Student Hidjo  (1918) 
oleh Marco Kartodikromo

Sumber berasal dari militanindonesia.org

I. Koningklijke Schouwburg Di ‘Sravenhage [Den Haag]

sunting

Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda.

Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan. Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang. Yaitu dengan bersungguh-sungguh hati dia tidak suka melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain.

Menuruti cerita itu, Faust itu sudah boleh dipastikan (kalau sudah mati) tentu akan masuk surga.

Tetapi apa kabarnya? Pekerjaan Faust yang seperti itu tak bisa dilanjutkan sampai hari kematiannya.

Sebab dengan tiba-tiba Faust menaruh cinta kepada seorang perempuan yang telah mempunyai suami. Karena cinta Faust yang amat sangat itu, dia tak lagi sayang dengan harta benda kekayaan yang jumlahnya bermilyun-milyun itu. Dan dia tidak takut akan hari kematiannya dan masuk di api neraka Jahanam. Waktu itu juga Faust sudah tidak lagi mempedulikan pelajaran yang baik-baik yang sudah memenuhi kepalanya.

Dengan pertolongan setan, Faust bisa menjadi seorang anak muda yang amat tampan rupanya. Dan akhirnya seorang perempuan yang dicintai Faust itu, juga menaruh hati kepada Faust. Dan sudah tentu saja, lantaran kelakuan Faust yang tidak senonoh itu, surga, kekayaan dan kepandaian serta yang lain-lainnya menjadi hilang musnah.

Waktu Hidjo melihat opera sebagaimana tersebut diatas, hatinya menjadi tergoncang. Seolah-olah cerita itu menyindir dirinya. Nona-nona anak direktur yang duduk berjejer di samping kanan kiri Hidjo selalu mengeluarkan perkataan sindiran yang ditujukan kepada Hidjo.

“Tuan Hidjo!” kata salah seorang nona teman Hidjo. “Apakah akhirnya Tuan hendak berbuat seperti Faust itu? Sebab sekarang ini tuan suka belajar. Tetapi akhirnya pertanyaan itu tidak dijawab oleh Hidjo. Tetapi dia menggigit bibir bawahnya sambil seperempat tertawa, yaitu suatu tanda bahwa di dalam hait Hidjo ada sebuah bayangan yang belum tampak dengan jelas.

Papa kedua gadis bangsa kulit putih yang juga melihat opera itu, selalu memberi nasihat kepada anaknya supaya dia tidak selalu menggoda Hidjo.

Pukul 12 malam, opera itu habis dan para penonton yang jumlahnya ratusan itu pulang ke rumah masing-masing.

Malam itu pikiran Hidjo selalu tergoda oleh ceritanya Faust yang telah dilihatnya di Koninklijke Schouwburg.

Kalau besok saya sudah tua dan bertindak seperti Faust, lebih baik hal itu kulakukan saja sekarang. Sebab waktu ini saya sebagaimana kebiasaan anak muda yang suka plesiran, itu tidak ada jeleknya. Karena adat semacam itu sudah dipandang umum. Tetapi kalau besok saya sudah berambut putih, berbuat seperti Faust, bah.... begitulah kata Hidjo seorang diri, sewaktu dia hendak tidur.

Matahari baru saja silam. Sinarnya masih bisa menerangi kota ’s-Gravenhage. Semilir angin sejuk yang meniup kota itu membuat semua orang yang melancong di kota itu merasa bahagia. Semua jendela rumah-rumah yang bertingkat itu dibuka. Dan masing-masing, di samping jendela itu ada orang-orang yang duduk santai menikmati semilir angin yang nyaman. Meskipun semua orang sedang termenung di depan jendela sambil menikmati semilir angin, tetapi Hidjo selalu tampak sedang belajar di kamarnya. Ia tidak mempedulikan suasana yang sangat bagus itu.

“Tok, tok, tok, meneer.” Begitu suara orang mengetuk pintunya dan memanggil Hidjo.

“Ya!” jawab Hidjo sambil tetap meneruskan membaca bukunya.

“Mag ik U storen meneer Hidjo?” [“Bolehkah saya mengganggu Tuan Hidjo?”] kata Betje setelah ia membuka pintunya Hidjo.

“Zeker! Zeker!” [“Tentu! Tentu!”] jawab Hidjo dengan senang, tetapi ia masih tetap meneruskan membaca bukunya.

“Tutuplah buku Tuan, saya hendak bicara sebentar dengan Tuan!” kata Betje seraya masuk ke kamar Hidjo.

“Mau bicara apa?” tanya Hidjo seraya berdiri dari kursinya, tetapi dia masih meneruskan membaca bukunya.

“Tutuplah dulu buku itu!” kata Betje tidak sabar.

