Sultan Hasanudin Menentang VOC/Bab 4

Demikianlah berita kemenangan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya dan tercapainya Perjanjian Bungaya yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 18 Nopember 1667, diterima dengan sangat gembira oleh orang-orang Belanda di Batavia. Perjanjian Bungaya dan kemenangan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) serta sekutu-sekutunya hendak dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda (V.O.C.) untuk mempengaruhi dan "menakut-nakuti" Raja-Raja yang belum mengakui kekuasaan Belanda (V.O.C.). Demikianlah Residen Belanda (V.O.C.) di Banten oleh pimpinan V.O.C. di Batavia diperintahkan agar memberikan atau membacakan teks dalam bahasa Melayu dari Perjanjian Bungaya kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Maksudnya tentu saja dan tidak lain untuk "menggertak" dan agar Sultan Banten memperoleh kesan betapa dahsyatnya kekuatan serta kemampuan Belanda (V.O.C.). Mereka dapat menghancurkan dan menaklukkan kerajaan Gowa yang terkenal sebagai kerajaan yang terkuat dan terjaya di Indonesia bagian timur.

Jadi kemenangan yang dicapainya dengan membonceng pada Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya itu hendak dipergunakan oleh Belanda untuk menakut-nakuti Sultan Banten agar supaya baginda jangan berani sembarangan dan main-main terhadap kekuatan Belanda (V.O.C) yang sangat dahsyat. Itulah kelebihan dan kelihaian Belanda. Mereka selalu berusaha mempergunakan setiap kesempatan yang bagaimanapun kecilnya untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Jadi orang-orang Belanda di Batavia sangat gembira dengan tercapainya Perjanjian Bungaya itu. Betapa tidak! Perjanjian Bungaya yang sangat menguntungkan pihak Belanda (V.O.C.) itu sungguh di luar dugaan mereka. Lain halnya dengan orang-orang Belanda di Sulawesi Selatan dan terutama Speelman sendiri. Sungguhpun sudah dapat mencapai perjanjian yang sangat menguntungkan Belanda (V.O.C.) namun karena perjanjian itu sangat merugikan orang-orang Gowa, maka Speelman merasa tidak segembira orang-orang dan pembesar-pembesar Belanda di Batavia. Banyak hal-hal yang menyebabkan mengapa orang-orang Belanda di Sulawesi Selatan, terutama Speelman sendiri tidak segembira orang-orang Belanda di Batavia yang berada jauh dari medan pertempuran.

Pada waktu Sultan Hasanudin menanda-tangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 Nopember 1667, ada dua orang bangsawan dan pemimpin Gowa yang penting tidak turut menanda-tangani Perjanjian Bungaya itu. Kedua orang ini ialah Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese, dua orang tokoh yang besar sekali pengaruhnya serta memegang peranan yang amat penting di dalam pertempuran-pertempuran yang telah kami uraikan di depan tadi. Speelman sangat menghendaki dan berusaha keras agar kedua orang tokoh dan pemimpin pasukan yang terkenal gagah-berani ini turut pula menanda-tangani Perjanjian Bungaya. Setelah berusaha dengan keras akhirnya tercapai jugalah keinginan Speelman itu. Pada tanggal 9 Maret 1668 Karaeng Tallo dan pada tanggal 31 Maret 1668 Karaeng Lengkese menanda-tangani pula perjanjian Bungaya.

Tadi sudah dikatakan bahwa sesaat sebelum Perjanjian Bungaya ditanda-tangani, pasukan-pasukan Belanda sangat menyedihkan keadaannya. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) banyak yang jatuh sakit dan mati. Sungguhpun sudah tercapai sebuah perjanjian dan mereka sudah ingin sekali dipulangkan ke Batavia, namun Speelman belum berani mengidzinkan mereka pulang. Karena keinginan mereka untuk pulang dan selekas mungkin meninggalkan medan perang yang bagaikan neraka itu tidak dikabulkan, maka mereka tidaklah begitu gembira. Mengapa Speelman tidak begitu gembira dan tidak berani memenuhi keinginan anak-buahnya yang sudah sangat gelisah itu? Rupanya Speelman memang sudah dapat memperhitungkan dan menduga bahwa perjanjian yang sangat merugikan dan merendahkan derajat kerajaan Gowa itu pasti tidak akan panjang usianya. Peperangan antara orang-orang Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa pasti akan pecah lagi. Speelman rupanya juga sudah tahu bahwa Sultan Hasanudin menanda-tangani Perjanjian Bungaya itu hanya karena terpaksa saja. Sungguhpun di dalam dada Sultan Hasanudin tetap berkobar sernangat perlawanan menentang penjajahan Belanda (V.O.C.) dan sungguhpun Sultan Hasanudin sebagai bekas pemimpin pasukan-pasukan gemblengan kerajaan Gowa, yakni bekas Karaeng Tumakkajannangang yang gagah-berani sebenarnya ingin meneruskan peperangan dan bertempur sebagai perajurit gemblengan, namun sebagai seorang Raja dan sebagai seorang pemimpin yang bertanggung-jawab dan harus menempatkan kepentingan rakyat di atas keinginan pribadinya, beliau terpaksa juga menanda-tangani perjanjian yang beliau tahu betul sangat merugikan kerajaan Gowa. Ditambah lagi kegiatan Karaeng Karunrung yang memang terkenal tidak senang bahkan sangat benci kepada orang-orang Belanda (V.O.C.), setelah melihat dan merasakan bahwa Perjanjian Bungaya terlalu berat dan sangat merugikan kerajaan Gowa, berusaha mengobarkan kembali api perlawanan terhadap orang-orang Belanda (V.O.C.). Ini semualah yang menyebabkan mengapa orang-orang Belanda di Sulawesi Selatan termasuk Speelman tidak segembira orang-orang Belanda di Batavia dan mengapa Laksamana Speelman tidak mengabulkan keinginan anak-buahnya untuk selekas mungkin meninggalkan medan peperangan dan pulang ke Batavia.

Oleh karena itu pula maka kepada para pembesarnya di Batavia Speelnan menganjurkan dan menyarankan agar supaya pasukan-pasukan Aru Palaka dilengkapi dengan senjata-senjata api dan diberi mesiu. Dengan demikian maka pasukan-pasukan kerajaan Gowa mendapat tandingan dan lawan yang kuat seandainya mereka mau menyerang orang-orang Belanda (V.O.C.). Selanjutnya Speelman menyarankan pula agar supaya Aru Palaka segera diakui oleh V.O.C. sebagai Raja Bone. Dengan demikian Belanda (V.O.C.) memperoleh sekutu yang dapat diandalkan kekuatannya di dalam menghadapi kerajaan Gowa. Rupanya Speelman dan orang-orang Belanda (V.O.C.) masih menganggap Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin sebagai lawan yang sangat berbahaya.

Karena khawatir akan serangan yang mendadak dari kerajaan Gowa, maka Speelman minta dan mengharapkan dengan sangat agar Aru Palaka bertempat tinggal tidak terlalu jauh dari Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam. Oleh Speelman benteng ini dijadikan tempat tinggal dan benteng pertahanan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.). Maksudnya agar supaya jikalau ada serangan mendadak dari kerajaan Gowa maka orang-orang Belanda (V.O.C.) segera dapat mengharapkan balabantuan dari sekutu-sekutunya, terutama orang-orang Bugis di bawah pimpinan Aru Palaka. Memang Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya belum merasa puas. Mereka tetap merasa dirinya terancam selama kerajaan Gowa belum dihancurkan dan dikalahkan secara mutlak. Kerajaan Gowa yang belum dihancurkan sewaktu-waktu masih dapat menyerang dan mengancam baik orang-orang Bugis maupun dan terlebih-lebih orang-orang Belanda (V.O.C.) yang tidak seberapa jumlahnya.

ltulah sebabnya, maka sungguhpun sudah dinobatkan menjadi Raja Bone, namun Aru Palaka tidak bersemayam di Watampone. Beliau bertempat tinggal di Bontoala, sebuah kampung yang tidak begitu jauh letaknya dari Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam yang menjadi tempat kediaman Laksamana Speelman dan pasukan-pasukan Belanda. Bahkan sampai wafatnya Aru Palaka tetap tinggal di kampung Bontoala, sehingga beliau memperoleh gelar atau nama anumerta Matinrowe ri Bontoala, artinya yang tidur atau wafat di Bontoala.

Selanjutnya, untuk mengurung kerajaan Gowa dari arah selatan, maka Speelman menyarankan agar Banteng dan daerah-daerah di sekitarnya yang terkenal sebagai gudang bahan pangan bagi kerajaan Gowa diserahkan kepada Aru Palaka. Tegasnya, Speelman betul-betul masih sangat menguatirkan adanya serangan dari kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Pemimpin pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) itu sangat gelisah terlebih-lebih setelah melihat kenyataan bahwa para bangsawan dan para pembesar kerajaan Gowa acuh tak acuh terhadap pembayaran biaya perang dan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Perjanjian Bungaya. Perlawanan terhadap Belanda (V.O.C.) dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang sudah sejak awal terkenal sangat benci kepada orang-orang Belanda (V.O.C.). Beliau sering mendesak agar Sultan Hasanudin meneruskan peperangan dan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan.

Hubungan antara orang-orang Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa mulai memburuk dan tegang lagi. Speelman menuduh para pembesar dan para bangsawan Gowa, terutama Karaeng Karunrung sebagai orang-orang yang curang dan tidak dapat dipercaya. Sebaliknya para bangsawan dan para pembesar kerajaan Gowa, terutama Karaeng Karunrung menuduh Speelman dan orang-orang Belanda selalu berlaku tidak jujur, terlalu serakah dan suka memeras. Orang-orang Belanda mau bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan Gowa. Semuanya ini menambah meruncingnya hubungan antara orang-orang Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Oleh karena itu maka Laksamana Speelman dengan dibantu oleh Dewannya menganjurkan agar pasukan-pasukan sekutu-sekutunya jangan dibubarkan dahulu. Speelman berusaha pula menahan seluruh armada Belanda (V.O.C) agar tetap berada di perairan Gowa sampai kurang lebih delapan bulan lamanya.

