Soroush  (2001) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi - 17 Desember 2001

“Shari’ati ingin agama lebih gemuk, tapi saya ingin agama lebih ramping”

Abdulkarim Soroush kini berumur 56 tahun. Seorang wartawan Amerika, Robin Wright dari Los Angeles Times, pada 1995 menyebutnya sebagai “Luther Islam”.

Tidak tepat, memang: Soroush tidak melahirkan sebuah kekuatan iman dan politik yang tersendiri seperti Martin Luther. Pada abad ke-16, di Jerman, Luther menggerakkan Protestantisme dengan sambutan yang meluas cepat, dan guncangan terjadi bukan saja di tubuh Geraja, tapi juga di seluruh Eropa.

Di tanah airnya, Iran, Soroush memang sebuah suara yang membangkang kungkungan doktriner dan kelembagaan agama. Dalam buku Charles Kurzman Liberal Islam: A Source Book, yang memuat serangkaian ide pemikir Islam yang ia sebut “liberal”—antara lain Moh. Natsir dan Nurcholish Madjid dari Indonesia— disebutkan bagaimana Soroush mendapat ancaman untuk dibunuh, bahkan dua kali diserang secara fisik; suaranya terasa terlalu tajam menggugat keadaan pemikiran Iran pasca-Revolusi. Tapi, karena tendensinya yang lebih reflektif, juga mungkin karena semangatnya yang dekat kepada puisi Sa’di dan Rummi, pengaruh Soroush tidak eksplosif.

Soroush juga bukan Luther karena Islam tidak mengenal lembaga kerohanian seperti Vatikan. Islam hanya mengenal bayang-bayang kegerejaan: sesuatu yang tak jelas strukturnya, namun mempengaruhi dan membuat waswas dan gentar laku dan pikiran para ulama dan para cendekiawan—se-suatu yang bertolak dari ide tentang umat yang tunggal dan melintasi ruang dan waktu lantaran ajaran yang membentuknya. Di Iran bayang-bayang ini sering diwakili oleh velayat-e faqih, wali penjaga hukum agama. Tapi para ayatullah tak pernah membentuk sebuah monolit, dan negosiasi masih mungkin untuk tidak usah sepakat.

Soroush adalah contoh dari proses negosiasi itu. Ia ikut dalam barisan Ayatullah Khomeini dalam Revolusi Iran. Ia bahkan pernah ikut dalam dewan penasihat untuk “membersihkan” universitas dari unsur-unsur “non-Islam” sebelum lembaga pendidikan itu boleh dibuka kembali. Ia kemudian berhenti dari sana memang, namun ia bukannya seorang intelektual yang dianggap “orang luar”. Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri mengumpulkan karya Soroush dan menerjemahkannya dalam Reason, Freedom, and Democracy in Islam, dan menggambarkan keistimewaan pemikir ini sebagai satu kombinasi yang langka: ia punya pemahaman atas hukum Islam tradisional dan juga ia punya dasar ilmu eksakta serta sastra dan humaniora. Bukunya tentang puisi sufi Rummi dianggap sebagai salah satu yang paling berwibawa di bidang itu.

Tapi dari Rummi pula ia memasuki wilayah yang berbahaya. Ia, yang pernah mengagumi Al Ghazali, akhirnya menyimpulkan bahwa ada tasawuf yang didasarkan pada rasa takut, tapi, seperti yang dibawakan oleh Al Ghazali, ada pula yang berdasarkan cinta, seperti yang dialunkan oleh Rummi. “Akhirnya saya sadar bahwa ada yang disebut agama individual, yang gurunya adalah Rummi, dan ada agama yang disebut sebagai sebuah agama kolektif yang diajarkan oleh fikih dan syariah, dan merupakan wilayah Al Ghazali,” kata Soroush dalam percakapan dengan Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri.

Agama kolektif itulah yang jadi kian tampak setelah Revolusi Iran—yang kemudian juga berkembang di tempat lain sebagai, dalam kata-kata Soroush, “Islam identitas”, yang berbeda dengan “Islam kebenaran”. Dalam suasana itu, suatu usaha untuk mengideologikan Islam bergelora. Di situ pulalah Ali Shari’ati, pemikir yang terkenal dari masa menjelang dan sesudah Revolusi—yang tulisannya dikagumi kalangan Islam generasi muda, juga di Indonesia—mengambil peran penting.

Soroush tidak merasa jenak. Baginya ada satu alternatif lain, yang ia sebut sebagai “perluasan dan penyempitan tafsir”. Ia menyuarakan keniscayaan pluralitas. Baginya kebenaran dari mana pun “kompatibel”. Tak ada kebenaran yang bentrok dengan kebenaran lain. “Mereka semua penghuni dari rumah yang sama, dan bintang dari gugus yang sama.” Kita tak mungkin memiliki semua kebenaran, dan kita membutuhkan tempat lain serta orang lain untuk membantu membuka aspek yang berbeda dari kebenaran itu: “pengetahuan keagamaan secara keseluruhan adalah campuran yang benar, yang salah, yang lama, dan yang baru yang mengalir seperti di dalam sebuah sungai besar,” kata Soroush.

Maka, sebagaimana direnungkan oleh Ahmad Wahib di Indonesia hampir seperemat abad sebelum dia, bagi Soroush Islam bukanlah, dan tak seharusnya jadi, sebuah ideologi—sesuatu yang diasumsikan bisa menjelaskan segala hal, membimbing segala ihwal. “Shari’ati ingin agama lebih gemuk, tapi saya ingin agama lebih ramping,” kata Soroush.

Di sini saya teringat sepucuk surat. Ahmad Sahal (seorang cendekiawan muda yang datang dari pesantren Jawa Tengah dan di Jakarta menelaah filsafat Adorno) menjelaskan kepada saya apa yang dimaksudkannya dengan “Islam liberal”. Sebagaimana paham liberal dalam politik menghendaki negara hadir seperlunya saja dalam mengatur hidup keseharian, begitulah katanya, maka paham liberal dalam agama juga menghendaki agar agama tak menguasai seluruh liku-liku kehidupan itu dari A sampai Z. Dalam keadaan ramping, agama bisa lebih menarik, lebih mengilhami, bukannya memberati. “Penyakit terbesar agama… adalah bahwa ia kian gemuk, bahkan kian membengkak,” kata Soroush.