“Ya!” kata Hidjo sambil menurut bukunya dan meletakkannya di atas meja.

“Ah, Tuan seperti Faust!” kata Betje, bergurau.

“Nee!” jawab Hidjo pendek.

“Apakah Tuan nanti suka melihat Lili Green?” tanya Betje seraya duduk di kursi Hidjo.

“Di mana?” tanya Hidjo seraya duduk di atas meja tulis sambil melihat wajah nona manis itu.

“Ada di Prinsesse Schouwburg, tadi saya membaca advertintenti-nya di Het Vaderland,” kata Betje sambil kaki kanannya ditumpangkan di atas kaki kirinya dan matanya memandang ujung sepatunya, sebagai tanda bahwa ia ingin sekali melihatnya.

“Baik, tetapi kita lihat bersama siapa?” tanya Hidjo sambil memandang wajah Betje tajam.

“Sama saya natuurlijk,” kata Betje membalas tatapan mata Hidjo.

“Betul, tetapi apakah kita hanya pergi berdua saja, tidak dengan orang lain, papamu atau Marie misalnya!” tanya Hidjo setelah tertawa.

“Nee, saya lebih suka pergi berdua saja dengan Tuan!” jawab Betje mengandung maksud.

“Tetapi saya lebih suka melihatnya dengan rame-rame, banyak teman dari sini!” jawab Hidjo setelah tertawa sambil memegang lututnya dan tak lupa memandang wajah nona manis itu.

Perkataan Hidjo itu tak dijawab oleh Betje, tetapi dia hanya menatap Hidjo dengan tajam, seolah-olah Betje memberi tahu bahwa ia tidak menyetujui usul itu. Begitu pula Hidjo pun paham apa yang diinginkan Betje.

“Sudahlah, bilang sama papamu dulu, dia memberi izin atau tidak?” kata Hidjo, bangkit dari duduknya.

“Ya!” jawab Betje dan dengan cepat dia keluar dari kamarnya Hidjo, hendak meminta izin pada papanya untuk melihat Lili Green di Prinsesse Schouwburg dengan Hidjo.

Tidak antara lama Betje kembali ke kamar Hidjo. Dia memberi tahu kalau papanya mengizinkan dia pergi ke Schouwburg dengan Hidjo.

“Cepat berpakaian!” katanya sambil meninggalkan Hidjo dengan menunjukkan kesukaan hatinya.

Pukul setengah delapan malam Betje dan Hidjo pergi ke Prinsesse Schouwburg hendak melihat Lili Green.

Watak Hidjo yang berubah karena pengaruh cerita Faust, tetapi hati Betje senang bukan main.

Meskipun Hidjo belum pernah melihat pertunjukan Lili Green, tetapi ia tetap diam. Tidak bertanya apa yang dimaksud dengan pertunjukan Lili Green itu.

Betje, seorang gadis manis bangsa Eropa yang banyak bicara, selama dalam perjalanan dengan Hidjo, dia banyak bercerita tentang kebagusan Lili Green itu.

Dengan menumpang tram jalur 5, dua muda-mudi itu hendak pergi ke Prinsesse Schouwburg. Betje merasa bangga hatinya saat duduk di dalam tram berjejer dengan Hidjo, seorang Jawa yang berkulit sawo matang.

Di Prinsesse Schouwburg, orang-orang yang hendak melihat pertunjukan Lili Green itu sudah saling berdesak-desakan. Hal itu menunjukkan bahwa pertunjukan itu memang bagus.

Untung sekali bagi Betje dan Hidjo karena mereka masih mendapat tempat duduk istimewa, walaupun bayarannya mahal.

Pukul 9, scherm (layar) dibuka. Di tempat itu tampak gambar-gambar dan sinar lampu berwarna kuning, yang menambah kebagusan tempat itu. Tak lama kemudian keluar enam orang perempuan muda telanjang, yang hanya memakai kain sutera yang amat tipis untuk menutupi seluruh tubuhnya. Meskipun badan mereka itu ditutup dengan kain sutera yang berwarna-warni, tetapi seluruh tubuhnya tampak dengan jelas, transparan sekali. Nona-nona itu menunjukkan kebolehannya berdansa, meloncat-loncat dan lain-lainnya.

Hidjo yang selama hidupnya belum pernah melihat semacam itu, hatinya berdebar-debar karena melihat gadis-gadis yang telanjang itu.

“Bagus sekali!” kata Betje yang duduk di samping kanan Hidjo, setelah dia melihat gadis-gadis yang berdansa itu dengan kijker. “Cobalah Tuan melihat dengan kijker ini!”

Hidjo mencoba melihat pertunjukan itu dengan kijker tetapi dia tidak tahan melihat lebih lama. Karena hatinya berdebar-debar kencang. Entah karena ketakutan atau entah terlalu senang melihat keadaan yang demikian itu.

