pukul lima petang tak ada di rumah. Coba kalau ada apa-apa, bagaimana dapat melawan? Untunglah ayah Nurbaya datang ke rumahku, mengatakan kami tak usah takut, sebab pengamukan itu jauh. Dan lagi kalau ada apa-apa ia segera datang."
"Itulah yang menjadikan khawatir hatiku," kata Arifin pula, "sebab memang orang yang memegang pekerjaan sebagai ayah kita, lebih banyak musuhnya daripada sahabatnya.
Walaupun kucoba menghilangkan takutku dengan berkata ini dan itu kepada ibuku atau membaca buku, tetapi ngeri itu tiadalah hendak meninggalkan pikiranku; istimewa pula sebab kadangkadang kedengaran suara ribut di jalan raya.
Sebentar-sebentar bunyi katuk katuk itu bertambah keras, sebagai hendak menyatakan, ada pula seorang lagi yang kena tikam si pengamuk. Dua jam lamanya kami di dalam ketakutan dan kira kira pukul sebelas, barulah mulai kurang bunyi katukkatuk itu. Tiada lama sudah itu, hilanglah bunyi ini sekaliannya, hingga heboh tadi jadi sunyi senyap. Ketika itu, barulah agak hilang takutku, karena kuketahui si pengamuk tentulah sudah dapat ditangkap. Tetapi ayahku belum juga pulang. Mataku mulai mengantuk dan dengan tiada kuketahui tertidurlah aku di atas kursi. Ibuku, pada sangkaku, tiada dapat memejamkan matanya, sebab memikirkan ayahku, takut kalau-kalau ia mendapat celaka."
"Memang pekerjaan polisi sangat berbahaya," jawab Samsu, "dan acap kali kita dimusuhi orang pula."
"Tetapi kalau kita baik dengan anak negeri," kata Bakhtiar, "masakan dimusuhinya."
"Tentu lebih disukainya daripada orang yang jahat kepada mereka. Akan tetapi, walaupun demikian, masih saja dibenci.
Ada juga jalannya, supaya tiada dimusuhi orang, yaitu: yang bersalah jangan ditangkap, jangan dihukum dan diturutkan segala kemauannya; sebab meskipun bagaimana berat atau ringan kesalahan mereka, dihukum tentu mereka tak suka. Dan apabila dijalankan juga hukuman, tentulah mereka akan menaruh dendam dalam hatinya. Istimewa pula kalau yang dihukum itu seorang yang berbangsa tinggi atau kaya, dan yang menghukum, orang kebanyakan saja."
"Kalau begitu, kita namanya bukan pegawai, melainkan seorang yang tiada menurut sumpah dan janjinya, orang yang memperdayakan Pemerintah atau orang yang makan gaji buta atau pencuri gaji. Kalau tahu Pemerintah kelakuan kita yang demikian, tentulah kita akan dipecat daripada pekerjaan kita," sahut Arifin.
"Lagi pula bagaimana akan dapat menurut kemauan sekalian orang? Sedangkan kehendak dua orang yang berlawanan, lagi tak dapat diturut. Misalnya seorang yang tak alim, tidak suka langgar dibangun dekat rumahnya, sebab terlalu ribut katanya; tetapi orang sebelah rumahnya, yang keras memegang agama, minta langgar itu diperbuat di sana, supaya mudah pergi berbuat ibadat. Betapa dapat menurut kedua kesukaan yang berlawanan ini?"
"Tentu tak dapat," jawab Samsu. "Memang bagi seorang pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai bertemu buah si mala kamo[3]. Dimakan, mati bapak, tidak dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih?"
"Kalau aku, barangkali tidak kumakan buah itu," kata Bakhtiar mencampuri perbincangan ini.
"Jadi kau rupanya lebih sayang kepada ayahmu, daripada kepada ibumu," sahut Nurbaya.
"Bukan begitu, Nur," jawab Bakhtiar, "kalau perkara sayang, tentu aku lebih sayang kepada ibuku daripada kepada ayahku, sebab ibuku suka memberi aku kue-kue, tetapi ayahku suka memberi aku tempeleng. Dan pada rasaku, kuekue lebih enak daripada tempeleng. Tetapi kalau ayahku mati, ibuku tak dapat mencari kehidupan sebagai ayahku. Betul ia boleh bersuami pula, tetapi masakan ayah tiriku akan sayang kepadaku seperti ayah kandungku. Jadi bagaimanakah halku kelak? Dapatkah juga aku akan meneruskan pelajaranku?"
"Baik, tetapi kalau ayahmu kawin pula, sesudah ibumu meninggal, bagaimana?" tanya Nurbaya.
"Tidak mengapa, sebab ayahku masih ada, yang dapat membantu aku," jawab Bakhtiar.
"Kalau mak tirimu itu sayang kepadamu; tapi kalau ia benci kepadamu, sebagai acap kali terjadi di negeri kita ini, tentulah akan diasutnya ayahmu, sampai ayahmu pun benci pula kepadamu. Bagaimana? Mak hilang, ayah benci. Akan tetapi, kalau makmu masih hidup, walaupun ia tak dapat menolong kamu ataupun ia bersuami pula, sayangnya tetap padamu. Ia tak dapat diasut-asut. Bukankah sudah dikatakan dalam peribahasa: Sayang ayah kepada anaknya sepanjang penggalah, jadi ada hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan, tak berkeputusan."
"Ya, benar katamu itu, Nur," jawab Bakhtiar dengan kuatir rupanya, serasa banar akan terjadi hal itu atas dirinya: "Yang sebaik-baiknya janganlah aku bertemu dengan buah jahanam itu dan biarlah ibu-bapakku hidup sampai aku ada pekerjaan, yang dapat memberi penghidupan kepadaku."
"Sebenarnya orang yang menjadi pegawai Pemerintah," kata Samsu pula, seakan-akan hendak melenyapkan ingatan yang kurang enak itu dari dalam hati Bakhtiar, "dalam pekerjaannya harus dapat berbuat dirinya seperti suatu mesin, yang sebetulbetulnya menjalankan dan memperbuat segala apa yang harus diperbuatnya. Artinya, tiada pandangmemandang, tiada menaruh kasihan, tiada berat sebelah, tiada dapat tergoda oleh uang atau pemberian dan lain-lain sebagainya."
"Tetapi adakah orang yang sedemikian?" tanya Arifin.
"Dalam seratus, jarang seorang agaknya," jawab Samsu.
