VII. Surat Samsulbahri Kepada Nurbaya sunting

Tiga bulan Samsulbahri telah berangkat ke Jakarta, meninggalkan tanah airnya. Tiga bulan lamanya Nurbaya telah bercerai dengan kekasihnya, tiada melihat wajahnya dan tiada mendengar suaranya dan tiga bulan pula lamanya ia tiada bermain-main dengan Samsu dan mengganggu kakaknya ini.

Sejak hari perceraiannya, sampai kepada waktu itu, kekasihnya ini tiada hilang barang sekejap pun dari ingatannya. Biarpun buah hatinya ini telah hilang dari matanya tetapi makin kelihatan ia dalam kalbunya, makin nyaring kedengaran bunyi suaranya dan makin bertambah nyata segala tingkah lakunya.

Mula-mula pada sangkanya mudah akan dapat melipur pikirannya, apabila kesedihan hatinya telah hilang. Akan tetapi setelah sepekan lamanya ia bagaikan demam dan setelah sembuh pula ia kembali pada lahirnya, pada batinnya bertambah-tambah ia menanggung kesakitan; makin lama makin larat, makin dilupakan makin teringat, makin dilipur makin berat, makin dijauhkan makin dekat. Ketika itulah baru diketahuinya benarbenar, betapa besar harga saudaranya dan kekasihnya itu baginya karena ketika itulah pula dirasainya benar-benar keberatan perceraian itu sebagai kata pantun: Anak Cina bermain wayang, anak Keling bermain api. Jika siang terbayang-bayang, jika malam menjadi mimpi.

Terbang melayang kunang-kunang, anak balam mati tergugur, jatuh ke tanah ke atas kembang, kembang kuning bunga cempaka.

Jika siang tak dapat senang, jika malam tak dapat tidur, pikiran kusut hati pun bimbang, teringat kakanda Samsu juga.

Jika datang godaan yang sedemikian itu, dicobanyalah melipur hatinya dengan pikiran ini: Samsu tiada lama lagi akan kembali dan tentulah ia akan dapat berteinu pula dengan dia.

Tambahan pula kekasihnya itu pergi untuk menuntut ilmu, yang kemudian dapat memberi kesenangan dan kemuliaan kepada dirinya. Apabila Samsu menjadi dokter, tentulah ia akan beroleh kemuliaan dan kesenangan pula.

"Aduh, alangkah senang hatiku kelak, apabila aku telah menjadi istri Samsu, kekasihku itu! Memang patut aku duduk bersama-sama dengan dia, memang dialah jodohku. Bila ia telah lulus dalam ujiannya, menjadilah aku istri dokter. Jika sakit aku atau anakku kelak, tak usah memanggil tabib yang lain, karena suamiku sendiri pandai mengobati kami.

Ya, anakku, kataku. Alangkah senangnya, jika beroleh anak dari seorang laki-laki yang sebagai suamiku ini! Karena tentulah anak itu akan baik pula tingkah lakunya, seperti bapaknya dan rupanya tentulah sebagai pinang dibelah dua dengan bapaknya. Wahai! Alangkah lncunya kelak Samsu yang kecil itu, suka bermain-main, sebagai bapaknya dan apabila ia telah besar, tentulah akan menjadi dokter pula.

Apabila anak itu perempuan, biarlah sebagai rupaku. Jika ia telah besar, kuajarlah ia sekalian ilmu yang patut diketahui perempuan; kujadikanlah ia seorang perempuan yang berguna bagi suaminya kelak, perempuan yang dapat dibawa melarat dan dapat membantu suaminya di dalam kesukaan dan kedukaan, supaya menantu itu kelak dapat beroleh kesenangan dan kesentosaan, sebagai aku akan menyenangkan Samsuku," demikianlah kenang-kenangan Nurbaya pada suatu malam Ahad, tatkala ia duduk di serambi muka rumahnya, sambil memandang kepada bangku di dalam kebunnya, tempat ia biasa bersenda gurau dengan kekasihnya itu.

"Ah, tetapi waktu itu masih lama lagi," katanya pula dalam hatinya, "masih tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu selama itu? Mengapa tidak," jawabnya sendiri pula. "Ingatlah kata pantun: Lurus jalan ke Payakumbuh, bersimpang lalu ke Kinali. Jika hati sama sungguh, kering lautan dapat dinanti.

Betul tetapi hatiku sebenarnya khawatir juga, kalau-kalau ia kelak tergoda oleh perempuan lain; karena Jakarta negeri besar, segala godaan ada di sana. Nyonya yang bagus-bagus, tentu tak kurang dan kabarnya perempuan-perempuan Sunda pun, banyak pula yang cantik-cantik. Baik aku minta lekaslekas kawin dengan dia, supaya terikat ia padaku."

Tetapi sejurus lagi bertukar pula pikirannya dan berkatalah ia dalam hatinya, "Ah, kurang baik pikiranku ini, sebab ia masih dalam sekolah kalau-kalau pelajarannya kelak jadi terganggu. Yang dikejar nanti tak dapat, yang dikandung berceceran. Jangan terburu nafsu, dengarlah pantun ini! Encik Amat mengaji tamat, mengaji Quran di waktu fajar.