Karena godaan-godaan itu, Hidjo bertambah lembek hatinya. Lebih-lebih dia di Prinsesse Schouwburg itu hanya berdua dengan Betje dan sejak pukul setengah sembilan hingga setengah sebelas malam, terus melihat gadis-gadis yang hanya memakai pakaian sutera tipis sekali dan seluruh anggota tubuhnya tampak dengan jelas sekali itu.

Waktu pukul setengah sebelas, pertunjukan pauze, banyak penonton yang pergi ke buffet dan rooksalon (ruangan untuk merokok). Betje dan Hidjo tak mau ketinggalan, ia pergi ke buffet untuk minum kopi.

“Mau minum apa Nona?” tanya Hidjo dengan ramah ketika mereka sudah duduk di kursi yang lantainya beralaskan karpet yang sangat tebal.

“Kopi saja!” jawab Betje sambil mengamati orang-orang yang sama menonton pertunjukan itu, dan sudah sama-sama duduk di dekatnya.

“Aanneme!” begitu Hidjo memanggil pelayan Belanda yang melayani di tempat itu.

“Meneer!” jawab pelayan dan dengan cepat datang menghampiri tempat Hidjo.

“Minta dua kopi!” kata Hidjo kepada pelayan Belanda itu.

“Ya, Meneer!” jawab pelayan itu ramah.

“Saya tidak begitu senang melihat pertunjukan itu!” kata Hidjo kepada Betje.

“Saya juga!” sahut gadis manis itu.

“Mari kita langsung pulang saja!” kata Hidjo pula.

“Baik!” jawab Betje sambil menginjak sepatu Hidjo yang bermaksud meskipun Hidjo paham dan setuju dengan tanda yang diberikan Betje, tetapi dia tidak membalas dengan terus terang. Namun hanya dibalas dengan senyum manis saja.

Pertunjukan Lili Green sudah mulai lagi, para penonton pun sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing. Tetapi Betje dan Hidjo terpaksa meninggalkan pertunjukan itu.

“Apakah kita langsung pulang?” tanya Hidjo sewaktu dia sudah keluar dari Schouwburg.

“Nee, nee, nee,” jawab Betje cepat. “Mari kita melancong lebih dulu, toh sekarang baru setengah sebelas.”

Dua orang muda-mudi, seorang perjaka bangsa Jawa dan gadis bangsa Eropa, terus melancong dengan jalan kaki. Dengan memaksakan diri, Betje menggandeng tangan Hidjo. Wajahnya didekatkan ke telinga Hidjo sambil berbisik-bisik yang tak bisa didengar orang lain. Demikian pula Hidjo, dengan keberaniannya ia mau memenuhi permintaan Betje.

“Mari kita naik tram pergi ke Scheveningen?” kata Betje kepada Hidjo sambil menelan ludahnya yang sudah kental.

“Mari!” jawab Hidjo. Dia semakin berani menggandeng tangan Betje.

Hidjo dan Betje sudah naik tram pergi ke Scheveningen.

“Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang.”

“Baik!” jawab Hidjo kebingungan tetapi mantap.

“Apakah di sini saya bisa dapat kamar untuk dua orang?” tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk ke hotel.

“Bisa Tuan,” jawab pelayan hotel. Dan Hidjo ditunjukkan kamarnya.

Saat itu juga Hidjo dan Betje langsung masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu, para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri.

“God, Betje! Sudah hampir pukul dua belas,” kata Hidjo kepada Betje yang duduk di tempat tidur. Waktu itu dia melihat arlojinya yang ada di jasnya yang tergantung di cantelan.

“Mari kita cepat pulang!” kata Betje yang kelihatan capek.

Hidjo cepat memencet bel untuk memanggil pelayan. Sesudah pelan datang, dan bea kamar dibayarnya, lalu dengan cepat dua anak muda itu segera meninggalkan Hotel Scheveingen.

Untung bagi mereka itu. Karena dia masih bisa naik tram yang terakhir dari Scheveningen ke Hamelstraat. Kedatangan Hidjo dan Betje ke rumah pun seperti biasanya orang-orang yang pulang dari Schouwburg.

II. Hidjo Menerima Suratnya Biru, Wungu dan Wardoyo

sunting

Pukul enam pagi, di rumah direktur bank di Hamelstraat 7, dientstmeid (pembantu perempuan) sudah bekerja sebagaimana biasanya. Seisi rumah juga sudah bangu, kecuali Betje dan Hidjo. Sampai pukul delapan, mereka masih tidur nyenyak. Maka dari itu papa Betje menyuruh kepada pembantu perempuannya, supaya pintu kamar Hidjo diketuk, agar dia bangun.dan Marie disuruh membangunkan Betje.