"Sebab hal itu sangat susahnya."
"Jika begitu apa sebabnya, maka masih banyak saja orang yang mau bekerja di kantor polisi? Ada pula yang tiada dapat gaji, walaupun ia harus berpakaian yang patut, datang ke tempat pekerjaannya. Sesudah beberapa tahun, barulah dapat uang bantuan 5 atau 10 rupiah dan beberapa tahun kemudian, barulah diangkat jadi juru tulis. Akhirnya, apabila telah tua, barulah dapat jadi menteri polisi atau ajung jaksa," tanya Arifin pula.
"Sebabnya ada bermacam-macam. Ada yang bekerja sesungguhnya karena hendak mencari kehidupan dengan tiada mempunyal maksud lain. Itulah yang baik. Tetapi ada pula yang memandang pangkat saja, sebab pada sangkanya, apabila ia telah menjadi pegawai, telah tinggilah pangkatnya dengan diharmati dan ditakuti orang. Lain daripada itu dapat pula ia berbuat sekehendak hatinya kepada anak negerinya.
Tetapi sangkaku orang yang sedemikian, rnemang orang yang tiada dipandang dan dihormati orang. Apabila ia seorang yang memang telah dipandang dan dihormati orang, tentulah ia tidak berkehendak lagi akan pandangan dan kehormatan, dan tiadalah pula ia akan bersusah payah, berhabis uang, untuk mendapat pangkat dan kemuliaan itu; istimewa pula, sebab dalam hal ini, bukan orangnya melainkan pangkatnya yang dihormati dan dimuliakan. Oleh sebab itu acap kali, kita lihat, semasa di dalam berpangkat, sangat dihormati dan dimuliakan orang, tetapi bila telah berhenti, tiada diindahkan orang lagi.
Sebaik-baiknya kehormatan dan kemuliaan itu jangan timbul dari kekuasaan, melainkan dari hati yang suci, disebabkan oleh kebaikan kita sendiri.
Ada pula orang yang memang dengan maksud jahat, mencari pangkat, sebab diketahuinya, pangkat itu besar kuasanya; dengan demikian lekas dan mudah diperolehnya segala maksudnya. Akan tetapi pikiran yang semacam ini, hanya ada pada mereka yang tiada lurus hatinya. Mereka yang mengerti, tentulah akan tahu, bahwa kekuasaannya tak lebih daripada kekuasaan anak negerinya dan pangkatnya sebenarnya rendah daripada pangkat orang yang tiada makan gaji. Karena orang ini bebas, boleh berbuat sekehendak hatinya, tak perlu menurut perintah, sebab tak menerima upah. Kalau ia bersalah yang menghukum bukannya pegawai itu melainkan undang-undang juga. Pegawai hanya seorang yang digaji Pemerintah, untuk menjalankan sesuatu kekuasaan, yang tak bersalah, tentu tak dapat dihukumnya dengan lurus. Untung benar tiada sekalian pegawai demikian kelakuannya. Banyak yang semata-mata dengan maksud baik menjabat pekerjaan. Dan sesungguhnya, banyak kebaikan yang dapat diperbuat mereka, karena kekuasaan tadi."
"Ah, aku tiada memandang kehormatan, kekuasaan, dan pangkat," jawab Bakhtiar tiba-tiba, "asal cukup dapat uang, pekerjaan apa pun tiada kuindahkan. Boleh orang memanggil kuli kepadaku, asal diberinya gaji yang cukup."
"Supaya jangan sampai kekurangan kue-kue, bukan? Dipanggil hantu kue pun tak mengapa," kata Arifm sambil tertawa-tawa mengganggu sahabatnya ini.
"Apalagi yang kaucari dalam dunia ini, lain daripada keenakan dan kesenangan? Engkau belajar sekarang ini dengan maksud supaya kemudian mendapat kesusahankah?" jawab Bakhtiar.
"Tentu tidak," kata Samsu pula, yang rupanya hendak menyabarkan kedua sahabatnya, yang seakan-akan bermusuhmusuhan itu. "Tetapi di manakah tinggalnya ceritamu tadi, Arifin? Cobalah teruskan!"
"Benar, tetapi yang terlebih baik ialah kita teruskan perjalanan kita ini, sebab kalau kita masih berhenti di sini, sampai hari kiamat pun belum juga kita akan sampai ke atas.
Di jalan kelak kusambung cerita itu."
Keempat anak muda ini mendakilah pula. Setelah sejurus lamanya mereka mendaki jalan menanjak, berceritalah pula Arifin, "Belum berapa lama aku tidur, terperanjatlah aku bangun, karena aku dengar suara orang berkata, "Jangan banyak cakap! Nanti kupukul kepalamu, sampai engkau tak dapat bergerak lagi!"
Maka gemetarlah seluruh tubuhku, karena pada sangkaku, tentulah suara itu suara si pengamuk yang telah menangkap bujangku, supaya mudah melakukan niatnya yang jahat kepada kami. Istimewa pula, karena tatkala itu kedengaran suara orang naik tangga rumahku, lalu mengetuk pintu, menyuruh bukakan pintu. Sebab takutku, tak tahulah aku apa yang hendak kuperbuat. Walaupun aku hendak berdiri mencari senjata akan membela diriku dan ibuku, melawan orang itu tetapi tak dapat karena kakiku berat rasanya, sebagai terpaku pada lantai. Ketika aku hendak berteriak minta tolong, suaraku tak hendak keluar, sebab leherku serasa dicekik orang.
Untunglah ibuku berani bertanya, "Siapa itu?"
"Aku," jawab dari luar.
Walaupun suara itu rupanya sebagai suara ayahku, ibuku belum percaya juga, sebab ia bertanya pula, "Aku siapa?"
"Engku Hop (hoofd), orang kaya," jawab opas ayahku.
Ketika itu barulah nyata benar kepadaku, bahwa ayahku ada di luar. Setelah ibuku berkata, "Bukalah pintu, Arifin," barulah aku dapat bangun dari kursiku, lalu pergi membuka pintu; tetapi palangnya tiada kulepaskan dari tanganku, supaya dapat kupergunakan jadi pemukul, bila yang masuk itu bukan ayahku, sebab khawatirku belum hilang. Tetapi rupanya benar ayahku yang masuk. Tatkala dilihatnya aku masih jaga, ia bertanya, "Hai, belum tidur?"
"Belum, Ayah," jawabku, "sebab takut, jadi hilang kantuk."