Biar lambat asal selamat, tidak lari gunung dikejar.

Masakan ia akan mengubah janji, mustahil! Tak baik aku berpikir demikian; aku masih terlalu muda. Bila ia kelak telah menjadi dokter, umurku telah dua puluh dua tahun, barulah baik aku bersuami.

Sesungguhnya tak baik kawin muda-muda. Lihatlah putri Alia, yang dikawinkan oleh orang tuanya, tatkala ia berumur tiga belas tahun. Badannya tak dapat besar lagi dan anaknya telah lima orang mati-mati saja. Yang keenam, yang hidup, rupanya kurang sempurna; badannya lemah, sebagai tiada berdaya. Tatkala anak ini telah berumur dua tahun, masih belum pandai jua ia berjalan dan berkata-kata pun rupanya susah. Samsu kecilku kelak tak boleh sedemikian, harus sehat.dan kukuh badannya, supaya boleh menjadi orang yang sempurna.

Oleh sebab itu tak boleh aku kawin terlalu muda, tak baik bagi badanku dan tak baik pula lagi turunanku. Tentu saja, masakan biji yang belum sempurna tua, jika ditanam, dapat tumbuh menjadi pohon yang besar dan baik, yang menghasilkan buah yang banyak dan besar-besar? Tentu tidak. Tetapi, kebanyakan ibu-bapa di Padang ini tiada mengingat hal itu. Asal untungnya lepas, katanya senanglah hatinya, dengan tidak memikirkan anak cucu dan turunannya di kemudian hari.

Apabila sekalian orang kawin muda, tentulah akhirnya bangsanya akan berkurang-kurang orangnya atau undur dalam kesehatannya, besarnya, kepandaiannya dan sifatnya yang lain-lain, sehingga bangsanya menjadi suatu bangsa yang daif. Biasanya orang tua-tua kuno tiada memikirkan hal ini atau tiada sampai ke sana pikirannya. Pada sangkanya aib, bila anaknya yang perempuan, tua baru bersuami, sebagai tak laku. Oleh sebab itu dikawinkannya muda-muda, terkadangkadang waktu berumur sebelas tahun. Dan tatkala berumur dua belas tahun, beranaklah perempuan muda ini. Orang barat yang tiada suka kawin muda-muda, lihatlah badannya, besar, kukuh, dan sehat."

Tatkala Nurbaya berpikir-pikir sedemikian itu, tiba-tiba didengarnya suara, "Surat pos," sehingga terkejutlah ia. Di tangga rumahnya dilihatnya seorang tukang pos berdiri memegang sepucuk surat. Segera Nurbaya berdiri mengambil surat itu dan tatkala dibacanya alamatnya, nyatalah surat itu untuk ia sendiri, datang dari Samsu, kekasihnya, yang sedang diingat-ingatnya pada waktu itu. Rupanya surat ini baru datang dengan kapal yang baru masuk hari itu.

Muka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang mencekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Bertambah-tambah besar hatinya menerima surat ini, karena telah dua jumat ia tiada mendapat kabar dari Samsu. Segeralah ia masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar, dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang dan banyak berisi syair.

Demikian bunyinya:

Jakarta, 10 Agustus 1896

Awal bermula berjejak kalam,
Pukul sebelas suatu malam,
Bulan bercaya mengedar alam,
Bintang bersinar laksana nilam.

Langit jernih cuaca terang,
Kota bersinar terang benderang,
Angin bertiup serang-menyerang,
Ombak memecah di atas karang.

Awan berarak berganti-ganti,
Cepat melayang tiada berhenti,
Menuju selatan tempat yang pasti,
Sampai ke gunung lalu berhenti.

Udara tenang hari pun terang,
Sunyi senyap bukan sebarang,
Murai berkicau di kayu arang,
Merayu hati dagang seorang.

Guntur menderu mendayu-dayu,
Pungguk merindu di atas kayu,
Hati yang riang menjadi sayu,
Pikiran melayang ke tanah Melayu.

Angin bertiup bertalu-talu,
Kalbu yang rawan bertambah pilu,
Hati dan jantung berasa ngilu,
Bagai diiris dengan sembilu.

Tatkala angin berembus tenang,
Adik yang jauh terkenangkenang,
Air mata jatuh berlinang,
Lautan Hindia hendak direnang.

Jika dipikir diingat-ingat,
Arwah melayang terbang semangat,
Tubuh gemetar terlalu sangat,
Kepala yang sejuk berasa angat.

Betapa tidak jadi begini,
Ayam berkokok di sana-sini,
Disangka jiwa permata seni,
Datang menjelang kakanda ini.

Disangka adik datang melayang,
Mengobat kakanda mabuk kepayang,
Hati yang sedih berasa riang,
Kalbu yang tetap rasa tergoyang.