“Goede morgan,” kata Hidjo kepada tuan rumah dan istrinya, serta Marie yang sudah duduk siap untuk makan pagi. “Saya tidur enak sekali!”

“Tentu saja, sebab kemarin pukul satu, kamu baru pulang,” kata nyonya rumah dengan senang.

“Is dit mijn brief Mevrouw?” Tanya Hidjo kepada Mamanya Betje, sewaktu ia hendak duduk di tempat yang sudah ditentukan untuk makan pagi bersama. Dan di piringnya terdapat surat.

“Ya, tadi pagi datangnya,” jawab nyonya rumah.

“Tentu surat itu dari Indie?” tanya Marie yang duduk dekat Hidjo.

“Ya!” jawab Hidjo.”Ini surat dari Jarak.

” Hidjo tidak lupa, alamat yang ditulis di amplop itu adalah tulisan Wungu. Seketika itu juga, surat dibuka. Dia menjadi amat heran, karena di dalam amplop itu berisi tiga surat, dari Wungu, Biru dan Wardoyo. Sambil minum kopi, Hidjo membaca surat Wungu, setelah selesai lalu membaca surat Biru dan akhirnya suratnya Wardoyo.

“Goede Morgan!” kata Betje yang baru keluar dari kamarnya dan langsung duduk di kursi yang disediakan.

“Kamu terlalu banyak tidur!” kata papanya Betje.

“Ya, sebab saya capek,” jawab Betje sambil minum kopi.

“Tuan mendapat surat dari Hindia?” tanya Betje kepada Hidjo sambil melihat surat yang ada di depannya Hidjo.

“Ya!” jawab Hidjo pendek.

“Bagaimana pertunjukan Lili Green-nyaTuan?” tanya Marie kepada Hidjo.

“Bagus sekali,” jawab Hidjo sambil melihat wajah Betje.

“Ya, sangat bagus!” sahut Betje sambil melihat wajah Hidjo.

Surat-surat yang baru diterima Hidjo itu semakin membikin bingung pikirannya. Karena dia menyesal sekali, telah melakukan perbuatan yang baik, yaitu yang telah dilakukan dengan Betje. Tetapi kebingungan Hidjo itu kerap kali lenyap karena perbuatan Betje.

Sejak waktu itu, pergaulan Hidjo dan Betje semakin intim. Adat dan sikap hormat yang biasanya dilakukan kedua anak muda itu telah hilang. Juga karena mata Betje yang rupa rupanya yang ingin kehilangan wajah Hidjo (barang sesaat pun). Terpaksa, waktunya untuk belajar sering digunakan untuk melayani kehendak Betje.

III. Controleur Walter Hendak Verlovke Eropa

sunting

Onderwijzeres yang sakit karena memikirkan nasibnya yang ditipu oleh Controleur, lambat laun sembuh. Karena kepandaian dokter yang mengobati. Sudah barang tentu Nona Roos berkata dengan terus terang kepada dokter bahwa dirinya sudah hamil kita-kira tiga bulan. Dan ia meminta supaya kandungan itu bisa hilang karena yang membikin dia jadi begini karena main gila. Dokter pun menuruti permintaan nona itu, dan akhirnya kandungannya bisa hilang dan dia sembuh dari sakitnya.

Berbagai usaha yang dilakukan Controleur untuk memperoleh cinta R.A. Wungu, sia-sia belaka. Maka dari itu Controleur merasa tidak senang lagi tinggal di kota Jarak. Pertama, maksudnya kepada R.A. Wungu tidak kesampaian, kedua, dia merasa malu bertemu dengan Juffrouw Jet Roos dan orang-orang yang mengetahui kisah cintanya. Waktu itu Controleur dengan cepat meminta verlof selama satu tahun, demi kesehatannya. Setelah dia mendapat izin untuk verlof, lalu semua barang yang ada di rumahnya dilelang.

Waktu itu semua priyayi dan Belanda di afdeeling Jarak, amat kaget. Dan akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan. Apa sebabnya Controleur sangat tergesa-gesa melelang barang-barangnya dan akan pergi ke Eropa.

Memang hubungan dan kisah cinta Controleur dengan Onderwijzeres sudah disimpannya. Maka dari itu, dalam beberapa hari saja kabar itu telah menyebar di seantero afdeeling Jarak.

Regent Jarak merasa menyesal mengetahui keadaan Controleur, karena oleh Regent dipandang sebagai seorang Controleur yang bisa bergaul dengan para priyayi Jawa.

