Sultan Hasanudin Menentang VOC/Bab 2

Ibukota kerajaan Gowa "Sombaopu" menurut gambar Valentijn

Melihat arti katanya, maka Gowa seperti juga kata bahasa Indonesia goa atau gua berarti liang besar pada sebuah dinding. Ada yang mengatakan bahwa Gowa berasal dari kata "Gowari" (bahasa Bugis/Makasar) yang berarti kamar atau bilik, yakni ruangan yang dapat didiami. Boleh jadi juga Gowa berasal dari kata "gowarang" (bahasa Makasar) artinya lembah atau jurang yang terjal di antara bukit-bukit menjadi tempat lalu angin. Kalau tempat yang luang seperti itu diberi berdinding maka disebut "gowari" karena sudah menyerupai ruangan atau bilik yang dapat didiami (keterangan Ahmad Makarausu Amansyah Daeng Ngilau).

Kalau kita melihat dengan seksama dan memperhatikan sungguh-sungguh keadaan geografi terutama bagian selatan Jazirah Barat Daya pulau Sulawesi, maka kita akan menemukan banyak sekali liang-liang atau gua-gua. Liang-liang purbakala yang terkenal memang banyak ditemukan di daerah Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene Kepulauan sampai ke Kabupaten Barru. Pun di daerah-daerah di sekitar Jeneponto dan Takalar sampai ke Kabupaten Gowa sekarang banyak sekali terdapat bukit-bukit yang bertebaran. Maka kata Gowa yang berasal dari kata gua, gowari atau gowarang memang ada dan cukup kuat dasar kebenarannya. Namun apa sebab kerajaan Gowa disebut demikian, sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Kapan dan apabila kerajaan Gowa itu berdiri belum ada orang yang dapat menentukannya dengan pasti. Di dalam sejarah atau buku-buku lontara yang ada, hanya sangat singkat diuraikan mula berdirinya kerajaan Gowa. Hanya dikatakan bahwa jauh sebelum Tumanurunga ri Tammalate atau Raja Gowa yang pertarna turun dari kayangan dan memerintah kerajaan Gowa, Gowa diperintah oleh Batara Guru. Siapa Batara Guru ini tidak dapat dinyatakan dengan pasti. Di dalam buku "La Galigo" yang ditulis kembali oleh Dr. Matthes di dalam buku bunga rampainya yang berjudul "De Boegineesche Chrestomathie" disebutkan bahwa Batara Guru adalah putera sulung PatotoE, yakni kepala atau pemimpin para dewa di langit. Mula-mula Batara Guru dikirim oleh ayahnya ke bumi untuk mengisi dan melengkapi bumi yang pada waktu itu masih kosong. Apakah Batara Guru yang disebut di dalam buku "Galigo" itu sama dan itu juga orangnya dengan Batara Guru yang memerintah di Gowa sebelum Tumanurunga ri Tammalate atau Raja Gowa yang pertama datang, belum ada yang dapat mengatakannya dengan pasti.

Hampir semua kerajaan di Sulawesi-Selatan mempunyai dongeng, ceritera, sejarah atau "Patturioloang" (= tentang orang-orang dahulu kala) yang menyatakan bahwa Raja pertama di kerajaan-kerajaan itu adalah Tumanurung (bahasa Makasar) atau Tomanurung (Tu atau To berasal dari kata tau = orang; manurung = yang turun dari langit atau dari kayangan). Demikianlah misalnya:

  1. Raja Gowa yang pertama ialah Tumanurunga ri Tammalate atau sering juga disebut Tumanurunga ri Gowa.
  2. Raja Bone yang pertama disebut Tomanurunge ri Matajang artinya yang turun (dari langit atau dari kayangan) di Matajang. Baginda ini kawin dengan Tomanurunge atau Manurunge ri Tonro (Matajang dan Tonro adalah nama-nama tempat di Sulawesi-Selatan). Dari perkawinan antara kedua orang yang turun dari langit ini lahirlah La Ummase yang kemudian menjadi Raja Bone yang ke II.

Demikian pula Raja Soppengriaja yang pertama disebut Tomanurunge ri Sekkanyili, Raja Soppengrilau yang pertama disebut Tomanurunge ri Libureng, sedang di Luwu' dikenal Toamnurunge ri Attangware. Tegasnya, banyak ceritera-ceritera tentang Tomanurung di Sulawesi-Selatan yang menyatakan bahwa Raja-Raja mereka adalah keturunan dari Toamnurung yakni biasanya Raja pertama yang turun dari langit atau dari kayangan. Ceritera-ceritera seperti ini dalam bahasa Belanda sering disebut "Scheppingsverhalen" artinya ceritera-ceritera tentang tercipta

atau terjadinya sebuah kerajaan. Ada yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan karena mereka tidak tahu dari negeri mana asal, siapa ayah dan siapa ibu Raja yang pertama itu. Dengan mudah mereka hanya mengatakan bahwa Raja yang pertama itu Tomanurung atau Tumanurung artinya orang yang turun dari langit atau dari kayangan.

Sekarang marilah kita kembali kepada sejarah kerajaan Gowa. Sebelum Gowa diperintah oleh Tomanurung, Gowa terdiri dari sembilan buah negeri atau daerah. Tiap-tiap negeri atau daerah itu masing-masing dikepalai oleh seorang kepala atau gallarang. Kesembilan negeri atau daerah yang merupakan federasi Gowa itu, ialah:

  1. Tombolo'
  2. Lakiung
  3. Saumata
  4. Parang-Parang
  5. Data'
  6. Agang Je'ne
  7. Bisei
  8. Kalling, dan
  9. Sero'

Kesembilan negeri itu membentuk sebuah gabungan atau federasi yang mula-mula diketuai oleh seorang pejabat yang disebut "Paccallaya". Jadi Paccallaya merupakan Ketua Pemerintahan gabungan atau Federasi Gowa. Para kepala kesembilan negeri yang bergabung itu merupakan sebuah dewan yang disebut "Kasuwiang Salapanga" artinya Pengabdi yang sembilan orang (Kiasuwiang = mengabdi, pengabdi; salapang = sembilan). Jadi kepala-kepala negeri yang menjadi anggota dewan yang disebut Kasuwiang Salapanga itu merupakan penguasa atau Raja-Raja kecil di daerah-daerah yang tergabung di dalam federasi Gowa yang telah kami sebutkan di atas tadi. Kemudian dewan yang terdiri dari sembilan orang ini dirobah namanya menjadi "Bate Salapanga" artinya sembilan orang pembawa bendera atau sembilan orang pemegang panji (Bate = bendera, panji; salapang = sembilan). Dewan yang disebut Kasuwiang Salapanga ini dipimpin atau diketuai oleh Paccallaya. Di samping itu Paccallaya juga berfungsi sebagai hakim tertinggi bilamana terjadi salahfaham perselisihan atau sengketa di antara penguasa-penguasa kesembilan negeri yang bergabung di dalam federasi Gowa itu.

Penguasa-penguasa atau kepala-kepala di kesembilan negeri itu berdiri sendiri-sendiri. Mereka berkuasa dan bebas mengatur pemerintahan di dalam negeri atau daerah masing-masing. Demikianlah keadaan federasi Gowa sebelum diperintah oleh Tumanurung.

Kemudian keadaan kacau-balau dan peperangan-peperangan sering terjadi. Gowa sering mendapat ancaman dari luar. Maka Paccallaya mengadakan perundingan dengan kesembilan penguasa yang bergabung dalam federasi Gowa itu. Perundingan itu mencapai suatu kata sepakat untuk mengangkat seorang Raja di luar kalangan mereka. Mereka pun seia sekata untuk memohon kepada Dewata (pada waktu itu agama Islam belum masuk dan tersebar di Sulawesi-Selatan) agar Sang Dewata menurunkan seorang wakilnya untuk memerintah mereka dan rakyat mereka. Rupanya permohonan mereka dikabulkan oleh Sang Dewata. Tidak lama kemudian terbetiklah berita bahwa di daerah Gowa, yakni di sebuah tempat yang disebut Taka'bassia ada seorang puteri yang turun dari kayangan.

Maka Paccallaya bersama kesembilan orang Gallarang (penguasa negeri) yang bergabung dalam federasi Gowa itu pergi menemui Tuan Puteri yang baru saja turun dari langit itu. Mereka pun mendapati seorang puteri yang cantik memakai sebuah kalung emas yang sangat indah buatannya. Siapa nama, dari mana negeri asal, siapa nama ayah dan siapa nama ibu Tuan Puteri yang cantik itu tidak diketahui. Selanjutnya beliau hanya disebut Tumanurunga, artinya orang yang turun dari langit atau dari kayangan.

Kemudian Paccallaya dan kesembilan orang gallarang itu pun memohon kepada Tumanurunga agar beliau suka menjadi Raja mereka. Maka terjadilah dialoog atau pembicaraan antara Tumanurunga di satu pihak dan Paccallaya beserta kesembilan orang Gallarang itu di lain pihak. Pembicaraan itu merupakan suatu perjanjian.

Hatta maka diangkatlah Tumanurunga menjadi Raja Gowa yang pertama. Dengan diangkatnya Tumanurunga sebagai Raja Gowa yang pertama, maka pemerintahan Gowa mengalami pula perobahan. Demikian pula kedudukan dan wewenang Paccallaya serta kesembilan orang Gallarang itu. Kini federasi Gowa yang terdiri dari sembilan negeri yang telah kami sebutkan di atas tadi menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja perempuan yang menjadi penguasa tunggal di seluruh wilayah kerajaan Gowa. Kesembilan orang penguasa atau gallarang tadi kini hanya menjadi "Kasuwiang Salapang" artinya: Sembilan orang pengabdi. Kemudian lembaga yang disebut Kasuwiang Salapanga ini berobah menjadi Hadat Sembilan, yakni hadat kerajaan Gowa yang disebut "Bate Salapanga" artinya sembilan orang pembawa bendera atau sembilan orang pemegang panji-panji.

Setelah tercapai persetujuan antara Tumanurunga dan Paccallaya beserta kesembilan orang gallarang itu, maka dibangunlah sebuah istana yang besar lagi indah untuk Tumanurunga. Istana itu dibangun di tempat Tumanurunga turun dari kayangan. Istana itu besarnya sembilan petak. Istana itu dinamakan Istana Tammalate, artinya yang tidak layu, karena kayu-kayu yang dipakai untuk dijadikan tiang-tiang istana itu tidak layu pun setelah istana itu selesai dibangun. Kemudian tempat atau daerah itu dikenal dengan nama daerah Tammalate. Letaknya kurang lebih 10 (sepuluh) kilometer di sebelah selatan pusat kota Makasar atau Ujung Pandang. Sampai sekarang daerah Tammalate masih dianggap tanah atau daerah Gowa aseli. Di daerah Tammalate ini masih banyak dapat kita jumpai peninggalan-peninggalan sejarah yang mengingatkan kita kepada zaman kejayaan kerajaan Gowa.

Lambat-laun tersiarlah berita sampai ke mana-mana, bahwa di tanah Gowa telah turun seorang Tumanurung yang menjadi Raja di Gowa. Maka banyaklah kepala atau Raja dari negeri-negeri lain yang datang dan melakukan sembah kepada Tumanurung. Kemudian Paccallaya dan Kasuwiang Salapang masygul lagi. Mereka memikirkan bagaimana nanti jadinya jikalau Tumanurunga yang sudah menjadi Raja mereka itu wafat. Siapakah yang akan menggantikan baginda? Kemudian mereka sepakat untuk mencarikan jodoh bagi Tumanurunga ri Tammalate.

Hatta maka Tumanurung bersuamikan "Karaeng Bayo". Dari negeri mana asal, siapa ayah dan siapa ibu Karaeng Bayo ini tidak diketahui orang. Hanya diceriterakan di dalam "Patturioloang", bahwa Karaeng Bayo datang ke Gowa bersama seorang saudaranya yang bernama Lakipadada. Diceriterakan pula di dalam Patturioloang itu bahwa Karaeng Bayo mempunyai sebilah senjata, yakni sebuah sonri (sejenis senjata seperti kelewang atau pedang) yang disebut "Tanru'ballanga" Saudara Karaeng Bayo yang bernama Lakipadada mempunyai sebilah senjata seperti kelewang atau pedang yang terkenal dengan nama "sudanga". Kedua senjata ini, yakni Sudanga dan Tanru'ballanga merupakan benda-benda Pusaka atau "kalompoang" kerajaan Gowa yang sangat dihormati oleh orang-orang Gowa dan orang-orang suku Makasar.

Setelah Tumanurunga ri Tammalate kawin dengan Karaeng Bayo, maka Paccallaya dan Kasuwiang Salapanga serta rakyat Gowa mulai hidup tenang, tenteram dan damai. Tidak lama kemudian, dari perkawinan Tumanurunga dan Karaeng Bayo ini lahirlah seorang anak laki-laki yang luar biasa keadaannya. Anak itu dinamakan Tumasalangga Barayang. Di dalam Patturioloang diceriterakan bahwa anak yang luar biasa itu lahir setelah ia tiga tahun lamanya dikandungkan oleh ibunya. Begitu anak itu lahir, begitu ia dapat berjalan, bahkan berlari-lari dan berbicara. Luar biasa bukan? Anak ini cacat, tidak seperti anak yang biasa (bahasa Makasar: sala-salang). Anak ini dinamakan Tumasalangga Barayang, karena ia mempunyai bahu (Bahasa Makasar: salangga) yang tidak rata. Bahunya yang sebelah ke atas dan yang sebelah lagi ke bawah. Daun telinganya berbonggol (Bahasa Makasar: Ma'buttu) dan daun telinganya yang sebelah lagi lebar. Telapak kakinya sama panjang tumitnya ke depan. Pusarnya besar seperti "baku' karaeng", (yakni sejenis bakul kecil yang terbuat dari daun lontar).

Sungguhpun cacat, namun anak itu mempunyai keistimewaan seperti yang dikatakan oleh ibundanya, yakni Tumanurunga sebagai berikut: "Mengapa anakku cacat, karena bahunya miring, telinganya seperti bukit melambai-lambai atau bukit yang tampak tinggi (bahasa Makasar: bulu' mangape). Rambut yang putus di Jawa didengarnya, kerbau putih mati di Salayar dapat diciumnya, merpati yang ada di Bantaeng dapat dilihatnya. Kakinya seperti kaki timbangan, pusarnya seperti mata-air besar dan tangannya pandai menikam (bahasa Makasar: limanna pakassing nobo'). Siapa yang menyembah kepadanya bertahil-tahil emasnya (artinya; akan jadi kaya-raya), siapa yang menyembah dia akan dipohonkan keselamatan dan akan menjadi rakyatnya."

Setelah Tumasalangga Barayang besar, maka Tumanurung memotong kalungnya menjadi dua bagian. Sebagian diberikannya kepada anaknya dan yang sebagian lagi dipegangnya sendiri. Kemudian Tumanurung masuk ke dalam biliknya dan di sanalah baginda menghilang. (bahasa Makasar: namantammo ri bilika, nataenamo ilalang = dan masuklah ia ke dalam bilik dan tidak adalah ia di dalam). Jadi apa sebab dan bagaimana Tumanurung wafat, tidak diceriterakan di dalam buku sejarah Gowa yang disebut Patturioloang. Hanya dikatakan bahwa sesudah Tumanurung menyerahkan sebagian kalungnya kepada anak baginda yang bernama Tumassalangga Barayang, maka baginda pun masuk ke dalam biliknya lalu baginda menghilang. Adapun sebagian kalung yang diserahkan Tumanurung kepada Tumassalangga Barayang disebut "Tanisamang" artinya yang tidak ada samanya atau yang tidak ada taranya. Kalung, atau rantai "Tanisamang" ini juga kemudian menjadi benda pusaka atau kalompoang kerajaan Gowa yang penting.

Juga Karaeng Bayo dan Lakipadada tidak diketahui keadaannya. Ke mana mereka pergi dan bagaimana cara atau di mana mereka wafat dan sebagainya tidak disebutkan sama sekali di dalam Patturioloang. Hanya dikatakan bahwa kedua orang bersaudara itu meninggalkan senjata mereka yang disebut Tanru'ballanga dan Sudanga kepada Tumassalangga Barayang.

Kemudian Tumassalangga Barayang menggantikan ibunya menjadi Raja Gowa yang ke II. Tentang Raja Gowa yang ke II ini tidak banyak diceriterakan orang. Tidak ada diceriterakan bagaimana kerajaan Gowa di bawah pemerintahan Tumassalangga Barayang. Tidak ada pula disinggung sedikitpun siapa isteri atau siapa isteri-isteri baginda, kapan dan di mana baginda kawin. Tidak diceriterakan pula kapan dan bagaimana baginda wafat. Di dalam Patturioloang dikatakan bahwa Tumassalangga Barayang menghilang.

Di dalam Patturioloang hanya dikatakan bahwa Tumassalangga Barayang hanya berkata kepada rakyat baginda: "Duduklah kalian!" (bahasa Makasar: "Mammempomako"). Kemudian baginda pergi menuju ke arah utara, ke bukit-bukit yang terletak di sebelah utara Jonggoa (Bukit Jonggoa terletak di dekat

perbatasan Gowa-Maros di dekat gunung Pangkalaengtoppa, penulis). Maka tidak lama kemudian halilintar menggelegar dan hujan pun turun di hari panas. Pada saat itulah Tumassalangga Barayang hilang dari pemandangan (Bahasa Makasar: Bosi lalaung. Bunyi halilintar dan hujan di hari panas atau "bosi lalaung" oleh orang-orang suku Makasar dianggap pertanda atau alamat akan adanya peristiwa yang luar biasa).

Tumassalangga Barayang digantikan oleh puteranya yang bernama I. Puang LoE Lembang sebagai Raja Gowa yang ke III. Kemudian I. Puang LoE Lembang digantikan oleh puteranya yang bernama Tuniatabanri sebagai Raja Gowa yang ke IV. Tuniatabanri digantikan pula oleh puteranya yang bernama Karampang ri Gowa, sebagai Raja Gowa yang ke V. Raja Karampang ri Gowa digantikan lagi oleh puteranya yang bernama TUNATANGKA'LOPI sebagai Raja Gowa yang ke VI.

Tentang Raja-Raja Gowa yang II sampai dengan yang ke V, jadi dari Tumassalangga Barayang sampai dengan Karampang ri Gowa tidak banyak diketahui hal-ihwalnya: Siapa isteri atau isteri-isteri baginda, kapan dan di mana baginda kawin, berapa dan siapa nama anak-anak baginda. Bagaimana keadaan kerajaan Gowa di bawah pemerintahan baginda-baginda itu. Tidak pula diketahui tentang peperangan-peperangan yang dilakukan oleh baginda-baginda itu, berapa lama baginda-baginda itu memerintah, kapan, di mana dan bagaimana cara baginda-baginda itu wafat dan sebagainya.

