Sport Mengalami Krisis

Majalah Tempo, 21 Mei 1977.


DARI mana anda belajar dasar moral? "Dari sport," jawab Albert Camus. Sastrawan Perancis pemenang Hadiah Nobel ini—sebelum ia mendadak mati dalam kecelakaan mobil—agaknya layak mendapat pertanyaan itu. Ia semacam suluh untuk suatu masa yang luka oleh permusuhan. Perang Dunia II baru berakhir. Orang mencari basis yang kokoh kembali untuk kehidupan bersama.

Di masa kecilnya yang melarat di Aljazair, dan juga di masa remajanya yang penuh kenangan, Camus memang asyik dengan pertandingan bola. Ia menonton, dan pernah jadi kiper. Di bawah gawang itu ia sepenuhnya terlibat dalam pertandingan, tapi sekaligus bisa sendirian untuk mengamati dan merenungkan.

"Sport", yang di Malaysia diterjemahkan "sukan", memang lebih luas maknanya ketimbang sekadar "olahraga". Dalam sport tak cuma tubuh yang diolah, tapi juga sikap. "He is a good sport," kata orang Inggris tentang seseorang yang bisa menerima kekalahan dengan hati bersih dan berniat menang tanpa menjegal.

Bagi Camus itulah ajaran yang layak. Ketika Perancis ditindas Jerman, ia ikut gerakan di bawah tanah. Teror dan pembunuhan terjadi, dan orang Perancis melawan. Tapi tulisan Camus dalam selebaran gelap Combat waktu itu toh tetap satu gema dari apa yang luhur dalam diri manusia. "Kami ingin menghancurkanmu dan kekuasaanmu, tanpa merusakkanmu dalam sukmamu." Baris itu ditulisnya buat kawannya, seorang Jerman, yang telah jadi musuhnya, menjelang Paris jadi medan pertempuran dalam Lettres a'un allemand.

Dan ia belajar dasar moralitasnya dari sport.

Tapi mungkin kini orang akan mengejeknya. Sport kini toh mengalami krisis etika. Penggunaan obat perangsang, "doping". penyuapan, pengaruh dukun dan politik menyusup sampai ke arena pertandingan. Uang dan kekuatan (gaib atau tak gaib) dimanfaatkan, tanpa malu. Untuk kemenangan.

Apa gerangan yang terjadi, begitu banyak orang bertanya. Mengapa pegangan etis yang paling elementer pun—yang dengan mudah bisa diterima anak Sekolah Dasar—kini berantakan?

Ini tanda akhir zaman, kata seorang yang saleh. Mungkin juga. Sebab mungkin zaman akan berakhir karena manusia putus-asa. Dan mungkin ada semacam kegiatan subversif dari Setan untuk menyebarkan putus-asa itu lebih luas, hingga kian banyak orang mengeluh, lalu mengalah: "Ah, dunia memang tak akan bisa diperbaiki lagi." Dan dengan begitu kian banyak yang akan ikut dalam gerakan memerosotkan riwayat manusia—secara pasif atau aktif. Lalu Tuhan, sang Pencipta manusia, mereka gugat.

Satu komplotan untuk meniadakan harapan dengan begitu terbentuk. Lambangnya adalah wajah manusia yang keji. Tak lagi terpancar di sana cahaya moralitas untuk kehidupan bersama. Tak ada lagi sport yang dulu. Tak ada lagi aturan yang adil, tak pula hakim yang layak dipercaya, yang tak berat sebelah. Setiap kata "moral" diketawakan sebagai suara yang hipokrit atau naif. Dan kalau ada ucapan yang berbahagia, "Ternyata masih ada hakim yang adil," maka ucapan itu harus dicurigai. Kepercayaan antar manusia, ikhtiar untuk kembali berharap, tergetarnya lagi dasar etis—semua itu harus digertak. Semboyan telah berganti: "Saya bobrok, karena itu kita semua musti bobrok".

Tapi gambaran itu mungkin terlampau suram hingga mustahil. Siapa tahu masih ada anak yang bisa menikmati acara "Cerdas Cermat" TVRI. Di sana pertandingan berlaku terbuka, sang wasit bersuara riang, dan beda antara yang bertanding hanya nisbi, tidak hitam-putih. Bukankah anak-anak itu masih bisa nyanyi, dengan suara murni, bahwa Indonesia adalah "tanah yang mulia"?