Sebelum Controleur meninggalkan Jarak, Regent menyempatkan diri untuk bertemu dengannya untuk mengucapkan selamat jalan. Pada saat itu Regent tidak lupa memberi tahu bahwa ia mempunyai kerabat yang tinggal di Negeri Belanda. Yaitu Hidjo, yang kuliah di Delft untuk meraih gelar ingenieur. Selain itu Regent minta kepada Controleur, kalau dia sempat supaya datang ke rumahnya, untuk memberi kabar keselamatan kerabat Regent dan keluarga Hidjo di Solo. Permintaan Regent itu disanggupi oleh Controleur.

Setelah Controleur itu mengalihkan pekerjaannya kepada penggantinya, lalu dia berangkat ke Batavia dan kemudian hendak langsung naik kapal yang pergi ke Negeri Belanda.

Controleur di Batavia terpaksa menunggu kedatangan kapal tiga minggu lamanya.

Meskipun Controleur sudah ada di Batavia, tetapi pikirannya selalu merasa susah, karena dia akan meninggalkan Tanah Jawa yang ia cintai.

Kapal yang akan dinaiki Controleur ke Belanda sudah tiba waktunya. Dia bertolak dari Tanjung Priok, dengan Kapal Api Djendral Petak menuju Marseille. Dari sana dia akan naik kereta api ke Nederland. Di dalam kapal itu Walter saling berkenalan dengan para penumpang klas dua. Di antara mereka itu, ada seorang Onderofficer. Dia hendak pergi ke Belanda, karena akan sekolah militer di Kampen (Nederland). Tidak saja Sergeant Djepris itu terlalu sombong dan meninggikan diri layaknya saudara Raja Nederland. Tetapi dia amat menghina kepada orang-orang bumiputera, yang telah membikin hidupnya menjadi senang.

“Meneer Djepris!” kata Controleur kepada Sergeant yang hendak sekolah militer itu sewaktu dia sedang memaki-maki kepada orang Jawa yang menjadi jongos kapal, lantaran jongos itu kurang cepat melayani dirinya.

“Rupanya Tuan amat benci kepada orang Jawa. Apakah kalau Tuan menyuruh apa-apa kepada jongos orang Belanda, juga memakai perkataan yang begitu keji seperti itu?”

“Tidak peduli!” kata Sergeant Djepris yang saat itu sudah merasa menjadi kapitein. “Orang Jawa itu kalau tidak dikasih perkataan kasar, akan menjadi kurang ajar!”

“Apakah Tuan sudah paham betul-betul adat orang Jawa?” tanya Controleur dengan wajah cemberut.

“Memang!” jawab Sergeant. “Saya di Hindia sudah sepuluh tahun dan sudah kenal betul dengan adat orang Hindia!”

“O, tetapi..... bukankah Tuan bergaul dengan orang Hindia hanya di dalam tangsi?” tanya Controleur.

“Ya, juga di luar tangsi saya banyak kenalan!” jawab Sergeant.

“Apa Tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan daripada adatnya orang Eropa kebanyakan?” tanya Controleur.

“Mana mungkin!” kata Sergenat dengan memelototkan matanya seakan-akan marah.

“Ha, ha!” Controleur tertawa, seolah-olah mempermalukannya. “Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi kolonial (serdadu), sebuah pekerjaan yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak. Karena Tuan bekerja rajin dan barangkali Tuan telah membunuh berpuluhpuluh orang, sekarang Tuan hendak pergi belajar pula, supaya Tuan lebih pintar membunuh orang. Dan akhirnya Tuan mendapat beberapa tanda kehormatan dan pujian karena pekerjaan Tuan yang keji itu. Sudah mengertikah Tuan akan hal itu?”

Ketika mendengar kata-kata Walter itu, Sergeant Djepris naik darah.dan dia berkata “Orang Jawa kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa yang paling busuk sendiri!”

“Saya heran sekali, Tuan seorang Belanda yang telah sepuluh tahun tinggal di Hindia berani berkata begitu!” kata Controleur dengan sabar. “Apakah Tuan tidak malu mengucapkan kata-kata itu? Bagaimana Tuan bisa berkata seperti itu, sedang Tuan sendiri bisa hidup senang di Hindia? Lagipula berapa ribu bangsa kita yang mencari penghasilan di Hindia? Perkataan Tuan itu suatu tanda bahwa Tuan seorang yang tidak berprikemanusiaan!”

Di sini Djepris tidak bisa berbicara sepatah kata pun. Dan Controleur dia sebentar lalu berkata lagi. “Tuan berkata, ’Orang Jawa kotor’, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa?”

“Orang Jawa bodoh, kata Tuan. Sudah tentu saja, karena memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapa Regeering tidak membuat sekolahan yang secukupnya untuk orang Jawa atau orang Hindia. Sedang semua orang tahu, jika tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita, Nederland.”