"Patut engkau jadi hulubalang besar," kata ayahku pula dengan tersenyum, serta menyuruh pasang lampu kantornya.
Sesudah makan, diperiksalah perkara pengamukan tadi. "Di sinilah kulihat si pengamuk itu."
"Bagaimana rupanya?" tanya Nurbaya.
"Ah, sebagai orang yang biasa saja. Hidungnya satu, matanya dua," jawab Arifin.
"Ya, tentu. Tetapi maksudku bukan demikian; serupa penjahatkah atau serupa orang baik-baikkah ia, tuakah atau masih mudakah, orang sinikah atau orang lain negerikah?" kata Nurbaya pula.
"Pada sangkaku bangsa penjudi tetapi masih muda.
Tangannya dibelenggu, bajunya koyak-koyak dan berlumur darah, mukanya pucat, badannya gemetar dan matanya berputarputar, sebagai masih marah," jawab Arifin dengan suara yang seram.
"Hi! Alangkah takutku, kalau melihat orang yang demikian," kata Nurbaya, sambil mengecutkan badannya, karena berdiri bulu romanya.
"Memang, aku pun tak berani dekat. Takut kalau-kalau datang pula nafsunya hendak mengamuk dan dapat dipatahkannya belenggunya."
"Ya, tetapi kalau tak ada pisau, bagaimana mengamuk?" dakwa Bakhtiar, yang hendak mengejek Arifin.
"Dengan tangan dan gigi, seperti engkau mengamuk kuekue," jawab Arifin dengan tertawa, sebab ia dapat pula mengganggu sahabatnya ini.
"Orang mana ia dan apa mulanya, maka ia sampai berbuat demikian?" tanya Nurbaya, sebagai hendak memadamkan perselisihan Bakhtiar dengan Arifin.
"Rupanya ia anak kampung Sawahan. Asal perkelahian, perkara main judi. Sebab ia banyak kalah, matanya jadi gelap," sahut Arifin, dengan tiada mengindahkan sahabatnya, Bakhtiar yang mengerut dahinya.
"Berapa orang yang diamuknya?" tanya Samsu.
"Dua orang; yang seorang mati, sebab kena dadanya; yang seorang lagi luka parah di kepalanya, lalu dibawa ke rumah sakit."
"Kasihan!" kata Nurbaya.
"Apa sebabnya, maka lama benar baru ia tertangkap?" tanya Samsu pula.
"Sebab mula-mula ia lari menyembunyikan dirinya, dan tatkala hendak ditangkap, ia melawan. Tetapi sebab banyak orang yang memburunya, jadi dapat juga ia dipersamasamakan," jawab Arifin. "Sesudah itu diperiksa oleh ayahku, si pengamuk terus dibawa ke penjara."
"Bagaimanakah agaknya keputusan perkara itu?" tanya Nurbaya.
"Pada sangkaku, si pengamuk itu akan dihukum buang, sekurang-kurangnya sepuluh tahun," jawab Arifin.
"Hura!" demikianlah bunyi sorak Bakhtiar tiba-tiba, "kita telah sampai."
Sesungguhnya keempat anak muda itu, dengan tiada dirasainya, telah hampir sampai ke puncak Gunung Padang, karena tiang bendera dan rumah perhentian yang ada di sana, telah kelihatan. Tiada lama kemudian daripada itu, Nurbaya merebahkan dirinya ke atas sebuah bangku, dalam.rumah perhentian ini, sambil berkata, "Akhirnya sampai juga kita kemari!"' "Asal sabar, yakin dan tawakkal, tentulah sampai maksud yang kekal," jawab Bakhtiar dengan perlahan-lahan, sebagai seorang yang alim.
"Tetapi kalau tiada diusahakan diri, bagaimana?" tanya Arifin yang masih menentang Bakhtiar. "Bolehkah Tuan Guru sampai kemari, jika tiada berjalan lebih dahulu? Dapatkah Tuan Guru yang sangat alim ini mengaji Quran, apabila tiada dipelajari lebih dahulu? Dan dapatkah menjadi tukang tambur, sebab perut tiada diisi lebih dahulu dengan kue-kue, melainkan dengan sabar, yakin dan tawakkal saja?"
"Ah, dengan engkau memang tak dapat bercakap-cakap; lebih baik aku pergi ke sana," sahut Bakhtiar dengan sebalnya lalu keluar rumah perhentian itu, pergi ke buaian.
"Ya, pergilah ke sana dan bercakap-cakap dengan kayukayuan itu! Tentu tiada dibatalkannya perkataanmu, sebab ia tak pandai menjawab. Dengan demikian, dapatlah engkau berkata sesuka hatimu, tetapi seorang diri, seperti orang ... hm," sahut Arifin, lalu pergi pula ke tempat lain.
Tatkala itu Samsulbahri masih berdiri, rupanya sedang asyik memandang ke sebelah timur, kemudian memutar kepalanya perlahan-lahan ke sebelah utara dan akhirnya ke sebelah barat. Pikirannya sebagai tak ada dekat temantemannya, melainkan jauh di balik gunung yang tinggi, di seberang lautan yang dalam. Bagaikan ada suatu suara yang berbisik di telinganya, demikian: "Samsulbahri, pandang dan tilik serta perhatikanlah benarbenar olehmu tanah lahirmu ini, tempat tumpah darahmu, karena tiada berapa lama lagi engkau akan berangkat meninggalkan sekaliannya; berangkat jauh ke rantau orang, berjalan bukan untuk sehari dua, bahkan berbulan dan bertahun. Siapa tahu, barangkali engkau tak dapat kembali pulang, karena nasib tiaptiap makhluk yang di atas dunia ini ada di dalam tangan Allah, dan nyawanya adalah sebagai tergantung pada sehelai benang sutera, yang halus dan rapuh, sehingga terkadang-kadang angin yang bertiup sepoi-sepoi pun dapat memutuskan tali pergantungan itu."
Entah pikiran yang sedemikian, entah keelokan pemandangan puncak gunung itu yang memberi asyik hati anak muda ini, tiadalah dapat dilihat pada air mukanya yang bermuram-muram durja, sebagai mengandung suka dengan duka.
Memang pemandangan di atas Gunung Padang sangat elok, karena dari sana, nyata kelihatan pertemuan antara daratan dengan lautan, sebagai garis: putih yang terbentang dari kaki Gunung Padang arah ke utara, melalui jalan yang berbelokbelok, yang terkadang-kadang jauh menganjur ke laut, sehingga terjadilah pada beberapa tempat, di kanan-kiri tanjung-tanjung ini, teluk yang permai.