Di dalam Patturioloang hanya dikatakan bahwa baginda mewarisi pemerintahan (Bahasa Makasar: ansossorangi ma'gauka) dan kemudian baginda menghilang. Menurut kepercayaan orang-orang Gowa, pada zaman itu Raja-Raja Gowa sebelum Karaeng Tunatangka'lopi tidak wafat, tidak mengalami kematian seperti halnya manusia biasa. Menurut kepercayaan rakyat Gowa, pada masa itu Raja-Raja Gowa sampai kepada Raja Gowa yang ke VI, yakni Karaeng Tunatangka'lopi semuanya mairat atau hilang dan kembali ke tempat asalnya, yakni ke kayangan. Mulai dari Karaeng Tunatangka'lopi barulah Raja-Raja Gowa mengalami kematian sebagaimana manusia biasa.

Karaeng Tunatangka'lopi mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni yang sulung bernama Batara Gowa dan yang bungsu bernama Karaeng LoE ri Sero. Karena khawatir kalau terjadi perselisihan atau perang saudara antara kedua orang puteranya itu, maka Karaeng Tunatangka'lopi membagi kerajaan Gowa menjadi dua bagian. Baginda membagi gallarang-gallarang dan penduduk kerajaan Gowa menjadi dua bagian atau dua kelompok. Sebagian mengikuti dan diserahkan kepada Batara Gowa, sedang yang sebagian lagi mengikuti dan diserahkan kepada Karaeng LoE ri Sero. Bagian-bagian itu ialah: 1) Yang ditetapkan menjadi bagian Batara Gowa yaitu:

  1. Gallarang Paccellekang
  2. Gallarang Pattallassang
  3. Gallarang Bontomanai-Timur (Bontomanai'-iraya)
  4. Gallarang Bontomanai-Barat (Bontomanai'-lau')
  5. Gallarang Tombolo'
  6. Gallarang Mangngasa

2) Yang ditetapkan menjadi bagian Karaeng LoE ri Sero, yaitu:

  1. Gallarang Saumata
  2. Gallarang Pannampu'
  3. Gallarang MoncongloE
  4. Gallarang ParangloE

Tidak ada keterangan berapa lama Karaeng Tunatangka'lopi memerintah takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke VI. Ada diceriterakan bahwa Karaeng Tunatangka'lopi pada waktu baginda berlayar, baginda ditimpa kecelakaan yang menyebabkan baginda tewas. Perahu baginda tenggelam karena pusaran air yang dahsyat dan baginda wafat ditelungkupi perahu yang baginda tumpangi. Itulah pula sebabnya maka baginda diberi gelar Tunatangka'lopi (Bahasa Makasar: Tunatangka seharusnya tunarangka' = orang yang ditelungkupi; lopi = perahu. Di mana baginda mati tenggelam tidak diketahui dengan pasti. Ada yang memperkirakan peristiwa itu mungkin terjadi di lautan atau di perairan antara Ujung Lassowa atau Ujung Bira dan pulau Salayar. Perkiraan ini didasarkan pada kenyataan bahwa lautan antara Ujung Bira dan pulau Salayar sangat angker serta berpuaka. Lautan di dekat Ujung Bira ini memang sangat ditakuti oleh pelaut-pelaut Bugis-Makasar yang terkenal gagah berani itu. Mereka tidak berani ribut-ribut, apalagi berlaku atau berbicara tidak senonoh, jikalau mereka sedang berlayar di perairan di daerah itu. Lautan di daerah itu dapat dengan sekonyong-konyong bergelora dan menelan korbannya yang berani berlaku atau berbicara tidak senonoh. Tidak sedikit perahu dan segenap isinya yang sudah menjadi korban dan ditelan oleh lautan yang sangat angker dan amat ditakuti itu. Jadi Tunarangka'lopi atau Tunatangka'lopi artinya Raja atau orang yang ditelungkupi perahu.

Setelah Karaeng Tunatangka'lopi wafat, baginda mewariskan takhta kerajaan Gowa kepada putera baginda yang sulung dan bernama Batara Gowa sebagai Raja Gowa yang ke VII. Adik Batara Gowa yang bernama Karaeng LoE ri Sero kemudian menjadi Raja Tallo yang pertama. Seperti diketahui dan diuraikan nanti, kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa di kemudian hari bersatu kembali dan menjadi satu kerajaan yang berpadu. Karaeng LoE ri Sero menurunkan Raja-Raja Tallo. Setelah kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa berpadu menjadi satu, Raja-Raja Tallo selalu merangkap menjadi Tumabbicara Butta atau Pabbicara Butta (= Mangkubumi) kerajaan Gowa.

Tentang Batara Gowa ada diceriterakan bahwa baginda kemudian berselisih dengan saudara baginda yang bernama Karaeng LoE ri Sero, sehingga Karaeng LoE ri Sero terpaksa harus meninggalkan Gowa. Karaeng LoE ri Sero pergi ke Jawa dan kekuasaan beliau didaulat oleh Batara Gowa. Setelah Karaeng LoE ri Sero kembali dari Jawa, maka beliau tinggal di sebuah tempat yang disebut "Passi'nang". Di tempat itulah Karaeng LoE ri Sero bersedih hati mengenangkan nasibnya yang malang. Kerajaannya didaulat oleh abangnya sendiri. Maka tempat itu dinamakan Passi'nang artinya yang bersedih. Kemudian Passi'nang lazim juga disebut Paccinang.

Tidak lama berselang datanglah Karaeng LoE ri Bentang dan Karaeng LoE ri Bira. Kedua orang karaeng ini berseia-sekata mengangkat Karaeng LoE ri Sero menjadi Raja mereka. Lalu Karaeng LoE ri Bentang dan Karaeng LoE Ri Bira menyuruh rakyatnya menebas sebuah hutan di dekat sungai Bira. Hutan itu disebut hutan "Talloang". Di tempat itulah rakyat kedua karaeng tadi membangun sebuah istana untuk Karaeng LoE ri Sero. Sesuai dengan nama hutan itu, yakni Talloang maka tempat itu kemudian terkenal dengan nama Tallo. Sejak itulah berdiri kerajaan Tallo dan Raja Tallo yang pertama ialah Karaeng LoE ri Sero saudara Raja Gowa yang ke VII yakni Batara Gowa. Di hari kemudian kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa menjadi satu lagi dalam suatu paduan yang di dalam bahasa Makasar disebut "Rua karaeng se're ata" artinya dua Raja satu hamba-sahaya. Kedua kerajaan itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Begitu erat perhubungan kedua kerajaan itu. Dan seperti yang kami katakan tadi Raja-Raja Tallo selalu merangkap menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa yang bersatu. Memang Raja-Raja kedua kerajaan itu merupakan keturunan langsung Tumanurunga ri Tammalate. Oleh orang-orang Belanda kedua kerajaan yang berpadu erat itu disebut juga "zuster-staten" artinya kerajaan atau negara bersaudara.

Tentang Batara Gowa diceriterakan pula bahwa baginda kawin dengan seorang putera Raja Garassi'. Siapa nama isteri baginda ini tidak disebutkan. Dari perkawinan Batara Gowa dan puteri Raja Garassi' ini lahirlah tiga orang anak, yakni:

  1. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Pakere'tau yang kemudian terkenal pula dengan gelarnya Tunijallo' ri Passukki';
  2. Seorang anak laki-laki yang bernama Baratana yang kemudian mendapat gelar Karaeng Garassi';
  3. Seorang anak perempuan yang bernama Karaenga ri Bone. Siapa nama pribadi atau areng ri kale puteri ini tidak diketahui.

Setelah isteri Batara Gowa, puteri Raja Garassi' itu meninggal dunia, maka baginda kawin lagi dengan seorang wanita yang bernama I. Rerasi. Dari perkawinan baginda ini lahirlah dua orang anak, yakni:

  1. Seorang anak laki-laki yang bernama Daeng Matanre Tumapa'risi'kallonna. Siapa nama diri atau areng ri kale putera Raja ini tidak diketahui.
  2. Seorang anak perempuan yang diberi nama Karaenga Makeboka.
Setelah Batara Gowa wafat, maka baginda diberi nama atau gelar anumerta Tumenanga ri Parallakkena artinya orang beristirahat atau dimakamkan di halamannya. Baginda mewariskan takhta kerajaan Gowa kepada anak baginda yang bernama I. Pakere' tau sebagai Raja Gowa yang ke VIII. I. Pakere'tau ini terkenal pula dengan nama atau gelar baginda Karaeng Tunijallo' ri Passukki'. Berapa lama baginda memerintah dan bagaimana keadaan kerajaan Gowa di bawah pemerintahan baginda tidak banyak diketahui. Hanya disebutkan bahwa baginda wafat karena diamuk dengan sebilah "passukki'" yakni galah atau bambu yang runcing. Menurut ceriteranya Raja Gowa yang ke VIII ini pada suatu waktu membikin malu seorang hambanya sedemikian rupa, sehingga hamba itu mata gelap lalu menikam Karaeng Tunijallo' dengan sebilah "passukki'".

Karaeng Tunijallo' ri Passukki' tidak mempunyai anak. Baginda diganti oleh saudara baginda dari lain ibu yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' kallonna sebagai Raja Gowa yang ke IX.

Karaeng Tumapa'risi'kallonna (= Raja yang sakit lehernya) memperisterikan anak perempuan Karaeng Tunilabu ri Suriwa, Raja Tallo yang kedua. Siapa nama puteri Raja Tallo yang ke II ini tidak disebutkan. Dari perkawinan ini lahirlah:

  1. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga sering dengan singkat disebut saja Karaeng Tunipalangga;
  2. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta atau sering disingkat Karaeng Tunibatta;
  3. Seorang anak perempuan yang bernama I. Tapacinna Karaenga ri Bone;
  4. Seorang anak perempuan lagi yang bernama I. Sapi Karaenga ri Sombaopu.

Ada lagi anak-anak Karaeng Tumapa'risi' Kallonna dari isterinya yang lain, tapi tidak perlu semuanya kami sebutkan di sini.

Jadi Karaeng Tumapa'risi' Kallonna adalah Raja Gowa yang ke IX. Di bawah pemerintahan baginda kerajaan Gowa mulai mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Bagindalah Raja Gowa yang mula-mula membuat undang-undang dan peraturan perang. Baginda mengangkat seorang syahbandar yang bernama Daeng Pamatte' yang juga merangkap sebagai Tumailalang kerajaan Gowa. Daeng Pamatte' inilah yang membuat huruf-huruf Makasar. Beliau ini jugalah yang membuat lontara atau sejarah orang-orang Makasar atas perintah Raja Gowa. Sejak itulah orang-orang Makasar mulai mencatat peristiwa-peristiwa penting yang dialaminya. Terkenal antara lain "Buku catatan harian Raja-Raja Gowa dan Tallo" yang di dalam bahasa Belanda dikenal dengan nama "Het Dagboek van de vorsten van Gowa en Tallo".

Karaeng Tumapa'risi'kallonna inilah yang berhasil mengalahkan dan menaklukkan berbagai negeri dan kerajaan. Bagindalah yang mengalahkan negeri-negeri: Garassi', Katingang, Parigi, Siang (Pangkajene kepulauan), Sidenreng dan Limbangang. Baginda memaksa negeri Bulukumba dan Salayar membayar denda perang yang di dalam bahasa Makasar disebut "Sabbukati" (= kira-kira 888 real dan 88 duit). Baginda pulalah yang mengalahkan negeri-negeri Panaikang, Madallo, Cempaga, Maros dan Polombangkeng. Baginda membuat perjanjian dengan Raja Marusu' yang bergelar Karaeng LoE ri Pakere, dengan Raja Polombangkeng yang bergelar Karaeng LoE ri Bajeng dan dengan Raja Bone yang terkenal dengan gelar baginda La Ulio BoteE Petta Matinrowe ri Terrung. Karaeng Tumapa'risi' Kallonna menjadikan pula "palili'" (daerah takluk) kerajaan Gowa negeri-negeri: Sanrabone, Jipang, Galesong, Agang-Nionjo' (sekarang disebut Tanete), Kahu dan Pakombong. Baginda pulalah Raja Gowa yang mula-mula didatangi oleh orang-orang Portugis (Bahasa Makasar: orang-orang Paranggi).

Disebutkan pula di dalam Patturioloang bahwa jatuhnya Garassi' ke dalam tangan Raja Gowa bersamaan waktunya dengan jatuhnya Mataka ke dalam tangan orang-orang Paranggi (Portugis), jadi pada tahun 1511 (bahasa Makasar: julu taungi nibetana Garassi' nanabetatodong Malaka ri Paranggi = bersamaan tahunnya dikalahkannya Garassi dan dikalahkan pulalah Malaka oleh orang-orang Portugis).

Pada masa pemerintahan Raja Gowa yang ke IX inilah Gowa berperang melawan kerajaan Tallo. Pada waktu itu kerajaan Tallo diperintah oleh Karaeng Tunipasu'rung. Dalam peperangan ini kerajaan Tallo dibantu oleh orang-orang Marusu' di bawah pimpinan I. Mappasomba Daeng Uraga Tumenanga ri Bulu'duaya, dan orang-orang Polombangkeng di bawah pimpinan putera Karaeng LoE ri Bajeng.

Peperangan ini berlangsung dengan sengit, akan tetapi akhirnya kerajaan Gowa dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Kemudian diadakanlah perjanjian antara Raja Gowa dan Raja Tallo. Perjanjian itu diperkuat dengan sumpah yang diucapkan oleh Raja Gowa dan Raja Tallo serta semua kepala-kepala wilayah atau gallarang di kedua belah pihak. Sumpah keramat itu diucapkan di "Baruga" (= Balai) kerajaan. Isi sumpah ini singkat tetapi sangat padat, yakni: "Ia-iannamo tau ampassiEwai Gowa-Tallo iamo nacalla rewata" artinya Siapa-siapa yang mengadu-domba kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo, maka ialah yang akan dikutuk oleh Dewata.

Dengan adanya perjanjian itu, maka perhubungan kekeluargaan dan kerja-sama antara kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo makin dipererat dan diperkokoh. Seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi, memang Raja Gowa yang ke VII yang bernama Batara Gowa bersaudara dengan Raja Tallo yang pertama yang bernama Karaeng LoE ri Sero. Dengan adanya perjanjian itu hubungan kekeluargaan antara Raja Gowa dan Raja Tallo tambah dipererat. Kedua kerajaan itu terutama dalam hubungannya ke luar merupakan satu kerajaan bersaudara yang di di dalam bahasa Makasar sering dikatakan ”Ruwa karaeng se′re ata′ artinya” ”Dua Raja satu hamba”.

Jadi di bawah pemerintahan Karaeng Tumapa′risi′ Kallonna kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo berpadu lagi menjadi satu kerajaan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sejak itu pulalah dilazimkan bahwa Raja Tallo harus ”mendampingi Raja Gowa memerintah” (bahasa Makasar: mabbaligau′). Sejak itulah Raja-Raja Tallo selalu merangkap menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa.

Karaeng Tumapa′risi′ Kallonna ini pulalah yang membuat perjanjian dengan Raja Luwu yang bergelar ”Tosengereng Raja Dewa Datu Matinrowe ri Bajo” dan Raja Salo′mekko yang bernama Magajaya.

Diceriterakan pula bahwa Raja Gowa yang ke IX ini pernah juga berperang dengan orang-orang Jawa yang dipimpin oleh seorang bernama I. Galasi di kampung Pammolikang di daerah Gowa. Selama pemerintahan Karaeng Tumapa′risi′ Kallonna yang 36 (tiga puluh enam) tahun lamanya kerajaan Gowa mengalami kejayaan dan kemakmuran. Di dalam Patturioloang disebutkan bahwa di bawah pemerintahan Karaeng Tumapa′risi′ Kallona padi dan tanaman yang lainnya menjadi-jadi semuanya. Hasil penangkapan ikan berlimpah-limpah. Disebutkan pula bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa yang ke IX ini, tidak ada pencuri di dalam kerajaan Gowa. Jadi pada masa itu kerajaan Gowa mengalami kejayaan. Rakyat Gowa hidup makmur dan bahagia.

Karaeng Tumapa′risi′ Kallonna pula yang membuat benteng di sekeliling ibukota kerajaan Gowa. Pada waktu itu ibukota kerajaan Gowa disebut Sombaopu dan sekali-kali bukan Makasar atau ujung Pandang sekarang. Telah kami kemukakan bahwa Raja Gowa yang ke IX inilah yang mulai memperluas daerah dan memperbesar kekuasaan kerajaan Gowa. Pengaruh kekuasaan kerajaan Gowa makin besar dan makin luas. Baginda sering melakukan peperangan-peperangan dan menjalankan tindakan-tindakan politik atau membuat perjanjian-perjanjian yang menguntungkan kerajaan Gowa. Setelah memerintah kurang lebih 36 (tiga puluh enam) tahun lamanya, maka Karaeng Tumapa′risi′ Kallonna pun wafat. Baginda wafat karena menderita penyakit leher. Oleh karena itu maka baginda diberi gelar Tumapa′risi′ Kallonna artinya orang atau Raja yang sakit lehernya.

Karaeng Tumapa′risi Kallonna mewariskan takhta kerajaan Gowa kepada anak laki-laki baginda yang sulung yang benama I. Mariogau Daeng Bonto Karaeng Laklung Tunipalangga Ulaweng atau sering disingkat saja Karaeng Tunipalangga. Jadi Karaeng Tunipalangga yang menjadi Raja Gowa yang ke X. Pada waktu naik takhta kerajaan GoWa, Karaeng Tunipalangga sudah berusia 36 (tiga puluh enam) tahun. Menurut Patturioloang baginda memerintah 18 (delapan belas) tahun lamanya. Baginda terkenal sebagai seorang yang sangat berani dan cerdas di dalam segala lapangan. Karaeng Tunipalangga melanjutkan usaha ayah baginda, yakni memperluas wilayah dan kekuasaan serta memperbesar pengaruh kerajaan Gowa. Baginda banyak menaklukkan negeri-negeri di Sulawesi-Selatan, bahkan juga negeri-negeri di luarnya. Baginda mengalahkan dan menaklukkan negeri-negeri Bajeng, Lengkese dan Polombangkeng. Karaeng Tunipalanga menaklukkan orang-orang Bugis dari Lamuru sampai ke dekat Sungai WalannaE. Baginda memaksa orang-orang Bugis Lamuru membawa denda perang yang disebut ”Sabbukati”. Baginda merebut sonri atau pedang pusaka orang-orang Lamuru yang disebut ”Lapasasri”. Baginda merebut pula sonri atau pedang pusaka Raja Soppeng. Sonri itu disebut ”I. Lapauttuli”.