Demikianlah ketegangan itu berlangsung terus. Akhinya pada tanggal 12 April 1668 pecahlah untuk kesekian kalinya peperangan antara kerajaan Gowa dan Belanda. Jadi tidaklah benar jikalau Perjanjian Bungaya yang ditanda-tangani pada tanggal 18 Nopember 1667 mengakhiri peperangan antara V.O.C. dan kerajaan Gowa. Jadi tidaklah benar jikalau kerajaan Gowa dihancurkan dan ditundukkan oleh Speelman atau V.O.C. pada tanggal 18 Nopember 1667. Jadi tidaklah benar jikalau peperangan antara V.O.C. yang dipimpin oleh Speelman dan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin berakhir pada tanggal 18 Nopember 1667, karena pada tanggal 12 April 1668 peperangan antara Gowa dan V.O.C. pecah lagi. Bahkan peperangan yang pecah sesudah Perjanjian Bungaya ditanda-tangani itu lebih seru dan lebih dahsyat lagi. Peperangan inilah yang dalam bab ini akan kami uraikan dengan judul "PERTEMPURAN SERU MEMPEREBUTKAN BENTENG SOMBAOPU".

Jadi pada tanggal 12 April 1668 peperangan dimulai lagi. Pada hari itu beberapa orang karaeng atau pemimpin pasukan-pasukan kerajaan Gowa keluar dari Benteng Sombaopu. Mereka menyusun serta menempatkan dalam keadaan siap tempur pasukan-pasukannya di medan terbuka antara ibukota kerajaan Gowa itu dan Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang yang diduduki dan ditempati oleh pasukan-pasukan Belanda. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa memancangkan panji-panji perangnya, sehingga dapat dilihat dengan jelas oleh pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dari Benteng Ujung Pandang atau Fort Rotterdam. Hal ini adalah pertanda dimulainya lagi peperangan antara orang-orang Belanda (V.O.C.) dan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Serangan pertama yang dilancarkan oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa dari Benteng Sombaopu terhadap pertahanan orang-orang Belanda cukup dahsyat, sehingga di kedua belah pihak jatuh korban yang tidak sedikit jumlahnya. Di pihak orang-orang Belanda sendiri turut tewas antara lain seorang kapitein-luitenant yang bernama David Steiger. Bahkan Aru Palaka sendiri yang segera datang membantu orang-orang Belanda terluka di dalam pertempuran ini.

Belanda mulai sangat gelisah. Di dalam laporan yang dikirimkannya kepada pimpinan V.O.C. di Batavia oleh Speelman dinyatakan antara lain bahwa pasukan-pasukan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin mempergunakan peluru-peluru yang beracun. Luka-luka yang ringan sekalipun sering amat sukar dan lama sekali baru sembuh. Bahkan Speelman sendiri yang oleh orang-orang Belanda disanjung dan dipuja-puja sebagai seorang pemimpin perang yang gagah-berani, di dalam laporannya itu menyatakan kecemasan dan kejengkelan hatinya antara lain sebagai berikut: "Die schelmen meestal vergifte cogels gebruycken, zoo dat zelfs schamschoten gevaarlijk worden en de wonden niet geneezen" artinya kurang lebih: "Bajingan-bajingan itu kebanyakan mempergunakan peluru-peluru yang berbisa, sehingga luka-luka tembakan srempetan sekalipun sangat berbahaya dan tidak dapat sembuh".

Begitu peperangan antara kerajaan Gowa dan Belanda (V.O.C.) yang dibantu oleh sekutu-sekutunya mulai, begitu Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese yang baru saja dalam bulan Maret 1668 turut menanda-tangani Perjanjian Bungaya memihak kembali kepada kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin. Beliau-beliau itu segera turut aktif memimpin pasukan-pasukan Gowa dalam pertempuran-pertempuran yang segera berkobar. Dalam bulan April tahun 1668 itu juga orang-orang Gowa menyerang dua buah sekoci Belanda dan menewaskan delapan orang pasukan Belanda (V.O.C.). Serangan-serangan dilakukan secara beruntun oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa, sedang pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) hanya dapat bertahan saja di kubu-kubu pertahanan mereka. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) belum berani mengadakan serangan balasan. Hampir setiap hari terjadi tembak-menembak antara kedua pihak yang bermusuhan itu.

Dimulainya lagi peperangan itu menimbulkan kegelisahan di kalangan orang-orang Belanda yang keadaan kesehatannya sangat menyedihkan. Mula-mula mereka sudah merasa senang sekali dan dapat bernafas lega, karena pertempuran-pertempuran berdarah yang mengerikan sudah dapat dihentikan dengan tercapainya Perjanjian Bungaya. Mereka sudah ingin sekali lekaslekas pulang dan segera meninggalkan medan pertempuran yang sangat menyiksa hidup mereka. Perasaan senang dan lega itu belum seberapa lama dinikmati oleh mereka. Kini pertempuran-pertempuran yang sangat mengerikan sudah dimulai lagi. Hal ini menambah buruknya keadaan kesehatan orang-orang Belanda yang memang belum pulih itu. Setiap hari ada saja orang-orang Belanda yang mati terutama karena sakit. Bahkan adakalanya sampai tujuh atau delapan orang yang terpaksa harus dikuburkan dalam satu hari. Speelman sendiri jatuh sakit, sehingga beliau harus istirahat dan meninggalkan Ujung Pandang untuk sementara waktu. Speelman terpaksa harus istirahat sebulan lamanya. Selama itu pimpinan diserahkan untuk sementara waktu kepada Danckert van der Straten.

Setelah kurang lebih sebulan lamanya istirahat, barulah Speelman kembali lagi memegang pimpinan. Namun keadaan kesehatan orang-orang Belanda masih sangat menyedihkan. Lima orang dokter bedah (opperchirurgijns) yang meninggal dunia. Dari 40 (empat puluh) orang pasukan bantuan yang datang dari Batavia dua bulan yang lalu hanya delapan orang yang dapat berdiri. Yang lainnya sakit dan bahkan lima orang mati. Di dalam satu bulan, yakni bulan Maret yang lalu ada 139 (seratus tiga puluh sembilan) orang yang mati karena sakit di daratan, sedang di kapal-kapal "hanya" ada 52 (lima puluh dua) orang yang menemui ajalnya.

Tegasnya, keadaan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) sungguh sangat menyedihkan. Sayang sekali hal ini kurang diketahui dan kurang diselidiki untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa dengan mengadakan psywar atau perang urat syaraf yang seharusnya dibarengi dengan mengadakan tekanan-tekanan berupa serangan-serangan serta gempuran-gempuran yang bertubi-tubi. Andaikata kerajaan Gowa mempunyai dan mempergunakan pasukan intel yang baik serta dapat mengadakan psy-war atau perang urat syaraf yang tepat, maka kerajaan Gowa dapat menekan orang-orang Belanda (V.O.C.) yang sangat gawat keadaannya. Inilah kekurangan besar yang tidak begitu diperhatikan oleh orang-orang Indonesia pada masa

lampau. Mudah-mudahan hal ini merupakan pula suatu pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita bangsa Indonesia.

Keadaan seperti yang kami gambarkan di atas itulah yang sangat menekan perasaan serta mengelisahkan orang-orang Belanda yang ada di Sulawesi Selatan dan terutama Speelman sendiri. Begitu besar kegelisahan orang-orang Belanda itu, sehingga ketika pimpinan V.O.C. di Batavia mengirimkan Nyonya Speelman dan anaknya dengan kapal "Meliskercke" ke Ujung Pandang dengan maksud untuk menghibur dan memberikan suatu "surprise" kepada Laksamana Speelman, hal ini tidaklah dapat menghilangkan kegelisahan Speelman dan orang-orang Belanda yang dipimpinnya. Oleh karena itu maka Speelman mendesak terus kepada pimpinan V.O.C. di Batavia untuk segera memberikan bantuan berupa pasukan-pasukan yang segar, mesiu dan senjata. Mereka harus dapat menguasai keadaan yang sudah sangat gawat itu, kalau mereka yang di Batavia tidak mau merusak atau kehilangan segala apa yang telah dicapai dengan susah-payah itu. Pun ke kepulauan Maluku dan kepada sekutu-sekutunya Speelman mendesak agar segera mengirimkan balabantuan. Untung ada Aru Palaka yang besar sekali pengaruhnya di kalangan orang-orang Bugis. Kalau tidak, maka makin gawatlah keadaan Speelman dan orang-orang Belanda yang dipimpinnya.

Hampir setiap hari terjadi tembak-menembak dan pertempuran-pertempuran kecil antara pasukan-pasukan kerajaan Gowa dan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) yang dibantu oleh sekutu-sekutunya. Pada tanggal 5 Agustus 1668 tiba-tiba sebuah pasukan kerajaan Gowa yang besar jumlahnya keluar dari Benteng Sombaopu dan muncul di medan pertempuran. Mereka maju dan menyerang pasukan-pasukan Belanda serta sekutu-sekutunya. Pertempuran sengitpun terjadilah. Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya menyongsong dan menyerang pasukan-pasukan Gowa dengan hebatnya. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa melakukan suatu siasat dengan bergerak mundur untuk memancing pasukan-pasukan musuhnya. Pasukan-pasukan Aru Palaka mengejar pasukan-pasukan Gowa yang bergerak mundur itu. Ketika pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka berada jauh dari Benteng pertahanan mereka, tiba-tiba muncullah dari kiri dan kanan pasukan-pasukan Gowa yang bersembunyi. Lalu mereka mengepung Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya. Aru Palaka terkepung dan nyaris saja tertangkap atau terbunuh seandainya pada saat itu tidak ada mendampinginya seorang tangan kanannya yang setia yang bernama La Suni Karaeng Massepe Addatuang Sidenreng. Melihat Aru Palaka dan pasukan-pasukan Bugisnya terkepung dan dapat dihancurkan jikalau tidak lekas-lekas ditolong, maka dengan segera datanglah balabantuan dari pasukan-pasukan Ternate dan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dengan persenjataannya yang unggul.

Pada malam hari tanggal 8 menjelang 9 Agustus 1668 Speelman memerintahkan kapal-kapal Belanda untuk menyerang dan menembaki Benteng Sombaopu. Orang-orang Gowa berhasil meledakkan kapal Belanda dan "Purmerlant" dan menewaskan pemimpin kapal itu beserta tujuh belas orang anak buahnya. Pada hari berikutnya terjadi lagi pertempuran-pertempuran kecil. Pada tanggal 12 Agustus 1668 pasukan-pasukan Gowa mengadakan lagi serangan yang besar atas pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Pertempuran sengit terjadi lagi dan di kedua belah pihak jatuh korban. Berkat keunggulan persenjataannya dan berkat bantuan pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin oleh Aru Palaka pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya berhasil memukul mundur pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang menyerang itu dengan kerugian yang cukup besar. Pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya berhasil merampas 27 (dua puluh tujuh) pucuk meriam. Pasukan-pasukan Bugis berhasil membawa pulang 65 (enam puluh lima) kepala orang-orang Gowa yang dipenggalnya di medan pertempuran.