Pada beberapa tempat, rupanya baris pinggir laut itu sebagai bergeiak-gerak, disebabkan oleh ombak, yang memecah di tepi pantai yang menimbulkan buih yang putih warnanya. Orang yang memukat ikan, kelihatan sebagai semut berkerumun di sana sini. Alangkah elok rupanya perhubungan daratan dan lautan itu, dua benda yang menjadikan dunia ini, tetapi yang sangat berlainan warna, sifat, hal, dan isinya.
Di sebelah barat dan utara kelihatan lapangan yang sangat luas dan datar, yang kebiru-biruan warnanya dan yang pada beberapa tempat sebagai dierami oleh pulau-pulau kecil, yang berjejer letaknya, dari utara ke selatan, adalah seakan-akan suatu telaga yang amat besar, yang berdindingkan langit putih di sebelah barat. Pada sangka ahli bumi, pulau-pulau itu dahulu kala, berhubungan dengan pulau Sumatera. Karena keruntuhan di dasar lautan, tenggelamlah perhubungan itu, meninggalkan beberapa pulau.
Di sebelah timur, kelihatan daratan yang hijau warnanya, yang penuh ditumbuhi pohon kelapa dan pohon yang lain-lain, adalah seakan-akan sebuah kebun yang amat luas layaknya.
Pada beberapa tempat kelihatan pohon cemara dan pohon ketapang yang tinggi-tinggi, sebagai menjulangkan puncaknya dari tindihan pohon kelapa yang banyak itu, supaya dapat menangkap angin dan cahaya matahari. Di sana-sini tampak atap rumah yang merah atau putih warnanya, sebagai mengintip. dari celahcelah daun kayu. Hanya pada bagian yang dekat ke kaki Gunung Padang itulah yang banyak rumah dan jalan-jalannya yang berbaris-baris, sejajar dengan sungai Arau.
Jauh di sebelah timur, kebun yang besar itu dipagari oleh gunung-gunung yang memtujur pulau Sumatera, yaitu sebagian daripada Bukit Barisan yang letaknya di tengah-tengah pulau Sumatera, memanjang dari barat laut ke tenggara. Di belah timur laut dan utara, kelihatan beberapa puncak gunung yang tinggitinggi, sebagai ujung tiang pagar tadi. Di antara puncak-puncak ini, di balik awan yang putih, kelihatan puncak Gunung Merapi di Padang Panjang, yang terkadang-kadang nyata nampak asapnya mengepul ke atas, bila cuaca amat terang.
Walaupun di sebelah timur, sekalian mahluk yang mendiami daratan akan mendapat kehidupan dan kesenangan, di sebelah barat tiada lain yang akan diperolehnya daripada bahaya dan maut. Demikian pula kebalikannya jika dibawa sekalian yang mendiami bagian yang di sebelah barat, ke timur, tentulah segera akan sampai ajalnya. Di sebelah timur dapatlah manusia berpijak tanah, tetapi di sebelah barat akan luluslah ia ke dasar lautan.
Setelah sejurus lamanya Samsulbahri termenung sedemikian itu, tiba-tiba terperanjatlah ia, sebagai terbangun daripada tidurnya, karena dirasainya bahunya dipegang orang dari belakang dan didengarnya suara Nurbaya berkata, "Apakah yang kaulihat, Sam?"
"Ah, tidak, Nur," jawab Samsu, "penglihatan di sini sesungguhnya amat elok: Lihatlah pohon-pohon kelapa itu, hampir tak ada hingganya dan di antaranya. Lihatlah pula bukit barisan yang jauh menghijau samar-samar di sebelah timur itu! Dan lihatlah tepi pantai negeri Pariaman, Tiku, dan Air Bangis, yang menggaris terang sampai ke utara."
"Ya, sesungguhnya amat indah," jawab Nurbaya. "Hanya di laut kurang pemandangan. Manakah pulau Pandan, dan manakah pulau Angsa Dua?"
"Itulah, yang jauh itu, pulau Pandan, dan yang sebelah kemari, pulau Angsa Dua," kata Samsu pula, sambil menunjuk dua buah pulau yang berleret letaknya di sebelah ke muka dan sebelah lagi di sebelah belakang.
"Jadi sesungguhnya sebagai dalam pantun.
Pulau Pandan jauh di tengah, di balik pulau Angsa Dua," kata Nurbaya pula. "Memang benar," jawab Samsu. "Tetapi bagaimanakah sambungan pantun itu?" tanya Samsu. "Ah, masakan kau tak tahu. Jangan: Kura-kura di dalam perahu, pura-pura sebagai tak tahu," sahut Nurbaya. "Sebenarnya pantun itu pantun tua, yang demikian bunyinya: Pulau Pandan jauh di tengah, di balik pulau Angsa Dua, Hancur badan di kandung tanah, guna baik diingat jua." kata Samsu pula. "Tetapi oleh anak-anak muda sekarang ditukar menjadi: Pulau Pandan jauh di tengah; di balik pulau Angsa Dua, Hancur badanku di kandung tanah, cahaya matamu kuingat jua."
"Ya, tentu, begitu pun boleh juga; bagaimana kehendak yang berpantun saja," jawab Nuibaya.
Sungguhpun ia berkata demikian, tetapi di dalam hatinya buah pantun ini menimbulkan suatu pikiran; hanya tiada diperlihatkannya itu, dan dibuangnyalah mukanya menoleh ke darat serta bertanya, "Gunung yang tinggi itu, gunung apakah namanya?"
"Gunung Merapi, sangkaku," jawab Samsu.
"Gunung Merapi yang dekat Padang Panjang?" tanya Nurbaya.
"Ya, antara Bukit Tinggi dan Padang Panjang," jawab Samsu. "Dan tahukah pula engkau pantun yang berhubungan dengan kota Padang Panjang itu?"
"Tidak," jawab Nurbaya, dengan hati yang agak berdebar.
"Begini," kata Samsu.
"Padang Panjang dilingkar bukit, bukit dilingkar kayu jati, Kasih sayang bukan sedikit, dari mulut sampai ke hati."
Mendengar pantun Samsu ini, berubahlah warna muka Nurbaya, menjadi kemerah-merahan, lalu tunduklah ia melihat ke tanah, akan menyembunyikan perubahan wajah mukanya ini. Apabila waktu itu tiada kedengaran suara Bakhtiar minta tolong, niscaya terbukalah rahasia hati Nurbaya, yang menyebabkan air mukanya jadi berubah.