Karaeng Tunipalangga mengalahkan pula Cenrana, Salo′mekko, Kacci, Bulo-Bulo, Kajang dan Lamatti′. Dengan bantuan orang-orang Marusu′ baginda mengalahkan negeri-negeri di pegunungan seperti Samanggi, Cenrana dan Bengo. Kemudian dijadikannya palili′ (daerah takluk) Saumata dan Camba. Dengan ditemani oleh orang-orang Luwu′ Karaeng Tunipalangga mengalahkan Wajo dan memungut upeti perang dari negeri itu. Dengan bantuan orang-orang Sidenreng Karaeng Tunipalangga mengalahkan negeri-negeri: Otting dan Bulu′ Cenrana. Kemudian baginda mengalahkan negeri Suppa dan Sawitto. Baginda menjadikan palili′ (daerah takluk) negeri-negeri Alitta, Duri dan Enrekang (Pannaikang). Baginda mengalahkan pula Bulukumba, Ujung LoE, Pannyikkikang, Gantarang, Wero, Salayar dan Bira. Baginda menjadikan Palili′ orang-orang pegunungan di sebelah atas.

Karaeng Tunipalangga adalah Raja yang pertama-tama mengangkut orang-orang dan hartanya apabila baginda mengalahkan dan menaklukkan sebuah negeri. Baginda pulalah yang memaksakan kepada negeri-negeri yang dikalahkan dan ditaklukkannya perjanjian yang singkatnya berbunyi: ”Makkanama numammio”, artinya: Aku berkata dan kalian hanya mengiakan. Maksudnya ialah bahwa mereka tunduk dan mentaati segala titah Raja Gowa. Karaeng Tunipalangga banyak mengangkut orang-orang Sawitto, orang-orang Suppa dan orang-orang Bacukiki ke Gowa. Baginda memungut upeti perang dari orang-orang Bira yang dikalahkannya. Karaeng Tunipalangga pula yang mengalahkan Billa′-Billami pokok Raja Besar di Mandar (bahasa Makasar: poko′ karaeng lompoa ri Mandara′) dengan daerah-daerah takluknya Bungka, Mapilli, Poda-poda dan CamPalagiang. Baginda mengalahkan pula Toli-Toli dan Kaili. Hanya Bone yang belum dikalahkan oleh Karaeng Tunipalangga sampai Pekang La′bu ke selatan dan Topejawa ke utara. Jadi Karaeng Tunipalangga dapat mengalahkan dan menaklukkan berbagai negeri. Dengan demikian baginda memperluas wilayah kekuasaan dan memperbesar pengaruh kerajaan Gowa.

Selain dari pada giat memperluas wilayah kekuasaan dan memperbesar pengaruh kerajaan Gowa, Karaeng Tunipalangga juga banyak mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam kerajaan Gowa. Baginda banyak mengusahakan kemajuan-kemajuan di pelbagai bidang. Jabatan Tumailalang dan syahbandar yang pada jaman Karaeng Tumapa′risi′ Kallonna meajadi satu dan dijabat oleh satu orang, pada jaman Karaeng Tunipalangga dipisah. Kedua jabatan itu masing-masing dijabat oleh satu orang.

Karaeng Tunipalangga pulalah yang mula-mula mengadakan dan mengangkat pejabat yang disebut Tumakkajannangngang ana′bura′ne. Pejabat ini mengepalai anak laki-laki dan pemuda-pemuda keturunan bangsawan. Anak-anak karaeng atau pemuda-pemuda bangsawan ini dilatih sesuai dengan kedudukannya untuk menjadi prajurit-prajurit utama kerajaan Gowa. Di samping itu Karaeng Tunipalangga mengangkat pula pejabat-pejabat seperti: pandai-emas, pandai-besi, ahli bangunan, ahli membuat perahu atau kapal layar (kerajaan Gowa adalah negara maritim yang memerlukan armada laut yang besar). Baginda mengangkat pula pejabat-pejabat seperti ahli sumpitan, ahli dan tukang membuat senjata dari logam, tukang gerinda, tukang pintal tali dan sebagainya. Tiap-tiap kelompok atau golongan mempunyai kepala atau pemimpinnya sendiri-sendiri. Kepala atau pemimpin bagian-bagian itu lazim disebut Anrong Guru. Jadi tiap bagian atau seksi-seksi dikepalai atau dipimpin oleh seorang Anrong Guru. Di atas Anrong-Guru-Anrong-Guru ini ada lagi jabatan pemimpin yang lebih tinggi yang lazim disebut Anrong Guru Lompona (Lompo = besar).

Karaeng Tunipalangga adalah Raja yang pertama-tama menempatkan segala sesuatu di dalam benteng, menyuruh membuat timbangan, dacin, anak timbangan dan membuat gantang (semacam takaran beras). Baginda pulalah Raja yang pertama-tama mengatur barisan meriam-meriam dan membangun benteng-benteng yang besar. Pada jaman baginda pula orang-orang Makasar mula-mula mahir membuat obat bedil atau mesiu (bahasa Makasar: mappare ubba′), mahir mencampur dan melebur emas dengan logam-logam yang lain. Baginda pula yang mengusahakan pembuatan batu bata untuk mendirikan dan mendindingi Benteng Gowa dan Benteng Sombaopu yang menjadi pula ibu negeri kerajaan Gowa. Pada jaman Karaeng Tumapa′risi′Kallonna dinding benteng masih dibuat dari tanah liat biasa.

Pada masa pemerintahan Karaeng Tunipalangga kerajaan Gowa mulai giat membangun benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan yang kuat. Di depan tadi sudah kami sebutkan bahwa benteng Gowa dan Benteng Sombaopu dilingkari dengan tembok yang dibuat dari batu bata. Demikian pula pada kira-kira tahun 1545 atas perintah Karaeng Tunipalangga dibangun benteng ”Ujung Pandang” yang sampai sekarang masih dapat kita lihat di tengah-tengah kota Makasar atau Ujung Pandang. Seperti juga yang akan kami uraikan nanti, setelah "Perjanjian Bungaya" ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667 benteng ini diambil dan ditempati oleh orang-orang Belanda. Oleh orang-orang Belanda benteng ini dirubah namanya menjadi "Fort Rotterdam". Sekarang benteng ini kembali lagi kepada nama aselinya, yakni "Benteng Ujung Pandang". Jadi benteng ini adalah benteng aseli kerajaan Gowa. Hanya setelah diambil dan ditempati oleh orang-orang Belanda, diadakan perombakan secara besar-besaran, terutama rumah-rumah di dalam benteng itu. Dewasa ini benteng Ujung Pandang sudah dipugar kembali dan dijadikan Pusat Kebudayaan untuk Propinsi Sulawesi-Selatan. Untuk membangun benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan yang banyak bertebaran di seluruh wilayah kerajaan Gowa tentu saja harus dikerahkan tenaga yang banyak jumlahnya. Tenaga ini diambilkan dari rakyat negeri-negeri atau daerah-daerah yang dikalahkan dan ditaklukkan oleh kerajaan Gowa.

Karaeng Tunipalangga yang mula-mula melazimkan "kompaka" (bahasa Makasar·: ampalek kompaka), artinya meresmikan pemakaian alat musik atau bunyi-bunyian yang disebut kompa', membuat babu' (= sejenis baju), memperkecil perisai besar, menyuruh menuang atau membuat peluru Palembang (yakni sejenis bedil panjang pada zaman dahulu). Seperti sudah dikatakan di depan tadi, tiap-tiap bagian itu mempunyai pemimpin atau kepala yang disebut "Anrong-Guru". Tegasnya, banyak usaha-usaha perbaikan dan usaha-usaha kemajuan yang diupayakan orang pada jaman pemerintahan Karaeng Tunipalangga.

Di dalam Patturioloang disebutkan bahwa kepada Karaeng Tunipalangga datang seorang Jawa yang disebut Ana'koda Bonang meminta izin bertempat tinggal di kerajaan Gowa. (Di dalam bahasa Makasar: Iatommi napappalakki empoang Jawa nikanayya Ana'koda Bonang, artinya: Dialah juga yang dimintai tempat tinggal oleh orang Jawa yang disebut Ana'koda Bonang. Jawa di sini mungkin berarti jaba atau jobo yang artinya dari luar atau asing. Jadi belum tentu orang Jawa dari pulau Jawa seperti yang kita kenal sekarang. Misalnya: kanre-Jawa yang berarti kue-kue, kanre-jawa = makanan-Jawa atau dari luar). Jadi pada jaman pemerintahan Karaeng Tunipalangga datang seorang asing (dari luar Sulawesi-Selatan) yang bernama Nakhoda Bonang menghadap baginda untuk memohon agar mereka diperkenankan bertempat tinggal di kerajaan Gowa. Di dalam Patturioloang disebut pula bahwa pada waktu Nakhoda Bonang menghadap Karaeng Tunipalangga, beliau membawa pelbagai macam barang persembahan. Dalam Patturioloang ada pula disebut dialoog atau pembicaraan antara Nakhoda Bonang dan Karaeng Tunipalangga sebagai berikut:

”Empat hal yang kami mohon kepada Tuanku”

”Apakah gerangan empat hal yang Tuan pohonkan itu?”

”Kami mohon: agar supaya pekarangan kami tidak dimasuki begitu saja, agar supaya rumah kami tidak dimasuki dengan sewenang-wenang, agar supaya kepada kami jangan dikenakan peraturan ”nigajang” bila ada anak kami dan agar supaya kepada kami jangan dikenakan hukuman "nirappung" bila ada kesalahan kami.”

Permohonan Nakhoda Bonang itu diperkenankan dan Karaeng Tunipalangga pun berkata lagi:

”Sedang kerbau kami, kami turunkan ke dalam air bila ia lelah dan kalau bebannya terlalu berat kami turunkan sebagian, apalagi kalian sesamaku manusia. Akan tetapi janganlah kalian melakukan pembunuhan di dalam kerajaan kami di luar sepengetahuan kami.”

Lalu Karaeng Tunipalangga bertanya lagi kepada Nakhoda Bonang:

”Berapa jenis orang yang Tuan masukkan ke dalam permintaan Tuan itu.”

Maka Nakhoda Bonang pun menjawab:

”Semuanya kami yang bersarung ikat ialah orang-orang Pahang, orang-orang Patani, orang-orang Campa, orang-orang Minangkabau dan orang-orang Johor”.

Jadi Nakhoda Bonang ini mewakili para perantau dan para pedagang dari Pahang, Patani, Campa, Minangkabau dan Johor. Dengan datangnya para perantau dan para pedagang dari pelbagai negeri ini bertempat tinggal di ibukota kerajaan Gowa, maka jelaslah bahwa kerajaan Gowa di bawah pemerintahan Karaeng Tunipalangga sedang mengalami kemakmuran, kemajuan dan perkembangan yang pesat.

Hanya Bone yang belum dikalahkan oleh Karaeng Tunipalangga. Enam tahun tujuh bulan lamanya baginda berperang melawan Bone. Meskipun dalam keadaan sakit, namun baginda tetap memimpin pasukan-pasukan Gowa memerangi Bone. Penyakit baginda ialah makanan yang ditelan oleh baginda tidak turun. Penyakit baginda makin lama makin parah. Pada waktu berada di dalam benteng Pappolong penyakit Karaeng Tunipalangga sudah sangat parah keadaannya. Ketika hal ini diketahui oleh Karaeng Tumenanga ri Makkoayang, maka Karaeng Tunipalangga dimohon kembali ke Gowa. Karaeng Tumenanga ri Makkoayang adalah Raja Tallo yang ke IV dan merangkap menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa. Setelah 48 (empat puluh delapan) malam berada kembali di Gowa, maka Karaeng Tunipalangga pun wafat dalam usia 54 (lima puluh empat) tahun. Delapan belas tahun lamanya baginda memerintah kerajaan Gowa. Pada waktu wafat Karaeng Tunipalangga mengamanatkan agar adik baginda yakni Karaeng Tunibatta yang mewarisi takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke XI. Nama lengkap baginda ini ialah I. Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data′ Tunibatta. Namun baginda sering disebut dengan nama atau gelar singkat baginda Karaeng Tunibatta. Jadi setelah kakaknya wafat, maka dinobatkanlah Karaeng Tunibatta menjadi Raja Gowa yang ke XI. Karaeng Tunibatta kawin dengan anak perempuan Karaenga ri Jamarrang yang bernama I. Daeng Mangkasara′. Dari perkawinan ini lahirlah:

  1. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo;
  2. I. Tamakebo Daeng Mate′ne Karaenga ri Botongang yang biasa juga disebut Karaeng Mapedaka;
  3. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Daeng Tonji Karaenga ri Bisei;
  4. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Daeng Biasa.

Baru saja 23 (dua puluh tiga) malam Karaeng Tunibatta menduduki takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke XI, maka berangkatlah baginda ke daerah Bone. Baginda meneruskan peperangan yang sudah dimulai oleh kakak baginda, Karaeng Tunipalangga. Di daerah Pappolong terjadilah pertempuran yang seru antara pasukan-pasukan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Tunibatta dan pasukan-pasukan kerajaan Bone. Karaeng Tunibatta berhasil menghalau pasukan-pasukan Bone yang mundur masuk ke bentengnya. Kemudian pasukan-pasukan Gowa membakar negeri Bukaka. Menjelang sore hari pasukan-pasukan Bone datang menyerang dengan pasukan yang kuat. Serangan tentara Bone ini berhasil mengocar-ngacirkan tentara kerajaan Gowa. Pasukan-pasukan Gowa tidak berdaya dan terpaksa lari untuk menyelamatkan diri. Dalam pertempuran inilah Karaeng Tunibatta tewas oleh tetakan parang atau kelewang orang-orang Bone. Oleh karena itulah baginda diberi gelar Karaeng Tunibatta, artinya Raja yang dipotong atau dipenggal kepalanya. Hanya 40 (empat puluh) malam Karaeng Tunibatta menjadi Raja Gowa yang ke XI ketika baginda tewas dipenggal oleh pasukan-pasukan Bone. Pada waktu itu Karaeng Tunibatta baru berusia 48 (empat puluh delapan) tahun.

Atas izin Raja Bone yang bergelar La Tenrirawe Bongkange Matinrowe ri Gucinna dan atas usaha penasehat Raja Bone yang terkenal dengan nama Kajao Laliddo maka jenazah Karaeng Tunibatta diantarkan ke Gowa. Empat orang pembesar kerajaan Bone, yakni Arung Teko, Arung Biru, Arung Lamoncong dan Arung Sanrego yang ditugaskan oleh Raja Bone untuk mengantarkan jenazah Karaeng Tunibatta ke Gowa. Dari peristiwa ini dapat kita melihat bahwa bangsa Indonesia pada jaman dahulu mengenal dan menjunjung tinggi hukum ksatria. Jenazah seorang Raja musuh yang bertempur secara ksatria diperlakukan dengan wajar dan sesuai dengan martabatnya.

Karaeng Tunibatta digantikan oleh anak baginda yang bernama I. Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo atau disingkat saja Karaeng Tunijallo sebagai Raja Gowa yang ke XII. Tidak seberapa lama kemudian, maka di Caleppa di dalam wilayah kerajaan Bone, dilangsungkanlah sebuah perundingan antara wakil-wakil kerajaan Gowa dan wakil-wakil kerajaan Bone. Kerajaan Gowa diwakili oleh Karaeng Tunijallo dan Tumenanga ri Makkoayang yang merangkap sebagai Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa. Kedua beliau ini dibantu oleh Gallarang Mangasa dan lo′mo′ Manrimisi (Lo′mo′ adalah gelar yang kira-kira sama dengan gelar Gallarang, yakni kepala suatu wilayah). Kerajaan Bone diwakili oleh Raja Bone yang bergelar Latenrirawe Bongkange dibantu oleh penasehat utama kerajaan Bone yang terkenal dengan nama Kajao Laliddo. Di dalam perundingan di Caleppa ini Kajao Laliddo memainkan peranan yang penting. Di dalam perundingan itu dicapai hasil antara lain sebagai berikut:

  1. Daerah-daerah sampai ke Sungai WalanaE di sebelah barat dan sampai daerah Ulaweng di sebelah utara diserahkan kepada kerajaan Bone.
  2. Sungai Tangka′, yakni sebuah sungai di perbatasan Bone dan Sinjai, menjadi perbatasan kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Daerah di sebelah selatan sungai itu termasuk daerah atau wilayah kekuasaan kerajaan Gowa, sedang daerah di sebelah utara sungai itu termasuk wilayah
    kekuasaan kerajaan Bone.
  3. Negeri atau daerah Cenrana masuk daerah kekuasaan kerajaan Bone.

Di dalam bahasa Makasar perjanjian antara Gowa dan Bone ini disebut ”Ulukanaya ri Caleppa”, artinya perjanjian di Caleppa. Setelah perjanjian ini tercapai, maka perutusan atau delegasi kerajaan Gowa kembali ke Gowa. Setibanya di Gowa, maka tidak lama kemudian dinobatkanlah Karaeng Tunijallo sebagai Raja Gowa yang ke XII.

Pelantikan Karaeng Tunijallo sebagai Raja Gowa yang ke XII dihadiri pula oleh Raja Bone La Tenrirawe Bongkange yang datang ke Gowa bersama Kajao Laliddo. Kemudian Karaeng Tunijallo mengadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Borie. Pada upacara peresmian perjanjian itu senjata pusaka kerajaan Gowa yang disebut ”Sudanga” dan senjata pusaka kerajaan Bone yang disebut ”Lateariduni” diletakkan berdampingan di sebuah tempat yang keramat di dalam istana Raja Gowa. Hal ini menambah khidmat dan agungnya suasana perjanjian persahabatan itu. Di dalam perjanjian persahabatan itu antara lain dinyatakan:

”Musuh-musuh Raja atau kerajaan Gowa adalah pula musuh-musuh Raja atau kerajaan Bone. Demikian pula sebaliknya, musuh-musuh Raja atau kerajaan Bone adalah musuh-musuh Raja atau kerajaan Gowa. Rakyat Gowa yang masuk ke wilayah kerajaan Bone adalah seperti mereka itu masuk ke negerinya sendiri. Sebaliknya pula rakyat Bone yang masuk ke wilayah kekuasaan kerajaan Gowa adalah mereka seperti berada di negerinya sendiri.”

Dengan demikian maka berakhirlah permusuhan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone yang sudah bertahun-tahun lamanya berlangsung. Kemudian Karaeng Tunijallo berusaha keras untuk memajukan kerajaan Gowa di dalam segala lapangan. Baginda mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja-Raja di luar Sulawesi Selatan, antara lain dengan Raja Mataram (di Jawa), dengan Johor, dengan Malaka, dengan Pahang, dengan Balambangan dan ke daerah timur dengan Raja-Raja Maluku.