Keadaan pasukan-pasukan Belanda makin menyedihkan. Pada bulan September 1668 Belanda terpaksa mengirimkan 108 (seratus delapan) orang yang sakit keras ke Batavia (pulau Jawa). Dalam bulan itu juga ada kurang lebih 100 (seratus) orang yang mati karena sakit. Hampir semua perwira Belanda jatuh sakit. Speelman sendiri menderita sakit perut. Danckert van der Straten orang kedua sesudah Speelman terkena penyakit beri-beri dan kemudian meninggal dunia karena menderita penyakit beri-beri. Juga Kapten Du Pont menderita penyakit beri-beri. Seorang perwira Belanda yang benama Kapten de Bitter kena peluru di kakinya sehingga harus dirawat.

Dari sekian banyaknya pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) yang bersama-sama Speelman berangkat dari Batavia pada tanggal 24 Nopember 1667 boleh dikatakan tidak ada lagi yang turut bertempur pada saat-saat pertempuran yang terakhir ini. Dengan


250
Pertempuran Sombaopu
(dari "Cornelis Janszoon Speelman" oleh Dr. F.W. Stapel)
ini dapatlah kita memperoleh gambaran betapa hebatnya dan betapa gigihnya orang-orang Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin memberi perlawanan terhadap serangan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya. Setiap jengkal tanah Gowa dibayar dengan mahal sekali oleh V.O.C. dan sekutu-sekutunya. Pertempuran melawan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin adalah pertempuran yang paling seru dan yang paling berat yang pernah dialami atau dilakukan oleh V.O.C. di tanah air kita.

Kemudian balabantuan Belanda (V.O.C.) mengalir terus. Dalam bulan Agustus 1668 datang balabantuan dari Batavia sejumlah 50 (lima puluh) orang. Semuanya dalam keadaan segar-bugar. Kemudian dalam bulan Oktober 1668 datang lagi kurang lebih 375 (tiga ratus tujuh puluh lima) orang. Juga pasukan-pasukan bantuan dari Maluku dan dari sekutu-sekutunya mulai mengalir. Sebelum itu Speelman dan sekutu-sekutunya belum dapat berbuat apa-apa selain dari pada bertahan. Setelah mendapat bala-bantuan yang cukup dan merasa dirinya kuat, barulah pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mulai melancarkan serangan-serangan yang teratur. Setiap malam mereka menggali parit dan lubang-lubang perlindungan.

Pada tanggal 12 Oktober 1668 pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mengadakan serangan. Mereka berhasil merebut sebuah kubu pertahanan orang-orang Gowa. Mereka berhasil pula merebut sebuah meriam yang besar yang berukuran 18 pound. Namun kemenangan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya tidaklah tanpa pengorbanan. Di pihak Belanda sendiri tewas 7 (tujuh) orang. Di antaranya ada dua orang perwira. Ada 70 ( tujuh puluh) orang Iuka-Iuka berat.

Sesungguhnya Belanda (V.O.C.) ingin menyerang terus, akan tetapi mereka belum sanggup, karena pasukan-pasukan mereka hanya berkekuatan 557 (lima ratus lima puluh tujuh) orang. Di antara sekian orang itu ada 265 (dua ratus enam puluh lima) yang sakit dan harus dirawat. Jadi yang dapat dipergunakan tinggal hanya separuhnya saja, yakni 292 (dua ratus sembilan puluh dua) orang. Dengan kekuatan yang sekian banyaknya itu dan sebelum ada balabantuan yang cukup, baik dari Batavia, dari Maluku maupun dari negeri-negeri sekutunya yang lain, Belanda (V.O.C.) belum berani mengadakan serangan umum yang langsung terhadap Benteng Sombaopu yang terkenal sangat tangguh itu. Apalagi karena pertahanan Benteng Sombaopu dipimpin langsung oleh Sultan Hasanudin. Sementara itu Speelman berusaha melepaskan mata-matanya untuk mengetahui lebih jelas keadaan kerajaan Gowa yang sebenarnya. Dari orang-orang yang menyeberang ke pihak Belanda dan sekutu-sekutunya, Speelman dapat mengetahui bahwa pun di pihak kerajaan Gowa tidaklah begitu baik keadaannya. Dari keterangan-keterangan yang dapat dikoreknya dari orang-orang yang menyeberang itu Belanda dapat mengetahui pula, bahwa di pihak pembesar-pembesar kerajaan Gowa ada kecenderungan untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi yang sangat keras menentang perundingan dan perdamaian dengan Belanda (V.O.C.) ialah Karaeng Karunrung. Beliau selalu menganjurkan agar supaya peperangan dilangsungkan terus sampai tetesan darah yang terakhir.

Oleh karena pimpinan V.O.C. di Batavia tetap menghendaki diadakannya perundingan perdamaian dengan Gowa, maka pada tanggal 14 Oktober 1668 pihak Belanda berusaha dan mengusulkan diadakannya perundingan. Karena tahu bahwa balabantuan yang dimintanya tidak dapat dipenuhi oleh pimpinan V.O.C. di Batavia yang sangat memerlukan pasukan-pasukan untuk menjaga kepentingan V.O.C. di Srilangka (Ceylon) dan Malabar di India, maka Speelman bersikap agak lunak. Akan tetapi karena Belanda (V.O.C.) hanya mau memaksakan keinginannya sendiri, maka usaha mengadakan perundingan tidak berhasil.

Jadi suatu taktik orang-orang Belanda yang perlu dan penting sekali kita camkan sebagai pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita bangsa Indonesia, ialah mempergunakan perundingan atau tindakan diplomatik untuk menekan lawannya seraya menanti balabantuan dan menyusun kekuatan militernya. Tindakan politik dan tindakan militernya dijalankan dalam suatu kombinasi yang sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya. Mereka selalu bertujuan melumpuhkan dan kemudian menghancurkan lawannya. lnilah keunggulan Belanda yang perlu kita perhatikan dan pelajari.

Kemudian Speelman mendesak lagi agar pimpinan V.O.C. di Batavia segera mengirimkan balabantuan yang cukup untuk dapat memberi pukulan terakhir kepada kerajaan Gowa dan menjamin suatu perdamaian yang mutlak terhadap kerajaan yang selalu merintangi usaha-usaha monopoli V.O.C. di Indonesia bagian timur. Bahkan di dalam suratnya itu Speelman menegaskan agar pimpinan V.O.C. lebih memperhatikan kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan sebagai suatu pusat kekuatan di wilayah timur dari pada Srilangka (Ceylon) ataupun Malabar. Seperti diketahui, sebelum dikenakan sekorsing jabatan Speelman adalah Gubernur Belanda di wilayah itu. Jadi Speelman tahu betul mana yang lebih penting bagi Belanda. Gowa di Sulawesi Selatan atau Srilangka/Malabar.

Seraya menanti datangnya balabantuan, Speelman bersikap pasif dan belum berani mengadakan serangan secara besar-besaran. Untuk melumpuhkan dan menjaga agar kerajaan Gowa tidak mendapat bantuan dari luar, maka Belanda (V.O.C.) dengan ketatnya memblokade pantai. Tidak ada sebuah perahu pun yang boleh keluar atau masuk Gowa. Dengan keunggulan persenjataan meriam kapal-kapalnya Belanda (V.O.C.) berhasil menguasai lautan dan mengadakan blokade yang ketat. Sementara itu disuruhnya pasukan-pasukan Bugis merampas padi, ternak dan tanaman-tanaman lainnya di daerah pedalaman Gowa. Dengan tindakan itu Belanda mengharapkan agar kerajaan Gowa mengalami kekurangan bahan pangan.

Jadi segala macam usaha dijalankan oleh Belanda (V.O.C.) menekan kerajaan Gowa. Dengan tekanan-tekanan itu Belanda (V.O.C.) pada awal Nopember 1668 mengambil lagi inisiatif untuk mengadakan perundingan. Usaha Belanda itu hampir saja berhasil. Akan tetapi pada tanggal 16 Nopember 1668 dengan tiba-tiba orang-orang Gowa memutuskan perundingan itu dan menyerang daerah Maros. Pasukan-pasukan kerajaan Gowa berhasil merebut dan menduduki daerah yang terkenal sebagai gudang beras ini. Karena takut kalau pasukan-pasukan Gowa mendapat supply bahan pangan dari daerah yang kaya dan subur ini, maka dengan sekuat tenaga pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berusaha merebut kembali daerah beras yang diduduki oleh pasukan-pasukan Gowa itu. Dengan susah-payah akhirnya pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil merebut kembali daerah itu.

Pada tanggal 25 Pebruari 1669 Belanda (V.O.C.) berusaha lagi antuk mengadakan perundingan. Akan tetapi usaha inipun gagal lagi karena dasar dan tujuan Belanda untuk mengadakan perundingan tidak jujur. Memang demikian selalu sifat kaum penjajah. Kalau mereka masih belum cukup kuat, mereka selalu berusaha dan ingin mengadakan perundingan dengan lawannya. Akan tetapi setelah merasa dirinya kuat, mereka lalu bersikap kasar dan sering bertindak keras, bahkan kejam.

Setelah mendapat balabantuan dari Batavia dan setelah merasa dirinya kuat, barulah Belanda (V.O.C.) bertindak lebih keras. Kemudian dalam pertengahan bulan April 1669 pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mulai lagi mengadakan serangan-serangan yang bertubi-tubi dan teratur. Pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya makin lama makin mendekati dan mengurung Benteng Sombaopu. Dengan makin mendekatnya pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya ke jantung pertahanan kerajaan Gowa, maka suasana pertempuran makin meningkat. Semua pasukan yang terjun ke medan pertempuran, baik pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hasanudin, maupun pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya mencurahkan segenap perhatian dan seluruh kekuatannya kepada Benteng Sombaopu. Benteng utama ini merupakan benteng kebanggaan dan benteng yang tertangguh dari sekian banyaknya benteng-benteng yang mempertahankan kerajaan Gowa. Pertempuran untuk memperebutkan Benteng Sombaopu adalah pertempuran yang akan menentukan nasib kerajaan Gowa.