Tatkala Samsu mendengar suara sahabatnya minta tolong, tiadalah ia berpikir panjang lagi, lalu melompat berlari ke tempat suara itu kedengaran, takut kalau-kalau Bakhtiar mendapat sesuatu kecelakaan. Apabila sampailah ia ke tempat itu, kelihatan olehnya, sahabat ini sedang diserang oleh beberapa kera yang besar-besar, yang hendak merampas pisang yang ada dalam tangannya.
Walaupun Samsu dengan segera membantu memukul kerakera ini dengan sekerat kayu, tetapi karena banyaknya, tak dapatlah dihalaukan sekaliannya, sehingga terpaksa ia meninggalkan pisang-pisangnya dan menuntun Bakhtiar, keluar dari kepungan penyamun yang berekor panjang itu, lalu membawa sahabatnya ini ke rumah perhentian, tempat ia berdiri tadi. Di tengah jalan bertemulah mereka dengan Nurbaya, yang mengikut dari belakang hendak membantu pula. Dan sejurus kemudian, keluarlah Arifin dari dalam semak-semak, berlari-lari menuju mereka dengan menjinjing suatu bungkusan dalam tangannya. Tatkala ia sampai kepada mereka, lalu bertanyalah ia dengan tergopoh-gopoh, "Siapa yang berteriak? Ada apa?"
Setelah diceritakan oleh Samsu hal Bakhtiar diserang oleh kera-kera itu, tertawalah ia gelak-gelak seraya menekan perutnya, karena tiada tertahan geli hatinya. Walaupun ia sangat lelah karena berlari-lari, tiada dirasainya juga kelelahannya itu, karena tertawa. Akan tetapi Bakhtiar tiada mengindahkan cemooh Arifin ini, istimewa pula karena takutnya belum hilang.
"Memang telah kusangka, bahwa panglima perang kita ini, lebih berani berkelahi dengan makanan, daripada dengan kera. Sesungguhnya patut dadanya dihiasi dengan bintang kulit jering, karena gagah beraninya tiada bertara," kata Arifin dalam tertawa gelak-gelak itu dengan putus-putus suaranya.
Meskipun Samsu dan Nurbaya belum hilang debar hatinya dan mereka sangat belas kasihan melihat hal Bakhtiar, tetapi tiadalah dapat ditahannya hatinya hendak tertawa pula, mendengar perkataan Arifin ini. Akan menghilangkan geli hatinya ini, pura-pura bertanyalah Samsu kepada Bakhtiar, bagaimana mulanya sampai diserang kera tadi. Maka diceritakanlah oleh Bakhtiar, bahwa dengan sengaja dibawanya pisang sesisir, akan diberikannya kepada kera-kera itu. Tiba-tiba,dilihatnya beberapa ekor kera yang besar, datang dari segenap pihak mengelilinginya dan merampas pisang yang ada dalam tangannya. Bahkan ada pula yang memanjat bahu dan kepalanya, walaupun ia memukul sekelilingnya. Akhirnya karena terlalu banyak kera itu datang dan rupa-rupanya binatang ini makin bertambah-tambah marah, sebab ada beberapa ekor di antaranya yang kena pukul, berteriaklah ia minta tolong, takut kalau-kalau digigit penyamun yang telah memperlihatkan giginya dan berbunyibunyi itu.
"Sekalian itu karena lokekmu juga, takut engkau sendiri takkan beroleh pisang. Maksudmu tentulah hendak duduk seorang diri memakan pisang itu di tengah-tengah kera yang banyak itu, sebagai sekor raja kera, yang sedang dihadapi segala menteri, hulubalang dan rakyatnya. Sisamulah yang akan kauberikan kepada sekalian rakyatmu itu. Siapa mau? Sebab apabila telah kaumakan niscaya, tak ada sisanya lagi; barangkali kulit-kulitnya pun habis. Tentu saja tak suka rakyatmu membiarkan engkau makan sendiri. Mereka pun ingin pula hendak makan bersama-sama, karena perutnya pun lapar. Coba kau minta makan bersama-sama mereka dengan perkataan, "Adikadikku yang kucintai! Silakan makan bersamasama abangmu yang sangat merindukan engkau," kata Arifin dengan bersungguh-sungguh rupanya. Tetapi tak ada seorang pun yang menyahut, sedang Samsu dan Nurbaya pura-pura menoleh ke tempat lain, supaya jangan kelihatan tertawa.
Kerena Bakhtiar berdiam diri, berkatalah pula Arifm, "Ada sesuatu yang belum jelas bagiku. Mengapa tiada kaumakan pisang itu lekas-lekas sampai habis? Apabila telah habis sekaliannya masuk perutmu; apalagi yang akan dirampas kerakera itu? Kepada kera kau pura-pura malu, tetapi kepada manusia tidak."
"Untung tidak kumakan, pisang-pisang itu," jawab Bakhtiar yang masih ketakutan, "kalau kumakan, barangkali perutku dikoyak-koyaknya, akan mengeluarkan pisang yang ada dalamnya."
"Bukankah akan menjadi kurang isi perutmu dan barangkali sembuh pula engkau daripada penyakitmu suka makan," kata Arifin, tatkala dilihatnya Bakhtiar belum juga marah. "Jangan engkau kecil hati, Bakhtiar. Apabila aku tadi ada dekatmu, tentulah tiada akan kutolong engkau. Bukan karena tak kasihan kepadamu, melainkan karena sayang aku pertunjukan yang indah itu akan lekas habis."
"Memang engkau selamanya begitu, pandai benar memperolok-olokkan orang," jawab Bakhtiar. "Tetapi apabila engkau sendiri beroleh hal yang sedemikian, barangkali lebih takutmu dari padaku. Boleh jadi engkau menangis meraungraung.
Sedangkan mendengar suara ayahmu sendiri, telah kaku badanmu ketakutan, tadi malam: "
"Bukan menangis meraung-raung," jawab Arifin dengan menyindir, "melainkan menyembah saja, minta ampun kepada kera-kera itu. Aku angkat bendera putih, tanda kalah, tunduk dan menyerahkan diri; kalau-kalau belas kasihan, ia kepadaku.
Biarlah turun dari raja sampai kepada tawanan. Tak apa asal jangan dikoyak kera."