Pada jaman pemerintahan Karaeng Tunijallo kesenian maju, terutama seni-ukir. Pada jaman pemerintahan baginda barulah orang-orang Makasar mahir menempa keris (bahasa Makasar: Iapa ma′ gau nauru nia′balla′ niukiri, namandede Mangkasaraka tobo, artinya: Baru pada masa pemerintahan baginda ada rumah yang diukir dan orang-orang Makasar menempa keris atau senjata tikam).

Pada jaman pemerintahan Karaeng Tunijallo diadakan pengawasan terhadap anak (pariah) sumpitan. Hal ini disebabkan karena ketika baginda berada di Bone dua kali baginda mendapat luka terkena anak sumpitan yang beripuh (beracun). Karaeng Tunijallo pulalah yang mula-mula mengangkat juru-tulis istana dan penulis sejarah atau ahli lontara, tukang cat perada (cat warna kuning seperti emas) dan pembuat dacin.

Karaeng Tunijallo pula yang mula-mula memperkenankan para perantau dan pedagang yang beragama Islam mendirikan mesjid di Mangalle Kaha (Sombaopu). Maksudnya agar supaya para perantau dan pedagang itu dapat atau senang menetap di Gowa dan dapat dengan leluasa menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan baginda menyuruh serta memperkenankan pula mereka untuk naik haji.

Tidak lama kemudian wafatlah Tumenanga ri Makkoayang setelah 11 (sebelas) tahun lamanya menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan Gowa. Almarhum ini merangkap juga sebagai Raja Tallo yang ke IV. Setelah Tumenanga ri Makkoayang wafat; Karaeng Tunijallo masih juga mengadakan peperangan dan mengalahkan beberapa negeri antara lain: Luwu′, Batulappa, Segeri dan Marusu′. Ada pula disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Karaeng Tunijallo, yakni pada kira-kira tahun 1580, Sultan Temate yang bergelar Sultan Baabullah datang berkunjung ke Sombaopu, ibu negeri kerajaan Gowa.

Seperti yang sudah diuraikan di depan tadi, antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone telah tercapai perjanjian persahabatan. Akan tetapi kemudian timbul lagi keretakan antara kedua kerajaan itu. Mungkin karena melihat adanya bahaya yang akan datang dari pihak kerajaan Gowa yang sering meluaskan pengaruh dan kekuasaannya melalui jalan peperangan, maka tiga kerajaan Bugis yang besar mengadakan perjanjian. Ketiga kerajaan Bugis yang mengadakan semacam "Triple Alliantie" atau "Perjanjian Tiga Negara" itu ialah kerajaan Bone, kerajaan Wajo dan kerajaan Soppeng. Karena ketiga kerajaan itu merupakan kerajaan-kerajaan Bugis yang besar, maka ketiga kerajaan itu disebut juga "TellumpoccoE" (bahasa Bugis) atau "Tallumboccoa" (bahasa Makasar). Bocco artinya penuh. Persekutuan tiga kerajaan itu diadakan pada tahun 1582 antara Raja Bone yang bergelar La Tenrirawe Bongkange Matinrowe ri Gucinna, Arung Matowa atau Raja Wajo yang bergelar "La Mungkace To Udamang Matinrowe ri batana" dan Datu atau Raja Soppeng yang bernama La Mappaleppe PatolaE. Persekutuan diadakan di kampung Bunne di daerah Tunurung (Bone Utara). Persekutuan "TellumpoccoE" atau tiga kerajaan Bugis yang besar ini diadakan dengan menanam sebuah batu di daerah Timurung. Oleh karena itu maka perjanjian antara ketiga kerajaan itu sering pula disebut "MallamumpatuE ri Timurung" artinya Penanaman batu di daerah Timurung. Maksud utama dari pada perjanjian antara ketiga kerajaan Bugis ini, ialah menentang supremasi kerajaan Gowa. Maka Raja Gowa pun murka. Kerajaan Wajo dan kerajaan Bone diserang, akan tetapi tidak berhasil. Kemudian Raja Gowa yang ke XII ini wafat karena baginda diamuk oleh seorang saudara sesusunya yang bernama I. Lolo Tammakkana. Itu pulalah sebabnya maka baginda terkenal dengan nama atau gelar anumerta baginda Karaeng Tunijallo, artinya Raja yang diamuk.

Banyak sekali isteri dan anak-anak Karaeng Tunijallo. Di sini kami hanya menyebutkan permaisuri baginda yang bernama I. Sambo Daeng Niasseng Karaeng Pattingaloang. Permaisuri baginda ini seorang wanita yang "maddaratakku'". Beliau cucu Karaeng Tumapa' risi' Kallonna yakni Raja Gowa yang ke IX dan anak dari Tumenanga ri Makkoayang, Raja Tallo yang ke IV. Jadi beliau termasuk golongan "Anak Karaeng Ti'no". Oleh karena itu pula beliau sering disebut Karaenga Bainea artinya Raja Perempuan. Dari permaisuri baginda ini Karaeng Tunijallo

memperoleh 8 (delapan) orang anak, lima orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan, yakni:

  1. Anak laki-laki yang benama I. Tepukaraeng Daeng Pirambu Karaeng Bontolangkasa Tunipasulu′: atau disingkat Karaeng Tunipasulu′; Anak perempuan yang bernama I. Callanna Daeng Tama′ring l Karaenga ri Tabaringan;
  2. Anak laki-laki yang bemama I. Topali. Beliau ini meninggal tanpa ada anaknya;
  3. Anak perempuan yang bemama I. Bissu Maliba Karaeng Pacelle;
  4. Anak perempuan yang bernama I. Sabbesiang Kare Karaenga ri Bulo-Bulo;
  5. Anak laki-laki yang bemama I. Mangngarangngi Daeng Manrabia yang kemudian terkenal sebagai Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna;
  6. Anak laki-laki yang bernama I. Keio Daeng Uraga Karaenga ri Ujung Tana;
  7. Anak laki-laki yang bernama I. Yung Daeng Maccini′ Karaenga ri Bulu′ Sipong.

Kedelapan orang anak yang tersebut di atas itu merupakan apa yang di depan tadi disebut "Anak Karaeng Ti′no, anak bangsawan tingkat tertinggi yang paling memenuhi syarat untuk menaiki takhta kerajaan Gowa. Dan memangnya pula dua orang anak dari Karaeng Tunijallo yang tersebut di atas menjadi Raja Gowa, yakni:
 Yang No. 1 yaitu Karaeng Tunipasulu′ sebagai Raja Gowa yang ke XIII, dan
 Yang No. 6 yaitu Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna sebagai Raja Gowa yang ke XIV.

Agar supaya jelas bahwa kedua orang ini merupakan ”Anak Pattola” yang paling memenuhi syarat untuk menduduki takhta kerajaan Gowa seperti yang telah kami uraikan di depan tadi, kami berikan bagan atau skema keturunan beliau itu sebagai berikut:

Dari bagan atau skema di atas itu dapat kita melihat bahwa Karaeng Tunijallo dan permaisuri baginda masih bersepupu sekali. Mereka kedua-duanya masih cucu Karaeng Tumapa'risi' Kallonna, Raja Gowa yang ke IX. Jadi Karaeng Tunipasulu' dan Sultan Alaudin merupakan "Anak karaeng ti'no" atau anak darah bangsawan Gowa-Tallo yang tertinggi taraf atau tingkatnya. Ayah mereka ialah Karaeng Tunijallo, Raja Gowa yang ke XII. Ibu mereka I. Sambo Daeng Niasseng Karaeng Pattingaloang adalah keturunan bangsawan Gowa-Tallo yang tertinggi derajadnya. Beliau anak perempuan Raja Tallo yang ke IV dan cucu Raja Gowa yang ke IX. Jadi Karaeng Tunipasulu' dan Sultan Alaudin merupakan Anak Pattola yang paling memenuhi syarat untuk menduduki takhta kerajaan Gowa.

Setelah Karaeng Tunijallo wafat, maka anak baginda yang bernama Karaeng Tunipasulu' yang menggantikan baginda sebagai Raja Gowa yang ke XIII. Pada waktu naik takhta Karaeng Tunipasulu' baru berumur 15 (lima belas) tahun. Baginda memerintah dengan sewenang-wenang, sehingga banyak menimbulkan kekacauan. Dengan semaunya dan seenaknya baginda memecat pembesar-pembesar kerajaan Gowa, seperti Tumailalang

68

dan sebagainya. Karaeng Tunipasulu' menetapkan Bate Salapanga menjadi sipuwe bate (sipuwe = separuh). Karaeng Tunipasulu' sering dengan sewenang-wenang membunuh orang-orang yang tidak disenanginya. Banyak perantau dan pedagang yang berasal dari luar Gowa terpaksa pada lari meninggalkan Gowa. Mereka takut terkena perbuatan sewenang-wenang Karaeng Tunipasulu'. Bahkan pun anak-anak karaeng dan para bangsawan Gowa banyak yang lari atau menyingkir karena takut terkena perbuatan sewenang-wenang Karaeng Tunipasulu'. Banyak lagi tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan Raja Gowa yang ke XIII ini yang tidak layak untuk diceriterakan di sini. Oleh karena itu pula maka baginda tidak lama memerintah. Karaeng Tunipasulu' hanya dua tahun memerintah, lalu dipaksa turun takhta oleh rakyat dan Hadat Gowa. Kemudian baginda meninggalkan kerajaan Gowa dan pergi bertempat tinggal di negeri Luwu'. Itulah sebabnya maka Raja Gowa yang ke XIII ini dinamakan Karaeng Tunipasulu' artinya Raja yang dikeluarkan. Di Luwu' Karaeng Tunipasulu' mulai memeluk agama Islam. Kemudian beliau pergi dan bertempat tinggal di Buton. Di sinilah beliau wafat dalam bulan Rajab tahun 1026 Hijrah atau pada tanggal 5 Juli tahun 1617 tahun Masehi.

Yang menggantikan Karaeng Tunipasulu' ialah adik seayah-seibu baginda yang bernama I. Mangngarangngi Daeng Manra'bia. Setelah baginda masuk Islam dan memerintah sebagai Raja Gowa yang ke XIV baginda diberi gelar Sultan Alaudin. Setelah wafat, Sultan Alaudin terkenal pula dengan nama atau gelar anumerta baginda Tumenanga ri Gaukanna artinya Raja yang wafat dalam pemerintahannya. Sultan Alaudin memerintah dari tahun 1593 sampai tahun 1639.

Pada waktu harus menggantikan kakaknya, Sultan Alaudin baru berusia tujuh tahun. Oleh karena baginda belum cukup usia untuk memerintah, maka untuk sementara waktu pemerintahan kerajaan Gowa dijalankan oleh Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa. Pada waktu itu jabatan Mangkubumi atau Pabbicara Butta dipegang oleh Karaeng Matoaya (arti sebenarnya Raja yang tua). Mangkubumi (Karaeng Matoaya) ini adalah Raja Tallo yang ke VI dan masih bersaudara dengan Karaeng Bainea, ibu kandung Karaeng Tunipasulu' dan Sultan Alaudin. Jadi Karaeng Matoaya masih mamak, paman atau oom Sultan Alaudin. Karaeng Matoaya adalah Raja pertama

yang memeluk agama Islam di Sulawesi-Selatan. Oleh karena

itu beliau dikenal pula dengan gelar baginda Sultan Abdullah Awalul Islam. Beliau masuk Islam pada hari Jum'at tanggal 9 Jumadilawal tahun 1014 Hijrah atau tanggal 22 September 1605 Masehi. Setelah wafat Karaeng Matoaya dikenal dengan gelar beliau Tumenanga ri Agamana, artinya Raja atau orang yang wafat dalam agamanya.

Demikianlah pada awal abad ketujuh belas kerajaan Gowa dan Tallo dapat dikatakan sudah menjadi kerajaan Islam. Yang meng-lslamkan kedua orang Raja itu ialah Abdul Makmur Khatib Tunggal yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dato' ri Bandang. Makam Dato' ri Bandang ini masih dapat kita saksikan di kampung Kalukubodoa di sebelah timur laut kota Makasar atau Ujung Pandang sekarang ini. Setelah Gowa dan Tallo menjadi kerajaan Islam dan Raja-Rajanya memperoleh gelar "Sultan", maka Gowa dan Tallo menjadi pusat penyebaran agama Islam terutama di Sulawesi-Selatan. Dua orang kawan Dato' ri Bandang yakni Khatib Sulaiman yang lebih dikenal sebagai Dato' ri Patimang dan Khatib Bungsu yang lebih dikenal dengan gelarnya Dato' ri Tiro adalah penyiar-penyiar agama Islam yang terkenal di Sulawesi-Selatan.

Pada waktu Karaeng Matoaya menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa dan Sultan Alaudin memerintah sebagai Raja Gowa yang ke XIV, kerajaan Gowa mengalahkan negeri-negeri: Bulukumba, Bilusu, Sidenreng, Lamuru, Soppeng, Wajo, Bone, sebagian Tempe, Bulu' Cenrana, Wawonio, Bilokka, Lemo, Pekkalabbu, Campaga dan lain-lainnya. Kemudian Gowa mengalahkan pula Bima, Dompu, Sumbawa, Kekelu, Sanggara, Buton, Pancana, Tubungku, Banggai, Buol, Gorontalo, Larompong, Selaparang (Lombok), Pasere (Kalimantan Selatan), Kutai, dan lain-lainnya. Pada jaman pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Gowa mengadakan persahabatan dengan Raja Aceh dan Raja Mataram.

Sultan Alaudin terkenal sebagai Raja Gowa yang berbudi baik. Baginda dicintai oleh rakyatnya. Setelah 33 (tiga puluh tiga) tahun masuk Islam dan 46 (empat puluh enam) tahun lamanya menduduki takhta kerajaan Gowa, Sultan Alaudin wafat pada tanggal 12 bulan Syafar tahun 1049 Hijrah atau tanggal 15 Juni 1639 Masehi. Baginda diberi gelar atau nama anumerta Tumenanga ri Gaukanna artinya orang yang wafat dalam pemerintahannya. Karaeng Matoaya wafat pada tanggal 1 Oktober 1636, jadi kira-kira dua tahun sembilan bulan lebih dahulu.

Seperti sudah diuraikan di depan tadi, sudah sejak jaman pemerintahan Raja Gowa yang ke IX (Karaeng Tumapa'risi' Kallonna) banyak orang asing yang datang dan tinggal menetap di Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa. Pada waktu itu ibukota kerajaan Gowa ialah Sombaopu. Di sekitar tahun 1600 ibukota kerajaan Gowa ini makin hari makin ramai. Pada abad ketujuh belas Sombaopu sudah merupakan bandar dan pelabuhan yang teramai di Indonesia bagian timur. Kota itu sangat penting artinya terutama dalam perdagangan hasil bumi yang pada waktu itu sangat digemari dan amat dibutuhkan oleh dunia. Letaknya sangat strategis dan baik sekali di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Seperti sudah sama dimaklumi kepulauan Maluku terkenal sebagai gudang rempah-rempah yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa. Tidaklah terlalu mengherankan jikalau Sombaopu dan kerajaan Gowa mendapat perhatian yang besar sekali dari orang-orang asing. Orang-orang Eropa seperti orang-orang Portugis, orang-orang Spanyol dan juga orang-orang Belanda, bahkan kemudian juga orang-orang Inggeris berusaha mencari perhubungan dan ingin bersahabat dengan Raja Gowa. Baginda berkedudukan di Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa.

Orang-orang mengatakan atau menulis bahwa ibukota kerajaan Gowa pada waktu itu ialah Makasar yang sekarang diganti namanya menjadi Ujung Pandang. HAL INI TIDAK BENAR!!! Pada waktu itu ibukota kerajaan Gowa ialah Sombaopu dan BUKAN MAKASAR ATAU UJUNG PANDANG YANG SEKARANG. Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa, terletak beberapa kilometer di sebelah selatan kota Makasar atau Ujung Pandang sekarang. Memang Belanda dengan sengaja hendak menghilangkan dan menghapus nama Sombaopu dari ingatan kita bangsa Indonesia, karena Sombaopu adalah benteng yang tangguh dalam perlawanan menentang penjajahan Belanda pada abad yang ketujuh belas. Belanda memang dengan sengaja hendak menghapus nama Sombaopu agar anak-cucu bangsa Indonesia tidak pernah tahu bahwa di situ pernah terjadi perlawanan yang gigih menentang penjajahan Belanda yang sewenang-wenang, bahwa di Sombaopu banyak pahlawan-pahlawan Gowa yang gugur sebagai ayam jantan yang pantang menyerah dalam membela kehormatan bangsanya. Jadi sekali lagi perlu kami tegaskan di sini bahwa ADALAH SUATU KEBOHONGAN DAN KESALAHAN BESAR jikalau dikatakan bahwa pada waktu itu ibukota kerajaan Gowa adalah Makasar atau Ujung Pandang sekarang. IBUKOTA KERAJAAN GOWA PADA WAKTU ITU BUKAN MAKASAR ATAU UJUNG PANDANG, TETAPI SOMBAOPU. Di Sombaopulah para wakil atau duta negara-negara lain datang menghadap Raja Gowa. Jadi pada waktu itu Sombaopu sudah menjadi kota internasional dan menjadi bandar atau pelabuhan yang terbesar dan teramai di Indonesia bagian timur. Kota Makasar atau Ujung Pandang yang sekarang, pada waktu itu belum apa-apa. Setelah Sombaopu dihancurkan dan diratakan dengan tanah oleh Belanda (V.O.C.) barulah Makasar atau Ujung Pandang tampil ke panggung sejarah.

Pada waktu itu orang-orang Belanda (V.O.C.) berusaha menjalankan monopoli perdagangannya di bagian timur tanah air kita. Mereka menganggap orang-orang Makasar dan kerajaan Gowa sebagai penghalang dan saingan yang berat. Bahkan orang-orang Belanda (V.O.C) menganggap kerajaan Gowa sebagai musuh yang sangat berbahaya. Akan tetapi mereka belum berani secara langsung berperang dengan orang-orang Makasar atau kerajaan Gowa. Mereka berusaha dengan jalan diplomasi Belanda (V.O.C.) mengirimkan utusan-utusannya ke Sombaopu. Tugas utusan-utusan Belanda (V.O.C.) itu ialah mengadakan hubungan dagang dan mengusahakan perjanjian persahabatan dengan Raja Gowa. Namun karena syarat-syarat yang diajukan oleh pihak Belanda (V.O.C.) itu merugikan dan bertentangan dengan kepentingan kerajaan Gowa, maka utusan-utusan Belanda itu tidak pernah berhasil. Belanda selalu ingin menjalankan perdagangan monopoli atas hasil rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Belanda melarang orang-orang Makasar berdagang dengan musuh-musuh Belanda (V.O.C.). Pada waktu itu terutama orang-orang Portugis merupakan musuh besar dan saingan terberat orang-orang Belanda (VOC).