Oleh karena itu maka pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berusaha dengan sekuat tenaga untuk merebut benteng yang tangguh itu. Sebaliknya pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin sendiri oleh Sultan Hasanudin dengan mati-matian mempertahankan benteng kebanggaannya. Setiap jengkal tanah Gowa dipertahankan dengan gagah-berani oleh pasukan-pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuilin.

Kemudian Speelman memerintahkan menempatkan beberapa pucuk meriam yang diarahkan ke Benteng Sombaopu yang menjadi tempat kediaman Sultan Hasanudin yang memimpin langsung pertempuran-pertempuran yang seru itu. Maksud dari pada penempatan meriam-meriam itu ialah agar tembakan-tembakan meriam itu mengganggu terus dan menyibukkan pasukan-pasukan Gowa yang mempertahankan ibu-negeri kerajaannya dengan gagah-berani. Dengan demikian mereka mengharapkan pula agar Sultan Hasanudin dapat dipaksa untuk tunduk kepada kehendak orang-orang Belanda (V.O.C.). Hasilnya memang ada juga. Banyak orang-orang Melayu dan perantau-perantau lainnya mulai meninggalkan benteng dan kota Sombaopu untuk kemudian pergi ke Kalimantan atau ke pulau-pulau di Nusa Tenggara. Banyak pula orang-orang dan peranakan Portugis yang lari. Mereka menyeberang ke pihak Belanda dan sekutu-sekutunya. Oleh Speelman mereka dikirim ke Gresik, yakni sejumlah 70 (tujuh puluh) orang dan ke Timor kurang lebih 80 (delapan puluh) orang. Namun orang-orang Gowa tetap mempertahankan ibu-negeri dan benteng kebanggaan mereka dengan gagah-berani. Orang-orang Belanda sampai sukar dapat mengerti untuk apa dan mengapa orang-orang Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin itu begitu nekad. Mereka tetap mempertahankan ibu-negerinya yang sudah terkurung rapat dan dihujani peluru meriam itu. Mereka betul-betul seperti orang gila.

Pada awal bulan Mei 1669 orang-orang Gowa mendapat balabantuan kurang lebih dua sampai tiga ribu orang dari Wajo dan Cenrana. Pada malam tanggal 12 menjelang 13 Mei 1669 pasukan-pasukan Gowa dengan beberapa buah perahu berusaha menyerang kapal-kapal Belanda. Akan tetapi usaha mereka ini gagal dan dapat dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Belanda. Sementara itu Speelman memerintahkan untuk terus menggali parit. Pada awal bulan Juni 1669 pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya sudah sampai ke dekat dinding Benteng Sombaopu.

Kemudian oleh Speelman dan Dewan Perangnya diputuskan untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Sombaopu. Dengan meledakkan ranjau, Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil membobolkan dinding Benteng Sombaopu selebar lima roede (baca rude). Satu roede sama dengan kita-kira 3,75 meter. Maka pertempuran sengitpun terjadilah tidak hanya pada hari tanggal 15 Juni 1669 itu saja, akan tetapi juga pada malam harinya semalam suntuk dengan tiada henti-hentinya. Pertempuran yang berlangsung terus sampai 24 jam terus menerus itu sungguh suatu pertempuran berdarah yang sangat mengerikan. Orang-orang Belanda telah menembakkan tidak kurang dari 30.000 (tiga puluh ribu) peluru. Orang-orang Gowa bertempur sebagai ayam-ayam jantan yang gagah-berani. Mereka dengan mati-matian mempertahankan benteng kebanggaannya.

Betapa hebatnya pertempuran itu dapatlah kita baca dalam pengakuan yang dibuat oleh orang-orang Belanda sendiri sebagai berikut: "Er werd niet alleen dien dag maar ook den volgenden nacht aan een stuk door gestreden te gelooven sijnde dat het soo vreeselycke nacht is geweest, als crijgers van hoogen ouderdom misschien in Europa selve niet dickwijls gehoort hebben. De Nederlandsche musketiers verschooten dien nacht 30.000 cogels! De vijand verdedigde zich met een ware furie, tot op den middag van den 17 den; toen was het resultaat, dat men ten koste van 50 dooden en 68 gewonden eenige belangrijke voorwerken van het kasteel bezet had, die dadelijk met schanskorven werden versterkt" ("Cornelis Janszoon Speelman" oleh Dr. F.W. Stapel 'sGravenhage -- Martinus Nyhoff halaman 56-57). Jikalau diterjemahkan dengan bebas ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih: "Pertempuran terjadi tidak hanya pada hari itu saja, akan tetapi juga berlangsung terus pada malam berikutnya semalam suntuk dengan tiada henti-hentinya. Percaya atau tidak percaya malam itu adalah malam yang amat dahsyat dan sangat mengerikan, sehingga prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya mungkin bahkan di Eropa sekalipun jarang yang pernah mendengarnya. Serdadu-serdadu bangsa Belanda pada malam itu menembakkan 30.000 (tiga puluh ribu) butir peluru. Musuh (= orang-orang Gowa, penulis) mengadakan perlawanan yang gagah-berani bagaikan banteng ketaton sampai pada sore hari tanggal 17 Juni. Hasil yang dicapai pada waktu itu dengan pengorbanan 50 (lima puluh) orang tewas dan 68 (enam puluh delapan) orang luka-luka, ialah beberapa bagian depan yang penting dalam benteng itu dapat direbut dan diduduki yang segera kami perkuat dengan kubu-kubu pertahanan."

Demikianlah hebatnya pertempuran hari-hari pertama sejak pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya berhasil "merobek" atau menjebolkan dinding Benteng Sombaopu dengan ledakan ranjau yang sengaja dipasang di dekat dinding benteng kerajaan Gowa yang tangguh itu. Serbuan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya pada "robekan" dinding Benteng Sombaopu yang lebarnya lima roede itu, dibendung dengan gagah-berani oleh pasukan-pasukan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin. Pertempuran sengit seorang lawan seorang terjadilah. Setiap jengkal tanah dalam benteng itu dibayar dengan mahal sekali oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya.

Setelah bertempur terus-menerus sejak tanggal 15 Juni 1669 sampai dengan tanggal 17 Juni 1669, barulah pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil merebut dan menduduki sebagian dari bagian depan Benteng Sombaopu. Di dalam pertempuran itu Belanda mengalami kerugian tidak kurang dari 50 (lima puluh) orang yang tewas dan 68 (enam puluh delapan) orang yang luka-luka. Pada hari-hari berikutnya pertempuran-pertempuran dilanjutkan dengan tidak berkurang serunya. Orang-orang Gowa betul-betul mempertahankan setiap jengkal tanah di dalam benteng kebanggaannya dengan gagah berani.

Pada tanggal 19 Juni 1669 pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) yang dibantu oleh pasukan-pasukan Bugis yang dipimpin sendiri oleh Aru Palaka dan pasukan-pasukan Ambon di bawah pimpinan Kapten Joncker dari Manipa berhasil menancapkan panji-panji mereka di tembok Benteng Sombaopu yang dua belas kaki tebalnya (1 kaki = kira-kira 0,3 meter). Namun ternyata bahwa pertempuran-pertempuran itu barulah merupakan permulaan atau awal dari pada pertempuran berdarah dan terakhir dalam memperebutkan Benteng Sombaopu. Di dalam benteng yang tangguh itu masih terdapat banyak sekali rumah-rumah yang diperkuat dan juga dinding-dinding pertahanan dari mana orang-orang Gowa yang bertahan dengan mati-matian menembaki musuhnya dengan bedil, bahkan dengan meriam. Semuanya ini harus direbut satu demi satu melalui pertempuran-pertempuran yang sengit, karena orang-orang Gowa bertempur dengan gagah berani dan pantang menyerah. Setelah mencapai pusat benteng, maka Speelman menyuruh membuat sebuah kubu pertahanan dan menyeret beberapa buah meriam. Dengan demikian pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya dapat menembaki istana Raja Gowa dan baluwara agung di mana meriam yang dahsyat "Anak Makasar" ditempatkan. Pertempuran sengit masih berlangsung beberapa hari lagi. Kemudian pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil membakar Istana Sultan Hasanudin dan baluwara agung. Pada waktu baluwara agung terbakar, tiba-tiba terdengarlah sebuah ledakan yang amat dahsyat. Kemudian ternyata bahwa ledakan itu disebabkan oleh karena orang-orang Gowa tidak menghendaki dan tidak rela kalau meriam keramatnya "anak Makasar" jatuh ke tangan musuh. Mereka berhasil meledakkan meriam yang dahsyat itu.

Akhirnya setelah mengalami pertempuran sengit dan berdarah yang tidak ada banding-taranya di dalam sejarah peperangan V.O.C. di tanah-air kita, maka pada tanggal 24 Juni 1669 jatuhlah Benteng Sombaopu, benteng utama dan benteng tertangguh kerajaan Gowa, ke tangan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Tidak kurang dari 272 (dua ratus tujuh puhuh dua pucuk meriam besar dan kecil yang jatuh ke tangan pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya. Di antaranya terdapat pula meriam keramat kerajaan Gowa yang terkenal dengan nama "Anak Makasar".

Jadi kurang lebih sembilan hari sejak "robeknya" dinding Benteng Sambaopu, yakni dari tanggal 15 Juni 1669 sampai dengan tanggal 24 Juni 1669, setelah mengalami pertempuran berdarah yang seru, barulah pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil merebut dan menduduki Benteng Sombaopu yang sangat tangguh itu. Betapa tangguhnya Benteng Sombaopu dapatlah kita baca dalam buku karangan Dr. F.W. Stapel yang berjudul "Cornelis Janszoon Speelman" terbitan 'sGravenhage – Martinus Nyhoff 1936 halaman 57 sebagai berikut: "Met eenige korte onderbrekingen zette Speelman de volgende dagen den strijd voort, en den 19 den slaagde men er in zijn admiraalswimpel en het vaandel der Amboneezen op den 12 voet dikken muur van het kasteel te plaatsen. Toen men daar eindelijk overheen was, bleek dit nog slechts een begin te zijn, daar zich binnen het kasteel tal van versterkte huizen en borstweringen bevonden, van waaruit met kanon en musket gevuurd werd. Stuk voor stuk moesten deze. genomen worden." Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah sebagai berikut: "Pada hari-hari berikutnya dengan terputus-putus sebentar saja Speelman meneruskan pertempuran. Pada tanggal 19 Juni 1669 pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil menancapkan panji kelaksamanaan Speelman dan panji pasukan-pasukan Ambon pada tembok benteng yang dua belas kaki tebalnya. Setelah bagian ini dilalui, ternyata bahwa hal itu baru hanya permulaannya saja, karena di dalam benteng itu masih terdapat banyak rumah-rumah yang diperkuat dan dinding-dinding pertahanan dari mana orang-orang Gowa menembak dengan bedil dan meriam. Semuanya itu harus direbut satu demi satu."