"Ah, sudahlah! Sekarang marilah kita pergi ke rumah perhentian itu, karena aku berasa lapar," kata Samsu, sebagai hendak menghabiskan pertengkaran ini, lalu berjalan mengajak teman-temannya ke sana.
Setelah sampailah mereka ke rumah itu, berkatalah Arifm, "Sebab aku tadi tiada melihat peperanganmu dengan kera, perlihatkanlah sekarang, peperanganmu dengan makanan! Ini aku bawa sebungkus jambu Keling. Berapa puluh dapat kaualahkan dengan gigimu yang tajam itu?" tanya Arifm, sambil membuka bungkusan yang dijinjingnya dan memperlihatkan isinya kepada Bakhtiar, sambil tertawa.
"Jangan dimakan begitu saja! Marilah aku kocok dahulu dengan gula, lada, dan garam supaya lebih nyaman rasanya," kata Nurbaya.
"Tetapi lebih dahulu makan roti," kata Samsu, "Kalau tidak, sakit perut kelak. Apabila hari telah panas, baharulah makan buah-buahan ini dan rasanya pun akan lebih sedap."
"Perut si Bakhtiar tiada akan sakit, walaupun batu sekalipun dimakannya, karena telah biasa mengalahkan segala rupa makanan, biar yang beracun sekalipun," kata Arifin pula, yang rupanya belum puas mempermainkan temannya ini. Tetapi ejekan ini pun tiada dijawab oleh Bakhtiar, karena mulutnya baru penuh berisi roti.
Setelah selesai makan, berkatalah Bakhtiar, hendak pergi membedil burung, lalu mengambil bedil yang dibawa Samsu tadi. Akan tetapi karena Samsu khawatir melepaskannya sendiri, disuruhnyalah Arifin pergi bersama-sama. Maka tinggallah Samsu dan Nurbaya berdua dalam rumah itu.
Nurbaya, sebab hendak membuat rujak jambu Keling dan Samsu akan menjaganya.
Setelah dicampur Nurbaya buah itu dengan gula, garam, dan lada dalam sebuah mangkuk besar, lalu ditutupnya mangkuk ini dan dikocoknya jambu Keling yang ada dalamnya.
Setelah sejurus lamanya Nurbaya mengguncang jambu itu, rupanya ia mulai lelah digantikan oleh Samsu. Demikianlah diperbuat mereka berganti-ganti, sehingga buah jambu itu empuk. Maka diambillah oleh Nurbaya sebutir, lalu dikecapnya.
"Sudah, Sam; terlalu empuk pun tak enak. Cobalah engkau kecap pula!" kata Nurbaya.
"Ya benar, telah enak rasanya," jawab Samsu, setelah dimakannya pula sebuah. "Tetapi baiklah ditunggu dahulu Bakhtiar dan Arifin."
"Tentu," jawab Nurbaya, "kalau tidak, barangkali Bakhtiar akan menyangka kita telah makan lebih banyak, apabila tak cukup bagiannya," kata Nurbaya dengan tersenyum.
Setelah keduanya berdiam sejurus, berkatalah Nurbaya tibatiba, "O ya, baru kuingat janjimu tadi akan menceritakan perempuan dengan kucingnya dan ayam yang bertelur emas itu. Bagaimanakah ceritanya?"
"Benarkah engkau belum mendengar cerita ini?" tanya Samsu.
"Sungguh belum, Sam," sahut Nurbaya.
"Kedua cerita itu ialah hikayat pendek-pendek, yang mengiaskan pepatah: Tiap-tiap suatu yang hendak dikerjakan atau dikatakan, haruslah dipikirkan lebih dahulu dengan sehabishabis pikir dan ditimbang dengan semasak-masaknya: Berkata sepatah, dipikirkan, supaya jangan salah; sebab kesalahan itu boleh mendatangkan sesal yang tak habis. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna.
Cerita yang pertama demikian bunyinya: Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari, tatkala ia hendak pergi, ditinggalkannya anaknya di atas suatu tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu.
Ketika ia kembali ke rumahnya, dilihatnya kucingnya itu duduk di muka rumahnya dengan mulutnya berlumuran darah. Maka berdebarlah hatinya, lalu ia berlari-lari masuk ke tempat tidur anaknya. Di sana dilihatnya anaknya telah mati dan badannya pun penuh darah pula. Oleh sebab pada sangka perempuan itu, tentulah kucing ini yang membunuh anaknya, dengan tiada berpikir panjang lagi, diturutkannyalah nafsu marahnya, lalu dipukulnya kucingnya ini sampai mati. Akan tetapi tatkala diangkatnya mayat anaknya, dilihatnya di bawah anaknya ini ada seekor ular yang sangat bisa, telah mati digigit kucingnya tadi. Rupanya ia berkelahi dengan ular itu, karena hendak membela anak tuannya. Setelah mati ular itu duduklah ia di muka rumah, menunggu kedatangan tuannya, seakan-akan hendak memberitahukan mara bahaya ini.
Di situ menyesalnya perempuan tadi dengan sesalan yang amat sangat, karena sekarang bukannya anaknya saja yang mati, tetapi kucingnya yang amat setia dan dikasihinya hilang pula."
"Tentu saja kesalahan yang sedemikian sangat menyedihkan dan menyusahkan hatinya, dengan sesalan yang tiada berkeputusan," kata Nurbaya dengan terpikir dan sedih rupanya.
"Cerita ayam yang bertelur emas itu, lebih-lebih menjadi ibarat bagi mereka yang loba dan tamak," kata Sam.
"Demikian hikayatnya: Seorang peladang mempunyai ayam betina beberapa ekor.
Pada suatu hari seekor daripada ayamnya itu bertelur emas.
Bagaimana, besar hati si peladang, tentulah dapat kaumaklumi, Nur. Karena lobanya, hendak lekas kaya, disembelihnya ayam itu. Pada sangkanya, tentulah dengan sekaligus akan diperolehnya sekalian telur emas yang ada dalam perut ayam itu. Akan tetapi apa kata? Perut ayam itu isinya sebagai isi perut ayam yang biasa juga dan sebutir telur emas pun tak ada dalamnya. Jika ditunggunya dengan sabar, mungkin hari kedua ayam itu bertelur emas pula. Sekarang ayamnya telah mati dan pengharapannya telah putus."
"Harus begitu hukuman orang yang tamak sedemikian," jawab Nurbaya. "Jika tiada dibunuhnya ayamnya, barangkali diperoleh setiap hari sebutir telur emas."