Tentu saja segala keinginan Belanda (V.O.C.) itu ditolak mentah-mentah oleh Raja Gowa, Kerajaan Gowa terbuka bagi semua bangsa yang mau mentaati hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku di Gowa. Kerajaan Gowa tidak membedakan antara orang-orang Belanda dan orang-orang Portugis atau bangsa-bangsa yang lainnya. Oleh karena itu Belanda (V.O.C.) menganggap kerajaan Gowa sebagai batu penghalang yang besar bagi maksud-maksud angkara murkanya.

Kerajaan Gowa menolak bahkan menentang dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan oleh Belanda (V.O.C.) terutama di Indonesia bagian timur. Raja dan kerajaan Gowa berpendirian: "Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagi-bagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jikalau Belanda melarang hal itu, maka itu berarti bahwa Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain." Demikianlah pendirian dan sikap Raja-Raja Gowa. Baik Sultan Alaudin maupun Sultan Muhammad Said, bahkan juga Sultan Hasanudin kemudian selalu berpendirian bahwa Tuhan menciptakan bumi dan lautan. Bumi untuk dibagi di antara manusia dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama. Jadi bukan untuk V.O.C. atau orang-orang Belanda semata-mata. Itulah sebabnya mengapa kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli Belanda (V.O.C.). Sebaliknya Belanda (V.O.C.) berusaha dengan keras pula menghancurkan dan menyingkirkan kerajaan Gowa. Namun terhadap kerajaan Gowa yang kuat dan jaya Belanda (V.O.C.) tidak dapat berbuat apa-apa. Belanda (V.O.C.) selalu mencari peluang yang baik untuk merongrong dan menghancurkan kekuasaan kerajaan Gowa.

Kepala kantor dagang Belanda (V.O.C.) di Sombaopu bernama Abraham Sterck. Pada tahun 1615 Kapal dagang Belanda "Enkhuyzen" berlabuh di pelabuhan Sombaopu. Kemudian Abraham Sterck mengadukan halnya kepada Dewan Kapal (Scheepsraad) kapal yang sedang berlabuh itu. Diceriterakannya bahwa ia diperlakukan dengan tidak layak oleh orang-orang Makasar. Kemudian Abraham Sterck mencari akal untuk membalaskan dendamnya. Ia mendapat bantuan yang sepenuhnya dari Kapten kapal "Enkhuyzen" yang bernama de Vries. Kedua orang Belanda ini merencanakan sebuah tipu muslihat yang sangat licik. Mereka mengundang beberapa orang bangsawan dan pembesar kerajaan Gowa untuk beramah-tamah di atas kapal "Enkhuyzen". Tanpa menaruh curiga para bangsawan dan pembesar Gowa yang diundang itu datang dengan beberapa orang pengiring mereka. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa mereka masuk perangkap siasat licik yang sudah direncanakan oleh orang-orang Belanda yang tidak jujur itu. Dengan tiba-tiba kapten kapal "Enkhuyzen" memerintahkan anak buahnya untuk melucuti senjata orang-orang Makasar yang naik ke kapal itu. Orang-orang Makasar yang terkejut atas perlakuan curang dan sewenang-wenang serta tidak terduga itu mengadakan perlawanan. Maka terjadilah perkelahian yang seru dan di kedua belah pihak jatuh korban. Karena kekuatan tidak seimbang dan sifat yang mendadak dari peristiwa itu, maka perlawanan orang-orang Makasar itu dapat dipatahkan. Akhirnya orang-orang Belanda yang curang itu berhasil menangkap dan menawan dua orang bangsawan yang masih ada hubungan keluarga dengan Raja Gowa. Kedua orang bangsawan Gowa ini dibawa sebagai tawanan oleh orang-orang Belanda ke pulau Jawa.

Tentu saja perbuatan curang dan sifat keji orang-orang Belanda ini menimbulkan kemarahan dan kebencian orang-orang Makasar. Peristiwa di atas kapal "Enkhuyzen" itu segera tersiar secara luas tidak mudah dilupakan oleh orang-orang Makasar. Kemudian untuk meredakan suasana yang tegang itu maka orang-orang Belanda akhirnya melepaskan kedua orang bangsawan Gowa itu. Demikianlah setelah keadaan mulai mereda, maka pada tanggal 10 Desember 1616 datanglah sebuah kapal dagang Belanda (V.O.C.) yang bernama "De Eendracht". Kapal dagang ini berlabuh di pelabuhan Sombaopu. Setelah mendapat izin dari syahbandar, maka anak buah kapal itu pun turun ke darat. Seperti juga halnya orang-orang Belanda yang mula-mula mendarat di Banten pada tahun 1596, maka pun orang-orang Belanda yang turun ke daratan Gowa ini memperlihatkan tingkah-laku yang sombong dan kasar. Peristiwa keji dan kecurangan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda di atas kapal "Enkhuyzen" masih hangat dalam ingatan orang-orang Makasar. Melihat tingkah-laku orang-orang Belanda yang kasar dan sombong itu, maka rasa dendam dan benci yang membara di dada orang-orang Makasar itu meluap kembali. Orang-orang Belanda yang kasar dan sombong itu diserang oleh orang-orang Makasar. Akhirnya seluruh anak buah kapal "De Eendracht" dibinasakan oleh orang-orang Makasar. Dengan peristiwa ini, maka hubungan antara Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa meruncing lagi.

Kemudian hubungan antara Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa makin lama makin tegang. Hal ini tidak usah terlalu mengherankan kita. Sebab pokok dari ketegangan itu telah kami uraikan di depan tadi, yakni: Belanda (V.O.C.) hendak memaksakan hak monopolinya di Indonesia bagian timur, sedang kerajaan Gowa tidak mengakui bahkan menentang keinginan Belanda (V.O.C.) itu. Orang-orang Makasar terkenal sebagai bangsa pelaut yang ulung dan gagah-berani di Indonesia. Bangsa Belanda pun terkenal sebagai bangsa pelaut yang ulung dan gagah-berani di Eropa. Pada masa itu kerajaan Gowa sedang dalam puncak kejayaan dan kebesaran kekuasaannya. Pengaruh dan kekuasaan kerajaan Gowa diakui dan disegani, terutama di Indonesia bagian timur. Orang-orang Belanda baru saja keluar dari kancah Perang Kemerdekaannya yang berlangsung kurang lebih 80 ( delapan puluh) tahun lamanya. Sebagai bangsa yang baru merdeka melalui peperangan yang dilakukannya dengan gagah-berani orang-orang Belanda menuju ke Indonesia. Mereka masih diliputi semangat patriot dan jiwa pelaut yang perkasa dari laksamana-laksamana mereka seperti Tromp dan de Ruyter masih membara di dada mereka. Orang-orang Belanda berusaha dengan sekuat tenaga untuk menguasai daerah rempah-rempah yang banyak memberi keuntungan. Mereka berusaha menguasai sumber perdagangan yang tak ternilai harganya, yakni rempah-rempah dari kepulauan Maluku. Mereka berusaha keras memaksakan hak monopoli perdagangan yang mereka peroleh dari pemerintahnya, yakni Pemerintah di negeri Belanda. Mereka mau melarang orang-orang Makasar berdagang rempah-rempah di kepulauan Maluku. Dengan ini jelaslah apa sebab orang-orang Belanda (V.O.C.) memusuhi kerajaan Gowa. Bentrokan bersenjata antara kedua bangsa pelaut yang ulung dan gagah-berani ini tidak dapat dielakkan. Besok atau lusa mereka pasti akan terlibat dalam suatu perang terbuka yang dahsyat.

Oleh karena itu maka kerajaan Gowa harus waspada dan mengambil langkah-langkah pengamanan. Untuk menghadapi musuh yang mengancam dari luar itu, maka kerajaan Gowa harus menyempurnakan benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanannya. Di dalam kerajaan Gowa banyak terdapat bentengbenteng dan kubu-kubu pertahanan yang kokoh, antara lain: Benteng Sombaopu, Benteng Gowa, Benteng Ujung Pandang, Benteng Tallo, Benteng Ujung Tanah, Benteng Pannakukang, Benteng Galesong dan lain-lainnya.

Setelah Sultan Alaudin Tumenanga ri Gaukanna wafat pada tanggal 12 bulan Syafar tahun 1049 Hijrah atau tanggal 15 Juni 1639 Masehi, maka baginda diganti oleh putera baginda yang bernama Sultan Muhammad Said sebagai Raja Gowa yang ke XV. Nama pribadi atau areng-rikale baginda ialah I. Mannuntungi. Nama paddaengang baginda ialah Daeng Mattola. Nama pakkaraengang baginda sebelum menaiki takhta kerajaan Gowa ialah mula-mula Karaeng Ujung, lalu baginda mendapat lagi nama pakkaraengang, yakni Karaeng Lakiung (Jadi nama pakkaraengang baginda ada dua). Setelah menjadi Raja Gowa ke XV baginda bergelar Sultan Muhammad Said. Karena kegiatan baginda mengembangkan agama Islam, maka dari Mufti Besar di Mekkah, baginda mendapat gelar atau nama Malikussaid. Karena tulisan baginda terkenal sangat indah dan bagus, maka setelah wafat baginda diberi nama atau gelar anumerta Tumenanga ri Papambatunna, artinya orang yang wafat di batutulisnya. Jadi nama lengkap Raja Gowa yang ke XV ini ialah I. Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Muhammad Said Tumenanga ir Papambatunna. Dengan singkat kita sebut saja Sultan Muhammad Said.

Sultan Muhammad Said mewarisi pemerintahan kerajaan Gowa karena baginda "Anak Pattola". Baginda dilahirkan pada tanggal 29 bulan Rajah tahun 1016 Hijrah atau tanggal 11 Desember 1606 Masehi. Pada hari Rabu tanggal 15 Juni 1639, jadi pada usia lebih 32 (tiga puluh dua) tahun, Sultan Muhammad Said menjadi Raja Gowa yang ke XV. Kemudian Sultan Muhammad Said menyatakan menghendaki Karaeng Pattingaloang mendampingi beliau memerintah dan memimpin rakyat Gowa Maka Karaeng Pattingaloang pun diangkatlah menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa di samping jabatan beliau sebagai Raja Tallo yang ke VIII. Karaeng Pattingaloang terkenal sebagai seorang yang cendekia, pandai, sangat cerdas serta luas pengetahuannya. Beliau pandai dan mahir berbahasa pelbagai bahasa asing. Perhatian beliau terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap kemajuan besar sekali. Seorang penyair bangsa Belanda yang terkenal, yakni Joost van den Vondel sendiri memuji-muji kecendekiaan beliau dengan syair sebagai berikut:

"Wiens aldoor snuffelende brein

Een gansche werelt valt te klein"

(artinya kurang lebih: orang yang pikirannya selalu dan terus-menerus mencari, sehingga seluruh dunia rasanya terlalu kecil baginya).

Sultan Muhammad Said dan Mangkubumi baginda yang bernama Karaeng Pattingaloang merupakan pasangan yang cocok dan serasi. Pada jaman pemerintahan beliau-beliau inilah kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Gowa luas wilayah kekuasaannya dan besar sekali pengaruhnya. Sultan Muhammad Said termashur sampai ke mana-mana, sampai ke beberapa negeri di Asia, bahkan sampai ke Eropa. Hal ini terutama juga disebabkan karena jasa-jasa Karaeng Pattingaloang yang sebagai Mangkubumi kerajaan Gowa pandai menjalankan diplomasi. Sultan Muhammad Said mengadakan hubungan dan persahabatan dengan Raja-Raja dan pembesar-pembesar serta orang-orang terkemuka di luar negeri. Baginda mengadakan hubungan dan persahabatan antara lain: dengan Raja Inggeris, Raja Castilia di Spanyol, dengan Mufti Besar Arabia, Raja Portugis, dengan Gubernur Sepanyol di Manila, dengan Raja Muda Portugis di Goa (India) dan Merchante di Masulipatan (India).

Tentang sifat pribadi Sultan Muhammad Said dikatakan bahwa baginda terpuji sebagai seorang yang sangat gagah-berani, pandai bergaul dengan Raja-Raja negeri lain. Baginda tahu dan pandai menghargai jasa-jasa para pembesar dan bawahannya. Baginda terpuji sebagai seorang Raja yang memperlakukan rakyatnya dengan penuh rasa kemanusiaan. Baginda pandai menghormati orang-orang lain dan tahu membalas budi orang lain. Baginda terkenal sebagai seorang Raja yang bijaksana dan berani memberi kepercayaan kepada orang lain. Baginda seorang yang sangat dicintai oleh rakyat. Baginda pandai menulis huruf Arab. Tulisan huruf Makasar baginda bagus dan indah, sehingga setelah wafat baginda diberi gelar atau nama anumerta Tumenanga ri Papambatunna, artinya orang yang wafat di batu tulisnya.

Tadi sudah dikatakan bahwa Sultan Muhammad Said pandai bergaul dengan Raja-Raja dan para pembesar negeri lain. Pun dengan orang-orang Belanda (V.O.C.) Sultan Muhammad Said berusaha mengadakan dan memelihara hubungan yang baik. Perlu disinggung di sini bahwa pada tanggal 26 Juni 1637 diadakan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Sultan Alaudin dan Gubernur Jenderal Belanda Antonio van Diemen. Berdasarkan perjanjian tanggal 26 Juni 1631 itu pulalah Sultan Muhammad Said berusaha memelihara hubungan baik dengan orang-orang Belanda (V.O.C.).

Akan tetapi Belanda (V.O.C.) memang tidak jujur dan mempunyai maksud-maksud tertentu dan serakah. Oleh karena itu maka perjanjian antara kerajaan Gowa dan V.O.C. tidak dapat bertahan lama. Belanda (V.O.C.) selalu bertindak hendak mencari keuntungannya sendiri. Belanda (V.O.C.) tidak mau menghiraukan apakah tindakan itu merugikan pihak lain atau tidak. Tanpa menghiraukan perjanjian yang telah dibuatnya Belanda (V.O.C.) terus giat meluaskan pengaruh dan kekuasaannya di Indonesia bagian timur. Belanda ingin berkuasa dan meraja-lela terutama di kepulauan Maluku yang sudah sejak dahulu kala terkenal dengan hasil rempah-rempahnya. Hasil rempah-rempah inilah yang sangat diingini oleh orang-orang Eropa. Rempah-rempah memberikan keuntungan yang tak ternilai harganya kepada para pedagang. Itulah sebabnya mengapa Belanda (V.O.C.) berusaha dengan sekuat tenaga untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku. Orang-orang Belanda (V.O.C.) menyerang dan menguasai beberapa tempat di kepulauan Maluku. Tentu saja rakyat Maluku memberi perlawanan yang gigih. Hal ini diperhatikan pula oleh Sultan Muhammad Said. Baginda melihat bahwa orang-orang Belanda (V.O.C.) makin hari makin bernafsu untuk menguasai kepulauan Maluku. Mereka sering bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat Maluku. Dengan kejamnya orang-orang Belanda menumpas perlawanan rakyat Maluku. Karena kerajaan Gowa sejak sebelum orang-orang Belanda datang sudah bersahabat dengan rakyat Maluku, maka Sultan Muhammad Said berusaha membantu rakyat Maluku. Baginda membantu antara lain Kimelaha Luhu. Selain dari pada itu Sultan Muhammad Said harus pula membela kepentingan kerajaan Gowa yang diganggu oleh orang-orang Belanda (V.O.C.) di Maluku. Sebelum orang-orang Belanda (V.O.C.) datang ke Maluku orang-orang Makasar sudah lebih dahulu melakukan perdagangan di daerah sumber rempah-rempah itu.

Jikalau keluar kerajaan Gowa dan Sultan Muhammad Said harus menghadapi dan waspada terhadap orang-orang Belanda (V.O.C.), maka ke dalam kerajaan Gowa harus menghadapi Raja Bone yang bernama La Maddaremmeng. Raja Bone ini sangat ekstrim dalam menjalankan ajaran agama Islam, terutama dalam soal budak atau hamba sahaya. La Maddaremmeng mengeluarkan keputusan bahwa di dalam kerajaan Bone tidak boleh ada orang yang memelihara atau mempekerjakan hamba sahaya yang memang bukan keturunan budak. Orang-orang ini harus dibebaskan dan dibayar upahnya jikalau dipekerjakan. Siapa yang tidak mentaati keputusan baginda ini akan ditindak dengan keras. Pada waktu itu tentu saja banyak, bahkan boleh dikatakan seluruh pembesar dan bangsawan di kerajaan Bone terkena oleh peraturan ini. Mereka tentu saja menentang dengan keras peraturan Raja Bone ini. Bahkan ibu Raja La Madderemmeng sendiri yang bernama We Tenrisoloreng Datu Pattiro menentang baginda. Akan tetapi La Madderemmeng tidak menghiraukan segala tantangan itu. Pada tahun 1640 We Tenrisoloreng Datu Pattiro lari dari Bone. Mereka pergi ke Gowa dan minta perlindungan kepada Raja Gowa Sultan Muhammad Said. Berulang-ulang kali Sultan Muhammad Said berusaha menyelesaikan soal ini secara baik-baik. Namun baginda tidak berhasil. Maka pada tahun 1644 Sultan Muhammad Said memaklumkan perang kepada Raja Bone La Madderemmeng. Terjadilah peperangan antara Kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Dalam peperangan ini Gowa mendapat bantuan dari Wajo, Soppeng, dan Sidenreng. Peperangan berlangsung dengan seru. Pasukan-pasukan Bone akhirnya tidak dapat bertahan terhadap pasukan-pasukan musuh yang lebih kuat dan lebih besar jumlahnya. Maka Raja Bone La Madderemmeng dan seorang saudara baginda yang bernama La Tenriaji Tosenrima terpaksa meninggalkan daerah Bone. Mereka menyingkir ke Larompong dan Cimpu di daerah Luwu'.

La Maddaremmeng dapat ditangkap dan dibawa sebagai tawanan ke Gowa. Baginda diasingkan ke sebuah tempat yang disebut Sanrangang. Setelah wafat baginda diberi gelar atau nama anumerta Matinrowe ri Bukaka. Setelah Raja Bone La Maddaremmeng Matinrowe ri Bukaka kalah dan dibawa sebagai tawanan ke Gowa, maka dijadikanlah Bone Jajahan oleh kerajaan Gowa. Di dalam lontara atau buku-buku sejarah Bugis sering dikatakan: "Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana" artinya: Maka diperhambalah Bone 17 (tujuh belas) tahun lamanya.