Lipur segala susah di hati,
Melihat adikku emas sekati,
Datang menjelang abang menanti,
Dagang merindu bagaikan mati.

Silakan gusti emas tempawan,
Sila mengobat dagang yang rawan,
Penyakit hebat tidak berlawan,
Sebagai kayu penuh cendawan.

Silalah adik, silalah gusti,
Sila mengobat luka di hati,
Jika lambat adik obati,
Tentulah abang fana dan mati.

Tatkala sadar hilang ketawa,
Dagang seorang di tanah Jawa,
Rasakan hancur badan dan nyawa,
Nasib rupanya berbuat kecewa.

Di sana teringat badan seorang,
Jauh di rantau di tanah seberang,
Sedih hati bukan sebarang,
Sebagai manik putus pengarang.

Tunduk menangis tercita-cita,
Jatuh mencucur air mata,
Lemah segala sendi anggota,
Rindukan adik emas juita.

Teringat adik emas sekati,
Kanda mengeluh tidak berhenti,
Rindu menyesak ke hulu hati,
Rasa mencabut nyawa yang sakti.

Terkenang kepada masa dahulu,
Tiga bulan yang telah lalu,
Bergurau senda dapat selalu,
Dengan adikku yang banyak malu.

Sekarang kakanda seorang diri,
Jauh kampung halaman negeri,
Duduk bercinta sehari-hari,
Kerja lain tidak dipikiri.

Tetapi apa hendak dikata,
Sudah takdir Tuhan semesta,
Sebilang waktu duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita.

Setelah jauh sudahlah malam,
Kakanda tertidur di atas tilam,
Bermimpi adik permata nilam,
Datang melipur gundah di dalam.

Datangnya itu seorang diri,
Tidur berbaring di sebelah kiri,
Kakanda memeluk intan baiduri,
Dicium pipi kanan dan kiri.

Tiada berapa lama antara,
Dilihat badan sebatang kara,
Abang terbangun dengan segera,
Hati yang rindu bertambah lara.

Guling kiranya berbuat olah,
Lalu mengucap astagfirullah,
Begitulah takdir kehendak Allah,
Badan yang sakit bertambah lelah.

Memang apa hendak dibilang,
Sudahlah nasib untung yang malang,
Petang dan pagi berhati walang,
Menanggung rindu beremuk tulang.

Walaupun sudah nasib begitu,
Tiada kanda berhati mutu,
Gerak takdir Tuhan yang satu,
Duduk bercinta sebilang waktu.

Jauh malam hampirkan siang,
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik, terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang.

Ayam berkokok bersahut-sahutan,
Di sebelah barat, timur, selatan,
Hatiku rindu bukan buatan,
Kepada adikku permata intan.

Di situ terkenang ibu dan bapa,
Adik dan kakak segala rupa,
Handai dan tolan kaya dan papa,
Timbul di kalbu tiada lupa.

Begitulah nasib di rantau orang,
Susah ditanggung badan seorang,
Sakit bertenggang bukan sebarang,
Sebagai terpijak duri di karang.

Setelah siang sudahlah hari,
Berjalan kakanda kian kemari,
Tak tahu apa akan dicari,
Bertemu tidak kehendak diri.

Diambil kertas ditulis surat,
Ganti tubuh badan yang larat,
Kesan nasib untung melarat,
Kepada adikku di Sumatra Barat.

Dawat dan kalam dipilih jari,
Dikarang surat di dinihari,
Ganti kakanda datang sendiri,
Ke pangkuan adik wajah berseri.

Wahai adikku indra bangsawan,
Salam kakanda dagang yang rawan,
Sepucuk surat jadi haluan,
Ke atas ribaan emas tempawan.

Mendapatkan adik paduka suri,
Cantik manis intan baiduri,
Di padang konon namanya negeri,
Duduk berdiam di rumah sendiri.

Jika kakanda peri dan mambang,
Tentulah segera melayang terbang,
Menyeberang lautan menyongsong gelombang,
Mendapatkan adik kekasih abang.

Menyerahkan diri kepada adinda,
Tulus dan ikhlas di dalam dada,
Harapan kakanda jangan tiada,
Mati di pangkuan bangsawan muda.

Adikku Nurbaya permata delima,
Dengan berahi sudahlah lama,
Hasrat di hati hendak bersama,
Dengan adikku mahkota lima.

Hendak bersama rasanya cita,
Dengan adikku emas juita,
Jika ditolong sang dewata,
Di dadalah jadi tajuk mahkota.

Tajuk mahkota jadilah tuan,
Putih kuning sangat cumbuan,
Menjadikan abang rindu dan rawan,
Laksana orang mabuk cendawan.

Karena menurut cinta di hati,
Asyik berahi punya pekerti,
Sungguhpun hidup rasakan mati,
Baru sekarang kanda mengerti.

Dendam berahi sudahlah pasti,
Tuhan yang tahu rahasia hati,
Kakanda bercinta rasakan mati,
Tidak mengindahkan raksasa sakti.