Selanjutnya pada halaman 58 dapat kita baca lagi: "In Samboupo werden in totaal buit gemaakt 272 groote enkleine kanonne, waaronder het fabuleuze anak Makasar, dat wel beschadigd was, doch "sijn vervoeren en vertoonen nog genoegsaem waerdigh is." Terjamahan bebasnya kurang lebih: "Di Sombaopu dapat direbut seluruhnya 272(dua ratus tujuh putuh dua) pucuk meriam besar dan kecil, di antaranya juga meriam "Anak Makasar" yang luar biasa itu. Sungguhpun di dalam keadaan yang rusak, namun meriam Anak Makasar itu masih juga dapat menampakkan kedahsyatannya."

Di mana meriam yang dahsyat ini sekarang berada, tidak diketahui dengan pasti. Menurut catatan dalam buku "Cornelis Janszoon Speelman" pada halaman 58 bagian meriam "Anak Makasar" yang masih utuh (tidak hancur) dibawa oleh orang-orang Belanda ke Batavia dan sampai sesudah tahun 1710 meriam ini masih ada terletak di Batavia.

Demikianlah setelah dipertahankan dengan mati-matian dan setelah mendapat gempuran-gempuran yang hebat dari pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya, akhirnya pada tanggal 24 Juni 1669 benteng utama dan benteng tangguh kerajaan Gowa itu jatuh ke tangan musuh. Benteng Sombaopu jatuh dengan terhormat setelah pahlawan-pahlawan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin memberikan perlawanan yang gigih dan secara jantan. Pahlawan-pahlawan Gowa di bawah pimpinan Pahlawan Hasanudin berkelahi dan bertempur laksana ayam jantan di medan laga. Benteng Sombaopu telah jatuh dengan terhormat dan akan tetap mekar dengan segar di lubuk hati setiap pejoang dan patriot bangsa Indonesia yang ingin membela tanah-airnya yang tercinta.

Dengan jatuhnya Benteng Sombaopu, benteng yang tertangguh di dalam rangkaian pertahanan kerajaan Gowa, jatuh dan runtuh pulalah kerajaan Gowa yang kuat dan jaya. Perlawanan-perlawanan sesudah Benteng Sombaopu jatuh tidak begitu berarti lagi. Kerajaan Gowa telah jatuh, namun ia jatuh dengan terhormat. Setiap jengkal tanah Gowa dipertahankan dengan gagah-berani oleh putera-putera Gowa yang perwira. Pahlawan-pahlawan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin telah bertempur sebagai ayam-ayam jantan benua timur atau "de haantjes van het Oosten". Setiap jengkal tanah Gowa dibayar dengan mahal sekali oleh pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya. Pahlawan-pahlawan Gowa yang gugur dalam mempertahankan Benteng Sombaopu betul-betul gugur bagaikan ratna di bumi tanah-airnya yang suci. Mereka telah lama pergi dengan meninggalkan kepada kita anak cucunya di alam lndonesia Merdeka ini pesan pelaut yang berjiwa perkasa: "K U W A L L E Y A N G N G I   T A L L A N G A   N A T O W A L I A" artinya: "Saya memilih tenggelam dari pada kembali." Maksudnya: saya lebih baik (mati) tenggelam dari pada kembali.

Karena takut kalau kerajaan Gowa bangkit kembali dan agar supaya semangat perlawanan ayam jantan jangan sampai berkobar kembali di dada putera-putera Gowa yang perkasa, maka Belanda menghancurkan Benteng Sombaopu sampai rata dengan tanah. Sampai sekarang ini kecuali Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang, tidak ada satu bentengpun yang kita sebutkan tadi dalam rangkaian pertahanan kerajaan Gowa yang tidak dihancurkan dan diratakan dengan tanah oleh orang-orang Belanda.

Rupanya orang-orang Belanda takut kalau benteng-benteng yang mengenangkan kita kembali kepada jaman kejayaan kerajaan Gowa dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Demikianlah Benteng Sombaopu, benteng utama dan benteng kebanggaan kerajaan Gowa yang telah memberikan perlawanan yang gagah-perkasa, dihancurkan dan diratakan dengan tanah oleh Belanda (V.O.C.). Ibukota kerajaan Gowa pada jaman kejayaannya di masa yang lampau dengan Benteng Sombaopunya yang bersejarah pada waktu sekarang ini telah hilang dari pandangan mata. Daerah itu telah berubah keadaannya menjadi daerah pedesaan yang di selang-selingi oleh tanah sawah, ladang atau kebun. Bekas-bekas reruntuhan ibukota kerajaan Gowa dengan Benteng Sombaopu yang megah, yang pernah menjadi pusat kegiatan politik dan ekonomi/perdagangan dalam abad ketujuh belas di Indonesia bagian timur, kini tidak ada lagi. Bekas-bekas benteng kebanggaan Gowa itu tidak tampak dengan sekali pandang.

Jadi sebelum Benteng Sombaopu jatuh pada tanggal 24 Juni 1669, Benteng Sombaopu itulah yang menjadi tempat kediaman Raja Gowa bersama daerah di sekitarnya menjadi ibukota kerajaan Gowa. Lokasinya dapat dipastikan ada di daerah tempat desa Sapiria sekarang. Hal ini diperkuat oleh sebuah keterangan tertulis di dalam kontrak tertanggal 16 Oktober 1781 pada waktu penobatan Raja Gowa yang ke XXIX I. Mannawari Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdulhadi menggantikan ayah beliau Raja Gowa yang ke XXVIII I. Tommasongeng Karaeng Katangka Sultan Zainudin Tumenanga ri Mattoanging yang wafat pada tanggal 15 September 1778.

Di dalam pasal 2 kontrak tersebut ada disebut nama daerah yang bernama daerah Sapiria atau Sombaopu. Kontrak tertanggal 16 Oktober 1781 antara Raja Gowa yang bergelar Sultan Abdulhadi dan Belanda (V.O.C.) itu dimuat di dalam karangan B. Erkelens dengan judul "Geschiedenis van bet rijk Gowa" dalam Verhandelinger. Van bet Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappe, deel I. Batavia 1897.

Jadi perlu kami tegaskan di sini bahwa ibukota dan bandar teramai pada jaman kejayaan kerajaan Gowa yang selalu mendapat kunjungan orang-orang asing BUKANLAH KOTA MAKASAR ATAU UJUNG PANDANG SEKARANG, AKAN TETAPI SOMBAOPU. Dalam buku-buku pelajaran sejarah baik yang ditulis oleh orang-orang asing, maupun dan bahkan yang ditulis oleh ahli-ahli sejarah bangsa Indonesia sendiri sering dinyatakan bahwa Makasar atau Ujung Pandang adalah ibukota dan bandar yang teramai pada jaman kejayaan kerajaan Gowa. Hal ini tidak benar dan salah.

Sebelum benteng Sombaopu jatuh pada tanggal 24 Juni 1669. Benteng Sombaopu itulah yang menjadi tempat kediaman Raja Gowa dan menjadi ibukota serta bandar teramai kerajaan Gowa. Bahwasanya ibukota kerajaan di mana Raja atau Sultan serta para pembesar dan pegawai kerajaan bertempat tinggal dan sekaligus merupakan benteng pertahanan yang dilindungi oleh dinding atau tembok-lingkar (ringmuur) yang tebal dan diperlengkapi dengan senjata meriam atau alat-alat pertahanan lainnya adalah ciri umum bagi sebuah ibukota kerajaan di sekitar "abad pertengahan". Di luar benteng atau tembok-lingkar tinggal para prajurit dan keluarganya, tukang-tukang atau pandai-pandai, para pedagang atau saudagar, para penduduk atau rakyat biasa dan jikalau ada, juga para perantau dan pedagang bangsa asing.


261

Demikian pulalah halnya dengan Sombaopu, ibukota kerajaan Gowa pada abad keenam-belas dan abad ketujuh-belas. Kota Sombaopu dilindungi oleh sebuah tembok-lingkar (ringmuur) yang tebal yang lazim disebut "benteng" dengan segala alat persenjataannya berupa bedil dan meriam atau sebagainya. Di dalamnya terdapat istana yang menjadi tempat kediaman Raja Gowa dan rumah-rumah para keluarga Raja, para bangsawan dan pegawai-pegawai kerajaan.

Tentang keadaan ibukota kerajaan Gowa pada pertengahan abad ketujuh-belas yang dimuat di dalam "Corte Remonstrancie" dari seorang saudagar-kepala ( opperkoopman) yang bernama Hendrik tertanggal 24 September 1638, yakni kurang lebih 15 tahun sebelum Sultan Hasanudin menaiki takhta kerajaan Gewa pada tahun 1653, dapat ditentukan bahwa: Benteng Sombaopu itu letaknya di tepi pantai, di bawah garis 5° 4' Lintang Selatan dan merupakan benteng besar dengan tembok-lingkar yang dibuat dari pada batu bata dan batu karang. Tembok-lingkar yang menghadap ke laut mempunyai dua buah selekoh atau baluwara (bolwerk). Sisanya yang menghadap ke barat juga berselekoh akan tetapi tidak dipersenjatai dengan meriam. Raja dan para pembesar kerajaan bertempat tinggal di dalam benteng, di rumah-rumah yang didirikan di atas tiang-tiang besar dengan mempergunakan bahan-bahan dari pada papan kayu, beratapkan sirap atau atap daun nipah. Antara satu mil dari Sombaopu terdapat sebuah benteng di dekat pantai yang dinamakan "Oudioupanda" (maksudnya Ujung Pandang) yang dibuat dari pada batu bata dan batu karang. Kira-kira setengah mil dari Sombaopu arah ke selatan terdapat Benteng Grisse (maksudnya Benteng Garassi) dan Panakoeka (maksudnya Benteng Pannakukang).