Kerajaan Bone yang sudah dikalahkan itu kemudian menjadi jajahan kerajaan Gowa. Lalu Sultan Muhammad Said minta Karaeng Pattingaloang mengadakan perundingan dengan Arung Pitu, yakni Hadat Tujuh kerajaan Bone. Mereka berunding untuk mencari dan menunjuk calon pengganti Raja La Maddaremmeng. Oleh Hadat Tujuh atau Arung Pituwe diputuskanlah untuk menyerahkan takhta kerajaan Bone kepada Sultan Muhammad Said. Akan tetapi Sultan Muhammad Said yang mengerti betul tentang adat-istiadat kerajaan menolak. Alasan baginda ialah bahwa menurut adat baik di Bone maupun di Gowa, tidak boleh mengangkat "orang dari luar" menjadi Raja di kerajaan itu. Orang yang bukan keturunan langsung dari Tumanurunge ri Matajang tidak boleh diangkat menjadi Raja Bone. Demikian pula adat di kerajaan Gowa. Seorang yang bukan keturunan langsung dari Tumanurunga ri Tammalate tidak boleh diangkat menjadi Raja Gowa. Hal ini diketahui betul oleh Sultan Muhammad Said. Dengan alasan itulah baginda menolak keputusan Arung PituE itu. Kemudian Sultan Muhammad Said menunjuk Karaeng Pattingaloang untuk menjadi Raja Bone. Akan tetapi juga Karaeng Pattingaloang menolak dengan alasan yang sama. Beliau pun tahu dan mengerti adat kerajaan Bone ini.

Akhirnya Sultan Muhammad Said terpaksa menerima tawaran Arung PituE dan baginda menunjuk paman baginda Karaeng Sumanna sebagai wakil baginda untuk menjalankan pemerintahan di Bone. Akan tetapi oleh karena Karaeng Sumanna merasa tidak mampu menjalankan tugas yang berat itu, maka dengan persetujuan Sultan Muhammad Said beliau menunjuk Tobala Arung Tanete (salah seorang Arung PituE). Tobala Arung Tanete inilah yang ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan di Bone dengan gelar atau sebutan "jannang" (kira-kira sama dengan regent atau bupati).

Saudara Raja La Maddaremmeng Matinrowe ri Bukaka yang bernama La Tenriaji yang sudah kami sebutkan di depan tadi tidak tertangkap. Beliau dapat meloloskan diri dan kemudian kembali lagi ke Bone. Di bawah pimpinan La Tenriaji inilah rakyat Bone yang tidak mau dijajah oleh Gowa mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Raja Gowa. Sultan Muhammad Said segera memimpin pasukan-pasukan Gowa yang kuat menyerbu Bone. Kerajaan Gowa dibantu oleh sekutu-sekutunya. Sultan Muhammad Said berusaha sekuat tenaga menumpas perlawanan rakyat Bone yang memberontak terhadap kekuasaan kerajaan Gowa. La Tenriaji dan pasukan-pasukan yang setia kepadanya mengambil kedudukan di daerah Passempe. Tempat ini memang sangat baik dan strategis letaknya. Passempe selalu merupakan pertahanan kerajaan Bone yang tidak begitu jauh letaknya dari ibukota Watampone sekarang.

Maka terjadilah pertempuran yang seru di daerah Passempe. Pasukan-pasukan Bone harus menangkis pasukan-pasukan Gowa yang dibantu oleh pasukan-pasukan Wajo dan pasukan-pasukan Luwu′. Pertempuran ini di dalam bahasa Makasar terkenal pula dengan nama ”Bunduka ri Passempe” artinya peperangan atau pertempuran di Passempe. Di kedua belah pihak banyak korban yang jatuh. Karena pasukan-pasukan lawan jauh lebih kuat dan jauh lebih besar jumlahnya, maka akhimya perlawanan La Tenriaji dipatahkan sama sekali. Banyak orang bangsawan Bone beserta kawan dan pengikut-pengikutnya ditawan dan diangkut ke Gowa. Di antara mereka itu terdapat pula Arung Tana Tengnga Towa (nenek Aru Palaka), Arung Tana Tengnga yang bernama La Pottobunne (ayah Aru Palaka), Arung Belo, Arung Appanang dan Daeng Mabela putera Arung Bila. Ketiga orang yang tersebut belakangan ini masih sangat muda usianya. Mungkin ada orang yang bertanya: ”Mengapa sampai keluarga Aru Palaka yakni ayah dan neneknya turut dan terlibat dalam peperangan ini?”

lbu Aru Palaka yang bernama We Tenrisui Datu Mario riwawo adalah puteri atau anak perempuan Raja Bone yang ke XI yang bernama La Tenriruwa Sultan Adam Matinrowe ri Bantaeng. Jadi Aru Palaka masih cucu Raja Bone yang ke XI. Aru Palaka masih keturunan Raja-Raja Bone.

Saudara perempuan Aru Palaka yang bernama We Temmappolobombang adalah isteri PakokoE, anak laki-laki La Maddaremmeng. Jadi ipar Aru Palaka adalah anak La Maddaremmeng dan keponakan La Tenriaji Tosenrimang. Mengingat hubungan keluarga yang begitu erat ini dan jikalau kita memahami dan mengerti tentang adat-istiadat orang Bugis dan orang Makasar

maka hal ini tidak usah terlalu diherankan. Itulah sebabnya maka keluarga Aru Palaka terlibat dan turut bertempur di pihak La Tenriaji Tosenrimang.

Demikianlah La Tenriaji sendiri tertangkap dan diangkut oleh Raja Gowa ke negeri Siang (Pangkajene kepulauan). Di sinilah La Tenriaji wafat dan beliau sering pula disebut ”Matinrowe ri Siang” artinya yang tidur atau wafat di Siang. Bangsawan-bangsawan lainnya seperti Arung Tana Tengnga Towa (nenek Aru Palaka), La Pottobunne Arung Tana Tengnga (Ayah Aru Palaka) dan yang lain-lainnya diangkut pula sebagai tawanan perang ke Gowa. Dan menurut peraturan yang berlaku pada waktu itu, tawanan-tawanan perang itu kehilangan kemerdekaannya.

Dalam peperangan atau pemberontakan yang dipimpin oleh La Tenriaji ini Tobala Arung Tanete tidak turut terlibat. Oleh karena itu maka Tobala Arung Tanete yang tidak turut campur atau terlibat itu tetap menjadi ”jannang” atau bupati yang mewakili Sultan Muhammad Said memerintah Bone. Demikianlah Sultan Muhammad Said dapat menindas pemberontakan orang-orang Bone.

Pada tahun 1646 Sultan Muhammad Said memerintahkan untuk menaklukkan orang-orang Mandar dan yang lain-lainnya yang belum mau mengakui kekuasaan kerajaan Gowa. Demikianlah di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Said dibantu oleh Karaeng Pattingaloang kerajaan Gowa mencapai puncak kebesaran dan kejayaannya.

Dalam tahun 1651 kerajaan Gowa mengalami kekalahan yang pahit. Armada kerajaan Gowa dikalahkan di dalam suatu pertempuran melawan armada Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Laksamana de Vlamingh di dekat pulau Buru di kepulauan Maluku. Dua tahun sesudah peristiwa yang malang itu terjadi, yakni pada tanggal 5 Nopember 1653 Sultan Muhammad Said wafat dalam usia 47 (empat puluh tujuh) tahun setelah kurang lebih 14 (empat belas) tahun memerintah kerajaan Gowa. Sultan

Muhammad Said memerintah dari tahun 1639 sampai tahun l653. Baginda dimakamkan di pemakaman Raja-Raja Gowa di Tammalate dan diberi gelar atau nama anumerta Tumenanga ri Papambatunna.

Setelah Raja Gowa yang ke XV ini wafat maka yang diamanatkan mewarisi takhta kerajaan sebagai Raja Gowa yang ke XVI ialah anak baginda yang bernama I. Mallombasi Muhamad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanudin atau disingkat saja Sultan Hasanudin.
Sultan Hasanudin naik takhta kerajaan Gowa.

Sultan Muhamad Said Tumenanga ri Papambatunna memerintah kerajaan Gowa dari tahun 1639 sampai tahun 1653. Pada waktu wafat dalam tahun 1653 baginda telah mengamanatkan agar supaya yang menggantikan baginda sebagai Raja Gowa yang ke XVI ialah anak baginda yang bergelar dan kemudian terkenal dengan nama Sultan Hasanudin. Pada waktu Sultan Hasanudin menaiki takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke XVI kerajaan Gowa sedang berada dalam puncak kejayaan dan kebesarannya.

Sultan Hasanudin lahir pada malam Ahad tanggal 7 Jumadil akhir tahun 1040 Hijrah atau tanggal 12 Januari tahun 1631 Masehi. Baginda wafat pada hari Kamis tanggal 23 Muharram tahun 1081 Hijrah atau tanggal 12 Juni tahun 1670 Masehi. Nama diri atau areng rikale beliau ada dua. Satu nama Makasar aseli yaitu I. Mallombasi dan satu nama Arab, yakni Muhamad Bakir. Nama Daeng atau areng paddaengang beliau ialah Daeng Mattawang sedang nama atau gelar karaeng beliau sebelum menaiki takhta kerajaan Gowa ialah Karaeng Bontomangape. Setelah dinobatkan menjadi Raja Gowa yang ke XVI baginda bergelar Sultan Hasanudin. Setelah wafat baginda memperoleh gelar atau nama anumerta Tumenanga ri Balla′ Pangkana artinya orang yang wafat di istananya. Jadi nama lengkap Raja Gowa yang ke XVI ini ialah I. Mallombasi Muhamad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanudin Tumenanga ri Balla′ Pangkana. Namun kita singkat saja dengan Sultan Hasanudin. Pada waktu menaiki takhta kerajaan Gowa, Sultan Hasanudin baru berusia kurang lebih 22 (dua puluh dua) tahun. Baginda memerintah kerajaan Gowa kurang lebih 17 (tujuh belas) tahun lamanya, yakni dari tahun 1653 sampai tahun 1670.

Banyak orang dan penulis sejarah mengatakan bahwa Sultan Hasanudin bukan ”Anak Pattola”, artinya bukan Putera Mahkota yang paling memenuhi syarat untuk menduduki takhta kerajaan Gowa. Memang Sultan Hasanudin lahir sebelum ayahnya menjadi Raja Gowa dan ibu beliau memang bukan orang dari golongan ”Anak Karaeng ti'no”. Jadi ibu Sultan Hasanuddin bukan seorang wanita dari golongan bangsawan yang tertinggi derajatnya seperti halnya ibu Sultan Muhamad Said (ayah beliau) atau ibu Sultan Alaudin (kakek beliau). Tegasnya, Sultan Hasanudin memang bukan Anak Mattola yang paling memenuhi syarat untuk menduduki takhta kerajaan Gowa seperti halnya Sultan Muhamad Said dan Sultan Alaudin. Namun mengapa Sultan Hasanudin dapat juga menaiki takhta kerajaan Gowa yang pada waktu itu merupakan kerajaan yang terkuat, yang terbesar kekuasaannya dan yang paling besar pengaruhnya di Sulawesi-Selatan, bahkan di Indonesia bagian timur?

Di dalam bah I sub bab pemilihan dan pengangkatan seorang Raja telah kami singgung bahwa pergantian Raja banyak menimbulkan perpecahan, bahkan peperangan di antara golongan-golongan keturunan Raja yang mempunyai ambisi atau merasa dirinya berhak untuk menjadi Raja. Pergantian Raja sering diiringi oleh peperangan yang disebut ”Perang Mahkota” atau ”Perang Suksesi”, yakni perang untuk menentukan siapa yang akan menjadi Raja. Dan di dalam sejarah Indonesia amat banyak contoh yang dapat kita kemukakan, bahwa Perang Mahkota atau Perang Suksesi sering mengundang dan memberi peluang kepada kaum penjajah untuk mengadakan intervensi atau mencampuri urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di tanah air kita.

Di depan tadi telah pula kami singgung, bahwa menurut adat kelaziman kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan khususnya, syarat utama dan syarat yang paling dikehendaki untuk menjadi Raja, ialah calon Raja itu sedapat mungkin seorang anak Raja yang ”maddara takku”, sedapat mungkin seorang ”Anak Pattola” yakni baik ayah maupun ibunya dari golongan ”Anak karaeng ti'no”. Tegasnya, seorang calon Raja haruslah seorang bangsawan ”kelas wahid”. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat yang dilazimkan oleh adat, maka pasti ada oposisi atau perlawanan yang sering menimbulkan Perang Mahkota atau Perang Suksesi. Terlebih-lebih bagi orang-orang suku Makasar yang terkenal sangat patuh kepada adatnya. Orang-orang suku Makasar terkenal sebagai suku yang sangat keras berpegang pada aturan-aturan

yang sudah ditentukan di dalam adat.

Sultan Hasanudin memang bukan "Anak Pattola", namun beliau dapat juga menaiki dan menduduki takhta kerajaan Gowa yang sedang berada dalam puncak kejayaan dan kebesarannya tanpa ada reaksi, tanpa ada oposisi atau perlawanan sedikitpun juga dari siapa dan dari pihak manapun juga. Apa sebab? Meskipun bukan Anak Pattola, namun beliau dapat juga menjadi Raja Gowa yang ke XVI tanpa ada oposisi. Tentunya beliau dianggap tetap memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh adat. Kalau tidak, pasti akan ada oposisi dari pihak yang mempunyai ambisi atau ada perlawanan dari orang-orang yang merasa dirinya berhak untuk menduduki takhta kerajaan Gowa. Apalagi karena orang-orang suku Makasar terkenal sangat taat kepada adatnya dan kerajaan Gowa pada waktu itu sedang berada dalam puncak kejayaan dan kebesarannya. Siapa orang yang tidak berambisi atau siapa orang yang tidak ingin untuk menduduki takhta kerajaan Gowa yang begitu agung itu.

Untuk jelasnya dan untuk lebih memahami mengapa Sultan Hasanudin yang bukan Anak Pattola dapat juga menaiki dan menduduki takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke XVI tanpa ada oposisi atau perlawanan sedikitpun juga, baiklah soal ini kami uraikan.

Di dalam sejarah terbukti bahwa Sultan Hasanudin dapat menaiki dan menduduki takhta kerajaan Gowa yang begitu agung itu tanpa ada oposisi atau perlawanan dari pihak manapun dan dari siapapun juga. Sultan Hasanudin memang bukan Anak Pattola dan seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi, hal itu merupakan syarat yang paling utama untuk menduduki takhta kerajaan. Apalagi karena kerajaan Gowa pada waktu itu sedang berada dalam puncak kejayaan dan kebesarannya. Kerajaan Gowa pada waktu itu adalah kerajaan yang paling besar dan paling luas wilayah kekuasaannya. Kerajaan Gowa

pada waktu itu adalah kerajaan yang paling besar pengaruhnya di Sulawesi-Selatan, bahkan di Indonesia bagian timur. Siapakah yang tidak ingin menjadi seorang Raja yang memerintah sebuah kerajaan yang begitu besar pengaruh dan kekuasaannya seperti kerajaan Gowa pada jaman itu? Tentunya keinginan itu besar sekali bagi orang yang mempunyai ambisi dan bagi orang yang merasa dirinya lebih berhak.

Seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi, orang-orang suku Bugis dan orang-orang suku Makasar terkenal sebagai suku bangsa yang sangat patuh dan keras sekali berpegang pada adat-istiadatnya. Kalau Sultan Hasanudin bukan Anak Pattola dan memang ada yang berambisi atau merasa dirinya lebih berhak menjadi Raja Gowa, tentu ada oposisi dan pasti ada perlawanan terhadap pengangkatan beliau sebagai Raja Gowa yang ke XVI. Namun dalam kenyataannya Sultan Hasanudin dapat juga menaiki takhta kerajaan Gowa tanpa ada oposisi atau perlawanan sedikitpun dan dari manapun di kalangan orang-orang bangsawan Gowa. Apa sebab demikian? Tentunya karena beliau dianggap memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh adat, sehingga pengangkatan beliau sebagai Raja Gowa tidak mengalami oposisi atau perlawanan dari pihak manapun dan dari siapapun juga di kalangan orang-orang bangsawan Gowa.

1. Syarat yang amat penting dan sangat besar sekali pengaruhnya ialah karena oleh ayahandanya, Sultan Muhamad Said, Raja Gowa yang ke XV beliau diamanatkan untuk mewarisi pemerintahan. Pada waktu Sultan Muhamad Said Tumenanga ri Papambatunna belum wafat baginda telah mengamanatkan agar anak baginda yang kemudian terkenal sebagai Sultan Hasanudin yang menggantikan baginda sebagai Raja. Di dalam buku sejarah Gowa yang terkenal dengan nama ”Patturioloanga ri Tu Gowaya” ada ditulis tentang soal ini sebagai berikut: ”NAIA MATENAMO TUMENANGA RI PAPAMBATUNNA, TUMENANGA MO RI BALLA′ PANGKANA ASSOSSORANGI MA′GAU′. KAANA′NAI, NAIA NAPAPPASANGI” artinya kira-kira: ”Setelah Tumenanga ri Papambatunna (= Sultan Muhamad Said, penulis) wafat, maka Tumenanga ri Balla′ Pangkana (= Sultan Hasanudin, penulis) yang menggantikan baginda karena beliau memang anak baginda dan beliaulah yang diamanatkan untuk mewarisi pemerintahan ”.

Jadi salah satu faktor utama dan penting sekali yang menyebabkan Sultan Hasanuddin dapat menaiki takhta kerajaan Gowa yang agung itu, ialah karena memang beliau anak Raja Gowa yang diamanatkan oleh ayahnya untuk mewarisi pemerintahan. Seperti yang kita sudah maklum, apalagi adat pada jaman itu, kata-kata atau amanat Raja Gowa adalah Undang-Undang yang harus ditaati dan dilaksanakan. Hal ini biasanya kita jumpai terutama dalam pemerintahan kerajaan mutlak (absolute monarchie).  Pun di dalam adat kerajaan Gowa kata-kata atau amanat Raja Gowa tidak boleh dibantah dan harus ditaati serta dilaksanakan. Di dalam bahasa Makasar kita mengenal kata-kata adat yang berlaku di dalam kerajaan Gowa sebagai berikut: ”MAKKANAMA' NU MAMMIO” artinya: ”Aku berkata dan kalian hanya mengiakan”. Di sini jelas bahwa kata-kata Raja Gowa merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan harus ditaati oleh rakyat Gowa. Rakyat Gowa pada masa itu menerima dengan tulus-ikhlas pula kata-kata itu dan menyambutnya pula dengan kata-kata yang diadatkan sebagai berikut: ”AKKANAMAKI′ NAKI′MAMMIO” artinya: ”Bersabdalah Tuanku dan kami (rakyat) akan mengiakan”. Jadi di sini rakyat Gowa menjawab dengan tegas bahwa mereka selalu siap mentaati dan melaksanakan segala sabda atau titah Rajanya.