“Orang Jawa malas, kata Tuan pula. Tuan toh mengerti ada beribu-ribu orang Jawa yang seharian masuk kerja sampai mandi keringat sekadar mencari sesuap nasi. Apakah memang sudah semestinya dia bekerja terlalu berat? Sedang tanahnya adalah tanah yang kaya-raya. Adakah di Negeri Belanda orang bekerja seberat itu hanya mendapat bayaran 25 ct atau 30 ct seperti orang Jawa? Tidak ada kan?”

“Dan lagi Tuan berkata bahwa orang Jawa itu tidak beschaafd. Sesungguhnya saya kurang mengerti, apa yang Tuan maksud dengan kata-kata beschaaf itu?”

“Apakah karena orang Jawa tidak mendapatkan pelajaran dari sekolah seperti orang Eropa, lalu Tuan berkata tidak beschaafd? Saya tahu betul, bahwa orang Jawa adatnya lebih halus, pikirannya lebih dalam daripada orang Eropa kebanyakan.”

“Tetapi Tuan juga mengerti bahwa kebanyakan orang Jawa itu tidak boleh dipercaya?” tanya Sergeant Djepris kepada Controleur. “Seperti babu, jongos, koki dan lain-lain, mereka itu sering suka mencuri barang-barang milik majikannya. Jadi, pendeknya orang Jawa kebanyakan itu tidak boleh dipercaya!”

“Hal serupa itu terjadi bukan pada orang Jawa saja. Meski di Negeri Belanda sekalipun, banyak babu-babu, jongos-jongos yang suka mencuri kepunyaan majikannya,” kata Controleur lalu dia memberikan semua buku selebaran (brosur) berbahasa Melayu yang berjudul “Bangsa Belanda di Hindia” kepada Sergeant Djepris, yang isinya seperti di bawah ini:

IV. Bangsa Belanda di Hindia

sunting

Bila kita membicarakan Belanda di Hindia ini, maksud saya adalah kebanyakan Belanda. Pembaca jangan lupa bahwa ada beberapa Belanda yang dikecualikan. Ketika saya hendak menulis karangan ini, saya membaca sebuah tooneel yang dimainkan di Amsterdam baru-baru ini. Yaitu yang biasa disebut orang dengan sebutan “Tropenadel”. Artinya bangsa asal (tinggi) di tanah panas (yakni di Hindia). Adapun ceritanya boleh diringkas demikian:

Seorang serdadu dari Nederland yang tadinya tinggal di kampung yang miskin di Amsterdam, dan yang pergi menjadi kolonial (serdadu kolonie). Di Hindia, ia telah mendapat pensiun. Dan karena saking rajinnya ia bekerja, ia menjadi amat kaya. Karena kekayaannya, ia sering menjadi besar kepala. Demikian orang itu disebut saja namanya A. Si A itu mempunyai istri dan telah beranak dinamakan saja E. Di tempat kediamannya itu, saya dapati juga saudara istrinya yang bernama G. Nonik E, ditunangkan dengan bangsa Indo. Pada waktu itu (m.i. rumahnya di desa yang bergunung-gunung) di desa itu, ada juga seorang Inggris yang bernama J. Si E menaruh cinta kepada J, dan orangtuanya pun suka kepada J sebab ia bisa berbahasa Inggris, Jerman, Prancis dan sebagainya. Dan telah pergi ke mana-mana. Apalagi menurut kabarnya, ia juga berduwitl.

Layar Tonil dibuka untuk yang kedua kalinya. Suami istri m.i. tinggal di Batavia. Tuan A, itu pikirannya seperti orang yang berasal dari keluarga bangsawan, dan telah lupa pada asal mulanya dahulu. Iparnya sering mengingatkan kepada dirinya. Dan ipar itu tidak percaya kepada J. Tuan A tidak mau mendengarkannya. Pada suatu hari, ketika hari pertunangan itu dirayakan, datanglah seorang perempuan tua yang sangat miskin dari Kettenberg, sebuah kampung di Amsterdam. Di rumah itu, J kebetulan bertemu sendiri dengan bibinya. Jadi, J itu orang Inggris palsu. Pendek kata, J diusir dan bibinya tinggal di tempat A. Pada suatu saat ketika m.i. sedang ngobrol, maka datanglah seorang perempuan tetangganya. Ia mula-mula menyombongkan diri. Serta ia mau pulang. Si bibi berkata bahwa tetangga tadi tidak lain adalah si Leentje dari Kattenberg, anak seorang tukang babi.