Menurut penelitian kami jarak potong kompas antara Benteng Ujung Pandang dan Benteng Sombaopu ada kurang lebih 3 sampai 4 mil. Orang-orang Melayu yang bertempat tinggal di Sombaopu baik sekali hubungannya dengan orang-orang Makasar. Mereka mempunyai kedudukan yang baik dan terpandang di dalam masyarakat. Mereka tinggal di rumah-rumah yang didirikan di antara rumah-rumah orang Makasar. Orang-orang Inggeris dan orang-orang Denmark bertempat tinggal di sebelah utara Benteng Sombaopu di dalam rumah-rumah yang baik keadaannya.

Pelayaran dari Sombaopu yang terbanyak diadakan diadakan dalam bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari melalui Buton menuju Amboina (Maluku) dengan membawa barang-barang dagangan seperti: bahan-bahan pakaian, beras, porselin dan lain-lainnya. Perahu-perahu itu menetap di Amboina sampai bulan-bulan Juni, Juli, Agustus dan September untuk membeli dan mengangkut rempah-rempah dari Maluku.

Orang-orang Portugis juga bertempat tinggal di dekat Benteng Sombaopu, yakni di sebelah utaranya. Mereka diam di rumah-rumah yang dibuat dari pada bambu dan diperkenankan juga oleh Raja Gowa mempergunakan sebuah rumah untuk melakukan upacara agamanya (sacrifice). Di sebelah utara Benteng Sombaopu, Kompeni Belanda (V.O.C.) diizinkan pula untuk mendirikan kantor dagangnya. (Baca lebih lanjut: Dr. P.A. Tiele "Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in de Maleischen Archipel deel 2 's Gravenhage, M. Nijhoff 1890 halaman 335-337).

Sungguhpun apa yang digambarkan oleh Hendrik Kerckringh itu masih harus diuji kebenarannya, namun dapatlah kiranya keterangan itu dipergunakan sebagai bahan dan ancer-ancer atau pegangan untuk menggambarkan keadaan ibukota kerajaan Gowa (Sombaopu) disekitar tahun 1638, yakni waktu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan masa pemerintahan Sultan Hasanudin.

Dari keterangan Hendrik Kerckringh itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa Sombaopu selain menjadi ibukota kerajaan Gowa tempat Raja Gowa bersemayam, juga merupakan sebuah bandar yang besar dan ramai perniagaannya. Dari keterangan itu pula dapatlah diketahui bahwa Sombaopu kecuali didiami oleh orang-orang Makasar sendiri juga oleh suku-suku bangsa lainnya yang ada di Sulawesi Selatan dan Tenggara seperti orang-orang Bugis dari Wajo, dari Luwu' , dari Bone, dari Soppeng, orang-orang Mandar, orang-orang Toraja, orang-orang Buton dan lain-lainnya. Sombaopu juga didiami oleh orang-orang Melayu. Di dalam buku "Bingkisan Sejarah Gowa" yang disusun oleh Prof. Drs. G.J. Wolhoff dan Abdurrahim Penerbit Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara ayat No. 73 halaman 28 dinyatakan bahwa Sombaopu juga didiami oleh orang-orang dari Pahang, dari Patani, dari Campa, dari Minangkabau dan dari Johor.

Selanjutnya Sombaopu didiami pula oleh bangsa-bangsa Eropa seperti bangsa Denmark, bangsa Inggeris, bangsa Portugis, bangsa Sepanyol dan orang-orang Belanda. Jadi pada waktu itu Sombaopu sudah merupakan sebuah kota dan bandar internasional yang ramai. Letaknya sangat strategis dan baik sekali letaknya dipandang dari segi lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Sombaopu menghubungkan daerah Maluku di sebelah timur yang terkenal sebagai gudang rempah-rempah yang sangat diperlukan di Eropa pada waktu itu dan bandar Malaka di sebelah barat yang mempunyai arti sangat penting bagi lalu-lintas perdagangan internasional.

Tidak heran jikalau di samping menjadi penghalang yang besar bagi cita-cita kolonialisme Belanda yang hendak memaksakan monopoli perdagangannya di Indonesia bagian timur, juga karena letaknya yang baik dan strategis bagi lalu-lintas perdagangan, maka kerajaan Gowa dan ibukotanya Sombaopu menarik perhatian dan menjadi inceran yang sangat menggiurkan bagi Belanda (V.O.C.). Mereka ingin sekali menaklukkan dan menguasainya.

Betapa pentingnya dan betapa besar arti Ujung Pandang bagi Belanda diakui sendiri oleh orang-orang Belanda, seperti yang tercantum di dalam karangan Mr. S. Keyzer yang berjudul Oud en Nieuw Oost Indien, derde deel Amsterdam 1862 halaman 118-119 antara lain sebagai berikut: "De voornaamste reden waarom wij hier eenen landvoogd houden is om deze koningen die ons in vorige tijden in Amboina zeer geplaagd hebben in toom te houden, daar Makasser de sleutel van de gansche Oost is".
Terjemahan bebasnya kurang lebih: "Sebab-sebab utama mengapa kami (orang-orang Belanda) menempatkan seorang wakil pemerintah di sini, ialah untuk mengendalikan Raja-Raja yang pada jaman-jaman yang lampau sangat mengganggu kami di Amboina, karena Ujung Pandang (Makasar) adalah kunci seluruh wilayah timur."

Bahwasanya Belanda (V.O.C.) sangat takut kalau hubungan antara kerajaan atau Raja Bone dan kerajaan atau Raja Gowa terlalu erat, dapatlah kita baca selanjutnya dalam karangan yang sudah kami singgung di atas tadi antara lain sebagai berikut: "Het voornaamste dat hier de landvoogd te doen heeft, is maar om de rijst, die hun Edelheden van hier vorderen, te verzorgen, hunne tienden in te zamelen, een wakend oog op het doen en laten van de Inlandsche koningen te houden en vooral om the beletten dat er tusschen de koningen van Bone en Gowa geen al te nauw verband komen mag, zoo dat de maatregel van staat hier dezelfde is als die de landvoogd in Temate tussen de Moluksche vorsten te bezorgen en waar te nemen heeft." Terjemahan bebasnya kurang lebih: "Tugas yang terutama harus dilakukan oleh Wakil pemerintah (Belanda) di sini (di Ujung Pandang, penulis), ialah hanya untuk mengurus beras yang dipungut oleh Tuan-tuannya, mengurus pemasukan atau pengumpulan pajak sepersepuluh dan mengawasi tindak-tanduk serta gerak-gerik dan perbuatan Raia-Raja bangsa Indonesia dan terutama untuk mencegah agar jangan sampai hubungan antara Raja Bone dan Raja Gowa terlalu erat, sehingga peraturan untuk negeri di sini sama dengan peraturan yang harus dipelihara dan diawasi oleh Wakil pemerintah di Temate terhadap raja-raja di Maluku."

Jadi Belanda (V.O.C.) sangat takut kalau hubungan antara Raja atau kerajaan Bone dan Raja atau kerajaan Gowa terlalu erat. Hubungan yang erat di antara kedua orang Raja atau kerajaan yang terpenting dan paling besar pengaruhnya di Sulawesi Selatan itu dianggap berbahaya dan dapat mengancam kepentingan Belanda (V.O.C.). Jadi usaha Aru Palaka dengan politik perkawinan yang dijalankannya terhadap keponakan dan pengganti beliau yang bernama La Patau untuk menyatukan kerajaan-kerajaan utama dan yang terbesar pengaruhnya di Sulawesi Selatan seperti kerajaan-kerajaan Bone, Gowa, Luwu' dan Soppeng di dalam satu tangan, sangat bertentangan dengan kepentingan Belanda (V.O.C.). Bahkan usaha itu dianggap sangat berbahaya dan dapat mengancam kepentingan kolonial Belanda.

Perlu kami uraikan di sini bahwa Aru Palaka Petta MalampeE Gemme'na tidak mempunyai anak atau keturunan. Beliau menunjuk sebagai pengganti beliau keponakan beliau sendiri yang bemama La Patau yakni anak saudara perempuan Aru Palaka yang bernama We Tenmappolobombang dan suaminya yang bemama PakokoE. Seperti diketahui PakokoE ini adalah putera Raja Bone yang ke XIII yang bernama La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh Matinrowe ri Bukaka. Jadi baik dari pihak ibunya (Aru Palaka dan ibu La Patau adalah cucu Raja Bone yang ke XI yang benama La Tenriruwa Sultan Adam Matinrowe ri Bantaeng) maupun dari pihak ayahnya La Patau memang berhak menduduki takhta kerajaan Bone. Aru Palaka adalah Raja Bone yang ke XIV dan La Patau adalah Raja Bone yang ke XV dan bergelar La Patau Sultan Alimudin Petta Matinrowe ri Nagauleng yang selanjutnya kita singkat saja dengan nama La Patau.

Suatu bukti bahwa Aru Palaka bukan antek dan tidak bernaung di bawah panji keinginan Belanda (V.O.C.), bahwa beliau berdiri sendiri dalam usaha merebut dan memperoleh hegemoni di Sulawesi Selatan, dapat kita lihat pula dengan jelas di dalam usaha beliau menyatukan kerajaan-kerajaan utama dan yang terbesar pengaruhnya di Sulawesi Selatan seperti kerajaan-kerajaan Bone, Gowa, Luwu' dan Soppeng di dalam satu tangan atau satu kekuasaan. Hal ini tentu saja tidak dikehendaki, bahkan sangat bertentangan dan sangat ditakuti oleh Belanda (V.O.C.). Usaha seperti itu dianggap berbahaya dan dapat mengancam kedudukan serta kepentingan Belanda (V.O.C.). Jadi cita-cita dan usaha Aru Palaka itu terang sangat bertentangan dengan maksud-tujuan dan dapat mengancam kedudukan V.O.C. (Belanda).

Sungguhpun Aru Palaka tidak mernpunyai anak atau keturunan langsung, namun keponakan dan pengganti beliau yang bernama La Pataulah yang diharapkan oleh beliau untuk mewujudkan cita-cita beliau. Oleh karena itu di dalam menjalankan politik perkawinan untuk keponakan dan penggantinya, Aru Palaka mengarahkan usahanya kepada merebut hegemoni di Sulawesi Selatan dengan membawa kerajaan-kerajaan yang terpenting di Sulawesi Selatan di bawah satu tangan atau kekuasaan.