 Pada waktu itu kerajaan Gowa merupakan kerajaan yang terbesar kekuasaannya di Sulawesi-Selatan, bahkan di Indonesia bagian timur. Raja Gowa sangat besar kekuasaannya dan baginda sangat ditaati oleh rakyat. Betapa besar kekuasaan Raja Gowa dan betapa patuhnya rakyat Gowa terhadap Rajanya dapat kita lihat pada apa yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan oleh orang yang sedang ”MANGNGARU′." Mangngaru′ ialah suatu upacara mengucapkan sumpah setia yang lazimnya dilakukan oleh seorang pembesar kerajaan atau seorang prajurit Gowa di hadapan Raja Gowa. Orang yang sedang ”mangngaru′" itu mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
 KARAENGKU ANGING NA INAKKE LEKO′ KAYU
 KARAENGKU JE′NE INAKKE BATANG MAMMANYU′
 IRI′KO ANGING NAKURUNANG LEKO′ KAYU
 ASSOLONGKO JE′NE NAINAKKE BATANG MAMMANYU′
 AKKANAI KARAENGKU NA INAKKE APPAJARI

Jikalau kata-kata di atas itu diterjemahkan agak bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka artinya adalah kira-kira sebagai berikut:
 Rajaku angin dan aku daun kayu
 Rajaku air, aku batang yang hanyut
 Bertiuplah wahai angin dan aku daun kayu menuruti
 kehendak angin yang bertiup
 Mengalirlah wahai air dan aku batang yang hanyut (pasti
 mengikuti ke mana air mengalir)
 Bertitahlah Rajaku dan aku akan melaksanakan.


87

Dengan ini jelaslah betapa besar kekuasaan Raja Gowa pada masa itu dan betapa patuhnya rakyat Gowa kepada Rajanya. Setiap kata apalagi amanat Raja Gowa merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi serta ditaati dan dilaksanakan. Dengan ini jelas pulalah bahwa Sultan Hasanudin dapat menjadi Raja Gowa yang

ke XVI ialah terutama karena beliau adalah seorang anak Raja Gowa yang memang diamanatkan oleh ayahnya untuk mewarisi pemerintahan. Apalagi karena Sultan Muhamad Said terkenal sebagai seorang Raja Gowa yang sangat bijaksana dan luas pandangannya. Keputusan ini tentunya disetujui pula oleh Karaeng Pattingaloang, Mangkubumi kerajaan Gowa yang terkenal cendekia dan cakap mengendalikan pemerintahan. Keputusan ini tentunya hasil pertimbangan pula yang didasarkan atas sifat-sifat utama dan hasil karya atau reputasi Sultan Hasanudin yang sangat menonjol sebagai seorang calon pemimpin yang cakap.

2. Faktor kedua yang juga sangat penting dan mendukung mengapa Sultan Hasanudin yang bukan Anak Pattola dapat menaiki takhta kerajaan Gowa yang agung itu tanpa ada oposisi atau perlawanan, ialah karena sifat-sifat pribadi beliau yang sangat menonjol. Sultan Hasanudin terkenal sebagai seorang anak Raja yang cerdas, gagah-berani dan bijaksana. Sifat-sifat pribadi ini sangat menonjol yang menyebabkan Sultan Hasanudin melebihi orang-orang bangsawan Gowa yang lainnya. Beliau besar pengaruhnya di kalangan Raja-Raja bawahan kerajaan Gowa dan di kalangan pemuda-pemuda, teristimewa di kalangan pemuda-pemuda bangsawan Gowa. Faktor inilah yang menyebabkan mengapa Sultan Muhamad Said mengamanatkan agar supaya Sultan Hasanudin yang mewarisi pemerintah atas kerajaan Gowa yang sedang berada dalam puncak kejayaan dan kebesarannya.

Selain dari pada memiliki sifat-sifat pribadi yang menonjol sebagai seorang calon pemimpin, Sultan Hasanudin sudah pula mempunyai reputasi dan memperlihatkan kemampuan yang sangat mengagumkan. Sebelum dinobatkan sebagai Raja Gowa yang ke XVI, Sultan Hasanudin sudah memegang beberapa jabatan yang

penting. Jabatan-jabatan itu antara lain di dalam pemerintahan negara, di dalam bidang diplomasi dan di dalam soal-soal strategi peperangan dan di dalam soal pengamanan serta pertahanan negara.

1)  Beliau sudah pernah melaksanakan dengan baik tugas beliau sebagai utusan penghubung antara kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan yang takluk atau tunduk kepada kekuasaan kerajaan Gowa. Jadi beliau telah mempunyai pengalaman di dalam soal-soal yang dapat kita samakan dengan Urusan Dalam Negeri.

2)  Beliau juga pernah diserahi tugas sebagai utusan penghubung antara kerajaan Gowa dan kerajaan-kerajaan yang bersahabat dengan kerajaan Gowa. Jadi beliau telah mempunyai pengalaman di dalam bidang diplomasi dan di dalam soal-soal yang dapat kita samakan dengan Urusan Luar Negeri.

3)  Selain dari pada itu Sultan Hasanudin juga memangku suatu jabatan yang sangat penting artinya di dalam pemerintahan kerajaan Gowa yang selalu diliputi peperangan dan diancam oleh bahaya peperangan. Sebelum menjadi Raja Gowa yang ke XVI Sultan Hasanudin adalah Karaeng Tumakajannangang. Jadi beliau adalah seorang panglima perang yang mengurus dan memikirkan soal-soal strategi peperangan serta pertahanan. Beliau adalah komandan pasukan-pasukan khusus kerajaan Gowa. Sebagai Karaeng Tumakajannangang beliau memimpin dan diserahi tugas penggemblengan anak-anak karaeng dan anak-anak gallarang agar menjadi ksatria-ksatria Gowa yang gagah-berani. Tidak sembarang orang yang dapat menjadi Karaeng Tumakajannangang dan menjadi pemimpin prajurit-prajurit gemblengan kerajaan Gowa yang karena gagah beraninya oleh orang-orang Belanda sendiri dijuluki ”De haantjes van het Oosten” artinya ayam-ayam jantan atau jago-jago dari Benua Timur. Tentunya orang itu sendiri haruslah seorang ksatria yang tangkas dan gagah-berani, cakap serta berwatak prajurit gemblengan pula. Ia tentunya harus seorang yang tangkas

dan mahir mempergunakan senjata, cakap dan gagah-berani serta berwibawa.
Jadi sifat-sifat pribadinya yang menonjol dan hasil karya serta reputasinya yang gilang-gemilang juga dan terutama menyebabkan Sultan Hasanudin terpilih untuk menduduki takhta kerajaan Gowa. Karena faktor-faktor yang kami sebutkan di atas itulah maka Sultan Muhamad Said mengamanatkan agar supaya putera baginda yang bemama I. Mallombasi Muhamad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontamangape yang menggantikan baginda. Sultan Muhamad Said terkenal sebagai seorang Raja yang bijaksana. Keputusan baginda untuk mengamanatkan agar Sultan Hasanudin yang menggantikan baginda sebagai Raja Gowa tentunya atas pertimbangan yang sudah dipikirkan baginda masak-masak. Dan keputusan itu tidak ditentang, bahkan tentunya sudah disetujui dan mungkin malah didukung oleh Karaeng Pattingaloang yang terkenal pula sebagai seorang negarawan yang cakap dan cendekia.

Selain dari pada itu, kita juga tentunya sudah maklum, bahwa pada waktu itu kerajaan Gowa harus mempertahankan wilayahnya yang begitu luas dari ancaman perpecahan dan rongrongan dari luar. Rongrongan dari luar, terutama ancaman dari orang-orang Belanda (V.O.C.) yang menganggap kerajaan Gowa sebagai batu penghalang yang besar dan musuh yang berbahaya harus mendapat perhatian. Orang-orang Belanda (V.O.C.) selalu berusaha untuk meronrong dan menghancurkan kerajaan Gowa. Oleh karena itu maka kerajaan Gowa sangat membutuhkan seorang pemimpin yang berwatak, berwibawa, gagah-berani dan bijaksana. Dan sifat-sifat seperti itu terdapat di dalam diri Sultan Hasanudin putera sulung Sultan Muhamad Said. Oleh karena itu maka pemerintahan atas kerajaan Gowa diwariskan dan dipercayakan kepada Sultan Hasanudin. Di dalam bukunya ”Verwantschap, stand en sexe in Zuid Celebes” seorang ahli tentang Sulawesi-Selatan yang bernama Dr. H. Th. Chabot antara lain mengatakan bahwa: ”Orang-orang Makasar selalu mengharapkan dari seorang pemimpinnya agar ia memiliki sifat-sifat pribadi dalam potensi yang sebesar-besarnya.” Apa yang diharapkan oleh orang-orang Makasar seperti yang dikatakan oleh Dr. H. Th. Chabot itu sudah dipenuhi oleh Sultan Hasanudin.

3. Faktor ketiga yang juga menyebabkan Sultan Hasanudin dapat menduduki takhta kerajaan Gowa, ialah faktor keturunan. Bagaimanapun juga Sultan Hasanudin adalah anak laki-laki tertua Sultan Muhamad Said, Raja Gowa yang ke XV. Jadi Sultan Hasanudin masih keturunan langsung Tumanurunga ri Tammalate yang menurut adat kerajaan Gowa masih berhak untuk menjadi Raja Gowa. Memang Sultan Hasanudin bukan Anak Pattola, karena ibu beliau bukan golongan Anak Karaeng Ti'no, artinya ibu beliau tidak setingkat derajat kebangsawanannya dengan Sultan Muhamad Said. Seperti yang sudah kami uraikan di depan tadi, Anak Pattola yang ibu dan ayahnya termasuk golongan Anak Karaeng Ti'no adalah calon Raja yang paling memenuhi syarat. Dan Sultan Hasanudin memang bukan Anak Pattola.

Ada, bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Sultan Hasanudin adalah seorang anak cera'. Kami tidak setuju dengan pendapat ini. Untuk jelasnya kami persilakan saudara-saudara membaca sekali lagi dengan lebih teliti bab I sub bab "Tingkatan masyarakat Bugis-Makasar" yang telah kami uraikan di depan tadi.

Anak Cera' ialah anak Raja yang ayahnya dari golongan Anak Karaeng Ti'no (baik Anak Pattola maupun Anak Manrapi') atau Anak Sipuwe (baik Anak Sipuwe Manrapi' maupun Anak Sipuwe) tetapi ibunya dari golongan Ata (budak atau hamba-sahaya). Dengan keterangan ini jelaslah bahwa Sultan Hasanudin bukan Anak Cera'. Seperti yang telah kami uraikan di depan tadi, golongan Anak Karaeng itu ada enam tingkatannya, yakni:

  1. ANAK PATTOLA
  2. ANAK MANRAPI'
  3. ANAK SIPUWE MANRAPI'
  4. ANAK SIPUWE
  5. ANAK CERA'
  6. ANAK KARAENG SALA

Menurut hemat kami, Sultan Hasanudin memang bukan Anak Pattola, akan tetapi beliau bukan pula Anak Cera' (Anak
Karaeng tingkat lima). Kami berpendapat bahwa Sultan Hasanudin paling sedikit tergolong seorang Anak Sipuwe (Anak Karaeng tingkat empat). Bahkan mungkin sekali beliau tergolong Anak Sipuwe Manrapi' (Anak Karaeng tingkat tiga), sehingga sedikit banyak lebih memungkinkan beliau berhak untuk menduduki takhta kerajaan Gowa yang agung. Hal ini kami dasarkan atas hal-hal sebagai berikut:

Menurut buku Sejarah Gowa atau "Patturioloanga ri Tu Gowaya" ibu Sultan Hasanudin seorang yang berasal dari Lakiang, bertempat tinggal di Pattoppakang dan bemama I. Sabbe. Nama pamana'nya ialah I. Lo'mo' Takontu. Nama pamana' atau nama tambahan ini sama dengan nama atau areng paddaengang. Dengan demikian maka ibu Sultan Hasanudin terang bukan seorang budak. lbu Sultan Hasanudin adalah seorang wanita yang memakai dua nama atau di dalam bahasa Makasar dinamakan "Tau rua arenna" (= orang yang dua namanya). Nama diri atau areng rikale beliau ialah I. Sabbe sedang nama kedua atau nama pamana' beliau ialah I. Lo'mo' Takontu. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa ibu Sultan Hasanudin bukan seorang budak tetapi tergolong "tau rua arenna", yakni paling sedikit tergolong orang dari tingkat orang baik-baik (Tubaji). Dengan demikian maka Sultan Hasanudin bukan Anak Cera' (Anak Karaeng tingkat lima), tetapi paling sedikit Anak Sipuwe, bahkan mungkin sekali tergolong Anak Sipuwe Manrapi'. Pendapat kami ini diperkuat lagi oleh:

a.  Tulisan Abd, Razak Daeng Patunru di dalam buku beliau "Sejarah Gowa", diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara di Makassar halaman 36 yang menyebutkan bahwa Ibunda Sultan Hasanudin bernama I. Sabbe Lo'mo' Takontu bangsawan berasal dari Lakiang (sebuah kerajaan kecil di bahagian barat-daya Sulawesi-Selatan).

b.  Tulisan H.D. Mangemba yang berjudul "Sultan Hasanudin" (ajam djantan benua timur). Penerbit "Pustaka Budaja" Makassar tahun 1955 halaman 4 yang mencantumkan sebagai berikut: "Ibunda baginda (= Sultan Hasanudin, penulis) adalah turunan radja "palili'" sadja, artinya anak radja dari djadjahan keradjaan Gowa".

c.  Tulisan Sjariff Saleh "Pahlawan Sultan Hasanuddin" Penerbit Usaha Mahasiswa Indonesia Djl. Sawerigading No. 8




 Makasar. Dalam bab I halaman 15 ada dinyatakan: "Beliau dilahirkan pada tanggal 12 Djanuari 1631 di Gowa. Ayahnya bangsawan Gowa aseli. iang mendjadi Radja Gowa ke XV ja'ni Sultan Muhammad Said. Ibunja bangsawan Bone, asal daerah "Palili'" artinja bangsawan daerah jang tunduk dibawah Gowa".

Jadi ibu Sultan Hasanudin menurut tulisan-tulisan yang telah kami kutip dan cantumkan di atas (a, b, dan c), demikian pula di dalam "Patturioloanga ri Tu Gowaya", sudah pasti bukan dari golongan Ata atau budak. Dengan ini jelaslah bahwa Sultan Hasanudin bukan Anak Cera'. Bahkan menurut tulisan-tulisan yang kami kutip di atas, ibu Sultan Hasanudin anak "Raja lili' Gowa". Jadi ibu Sultan Hasanudin masih termasuk golongan bangsawan atau Anak Karaeng, sungguhpun bukan Anak Karaeng ri Gowa (Lihat bab I sub bab: Tingkatan masyarakat Bugis-Makasar).

Ayah Sultan Hasanudin sudah jelas Sultan Muhamad Said, Raja Gowa yang ke XV dan seorang Anak Pattola. Jadi ayah Sultan Hasanudin sudah jelas termasuk orang bangsawan "kelas wahid". lbunya seorang bangsawan dari kerajaan lili' Gowa. Dengan ini jelaslah bahwa Sultan Hasanudin bukan Anak Cera' (Anak Karaeng tingkat lima), karena ibu beliau bukan golongan Ata atau budak. Maka dengan ini jelaslah pula bahwa Sultan Hasanudin paling sedikit termasuk golongan Anak Sipuwe (Anak Karaeng tingkat empat), bahkan mungkin sekali termasuk golongan Anak Sipuwe Manrapi' (Anak Karaeng tingkat tiga). Hal ini juga penting untuk diperhatikan mengingat betapa keras orang-orang suku Makasar memegang adatnya. Kalau tidak, pasti ada oposisi atau perlawanan dari orang-orang yang berambisi dan pihak yang merasa dirinya lebih berhak untuk menjadi Raja Gowa, Raja yang paling besar kekuasaannya di Indonesia bagian timur pada jaman itu.

4. Faktor keempat yang juga menyebabkan Sultan Hasanudin dapat menaiki dan menduduki takhta kerajaan Gowa yang agung itu, ialah: Dari isteri-isteri baginda, Sultan Muhamad Said memperoleh enam orang anak, yakni empat orang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Untuk jelasnya baiklah kami tuliskan anak-anak Sultan Muhamad Said, yaitu:

  1. Seorang anak perempuan yang bernama I. Sani Fatimah Daeng Nisakking Karaeng Bontoje'ne;
  2. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Mallombasi Muhamad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape yang kemudian lebih terkenal dengan nama Sultan Hasanudin. Kedua orang anak tersebut di atas itu diperoleh Sultan Muhamad Said dari isteri baginda yang bernama I. Sabbe Lo'mo' Takontu. Kedua orang anak baginda ini lahir sebelum Sultan Muhamad Said menjadi Raja Gowa yang ke XV. (Di dalam Patturioloang di dalam bahasa Makasar dikatakan: "SIKONTUMI ANNE ANA'NA RI TAMMA'GAU'NA" artinya: Hanya sekianlah anak baginda sebelum baginda mengendalikan pemerintahan. Setelah Sultan Muhamad Said menjadi Raja Gowa yang ke XV, baginda memperoleh lagi:
  3. Seorang anak perempuan yang bernama I. Rabia atau I. Sunggiminasa Daeng Nisanga Karaeng Sanggiringang. Anak perempuan ini diperoleh baginda dari isteri baginda yang bernama I. Bissu Kare Jannang;
  4. Seorang anak perempuan yang bernama Sitti Sapuru' atau I. Manninratu Daeng Niasseng Karaenga ri Bonto Mate'ne /Karaenga ri Laikang. Anak perempuan ini diperoleh baginda dari isteri baginda yang bernama I. Ralle Daeng Paika'
  5. Seorang anak perempuan yang bernama I. Asseng Lo'mo' Singara'. Anak perempuan ini diperoleh baginda dari hamba sahaya baginda yang bernama I. Tani';
  6. Seorang anak laki-laki yang bernama I. Atatojeng Saiful Muluk Kare Tulolo Karaeng Bonto Majannang. Anak laki-laki ini diperoleh baginda dari seorang dayang-dayang baginda yang bernama I. Tanriwalu.

Seperti yang kita sudah sama maklum, di kerajaan Luwu' dan di kerajaan Bone seorang wanita dapat saja menjadi Raja. Kerajaan Luwu' dan kerajaan Bone kerap diperintah oleh seorang Raja perempuan. Tidak demikian halnya di kerajaan Gowa. Satu-satunya Raja perempuan yang pernah memerintah kerajaan Gowa ialah Tumanurunga ri Tammalate (Raja Gowa yang pertama). Sesudah itu tidak pernah lagi kerajaan Gowa diperintah oleh seorang Ratu atau Raja perempuan. Rupanya tidak seperti halnya di Luwu dan di Bone, di Gowa seorang wanita tidak diperkenankan lagi untuk menduduki takhta kerajaan. Mungkin karena selalu harus berperang, maka kerajaan Gowa lebih membutuhkan seorang laki-laki sebagai Raja.