Siang dan malam duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita,
Tiada hilang di hati beta,
Adik selalu di dalam cipta.

Jiwaku manis Nurbaya Sitti,
Putih kuning emas sekati,
Tempat melipur gundah di hati,
Ingin berdua sampaikan mati,

Tidaklah belas dewa kencana,
Memandang kanda dagang yang hina,
Makan tak kenyang tidur tak lena,
Bercintakan adik muda teruna.

Rindukan adik paras yang gombang,[1]
Siang dan malam berhati bimbang,
Cinta di hati selalu mengembang,
Laksana perahu diayun gelombang.

Setiap hari berdukacita,
Terkenang adinda emas juita,
Sakit tak dapat lagi dikata,
Sebagai bisul tidak bermata.

Tiada dapat kakanda katakan,
Asyik berahi tak terperikan,
Adik seorang kakanda idamkan,
Tiada putus kakanda rindukan.

Rusaklah hati kanda seorang,
Rindukan paras intan di karang,
Dari dahulu sampai sekarang,
Sebarang kerja rasa terlarang.

Pekerjaan lain tidak dipikiri,
Karena rindu sehari-hari,
Tiada lain keinginan diri,
Hendak bersama intan baiduri.

Ayuhai adik Sitti Nurani,
Teruslah baca suratku ini,
Ilmu mengarang sudahlah fani,
Disambung syair surat begini.

Tatkala Nurbaya membaca syair ini, berlinang-linanglah air matanya, karena untungnya pun sedemikian pula.