(1) Mula-mula Aru Palaka mengawinkan La Patau dengan puteri Raja atau Datu Luwu' yang bergelar Setiaraja Sultan Muyidudin Matinrowe ri Tornpo'tikka. Puteri Datu Luwu' ini bergelar I. Yummu Opu Larompong. Sesungguhnya Datu Luwu ini adalah bekas lawan Aru Palaka dalam pertempuran laut di Buton pada awal Januari 1667. Pada waktu itu Datu Luwu' bersama-sama Karaeng Bontomarannu memimpin armada kerajaan Gowa yang dahsyat mengurung dan hampir saja menghancurkan Buton.

Harapan Aru Palaka dalam perkawinan politik ini ialah agar kelak anak yang lahir dari perkawinan agung ini dapat menduduki takhta kerajaan Bone dan Luwu'. Dan dari perkawinan


266 agung ini memang pada tahun 1688 lahir seorang puteri, yakni Batari Toja Daeng Talaga Siti Zaenab Arung Timurung Datu Citta Matinrowe ri TipuluE. Beliau ini memang pula sampai dua kali menjadi Ratu atau· Raja (perempuan) Bone, yakni, yang pertama kali menjadi Raja (perempuan) Bone yang ke XVI dari 1714-1715 dan yang kedua kali menjadi Raja (perempuan) Bone yang ke XX dari tahun 1724-1748. Beliau juga merangkap menjadi Pajung atau Datu (= Raja) Luwu' yang ke XIX dan Datu (= Raja) Soppeng yang ke XIX pula dari tahun 1728 sampai 1738. Jadi puteri La Patau menjadi Ratu atau Raja perempuan di tiga negeri atau kerajaan Bugis yang penting, yakni di Bone, Luwu' dan Soppeng. Batari Toja wafat pada tanggal 2 Nopember 1748.

(2) Kemudian, yakni pada tahun 1687, Aru Palaka mengawinkan La Patau dengan anak perempuan Raja Gowa yang ke XIX Sultan Abdul Jal il Tumenanga ri Lakiung. Puteri Raja Gowa ini bernama I. Siti Maryama Karaeng Patukangang.Jadi keponakan Aru Palaka dikawinkan dengan cucu Sultan Hasanudin. Dari perkawinan agung ini lahir anak-anak Raja yang dikemudian hari menjadi Raja dan memegang peranan yang amat penting di kerajaan-kerajaan Bone, Gowa dan Soppeng. Dari perkawinan agung ini lahir:

1) Seorang anak perempuan yang bernama Weanebanna Dapattola yang meninggal pada waktu masih kanak-kanak.

2) La Padangsajati Toappaware Aru Palaka Matinrowe ri Beula. Beliau inilah yang menjadi Raja Bone yang ke XVII dan memerintah dari tahun 1715-1720. Selanjutnya beliau ini merangkap pula menjadi Datu (= Raja) Soppeng yang ke XVII yang memerintah Soppeng dari tahun 1714-1720.

3) La Pareppa TosappewaliE. Dari tahun 1709 sampai tahun 1711 beliau menjadi raja Gowa yang ke XX dan bergelar Sultan Ismail. Kemudian beliau mengantikan saudara beliau La Padangsajati (No. 2 di atas) dan menjadi Raja Bone yang ke XVIII dan memerintah di Bone dari tahun 1720 - 1724. Beliau juga merangkap menjadi Datu (= Raja) Soppeng yang ke XVII dan memerintah di Soppeng dari tahun 1720-1724.

Setelah Wafat La Pareppa TosappewaliE ini diberi nama anumerta Matinrowe ri Sombaopu (Bahasa Bugis) atau Tumenanga ri Sombaopu (bahasa Makasar), yang kedua-duanya berarti yang tidur atau yang wafat di Sombaopu. (Beliau memang dari ibu berdarah bangsawan Gowa/Makasar dan dari ayah berdarah bangsawan Bugis).

4) La Pariuangi Toappawawoi Arung Mampu Karaeng Bisei. Beliau ini sesungguhnya kembar, tetapi yang seorang meninggal dunia. Beliau ini pada tahun 1724 menjadi Raja Bone yang ke XIX. Beliau tidak lama memerintah dan setelah wafat mendapat gelar atau nama anumerta Matinrowe ri Bisei. Dengan ini jelaslah bahwa sungguhpun dari kedua perkawinan agung yang dilakukan oleh La Patau atas kehendak mamaknya, yakni Aru Palaka lahir putera dan puteri yang berkuasa di kerajaan-kerajaan Bone, Luwu', Gowa dan Soppeng.

Dengan ini jelaslah bahwa sungguhpun Aru Palaka berkawan dengan Belanda (V.O.C.), namun beliau bukanlah boneka yang tidak mempunyai pendirian atau cita-cita sendiri. Aru Palaka berdiri sendiri, bebas dan merdeka memerintah kerajaannya. Beliau bebas melaksanakan segala kehendaknya. Beliau bukanlah seorang yang tidak berani mengambil tindakan yang bertentangan dengan keinginan atau kepentingan Belanda (V.O.C.). Aru Palaka seorang yang berkepribadian, seorang yang tetap bebas dan selalu disegani baik oleh kawan maupun oleh lawan. Bahkan orang-orang Belandapun sangat hormat dan segan terhadap beliau.

Beberapa kali terjadi bentrokan antara Aru Palaka dan Belanda (V.O.C.). Bentrokan yang agak keras antara Aru Palaka dan Belanda (V.O.C.), ialah dalam peristiwa Dompo di Sumbawa. Seorang petugas Belanda (V.O.C.) yang bernama Junius yang disuruh meneliti peristiwa itu dalam laporannya menyinggung dan merugikan nama baik Aru Palaka. Aru Palaka sangat marah kepada Junius dan pembesar atau wakil pemerintah Belanda (V.O.C.) yang bernama Prins. Pada waktu Prins membacakan surat Pimpinan Belanda (V.O.C.) dari Batavia untuk mengumpulkan sekutu-sekutu Belanda (V.O.C.) di Ujung Pandang, beliau dengan tegas menyatakan bahwa beliau tidak akan hadir lagi pada rapat-rapat di "Fort Rotterdam" atau "Benteng Ujung Pandang" selama Junius masih ada. Bahkan dalam tahun 1694 Aru Palaka meninggalkan Bontoala dan menuju ke Cenrana yang diperkuatnya dengan pasukan yang lebih 60.000 (enam puluh ribu) orang jumlahnya. Bahkan kalau perlu beliau akan menyerang "Fort Rotterdam".

Bentrokan kedua terjadi pada waktu wakil Belanda yang bernama Prins tadi diganti oleh Hartzing. Mungkin karena takut atau curiga, Hartzing melarang Aru Palaka masuk ke dalam "Fort Rotterdam" dengan pengawal atau pengiring. Karena merasa dirinya dicurigai maka Aru Palaka meninggalkan Bontoala dan beliau menuju ke Bone. Karena khawatir kalau hubungan antara Aru Palaka dan orang-orang Belanda di Ujung Pandang makin memburuk dan tegang oleh sikap serta tindakan Hartzing, maka dalam tahun 1695 pimpinan Belanda (V.0.C.) di Batavia memindahkan Hartzing dan menggantikannya dengan Van Thye. Untuk menyenangkan hati dan mengembalikan kepercayaan Aru Palaka terhadap Kompeni Belanda, maka pegawai V.O.C. yang sangat dibenci oleh Aru Palaka dikirim ke Jawa. Begitu besar hormat dan keseganan Belanda (V.O.C.) terhadap Aru Palaka. Dengan ini jelaslah bahwa sungguhpun Aru Palaka bersahabat baik dengan orang-orang Belanda (V.O.C.), namun beliau bukanlah seorang yang tidak mempunyai kepribadian dan mudah saja dihina atau diperintah oleh orang-orang Belanda.

Demikian pula beliau bebas dan mempunyai cita-cita yang besar untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan yang terpenting seperti Bone, Luwu', Gowa dan Soppeng di dalam satu tangan atau kekuasaan. Cita-cita ini jelas sangat bertentangan dengan keinginan dan membahayakan kedudukan serta kepentingan Belanda (V.O.C.). Dengan ini jelaslah bahwa julukan "pengkhianat" kepada Aru Palaka hanya karena beliau bekerja sama dengan Belanda memerangi kerajaan Gowa pada abad ketujuh belas, pada masa kita belum mengenal kebangsaan Indonesia, adalah tidak tepat dan tidak adil.

Aru Palaka telah menjalankan suatu strategi politik jangka panjang yang sangat bertentangan dan sangat berbahaya bagi strategi politik penjajahan Belanda. Bahkan strategi politik yang dijalankan oleh Aru Palaka mengancam kedudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Jikalau Kompeni Belanda sangat khawatir, bahkan takut sekali jikalau kerajaan Gowa dan kerajaan Bone

269

bersatu atau berada di dalam tangan satu kekuasaan, maka Aru Palaka Petta MalampeE Gemnie'na menjalankan suatu strategi politik jangka panjang yang justeru menuju ke arah mempersatukan tidak hanya kerajaan Bone dan kerajaan Gowa saja, akan tetapi juga kerajaan Luwu' dan kerajaan Soppeng serta kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Berkat politik perkawinan yang dijalankan oleh Aru Palaka terhadap kemenakan dan penggantinya yang bemama La Patau, maka Aru Palaka berhasil melaksanakan strategi politiknya untuk membawa kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan dalam satu keluarga seketurunan yang berpangkal atau berpokok pada kerajaan Bone. Hal inilah yang paling ditakuti oleh Belanda dan kemudian memang terbukti merupakan ancaman yang serius bagi politik penjajahan Belanda yang selalu berusaha memecah-belah bangsa Indonesia. Dari keturunan itulah kemudian lahir Raja-Raja Bone dan keturunannya yang paling gigih dan paling keras menentang kekuasaan penjajahan Belanda.