Di sini Sultan Muhamad Said hanya mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni:

1)  I. Mallombasi Muhamad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanudin. Khusus untuk keperluan uraian ini kita singkat saja dengan nama pribadinya yakni I. Mallombasi;

2)  I. Atatojeng Saifulmuluk Kare Tulolo Karaeng Bonto Majannang. Khusus untuk keperluan uraian ini kita singkat saja dengan nama pribadinya, yakni I. Atatojeng.

Sekarang marilah kita coba membanding-bandingkan, manakah di antara kedua orang anak laki-laki Sultan Muhamad Said ini yang lebih berhak dan lebih memenuhi syarat untuk menduduki takhta kerajaan Gowa yang sedang berada dalam puncak kejayaan dan kebesarannya. Kedua orang anak laki-laki Sultan Muhamad Said itu bukan Anak Pattola.

1)  I. Mallombasi. Ibunya seorang bangsawan dari Laikang yang bernama I. Sabbe Lo'mo' Takontu. I. Mallombasi lahir SEBELUM ayahnya menaiki takhta sebagai Raja Gowa yang ke XV.

2)  I. Atatojeng. lbunya seorang dayang-dayang yang bernama I. Tanriwalu. I. Atatojeng lahir SESUDAH ayahnya menjadi Raja Gowa yang ke XV.

Di sini dapat kita lihat dengan jelas, bahwa ibu kedua orang anak laki-laki Sultan Muhamad Said itu bukan orang dari golongan Anak Karaeng Ti'no. Jadi ibu kedua orang anak itu bukan orang yang sederajat atau sama tingkat kebangsawanannya dengan ayah mereka. Dengan demikian maka baik I. Mallombasi maupun I. Atatojeng bukan Anak Pattola.

I. Mallombasi lahir SEBELUM ayahnya menjadi Raja, sedang I. Atatojeng lahir SESUDAH ayahnya menjadi Raja. Di dalam hal ini I. Atatojeng mempunyai kelebihan terhadap I. Mallombasi.

Menurut adat memang ada perbedaan antara anak Raja yang lahir sebelum ayahnya menjadi Raja. Anak yang yang lahir SESUDAH ayahnya menjadi Raja dianggap lebih memenuhi syarat dan mempunyai kelebihan dibandingkan dengan anak Raja yang lahir SEBELUM ayahnya menjadi Raja.

Ibu I. Mallombasi anak bangsawan dari Laikang, sedan ibu I. Atatojeng hanya seorang dayang-dayang saja. Menurut susunan masyarakat Bugis-Makasar yang sudah kami uraikan tadi, I. Atatojeng termasuk golongan Anak Karaeng yang disebut Anak Cera' (Anak Karaeng tingkat lima), sedang I. Mallombasi paling sedikit termasuk Anak Sipuwe (Anak Karaeng tingkat empat), bahkan mungkin termasuk golongan Anak Sipuwe Manrapi' (Anak Karaeng tingkat III). Jadi di dalam hal ini I. Mallombasi mempunyia kelebihan terhadap adiknya lain ibu itu.

I. Mallombasi yang kemudian lebih dikenal sebagai Sultan Hasanudin lebih banyak mempunyai kelebihan dalam sifat-sifat pribadi dan lebih banyak memperlihatkan hasil karya yang gemilang sebagai seorang pemimpin dari pada adiknya seayah lain ibu yang bemama I. Atatojeng. Karena memiliki faktor-faktor yang sudah kami sebutkan tadi maka I. Mallombasi diamanatkan oleh Sultan Muhamad Said untuk mewarisi pemerintahan atas kerajaan Gowa, sedang I. Atatojeng tidak memperoleh amanat Raja itu.

5. Selain dari pada apa yang telah kami uraikan di atas tadi, ada lagi faktor yang cukup penting yang memberi dukungan kepada Sultan Hasanudin untuk menduduki takhta kerajaan Gowa tanpa ada oposisi dari orang-orang yang berambisi ataupun perlawanan dari pihak-pihak yang merasa dirinya lebih berhak. Faktor yang dimaksudkan itu ialah FAKTOR PERKAWINAN.

Bahwa perkawinan adalah soal yang sangat penting dan besar sekali artinya di dalam memperkuat atau meningkatkan kedudukan serta memperluas pengaruh seseorang di dalam masyarakat sudah diketahui orang. Hal ini sudah berlaku sejak jaman jaya-jayanya feodalisme pada masa yang lampau. Bahkan sampai sekarangpun, pada jaman demokrasi dan abad modern ini, perkawinan itu masih tetap dapat memperkuat atau meningkatkan kedudukan serta memperbesar pengaruh seseorang. Di dalam sejarah banyak sekali terbukti bahwa dengan jalan perkawinan seorang tokoh atau seorang Raja dapat memperkuat kedudukan


dan memperluas kekuasaannya serta memperbesar pengaruhnya. Kita ambil saja misalnya di dalam sejarah Eropa. Karel V atau biasa juga disebut Karel Agung dapat menjadi:

a.  Yang dipertuan di hampir semua daerah Negeri Belanda (heer van bijna alle Nederlandsche gewesten) pada tahun 1515;

b.  Raja Sepanyol pada tahun 1516;

c.  Kaisar Jerman pada tahun 1519, dan

d.  Pewaris tanah-tanah di Austria,

tidak lain karena kawin-mawin antara keluarga nenek-nenek beliau dengan orang-orang bangsawan penguasa atau Raja di negeri-negeri itu.

Napoleon Bonaparte yang terkenal di dalam Sejarah Eropa pada akhir abad ke XVIII dan awal abad ke XIX. Napoleon menceraikan isteri baginda yang bernama Josephine untuk kemudian kawin lagi dengan seorang puteri Kaisar Frans I dari Austria yang bernama Maria Louise. Perkawinan ini mempunyai maksud dan tujuan politik yang tertentu. Jadi perkawinan itu itu dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang tertentu.

Pun di Sulawesi-Selatan dan di Gowa perkawinan itu merupakan hal yang sangat penting sekali artinya. Perkawinan dapat memperkuat dan meningkatkan kedudukan serta memperbesar pengaruh atau kekuasaan seseorang di dalam masyarakat. Demikianlah halnya dengan Sultan Hasanudin.

Sebelum menjadi Raja Gowa yang ke XVI Sultan Hasanudin memperisterikan wanita yang memang menjadi tunangannya. Isteri pertama Sultan Hasanudin ini bemama I. Marni Daeng Sangnging. Beliau ini adalah anak perempuan Karaeng Pattingaloang Tumenanga ri Bontobiraeng. Jadi Sultan Hasanudin adalah seorang anak menantu Karaeng Pattingaloang. Oleh karena itu di depan tadi kami mengatakan bahwa amanat Sultan Muhamad Said untuk mewariskan pemerintahan kerajaan Gowa kepada Sultan Hasanudin tentunya diketahui dan disetujui, bahkan mungkin didukung oleh Karaeng Pattingaloang. Seperti yang kita sudah maklum, Karaeng Pattingaloang atau lengkapnya I. Mangngadacinna Daeng I. Ba'le' Karaeng Pattingaloang Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng adalah Raja Tallo yang ke VIII dan merangkap menjadi Pabbicara Butta atau Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau termashur karena pengetahuan beliau yang luas dan perhatian beliau yang besar sekali terhadap ilmu pengetahuan. Beliau mengerti dan mahir mempergunakan beberapa bahasa asing. Karaeng Pattingaloang inilah yang oleh penyair bangsa Belanda Joost van den Vondel dipuji-puji karena perhatiannya yang begitu besar terhadap ilmu pengetahuan. Karaeng Pattingaloang adalah Raja Tallo yang ke VI dan Mangkubumi kerajaan Gowa yang terkenal pula sebagai seorang yang gagah-berani dan besar sekali pengaruhnya.

Bagaimanapun juga, karena perkawinannya dengan anak seorang pembesar yang termashur dan besar sekali pengaruhnya, dengan sendirinya kedudukan Sultan Hasanudin bertambah kuat. Istri pertama Sultan Hasanudin yang bemama I. Marni Daeng sangnging ini melahirkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi sayang sekali calon Raja Gowa ini meninggal sewaktu ia masih kecil. Kemudian I. Marni Daeng Sangnging meninggal dunia. Setelah isterinya ini wafat, maka kemudian Sultan Hasanudin, yang sementara itu telah menduduki takhta kerajaan Gowa yang ke XVI, kawin lagi dengan seorang anak perempuan Karaeng Pattingaloang yang benama I. Bate Daeng Tommi Karaenga ri Pabbineang. Setelah diperisterikan oleh Sultan Hasanudin, maka anak Karaeng Pattingaloang ini sering juga disebut Karaenga Bainea yang artinya kira-kira Sri Ratu atau yang perempuan. Seperti kita ketahui di depan tadi, gelar ”Karaenga Bainea” atau Raja yang perempuan ini dipergunakan juga oleh isteri Karaeng Tunijallo Raja Gowa yang ke XII yang menjadi ibu dari:

1) Karaeng Tunipasulu′ (Raja Gowa yang ke XIII)

2) Sultan Alaudin (Raja Gowa yang ke XIV)
Tegasnya isteri Sultan Hasanudin ini termasuk seorang wanita yang berdarah bangsawan tinggi. Oleh karena itu beliau mendapat gelar Karaenga Bainea artinya Raja yang perempuan. Bukankah beliau memang anak Raja Tallo yang ke VIII yang merangkap menjadi Mangkubumi kerajaan Gowa? Dari Karaenga Bainea atau permaisuri baginda ini Sultan Hasanudin memperoleh dua orang anak laki-laki, yakni:

1) I. Mappasomba Amir Hamzah Daeng Nguraga

2) Ahmad Daeng Arenne yang meninggal pada usia sembilan tahun. Perlu kami singgung di sini sedikit bahwa I. Mappasomba adalah seorang Anak Pattola. Kelak, sebelum memperoleh gelar atau nama karaengnya I. Mappasomba inilah yang menggantikan Sultan Hasanudin sebagai Raja Gowa yang ke XVII.

Sekarang marilah kita kembali kepada Sultan Hasanudin dan faktor perkawinannya. Sungguhpun bukan Anak Pattola, namun di samping kelebihan-kelebihannya yang telah kami uraikan di depan tadi, perkawinan Sultan Hasanudin sampai dua kali dengan anak perempuan Karaeng Pattingaloang ini besar sekali pengaruhnya. Perkawinannya dengan anak perempuan Karaeng Pattingaloang itu memperkuat kedudukan Sultan Hasanudin sebagai Raja Gowa yang ke XVI, sehingga mungkin karena itu pula tidak ada oposisi atau perlawanan terhadap pengangkatan beliau sebagai Raja Gowa.

Dengan uraian ini jelaslah kiranya sebab-sebab yang memungkinkan Sultan Hasanudin dapat menaiki takhta kerajaan Gowa yang agung itu tanpa ada oposisi atau perlawanan, sungguhpun beliau bukan Anak Pattola. Jadi sungguhpun bukan Anak Pattola, namun Sultan Hasanudin dapat juga diterima dan disetujui oleh semua pihak untuk menduduki takhta kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa yang ke XVI. Memang harus diakui bahwa Sultan Hasanudin mempunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsawan-bangsawan atau pembesar-pembesar kerajaan Gowa pada zaman itu. Faktor-faktor yang telah kami uraikan tadi itulah yang melengkapi kekurangan-kekurangan baginda sebagai seorang yang bukan Anak Pattola. Jadi ibarat takaran yang tidak penuh akhirnya menjadi penuh, sehingga Sultan Hasanudin dapat menaiki takhta kerajaan Gowa yang agung itu tanpa ada oposisi dari orang-orang yang berambisi ataupun perlawanan dari pihak-pihak yang merasa dirinya lebih berhak

Bagi kita bangsa Indonesia yang hidup sekarang, Sultan Hasanudin adalah seorang PAHLAWAN NASIONAL. Gelar PAHLAWAN NASIONAL yang diberikan kepada beliau diteguhkan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 Nopember 1973 No. 087/TK/Tahun 1973. Jadi dari segi pandangan Nasional Indonesia, dengan tidak mengurangi penghargaan dan hormat kita kepada Raja-Raja Gowa yang lainnya maka Sultan Hasanudin jauh lebih tinggi tingkatnya dari Raja-Raja Gowa yang lainnya. Namun jangan heran jikalau Saudara pada suatu kesempatan yang baik dapat mengunjungi makam beliau di pemakaman Raja-Raja Gowa di Tammalate. Saudara akan melihat perbedaan yang menyolok antara makam beliau dengan misalnya makam Sultan Alaudin (kakeknya) atau makam Sultan Muhamad Said (ayahnya). Perbedaan itu nampak dengan jelas, yakni makam Sultan Alaudin dan makam Sultan Muhamad Said lebih tinggi dari pada makam Sultan Hasanudin. Apa Sebab? Karena Sultan Alaudin dan Sultan Muhamad Said naik takhta kerajaan Gowa sebagai Anak Pattola, sedang Sultan Hasanudin tidak. Jadi menurut adat kerajaan Gowa, Sultan Hasanudin lebih rendah tingkatannya baik dari Sultan Alaudin maupun dari Sultan Muhamad Said. lni adalah adat kerajaan Gowa dan janganlah hanya karena alasan tidak sesuai dengan rasa ”Nasional Indonesia” Saudara berusaha dan mencoba merombak hal ini misalnya membuat makam Sultan Hasanudin lebih tinggi, lebih megah, lebih bagus atau sebagainya dari makam Raja-Raja Gowa yang lainnya. Saudara bertindak tidak bijaksana bahkan berlaku sangat bodoh jikalau hanya dengan alasan ”karena beliau seorang Pahlawan Nasional” Saudara mau melanggar atau menginjak-injak adat Gowa dan mau merobah atau memperkosa kenyataan sejarah. Lagi pula perlu kami tegaskan di sini, bahwa hal ini dilindungi oleh Undang-Undang. Di dalam Undang-Undang itu disebutkan dengan tegas bahwa kita tidak boleh merobah bentuk atau merombak keaslian peninggalan-peninggalan bersejarah kita. Hal ini perlu kami singgung sekedar untuk menambah pengetahuan kita dan juga terutama untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan mudah-mudahan tidak akan terjadi. Jadi meskipun bukan Anak Pattola, namun Sultan Hasanudin dapat juga menaiki takhta kerajaan Gowa tanpa ada oposisi maupun perlawanan.

Ancaman dan ronrongan, terutama dari pihak orang-orang Belanda (V.O.C.) yang makin merajalela di Indonesia bagian timur yang memaksa rakyat dan kerajaan Gowa untuk memilih seorang pemimpin yang kuat, berwatak dan berwibawa. Orang-oraang Belanda memang selalu berusaha untuk menyingkirkan dan menghancurkan kerajaan Gowa, karena Belanda (V.O.C.) menganggap kerajaan Gowa musuh yang sangat berbahaya dan penghalang yang besar bagi V.O.C. untuk melaksanakan monopoli

perdagangannya, terutama di Indonesia bagian timur.
Ancaman dan bahaya dari luar inilah yang memaksa dan mendesak rakyat Gowa untuk memilih seorang anak Raja Gowa yang berwatak gemblengan, berwibawa dan memiliki kecakapan untuk memimpin kerajaan Gowa menghadapi tantangan jaman itu. Dan rakyat Gowa menemukan sifat-sfat seperti itu di dalam diri anak laki-laki Sultan Muhamad Said yang bernama I. Mallombasi Muhamad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape. Maka diangkatlah beliau ini sebagai Raja Gowa yang ke XVI dengan gelar Sultan Hasanudin.
Jadi karena memenuhi panggilan itulah maka Sultan Hasanudin oleh sejarah diharuskan tampil ke depan untuk menerima tantangan dari penjajahan Belanda (V.O.C.) yang sedang menanjak naik menuju ke puncak kejayaannya. Dan sebagai ayam jantan Benua Timur Sultan Hasanudin terjun ke medan laga memimpin rakyat Gowa yang gagah-berani menentang orang-orang Belanda (V.O.C.) yang hendak menjajah negerinya.
Kalau Sultan Hasanudin, seperti yang terbukti di dalam sejarah, tokh kalah maka hal itu bukanlah karena sifat-sifat dan kelebihan-kelebihan beliau yang kami tonjolkan tadi terlalu dilebih-lebihkan dan dibesar-besarkan.
Tidak dapat disangkal bahwa Sultan Hasanudin dan pahlawan-pahlawan Gowa yang dipimpinnya telah bertempur dengan gagah-berani dan membela setiap jengkal bumi tanah Gowa dengan tetesan darah dan nyawa mereka. Namun nyatanya mereka kalah. APA SEBAB??? Tidak lain karena rupanya roda sejarah penjajahan Belanda sedang menggelinding dengan hebatnya dan menggilas hancur tanah air kita Indonesia. Roda penjajahan yang menggelinding dengan hebatnya itu tidak dapat dan tidak mungkin ditahan atau dibendung dengan kekuatan apapun juga. Sultan Hasanudin dan pahlawan-pahlawan Gowa yang dipimpinnya tergilas hancur oleh roda penjajahan yang sedang menggelinding dengan hebatnya itu. Nasib yang serupa itu dialami pula oleh pahlawan-pahlawan kita yang gagah-berani seperti Teuku Umar dan Tengku Cik di Tiro di Aceh, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, Pangeran Diponegoro di Jawa, Pangeran Antasari di Kalimantan, Pattimura di Maluku dan lain-lainnya. Beliau-beliau itu semuanya pahlawan-pahlawan yang gagah-berani. Akan tetapi seperti yang kami sudah katakan tadi, roda penjajahan Belanda di Indonesia
sedang menggelinding dengan hebatnya dan tidak dapat ditahan oleh kekuatan apapun juga. Pada waktu itu bangsa Indonesia belum bersatu-padu seperti sekarang ini. Seandainya pada waktu itu kita bangsa Indonesia sudah terikat di dalam suatu persatuan dan kesatuan bangsa seperti sekarang ini, niscaya gelindingan hebat roda sejarah penjajahan itu dapat juga kita hancurkan. Jadi pada waktu itu kita kalah, karena kita belum bersatu sebagai bangsa. Persatu-paduan seluruh rakyat Indonesia seperti yang kita buktikan pada masa-masa 17 Agustus 1945 itulah yang dapat menghancurkan kekuatan penjajahan yang dahsyat. Rakyat Indonesia berhasil mengenyahkan penjajahan dari bumi tanah-airnya yang suci ini karena persatuan. BERSATU KITA TEGUH BERCERAI KITA JATUH. Itulah yang harus kita camkan betul-betul dan menjadi pelajaran yang tidak boleh kita lupakan yang diberikan oleh Sejarah Perlawanan Pahlawan-Pahlawan kita di masa lampau kepada Generasi Muda Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah-airnya.