"Barangkali," jawab Samsu. "Tetapi Nur, sejak kita sampai kemari, belum kita pergi ke mana-mana. Tiadakah ingin hatimu hendak bermain-main dan berayun-ayun di buaian itu?"
"Tentu," jawab Nurbaya, "asal engkau yang mengayunkan aku."
"Memang, siapa lagi. Arif dan Tiar tak ada di s ini. Asal suka saja engkau, berapa lama pun aku ayunkan," kata Samsu pula, lalu pergi bersama-sama Nurbaya ke tempat sebuah buaian kawat besi, yang diikatkan pada dua buah tiang kayu, yang tinggi dan kukuh.
"Tetapi jangan keras-keras kauayunkan aku, Sam!" kata Nurbaya, sambil duduk di atas ayunan itu.
"Bagaimana sukamu saja," jawab Samsu.
Setelah sejurus lamanya berayun-ayun itu, tiba-tiba berteriaklah Nurbaya, "Ada kapal api di laut! Kelihatan dari atas ini."
Dengan segera dihentikan Samsu buaian itu, lalu keduanya mencari sesuatu tempat yang tinggi, untuk melihat kapal yang dikatakan Nurbaya tadi. Sesungguhnya, di laut kelihatan sebuah kapal api, yang rupanya baru keluar dari pelabuhan Teluk Bayur, berlayar dengan tenangnya menuju ke utara.
Asapnya yang telah tebal dan hitam mengepul di udara.
"Ke manakah perginya kapal itu, Sam?" tanya Nurbaya.
"Tentulah ke Aceh dan Sabang, barangkali singgah juga ia di Sibolga," jawab Samsu.
"Kemudian ke mana terusnya?" tanya Nurbaya pula.
"Kembali pula kemari, lalu ke Jakarta. Bolak-balik saja kerjanya, membawa penumpang dan muatan dari selatan ke utara," jawab Samsu. "Barangkali dengan kapal itu kau kelak pergi ke Jakarta," kata Nurbaya. Mendengar perkataan ini, bertukarlah wajah muka Samsu, dari riang menjadi muram dan termenunglah ia berapa lamanya, tiada berkata-kata.
Nurbaya sangat heran melihat hal sahabatnya yang sedemikian itu, lalu bertanya, "Mengapa kau tiba-tiba berdiam, Sam? Kurang enakkah badanmu?"
"Bukan, Nur. Hanya sebab engkau tadi menyebut nama negeri tempat aku akan pergi, tiga bulan lagi," jawab Samsu.
"Pada sangkaku hatimu besar, pergi ke Jakarta," kata Nurbaya.
"Tentu, Nur, tentu! Karena di sanalah aku akan melihat ibu negeri Indonesia ini, kota yang sebesar-besarnya dan sebagusbagusnya, dalam Tanah Air kita. Dan di sanalah pula aku akan beroleh pelajaran yang akan menjadikan aku seorang yang berilmu. Tetapi... berat sungguh hatiku akan meninggalkan kota Padang ini, tanah lahirku, tempat tumpah darahku, kampung halamanku. Karena di sinilah ada ayahbundaku, kaum keluargaku, serta handai tolanku; sedang di sana belum kuketahui dengan siapa aku akan bersama-sama dan betapa mereka itu. Sampai kepada waktu ini aku biasa diperlindungi orang tuaku; tetapi di sana, tentulah aku akan hidup seorang diri."
"Tentu saja, Sam. Memang tak mudah bercerai dengan ibubapa, handai tolan dan teman sejawat. Tetapi pada sangkaku kecanggunganmu itu tiada berapa lama. Tiap-tiap permulaan biasanya susah. Akan tetapi apabila telah sampai engkau ke Jakarta kelak, tentulah akan hilang juga segala kesusahanmu, dirintang penglihatan dan pendengaran yang indah-indah. Barangkali pula lekas engkau beroleh ibu-bapa, sahabat kenalan yang baru, sehingga bertambah-tambah lekaslah pula engkau lupa kepada kami," kata Nurbaya sambil tersenyum dan memandang kepada Samsu.
"Jika rindumu itu tiada hendak hilang, baiklah kaulipur hatimu dengan pikiran yang begini, "Aku ada di Jakarta ini untuk sementara, menuntut pelajaran yang akan memberi kepandaian, pangkat, dan gaji yang besar kepadaku; oleh sebab itu pikiranku tak boleh tergoda oleh yang lain. Apabila telah sampai maksudku itu kelak, tentulah aku segera dapat pulang kembali, bertemu dengan sekalian yang kucintai."
Ingatlah pantun: Jika ada sumur di ladang, tentu boleh menumpang mandi.
Jika ada umurku panjang, tentu boleh bertemu lagi.
Gunung dan lembah yang tiada dapat bertemu, tetapi manusia, asal ada hayat di kandung badan, tentulah akan berjumpa juga. Sedangkan ikan di lautan, asam di daratan, bertemu dalam kuali," kata Nurbaya dengan bermain-main, karena pada sangkanya, pura-puralah Samsu berbuat sebagai bersusah hati, sebab akan pergi ke Jakarta itu.
"Barangkali sangkamu, aku pura-pura berbuat susah, karena akan pergi ke Jakarta itu," kata Samsu pula, "tetapi sesungguhnyalah sangat khawatir hatiku meninggalkan...."
Hingga ini Samsu berhenti, sebagai tak berani menyebut nama orang yang dikhawatirkannya itu.
"Meninggalkan s iapa, Sam?" tanya Nurbaya. "Adakah orang di s ini tempat hatimu tersangkut?"
"Meninggalkan engkau, Nur," jawab Samsu, terus terang.
"Aku?" tanya Nurbaya pula, seakan-akan heran.
"Ya," jawab Samsu dengan pendek.
Nurbaya termenung mendengar pengakuan ini, lalu menundukkan kepalanya ke tanah, sehingga tiadalah dapat dilihat, bagaimana warna mukanya pada waktu itu.
"Jangan engkau salah sangka, Nur! Dengarlah, apa sebabnya hatiku khawatir meninggalkan engkau. Telah beberapa hari aku digoda oleh suatu pikiran yang tak baik," kata Samsu.
"Dari mana datangnya pikiran yang sedemikian?" tanya Nurbaya pura-pura tersenyum, akan melenyapkan perubahan mukanya yang menjadi kaca hatinya.