"Adikku Nurbaya!" demikianlah bunyi surat itu, ketika terus dibaca oleh Nurbaya, "Begitulah penanggunganku. Bukan sedikit beratnya perceraian ini rasanya. Bukannya engkau saja yang terbayang di mataku, tetapi ibu-bapa, handai tolan, dan teman sejawatku, yang kutinggalkan di Padang, semuanya tiada hendak luput dari mataku. Dahulu aku dimanjakan oleh ibu-bapakku. Sekaliannya telah disediakan, telah diselenggarakan. Akan tetapi sekarang haruslah aku sendiri mengerjakannya. Pakaianku harus kucuci, kulipat dan kusimpan sendiri; bilik dan tempat tidurku harus pula dibersihkan sendiri. Sepatuku pun tak ada orang lain, yang akan menggosoknya. Kehidupanku tiadalah bebas, karena tinggal di dalam sekolah. Tidur di dalam sebuah kamar panjang; bersama-sama dengan teman-teman yang lain, sebagai serdadu dalam tangsi. Hanya akulah yang dapat sebuah kamar sendiri sebab tak cukup tempat bersama-sama dengan yang lain.
Pukul sepuluh malam haruslah tidur, tak boleh bercakapcakap lagi atau bekerja terus. Pukul enam pagi haruslah bangun; setelah makan, sekolah pun mulai, pukul delapan. Pelajaran tiada sebagai di sekolah kita di Padang, karena sekaliannya diserahkan kepada yang belajar sendiri.
Bila hendak pandai rajin-rajinlah; jika tidak, tahu sendiri..
Pukul satu berhentilah sekolah, akan tetapi terkadang-kadang petang hari masuk pula.
Sesungguhnya aturan ini baik, karena dengan demikian dapatlah kami belajar hidup sendiri. Apabila kita telah besar kelak, tentulah begitu juga jadinya. Masakan selalu akan bergantung kepada ibu-bapa sahaja? Sungguhpun demikian, bagiku yang belum biasa hidup sedemikian berat rasanya. Akan tetapi lama-kelamaan lenyap juga keberatan itu. Sekarang ini telah mulai biasa aku sedikit pada aturan itu dan tiadalah berat benar lagi rasanya sebagai bermula. Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa Belanda "ontgroening"[2].
Adat ini memang ada baiknya, karena maksudnya dengan bersuka-sukaan, mengajari murid-murid yang baru masuk, supaya tahu adat-istiadat, tertib sopan kepada teman sejawatnya atau orang luar pun dan berani atas kebenaran.
Bila ontgroening itu dipandang sebagai permainan saja, tiadalah mengapa; akan tetapi terkadang-kadang kasar dilakukan, sehingga boleh mendatangkan kecelakaan kepada muridmurid yang dipermainkan itu. Permainan yang kasar ini, pada pikiranku, tak baik diteruskan. Misalnya aku dengar pada sebuah sekolah menengah, ada permainan yang dinamakan "melalui selat Gibraltra."
Engkau tentu masih ingat dalam ilmu bumi, selat Gibraltar itu, ialah suatu selat yang sempit, antara ujung tanah Sepanyol dan benua Afrika.
Demikianlah diperbuat oleh murid-murid kelas tinggi suatu selat yang sempit, yang dijadikan oleh kira-kira dua puluh murid yang tua-tua, yang berleret dalam dua baris. Sekalian rnurid baru, haruslah berjalan seorang-seorang melalui selat ini dan tiap-tiap murid kelas tinggi yang berdiri itu meninju dan menyepak murid-murid baru ini, sehingga ia tertolak dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sampai ke luar dari selat siksaan itu. Kemudian murid baru itu diangkat bersama-sama, lalu dicemplungkan ke dalam suatu kolam.
Apakah faedahnya permainan yang kasar serupa ini? Istimewa pula sebab ia boleh mendatangkan bahaya.
Tambahan lagi, pada sangkaku, dan demikian, murid-murid itu jadi ber-musuh-musuhan dan berdendam-dendaman.
Misalnya seorang anak Sunda yang kurang suka kepada anak Jawa atau yang telah mendapat siksaan dari orang anak Jawa, tatkala ia mula-mula masuk, menaruh dendam dalam hatinya dan berniat hendak melepaskan dendamnya kelak kepada anak Jawa. Dengan demikian persahabatan antara kedua suku bangsa ini, yang diharapkan akan diperoleh karena percampuran dalam sekolah, boleh menjadi kurang dan akhirnya menjadi putus.
Untunglah permainan yang kasar itu tak ada pada sekolah kami dan sekalian aturan ontgroening pada sekolah ini, sesungguhnya permainan atau sesuatu yang memberi paedah, misalnya murid-murid yang baru itu disuruh bernyanyi, menari atau memencak, menurut aturan negeri masing-masing, di hadapan murid kelas tinggi.
Oleh sebab murid-murid yang masuk sekolah ini, sebagai telah kukatakan dalam suratku dahulu, datang dari beberapa negeri, seperti Padang, Batak, Deli, Palembang, Jakarta, Sunda, Jawa; Madura, Ambon, Manado, dan lain-lainnya, bermacam-macam lagu yang didengar, dinyanyikan dalam berbagai-bagai bahasa dan bermacam-macam pulalah tari dan pencak yang dipertunjukkan. Suatu tari yang hebat yaitu tari orang Manado, yang dinamakan "cakalele," tak ada ubahnya dengan pencak orang yang hendak perang, dengan tempik soraknya.
Lain daripada permainan yang, telah kuceritakan itu ada pula permainan yang mengadu kekuatan, misalnya berhelahelaan tali berlumba-lumba, melompat tinggi dan mengadu kekuatan badan. Yang terlebih lucu ialah disuruh membeli minyak sesen ke kedai, dalam sebuah botol yang besarnya hampir sebesar aku. Lucu benar rupanya murid itu berjalan pulang balik memikul botol yang sebesar itu untuk tempat minyak harga sesen.
Ada pula yang disuruh memburu ayam liar, yang dilepaskan dalam pekarangan sekolah. Ayam ini harus dapat ditangkap oleh dua orang murid. Kasihan melihat kedua murid itu berlelah payah menangkap ayam ini. Akan tetapi untunglah, setelah tertangkap dipotong dan dimasak atau digoreng.
Ada pula yang disuruh berpakaian yang indah-indah, seboleh-bolehnya pakaian hitam yang tebal. Kaumaklum Nur, Jakarta sangat panas hawanya, sehingga murid itu kepanasan karena pakaiannya itu. Setelah berpakaian indah-indah itu, disuruhlah ia berjalan sepanjang jalan raya. Tiap-tiap orang yang tertemu, dengan tiada memandang bangsanya, haruslah diberinya tabik dengan mengangkat topinya. Sebagai telah kuceritakan, kota Jakarta itu sangat ramai; orang yang lalulintas di jalan raya beratus-ratus banyaknya dengan tiada berkeputusan. Memberi tabik itu, walaupun tiada seberapa berat, tetapi karena banyak orang yang bertemu, dalam setengah jam saja pun telah lelah murid itu.
Orang yang diberi tabik, bermacam-macam kelakuannya.
Yang telah tahu akan permainan ini, tersenyum; tetapi yang belum tahu terkadang-kadang marah, karena pada sangkanya ia diperolok-olokkan. Ada yang tiada mengindahkan suatu apa, ada yang menertawakan murid itu, ada yang bingung tiada mengerti itu dan ada pula yang membalas tabik itu dengan lebih hormat, sebab pada sangkanya bukan permainan, melainkan sesungguh-nyalah ia diberi hormat oleh orang yang tiada dikenalnya tetapi sangat memuliakannya. Anak-anak di jalan raya menyangka murid itu miring otaknya, sehingga dipermain-mainkannya dan diganggunya mereka. Berbagaibagailah ragam orang-orang itu. Mereka itulah yang ditonton oleh murid-murid kelas tinggi, yang mengikut dari jauh.
Yang kurang lucu, yaitu disuruh makan obat kina, yang sangat pahit itu atau disuruh mencium sebangsa hawa yang sangat busuk atau disuruh makan pisang sesisir di hadapan bangkai. Ada seorang murid yang sangat penjijik, disuruh makan pisang itu. Jangankan termakan olehnya, bahkah segala yang ada dalam perutnyalah keluar semua. Kasihan! Sungguh permainan yang baru kuceritakan itu kurang lucu, tetapi ada juga mengandung suatu pelajaran. Dokter itu harus tahan bau busuk dan rasa yang pahit, serta tak boleh takut dan geli melihat mayat; sebab itulah diajar di sana. Akhirnya setelah itu disuruh tidur di kamar mati. Akan tetapi terlebih dahulu baiklah kuceritakan kepadamu apa bagianku dan bagian Arifin, daripada permainan yang telah kaudengar tadi, karena pada sangkaku tentulah engkau ingin juga hendak mengetahui hal itu. Arifin disuruh memencak, berhela-helaan tali, membeli minyak dengan botol besar, memburu ayam dan makan pisang dekat bangkai. Alangkah suka hati Bakhtiar, apabila dilihatnya Arifin, sebagai anjing mengejar ayam ke sana kemari! Akan tetapi pada sangkaku, walau perut Bakhtiar sekalipun, tiadalah 'kan dapat menghabiskan pisang sekian banyaknya itu di tempat yang sedemikian."