Untuk orang yang pernah tinggal di Hindia, permainan itu hanya sebagai bahan humor. Tetapi bagi kita, sangat besar sekali guna artinya. Jadi, banyak orang Belanda yang mengaku, yang tinggal di Hindia ini, pada mulanya adalah bekas kuli dan orang-orang rendahan. Sementara di sini main gila, menyombongkan diri, menghina kita, sepertinya kita ini budak belian. Lebih keterlaluan lagi, seperti binatang! Orang-orang bumiputera yang tak pernah tinggal di Negeri Belanda, menyangka bahwa ia benar-benar dari keluarga bangsawan, atau klas terhormat. Sekarang masalah lain, pembaca sekalian tentu tahu. Berhati-hatilah dengan m.i. Kita sering bertanya pada diri sendiri: “Mengapa orang Belanda yang telah lama tinggal di Hindia lalu berubah perangainya.” Yang berpikiran demikian bukan hanya orang bumiputera saja. Orang Belanda totok yang belum pernah datang ke Hindia juga berpikiran demikian.

Banyak anak atau teman dan sahabat karib yang sudah pulang dari Hindia menjadi gila hormat. Tak mau lagi bergaul dengan sesama temannya lagi di Nederland. Oleh sebab itu, banyak yang lebih suka kembali ke Hindia lagi. Untuk kita, bedanya sangat besar sekali. Bangsa Belanda, kelas menengah dan kelas atas di Nederland, hatinya sangat baik, suka menolong dan persahabatannya sangat menyenangkan. Untuk kelas rendah banyak juga yang demikian, akan tetapi tidak kurang yang tingkah lakunya kasar dan tidak beradab. Suami istri m.i. setelah datang ke Hindia perangainya berubah. Yang baik jadi jelek. Yang jelek menjadi tambah jelek. Kebanyakan m.i. gila hormat. Bersikap semaunya sendiri terhadap orang-orang bumiputera. Apalagi terhadap kelas yang paling rendah. Itulah yang sering menjelekkan nama baik bangsanya. Pembaca jangan lupa, yang tetap baik juga ada. Tetapi kebanyakan perangainya berubah menjadi sangat buruk melebihi orang-orang lain. Sekarang kita kembali ke pertanyaan kita di atas. Mengapa bisa demikian?

Kita tidak bisa menjelaskan sebab-sebabnya dengan benar. Kita akan mencoba menjawabnya dengan perkiraan. Sebabnya boleh kita simpulkan menjadi dua pokok masalah.

Dari pihak Belanda.

Dari pihak bumiputera.

Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh yang mengubah perangai Belanda itu adalah:

a. Pengetahuan tentang Tanah Hindia Meskipun Hindia sudah diperintah bangsa Belanda sudah cukup lama, orang Belanda boleh dikatakan tidak tahu sama sekali tentang keadaan di Hindia. Di sekolah rendah, hanya diajarkan bahwa Nederland mempunyai koloni yang bernama Hindia. Pulau-pulaunya yaitu ... dan sebagainya. Kota-kota di Tanah Jawa seperti Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Surakarta. Sungai-sungainya seperti Ciliwung, Bengawan (Solo) dan Brantas dan sebagainya. Lain dari pada, tidak sama sekali. Wahai pembaca, kalau anak�anak hanya dipelajari sedikit sekali tentang Hindia, bagaimanakah yang tua�tua yang tidak lagi ingat kepada ilmu bumi. Apalagi orang itu mendengar bahwa kita bisa berbahasa Belanda, maka tercengang-cenganglah ia memandang kita. Mereka mengira, di Tanah Jawa itu masih banyak orang yang makan manusia. Di dekat rumahnya banyak hutan-hutan yang dipenuhi binatang-binatang buas seperti harimau dan binatang-binatang lainnya. Untung sekarang tambah lama semakin berkurang orang yang berpikiran demikian. Baru-baru ini kita ditanya serdadu:

“O, apakah Tanah Jawa itu jauh dari Hindia?” Pertanyaan semacam itu sering sekali kita dengar. Orang-orang yang terpelajar pula setali tiga uang. Hanya orang-orang yang mempunyai saudara di Hindia yang mengepalai pabrik yang mengerti sedikit-sedikit tentang Hindia. Yaitu tempat di mana saudaranya tinggal dan tempat di mana pabriknya berada. Bila m.i. hendak ke Hindia, lalu ia bertanya kepada kenalan-kenalannya yang pernah ke Hindia, ada juga yang tak bertanya sama sekali. Sepertinya hampir semua orang Belanda, tidak tahu sama sekali dengan pikiran kita. Kenalan itu menyangka ia paham betul tentang Hindia. Tentu saja keterangannya itu tak bisa dipercaya sama sekali. Di Hindia, lalu m.i. hanya bergaul dengan bangsanya sendiri, yang juga tidak banyak mengetahui tentang keadaan Hindia. Jadi selamanya m.i. tidak akan pernah mengerti tentang kita. Karena pada zaman kompeni (sampai sekarang) hampir semua orang yang pergi ke Hindia hanya bermaksud untuk mencari uang semata. Tambahan lagi, ia tak mengenal penduduk negerinya. Maka ia (menurut pendapat kita) lalu bertindak semau�maunya sendiri kepada kita. Mengapa hanya sedikit sekali yang mau langsung bergaul dengan kita? Bukankah sesungguhnya itu jalan yang terbaik? Jadi boleh kita katakan:

b. Pembauran di Hindia

c. Pendapatnya tentang Kita Bumiputera Kita mengaku bahwa banyak orang Belanda yang suka kepada kita. Tetapi sayang sekali, m.i. tidak sebanding dengan banyaknya orang yang membenci (karena tidak mengerti) kepada orang-orang bumiputera. Adapun sebab kebencian ini, kebanyakan dari keterangan orang-orang, sanak atau kenalannya yang pernah tinggal di Hindia, mempunyai babu atau jongos yang pada suatu hari berbohong atau mencuri. Maka oleh kenalan itu dikatakan bahwa semua orang Hindia tidak boleh dipercaya. Ini hanya suatu umpama saja. Kita dapat menulis buku-buku penuh dengan perumpamaan�perumpamaan seperti itu. Surat kabar pun dapat meracuni kita, seperti tulisannya W dan V.H. Sehingga banyak orang yang mempercayainya. Sehingga yang terjadi, banyak orang-orang yang hatinya menyangka seburuk itu. Surat-surat kabar di Nederland tersebut kebetulan sering berurusan dengan bumiputera dan kebaikan-kebaikan pemerintahan. Tetapi pendapat orang-orang bumiputera dan kejelekan-kejelekan pemerintah jarang kita temui. Barangkali akan lebih banyak lagi sebab-sebab yang berasal dari pihak Belanda.

Sekarang kita lihat dari pihak bumiputera.

a. Ketakutan Anak Bumiputera Anak-anak bumiputera kebanyakan takut kepada Belanda. Apa sebabnya? Bukankah Belanda itu juga manusia seperti Bumiputera? Mari kita lihat dari Zaman Kompeni. Pada waktu itu bangsa bumiputera diinjak-injak, diperas, dan diambil kekuatan serta uangnya. Anak-anak bumiputera (terlebih bangsa Jawa) yang bisa membedakan orang sesuai dengan kelas sosialnya, atas dan bawah, memandang orang Belanda sebagai kelas atas. Bangsa yang tinggi. Sebab m.i. selalu menang perang. Mulai saat itu, semua orang Belanda disangka patut dihormati. Tetapi si Belanda tidak ambil pusing. Belanda yang perangainya kurang halus itu membalas kebaikan kita dengan kekasaran. Anak Jawa yang sejak kecil ditakut-takuti dengan Belanda, hingga besar tetap takut. Maka dari itu tidak baik jika orang tua yang menakut-nakuti anak�anaknya yang menangis: “Hai, diam ada Belanda!”

b. Bahasa Bumiputera dan Perihal Menghormati Bangsa Lain Anak-anak bumiputera yang tak tahu bahasa Belanda, kebanyakan berbahasa Melayu dan bahasa Jawa “kromo inggil” kepada Belanda. Si Belanda yang tak mau mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Jawa kromo inggil memakai bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah. Ini jelas salah besar sekali. Siapapun yang berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa rendah, harus dijawab dengan bahasa itu juga. Jika m.i. belum memperkenalkan diri, si Jawa tidak usah menyebut dengan sebutan “tuan” atau “ndoro”, bila Belanda menyebut “man”. Dalam bahasa Belanda pun demikian juga. Dalam bahasa ini hanya sedikit sekali bedanya antara tinggi (kromo inggil) dengan rendah (kasar/ ngoko). Sebab itu, banyak Belanda yang tidak mau diajak berkata dalam Bahasa Belanda. Baik! Tetapi m.i. jangan juga diajak berbicara dengan bahasa Jawa Tinggi kalau ia tak mau. Mengenai masalah kehormatan pun tak ada bedanya. Heran saya, di Nederland, Belanda itu, sering berkata bahwa kita itu Slaafsch (seperti budaknya). Meski di Hindia ia sering dijongkoki.

Saya menulis ini tidak sekali-sekali bermaksud haatzaaien. Hanya saya hendak membuka mata bumiputera supaya jangan sampai keterusan. Lebih cepat antara Belanda dan bumiputera itu saling berbaur satu dengan yang lainnya dan mengerti. Hal itu akan lebih baik, baik untuk Hindia dan untuk Nederland sendiri. ***

Setelah Sergeant Djepris membaca karangan itu lalu dia meninggalkan Controleur Walter dengan wajah yang cemberut.

V. Raden Hidjo Ketemu dengan Raden Ajeng Biru

sunting

Student Hidjo/Bab5