"Bagaimana aku takkan khawatir," sahut Samsu. "Pada malam Jum'at yang telah lalu, aku bermimpi: rasanya aku mendaki Gunung Padang ini.
Tatkala sampai ke atas ini, tibalah aku rasanya di kota Jakarta yang ramai dan besar itu. Di tengah-tengah kota ini adalah sebuah menara yang tinggi. Seorang tua berkata kepadaku, "Hai Samsu, jika engkau hendak mencapai maksudmu, naiklah menara ini."
Tatkala aku hendak menaiki menara ini, tiba-tiba kelihatanlah olehku, engkau mengikut dari belakang, seorang diri. Oleh sebab itu kutunggulah engkau, supaya dapat naik bersama-sama. Tiba-tiba datanglah Engku Datuk Meringgih menghelakan engkau ke bawah, lalu didukungnya, dibawanya lari. Karena panas hatiku, kurebutlah engkau dari tangannya, sehingga berkelahilah aku dengan dia. Oleh sebab ia lebih kuat dari padaku, dapatlah aku ditangkapnya dan dilontarkannya ke, bawah gunung ini. Engkau pun, sebab membantah, tiada mengikut kemauannya dijerumuskannya pula ke bawah. Maka jatuhlah kita berdua terguling-guling ke kaki gunung ini, masuk ke dalam suatu lubang yang besar, sehingga tak dapat keluar lagi. Ketika itu terbangunlah aku dengan sangat terperanjat. Badanku basah kena keringat.
Semalam-malaman itu tiadalah dapat aku tidur lagi dan sejak waktu itu, mimpi ini tiadalah hendak hilang dari pikiranku."
"Wahai! Rupanya inilah sebabnya engkau kulihat terkadangkadang termenung seorang diri," kata Nurbaya.
"Tetapi janganlah engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena mimpi permainan pikiran, tiada selamanya benar; acap kali bohong, tak ada takbirnya. Melainkan sejak sekarang marilah kita bersamasama menadahkan tangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memohonkan kepada-Nya supaya mudah-mudahan dipelihara-Nya juga kita di dalam segala hal," kata Nurbaya pula, sebagai pelipur hati Samsu. Akan tetapi, meskipun ia berkata sedemikian, hatinya tiada senang juga, karena sesungguhnya ganjil mimpi Samsu ini pada rasa hatinya.
Tatkala itu kembalilah Bakhtiar dan Arifin tergopoh-gopoh dari perburuannya, sebagai ada sesuatu yang dilarikannya.
"Apa yang dapat?" tanya Nurbaya.
"Sst, diam! Jangan ribut!" kata Bakhtiar, sambil menyembunyikan bedilnya."
"Bakhtiar membedil orang," kata Arifrrt perlahan-lahan.
"Membedil orang?" tanya Samsu dengan terperanjat.
"Ya," jawab Arifin, "tetapi nantilah kuceritakan kepadamu.
Sekarang mari kita pulang lekas-lekas!"
"Makanan itu bagaimana?" tanya Nurbaya.
"Kita makan cepat-cepat dan kemudian kita pulang dengan segera," jawab Arifin.
Tatkala mereka berkata-kata itu, Bakhtiar menyembunyikan bedilnya dalam rumput-rumput, kemudian datang hendak makan bersama-sama. Tetapi walaupun ia sangat lapar, tiadalah dapat juga makan dengan sepertinya, karena ketakutan. Mukanya pucat, tangannya gemetar.
Setelah selesai makan lalu Bakhtiar membungkus bedilnya dengan kelopak lopak pisang, supaya jangan kelihatan dari luar. Kemudian menurunlah mereka bergesa-gesa.
Tatkala sampai ke pangkal pendakian, berhentilah mereka sejurus di kedai, untuk melepaskan lelahnya. Tiada lama kemudian daripada itu, turunlah dua orang serdadu dari atas gunung ini. Seorang dari padanya jalannya seakan-akan pincang dan paha kirinya dipegangnya dengan tangannya.
Tatkala Bakhtiar dan Arifin melihat serdadu ini, bersembunyilah mereka ke dalam kedai tadi. Seketika lagi sampailah kedua serdadu itu ke muka kedai ini, lalu hendak ber-henti pula di sana. Yang tiada pincang bertanya, "Masih sakitkah kakimu? Marilah kita berhenti dahulu di s ini."
"Ah, tak usah. Baik kita terus pulang, supaya jangan terlambat sampai ke tangsi," jawab yang sakit. .
"Siapakah yang telah membedilmu pada sangkamu?" bertanya pula yang tak sakit.
"Tentulah anak-anak. Jika dapat ia kuputar batang lehernya," jawab yang sakit.
Kemudian kedua serdadu itu naik sebuah sampan, lalu menyeberang sungai Arau.
Setelah sampai mereka ke seberang, barulah Bakhtiar dan Arifin berani ke luar, lalu barkata, "Itulah dia yang kena bedilku tadi."
"Bagaimana mulanya maka ia sampai jadi kena? Cobalah kauceritakan!" tanya Nurbaya yang agak pucat mukanya.
"Aku hendak membedil burung Merbah yang ada dalam semak-semak dan ia tiada kelihatan olehku, karena ia berdiri di balik pohon kayu. Tatkala kubedil burung itu, tiba-tiba kedengaran olehku suara orang berteriak, "Aduh! Apa ini? Tolong!" Ketika itulah nyata olehku bahwa seorang daripada serdadu tadi telah kena bedilku. Dengan segera aku lari menyembunyikan diri."
"Memang ada-ada saja yang terjadi padamu, Bakhtiar! Belum hilang takutku, karena engkau diserang kera, sekarang kau tembak pula orang. Kalau dapat engkau olehnya tadi, bagaimana!" kata Nurbaya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan kusengaja, Nur. Kakinya itu kusangka dahan kayu yang hitam, sebab badannya tersembunyi di balik pokok kayu.
Siapakah yang 'kan dapat menentukannya dari jauh? Tetapi apanya yang kena, kaulihat tadi, Nur, tatkala ia melintas di sini?" tanya Bakhtiar.
"Paha belakangnya yang sebelah kiri," jawab Nurbaya.
"Rupanya berdarah, lagi sakit; sebab selalu dipegangnya pahanya itu."
"Marilah kita pulang, sebab hari telah setengah satu. Pak Ali tentu telah ada dan perutku telah lapar," kata Samsu pula.
Setelah minum air seterup seorang segelas, menyeberanglah keempat mereka, lalu pulang ke rumahnya masing-masing.