Ketika itu tersenyumlah Nurbaya, sebab teringat kepada Bakhtiar.

"Aku disuruh bernyanyi, menari, makan kina, dan tidur di kamar mati. Kamar mati ini, ialah bilik tempat menyimpan mayat. Di sana ada rangka tulang orang (tulang-belulang) yang gunanya untuk pelajaran, digantungkan pada suatu tiang. Pada suatu malam, kira-kira pukul setengah sembilan, disuruhlah aku ke sana dengan murid yang penjijik tadi. Anak ini bukan penjijik saja, tetapi teramat penakut pula. Aku, meskipun tiada tahu apa-yang akan terjadi atas diriku, tiadalah aku tinggal saja dalam bilik ini, beberapa lamanya.
Untuk peringatan permainan saja. Kami duduk di atas kursi dekat sebuah meja, berhadap-hadapan; aku melihat kepada rangka itu dan temanku membelakang ke sana. Pada sangka kami, kami hanya disuruh tinggal saja dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk perintang waktu, kami bercakap-cakap menceritakan hal ihwal masing-masing, kusuruh ceritakan olehnya negerinya dan aku pun bercerita pula tentang kota Padang.
Sejak asyik kami bercakap-cakap itu, tiba-tiba kulihat rangka tadi mengangkat tangannya, sebagai menggamit aku dari jauh, dan matanya sebagai menyala. Walaupun aku tidak penakut dan yakin, mustahil tulang-belulang pandai bergerak. tetapi tatkala kulihat hal itu, berdebar juga hatiku. Akan tetapi heranku itu tiadalah kuperlihatkan kepada temanku, karena aku khawatir, kalau-kalau ia menjadi takut; lalu kuperbuat purapura asyik mendengarkan ceritanya, tetapi mataku acap kali juga melihat kepada rangka tadi.
Kedua kalinya diangkatnya tangannya, lebih tinggi daripada bermula, lalu digerak-gerakkannya jarinya, sebagai hendak memanggil. Melihat hal ini terkejutlah aku, dan karena itu temanku itu pun menoleh ke belakang.
Tatkala dilihatnya tangan rangka itu bergerak-gerak dan matanya sebagai berapi, menjeritlah ia sekuat-kuatnya, lalu melompat memeluk aku, sehingga, terbaliklah kursi dan meja, yang dekatnya itu. Sebab aku dipeluknya tiba-tiba dengan erat dan ditariknya ke belakang, terbaliklah pula aku bersamasama dengan dia. Akan tetapi leherku tiadalah terlepas dari pelukan temanku itu, sehingga aku hampir tercekik. Dengan susah payah, baru dapat kulepaskan tangannya dari leherku.
Setelah terlepas aku dari pelukannya, rebahlah temanku itu ke lantai, tiada khabarkan dirinya lagi. Mukanya pucat, peluhnya bercucuran dan badannya gemetar. Tatkala kulihat halnya yang sedemikian, bingunglah aku, tiada tahu apa yang hendak kuperbuat.
Kemudian larilah aku ke luar, minta tolong. Seketika itu juga kelihatan olehku dua orang murid kelas tinggi, entah dari mana datangnya, tiada kuketahui, lalu bertanya mengapa aku berteriak. Setelah kuceritakan kepadanya, apa yang terjadi, kami angkatlah bersama-sama murid yang pingsan tadi ke tempat tidurnya, lalu diobati merekalah temanku itu, sampai baik pula. Sungguhpun demikian masih belum dapat ia berkata-kata; rupanya masih sangat terperanjat dan takut.
Kemudian dibujuklah kami oleh kedua murid kelas tinggi tadi.
Dikatakannya, mustahil tulang-belulang orang yang telah mati dapat bergerak pula. Sekalian yang kami lihat tadi, tentulah penglihatan karena takut saja, lalu dibawalah aku oleh seorang dari mereka kepada rangka tadi dan dipegangpeganglah tulang-tulang itu. Sesungguhnya tiadalah ia dapat bergerak.
Pada keesokan harinya, barulah aku dapat tahu, apa sebabnya maka rangka itu bergerak. Tangannya diikat dengan dawai yang halus, lalu ditarik-tarik dari luar, dan matanya yang menyala itu, karena diberi suatu obat yang bercahaya di tempat yang gelap. Sungguhpun sekalian itu hanya permainan yang gunanya akan menghilangkan takut dan untuk menyatakan, bahwa segala hantu dan setan itu hanya penglihatan mereka yang takut saja, tetapi murid yang ketakutan tadi, tiga hari lamanya demam. Demikianlah percobaan di Sekolah Dokter Jawa.
Ah, ya, hampir lupa aku menceritakan hal ihwal Bakhtiar. Ia sekarang rupanya kurus sedikit; barangkali sebab terlalu berat bekerja menggergaji dan mengetam kayu, inilah kerjanya mula-mula sehari-hari. Makan rupanya tak dapat sekehendak hatinya. Acap kali aku bertemu dengan dia pada petang hari.
Baginya dan bagi Arifin pun permulaan ini rupanya susah dan berat. Tetapi tak jadi apa, karena segala permulaan itu tentulah berat dan susah. Apabila telah biasa kelak, tentulah akan hilang juga segala kesusahan dan keberatan itu. Kedua mereka acapkali teringat kepadamu dan kepada ibu-bapaknya serta handai tolannya di Padang. Mereka berpesan kepadaku supaya menyampaikan salamnya kepadamu, bila aku berkirim surat jua kepadamu.
Sehingga inilah dahulu, adikku Nurbaya! Dengan segera engkau akan mendapat kabar pula daripadaku. Jika tiada aral melintang pada hari Ahad yang akan datang ini, kami akan ber-jalan jalan ke Bogor, melihat-lihat kots itu dan melihat istana serta Kebun Raya di sana. Jika jadi perjalanan itu tentulah akan kuceritakan pula kepadamu sekalian yang telah kulihat di sana.
Tolonglah sampaikan sembah sujudku kepada orang tuamu dan orang tuaku serta salam tazimku kepada sekalian handai tolan, teman sejawat kita, dan sambutlah peluk cium dari kekasihmu yang jauh ini.
SAMSULBAHRI
Tambahan: Suratmu yang terkirim pada hari Jumat yang telah lalu, sudah aku terima dengan segala selamatnya dan sangatlah sedih hatiku mendengar, engkau belum dapat melipur kesedihan perceraian kita. Oleh sebab itu perbanyaklah sabar dan tetapkanlah hatimu, Nur, serta tawakal kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Mudah-mudahan lekas hilang segala kesusahan kita itu dan lekaslah pula disampaikan-Nya segala maksud dan hajat kita. Dengan kapal ini ada kukirimkan pada seorang kita yang pulang ke Padang, untuk ayahku buahbuahan sedikit sebagai salak, sauh manila, dan jeruk. Untuk engkau telah kupisahkan dalam bungkusan itu. Terimalah pemberianku ini dan makanlah dengan sedapnya. Aku sendiri yang membeli dan melihatnya, yang lain belum dapat kukirimkan kepadamu waktu ini.

Setelah dibaca oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan diletakkannya ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang berdebar; kemudian disimpannya dalam lemari pakaiannya, bersama-sama dengan surat yang lain, yang telah diterimanya dari kekasihnya itu.

Tatkala itu datanglah kusir Ali dari rumah Sutan Mahmud membawa sekarung buah-buahan untuk Sitti Nurbaya. Tak dapatlah dikatakan girang hatinya menerima kiriman itu, lalu dengan segera dibukanya dan dilihatnya isinya. Rupanya masih baik sekali buah-buahan itu, tak ada yang busuk, lalu dimakannya dan dibagikannya kepada segala isi rumahnya, serta dikatakannya buah-buahan itu datang dari kekasihnya.

Sayang ayahnya pada waktu itu tak ada di rumah, pergi ke Padang Panjang menguruskan perniagaannya, karena ruparupanya segala toko yang biasa mengambil barang-barang dari padanya, kurang suka lagi memesan apa-apa ke tokonya.

Setelah dimakan oleh Nurbaya buah-buahan itu, berbaringbaringlah ia di atas tempat tidurnya sampai jauh malam, mengenangkan halnya. Kemudian dikeluarkannyalah segala surat-surat dari Samsulbahri, lalu dibacanya pula sehelai-sehelai. Dengan tiada diketahuinya tertidurlah ia.

Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia daripada tidurnya dengan terperanjat, karena didengarnya bunyi tabuh pada segala tempat sangat dahsyat, memberi tahu ada rumah terbakar. Mendengar bunyi tabuh itu, melompatlah ia dari tempat tidurnya, lalu membuka jendela rumahnya akan melihat dan manakah api itu. Kelihatan olehnya langit di sebelah tenggara merah warnanya yang menyatakan di sanalah kebakaran itu, tetapi rupanya jauh.

Tatkala itu kelihatan Penghulu Sutan Mahmud keluar dengan bendinya dari rumahnya. Rupanya akan pergi ke tempat kebakaran itu.

Supaya dapat kita ketahui di mana kebakaran ini, marilah kita tinggalkan Sitti Nurbaya di rumahnya dan kita ikuti Penghulu Sutan Mahmud. Setelah sampai ia ke pasar Kampung Jawa, bertanyalah Penghulu itu kepada orang jaga yang ada di sana, di manakah kebakaran itu. Jawab mereka, di Pasar Gedang, lalu Sutan Mahmud menyuruh mencambuk kudanya ke sana. Di tengah jalan banyak kelihatan orang yang telah keluar dari rumahnya, karena terkejut mendengar bunyi tabuh. Makin dekat Sutan Mahmud ke Pasar Gedang, makin banyaklah orang tampak di jalan raya. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang berlari menuju api itu, ada yang berteriak dan ada pula yang menangis, takut kalau-kalau rumahnya atau rumah keluarganya yang terbakar. Pompa air pun telah dikeluarkan, ditarik cepatcepat menuju kebakaran itu.

Akhirnya tiada dapat lagi Sutan Mahmud berbendi, sebab terlalu banyak orang di jalan raya, sehingga segala kendaraan ditahan, tak boleh terus. Sutan Mahmud turun dari atas bendinya, lalu berjalan kaki, diiringkan oleh seorang-orang jaga, menuju tempat kebakaran itu. Di situ nyatalah oleh Sutan Mahmud, bahwa yang terbakar itu ialah toko Baginda Sulaiman, ayah Nurbaya; yang sebuah telah habis dimakan api, sedang yang sebuah lagi tengah, terbakar dan ketiga rupanya tak dapat ditolong lagi, istimewa pula karena pompa tak dapat bekerja, sebab tak ada air. Barang-barang suatu pun tak dapat dikeluarkan, karena api sangat cepat makannya dan udara di sana sangat panas, sehingga seorang pun tak ada yang berani mendekat. Polisi-polisi hanya menjaga dari jauh saja, supaya jangan terjadi kecelakaan apa-apa. Bunga api bermain ke udara, sehingga menjadi merahlah langit di sana. Terkadang-kadang kedengaran bunyi peletusan, disertai oleh bunga api yang membangkit ke atas. Bunyi kayu meletus adalah sebagai mercun dibakar. Di dalam bunga api yang berkabut itu, kelihatanlah kelelawar beterbangan ke sana kemari, karena kepanasan.

Sejam kemudian daripada itu, habislah ketiga toko Baginda Sulaiman terbakar dengan isi-isinya. Tinggal abu dan bekasbekas rumah saja lagi.

Usaha yang bertahun-tahun, pencarian yang sekian lama, habis dimusnahkan api dalam sejam. Tatkala itu berembuslah angin topan, disertai oleh hujan yang sangat lebat sehingga api dalam sekejap mata pun padamlah.

Terlambat! Bila sejam lebih dahulu datang hujan yang sekian lebatnya, barangkali dapat juga ketolongan sebuah toko dengan isinya. Tetapi bukan demikian halnya. Adalah sebagai hendak dipeliharakan Tuhan sekalian toko lain yang berdekatan di sana, dan hanya toko Baginda Sulaiman sahaja yang harus dimakan api.

Tatkala datang angin dan hujan ini, sekalian orang yang ada dekat kebakaran itu, larilah pulang ke rumahnya masingmasing.

Yang dapat berteduh, berteduhlah dekat-dekat di sana. Hanya saudagar-saudagar yang telah mengeluarkan barang-barangnya dari tokonya yang ribut memasukkan barang-barangnya kembali. Sutan Mahmud pun dengan segera mencari bendinya, lalu pulang ke rumahnya dengan perasaan yang sedih dan heran.

"Ajaib," katanya dalam hatinya ketika pulang itu." Apakah sebabnya lekas amat api itu makan, dan apakah sebabnya maka bukan toko yang kedua terbakar, sesudahnya toko yang pertama? Bolehkah jadi api itu melompat dari toko yang pertama ke toko yang ketiga, melalui toko yang di tengah-tengah? Dan apakah sebabnya maka kedua toko yang diujung itu hampir serentak terbakar, sebagai disengaja dibakar orang, bukan terbakar sendiri? Akan tetapi siapa pula yang akan berbuat sedemikian? Baginda Sulaiman tak ada musuhnya.

Lagi pula apakah sebabnya hujan ini datang, tatkala ketiga toko itu telah habis terbakar? Mengapakah tidak lebih dahulu? Apakah sebabnya dan apakah maksudnya sekalian ini?"

Demikianlah pikiran Sutan Mahmud dalam bendinya, karena tak mengerti akan kejadian yang ganjil ini. Tiada berapa lamanya kemudian sampailah ia ke rumahnya.

  1. Tampan, gagah
  2. Perpeloncoan.