Seperti kita ketahui, Bone yang muncul menjadi kerajaan yang terpenting dan terkemuka di Sulawesi Selatan berkat usaha dan jasa Aru Palaka, kemudian menjadi musuh besar orang-orang Belanda dan tidak kurang dari empat kali mengalami peperangan dengan Belanda yang terkenal dengan nama "Bonische Expeditien", yakni:
1) Perang Bone atau Ekspedisi Bone yang pertama. Dalam perang Bone ini pasukan-pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal Van Geen. Pada waktu itu Bone diperintah oleh Ratu atau Raja (perempuan) Bone yang ke XXIV yang bergelar I. Maning Arung Data Matinrowe ri Kassi (memerintah dari 1821-1835).
2) Perang Bone atau Ekspedisi Bone yang kedua. Dalam Perang Bone yang kedua ini pasukan-pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal E.C.C. Steinmetz (berangkat dari pulau Jawa pada bulan Januari 1859).
3) Perang Bone atau Ekspedisi Bone yang ketiga. Dalam Ekspedisi Bone yang ketiga ini, yang berakhir dalam tahun 1860 pasukan-pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten. Pada Ekspedisi Bone yang kedua dan ketiga, Bone diperintah oleh Ratu atau Raja (perempuan) Bone yang ke XXVII I. Tenri


270 Awaru Besse Kajura Pancaitana Mpelai Engi Passempe. Mpelai Engi Passempe artinya yang meninggalkan Passempe, karena Ratu itu bertahan di Passempe dan kemudian meninggalkan pertahanan itu karena tak tahan terhadap serangan-serangan Belanda.
4) Perang Bone atau Ekspedisi Bone yang keempat. Mula-mula ekspedisi Belanda ini dipimpin oleh Kolonel P.H. van der Wedden, akan tetapi kemudian karena beliau ini sakit, diganti oleh Kolonel C.A. van Loenen. Yang menjadi Raja Bone pada waktu Ekspedisi yang keempat ialah La Pawawoi Karaeng Segeri Matinrowe ri Jakarta.
Banyaklah bukti-bukti yang dapat kami kemukakan untuk membuktikan bahwa tidaklah adil dan adalah terlalu kejam serta tidak tepat jikalau Aru Palaka dinyatakan pengkhianat hanya karena beliau bekerja bersama dengan Belanda (V.O.C.) untuk membebaskan keluarga dan negerinya dari kekuasaan kerajaan Gowa. Namun bukanlah pada tempatnya untuk menguraikannya dengan panjang lebar di sini: Memang Belanda sangat lihai dan mahir sekali menimbulkan dan mempertajam serta memelihara pertentangan antara kita sama kita bangsa Indonesia. Hendaklah hal ini dicamkan baik-baik dan dijadikan pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita.

Marilah sekarang kita kembali lagi kepada apa tugas wakil pemerintah Belanda (V.O.C.) di Ujung Pandang, yakni terutama mencegah jangan sampai hubungan antara Raja Bone dan Raja Gowa terlalu erat. Dengan ini jelaslah bahwa atas pertimbangan-pertimbangan politis-ekonomis dan militer-strategis, maka Belanda berusaha mencapai tujuan-tujuan kolonialnya dengan mempergunakan unsur-unsur pertentangan dan kontradiktif yang terdapat di antara. Raja-Raja yang berebut hegemoni. Unsur-unsur pertentangan dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan itu sengaja dipertajam dan diperbesar oleh Belanda untuk memecahbelah dan melemahkan kekuatan bangsa Indonesia, sehingga kita tidak mungkin menghadapi kekuatan penjajahan Belanda.

Jadi tugas utama wakil pemerintah Belanda yang ditempatkan di Ujung Pandang itu atau yang ditempatkan di suatu derah di mana saja di tanah-air kita ialah:


271

1) memata-matai dan mengawasi terus kegiatan-kegiatan Raja-Raja atau para pemimpin bangsa kita di daerah itu;

2) menimbulkan dan memelihara terus unsur-unsur pertentangan serta mempertajam dan memupuk kepentingan-kepentingan yang bertentangan masing-masing golongan, sehingga tidak akan tercapai persatuan yang membahayakan kedudukan atau mengancam kepentingan Belanda di daerah itu.

Jadi apabila ada seorang pemimpin atau patriot yang berjoang dan mengusahakan atau menganjurkan persatuan di antara golongan-golongan yang bertentangan itu, maka ia dianggap berbahaya oleh Belanda. Orang atau pejoang itu lalu dianggap pengacau yang mengancam kedudukan serta kepentingan dan ketenteraman Belanda di daerah itu. Maka diambillah tindakan-tindakan untuk selekas mungkin menyingkirkan patriot atau pejoang itu dengan menuduhnya sebagai pengacau yang sangat berbahaya.

Hal ini perlu dicamkan baik-baik dan merupakan pula suatu peringatan atau pelajaran yang diberikan oleh sejarah kepada kita bangsa Indonesia. Jadi dari dahulu dan sampai sekarang inipun sering dilakukan usaha-usaha untuk mempertajam dan memperbesar pertentangan antara golongan-golongan di dalam masyarakat kita, baik itu berupa golongan suku, maupun golongan kepercayaan ataupun golongan apa saja. Jadi amat penting dan perlu sekali kita resapi betul-betul makna serta jiwa dari pada semboyan yang tercantum pada Lambang Negara kita: BHINEKA TUNGGAL IKA yang berarti dan mengandung makna: "MESKIPUN BERBEDA-BEDA NAMUN SATU JUA KITA BANGSA INDONESIA INI".

Jadi orang-orang atau bangsa yang tidak senang atau takut melihat bangsa Indonesia kuat dan jaya karena bersatu, selalu berusaha menimbulkan perpecahan dan memelihara serta memupuk terus bahkan mempertajam pertentangan-pertentangan yang ada, sehingga bangsa Indonesia tetap lemah. Oleh karena itu, maka baik dahulu maupun dan terlebih-lebih sekarang setelah kita merdeka dan sedang bekerja keras untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan, perlu dan amat penting sekali untuk memperkokoh persatuan kita. Persatuan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke telah mengantar kita ke mahligai Indonesia Merdeka, dan dengan persatuan itu pula kita yakin


272 akan berhasil mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang kita sama-sama rindukan sebagai bangsa yang merdeka.

Demikianlah pada abad ketujuh-belas dan seterusnya Belanda selalu berusaha agar kerajaan Gowa jangan sampai bersatu dan berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan lainnya, terutama dengan kerajaan Bone. Persatuan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dapat mengancam kedudukan Belanda tidak hanya di Sulawesi Selatan saja, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia bagian timur.

Demikianlah kerajaan Gowa yang pada abad ketujuh-belas memegang hegemoni dan supremasi di daerah Sulawesi dan sekitarnya, bahkan di seluruh Indonesia bagian timur, tahu betul adanya kemungkinan timbul bahaya perlawanan atau serangan, baik dari dalam maupun dari luar, terutama dari pihak Belanda (V.O.C.) yang mempunyai niat-niat untuk menjajah. Jadi sejalan dengan makin berkembangnya kerajaan Gowa dalam abad ketujuh-belas, makin bertambah pula kemungkinan adanya perlawanan dan serangan-serangan terhadap kekuasaan kerajaan Gowa, baik dari dalam maupun dari luar. Kemungkinan terjadinya hal ini bertambah besar dengan kedatangan bangsa-bangsa barat yang mempunyai maksud-maksud yang serakah dan kolonialistis di tanah-air kita seperti bangsa-bangsa: Portugis, Sepanyol, Belanda dan Inggeris.

Oleh karena itu, maka kerajaan Gowa yang jaya dan megah merasa sangat perlu dan berkepentingan untuk memperkuat perbentengannya. Selain dari Benteng Sombaopu dibangunlah serangkaian benteng-benteng pertahanan yang terkenal di dalam sejarah perlawanan rakyat Gowa terhadap penjajahan Belanda. Adapun rangkaian perbentengan yang dalam arti strategis militer merupakan suatu kesatuan pertahanan yang tangguh bagaikan dinding baja yang kuat kokoh terhadap serangan-serangan terutama serangan-serangan musuh dari luar, yakni dari arah laut, dari arah Selat Makasar. Pantai kerajaan Gowa merupakan mata rantai benteng-benteng pertahanan yang kuat. Antara lain kita sebutkan: Benteng Sombaopu, benteng yang terbesar dan tertangguh yang sekaligus menjadi ibukota dan tempat kediaman Raja Gowa. Kemudian ada lagi: Benteng Ujung Tanah, Benteng Ujung Pandang, Benteng Garassi, Benteng Pannakukang, Benteng Gidesong, Benteng Barombong dan masih banyak lagi benteng-benteng atau kubu-kubu pertahanan yang lainnya.

Sejak Benteng Sombaopu yang letaknya di tepi pantai Selat Makasar itu berdiri, sudah beberapa kali benteng kebanggaan kerajaan Gowa itu diuji keampuhannya oleh serangan-serangan dan tembakan-tembakan meriam armada Belanda (V.O.C.) yakni antara lain:

  1. Penembakan oleh meriam-meriam dari armada Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Laksamana de Vlamingh pada tahun 1655.
  2. Penembakan · oleh meriam-meriam armada Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Johan van Dam dan J ·Truytman. Armada ini menembaki benteng-benteng Sombaopu, Ujung Pandang dan Pannakukang pada bulan Mei tahun 1660.
  3. Setelah armada Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Laksamana Speelman tidak berhasil menggertak dan menakut-nakuti orang-orang Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin, maka terjadilah tembak-menembak dan duel meriam yang sangat seru antara kapal-kapal perang Belanda (V.O.C.) dan benteng pertahanan Sombaopu. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Desember 1666.
  4. Pada tanggal 19 Juli 1667, sejak pagi-pagi sekali sampai setelah matahari terbenam di ufuk barat, terjadi tembak menembak dan duel meriam yang sangat seru dan tiada henti-hentinya antara benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa terutama Benteng Sombaopu yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin dan kapal-kapal Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Laksamana Speelman.
    Bahkan pada hari itu tidak kurang dari 4000 (empat ribu) tembakan yang dilepaskan oleh meriam-meriam kapal-kapal Belanda (V.O.C.) dan kurang lebih sepertiga persediaan peluru dan mesiu Belanda yang dihabiskan. Belum lagi terhitung mesiu dan peluru yang ditembakkan oleh meriam-meriam dari benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa yang tidak kalah gencarnya.

Pertempuran-pertempuran laut dan duel meriam atau tembakan-tembakan gencar dari kapal-kapal armada Belanda (V.O.C.) itu merupakan ujian bagi pertahanan Sombaopu dan ternyata


274 Benteng Sombaopu dapat menandingi tembakan-tembakan meriam yang gencar dari pihak musuhnya. Kemudian terjadi serangan-serangan baik dari laut maupun dari darat yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya dalam perang terbuka antara kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin melawan Belanda (V.O.C.) yang dipimpin oleh Speelman. Pertempuran berdarah yang dahsyat ini mencapai titik puncak atau klimaksnya pada bulan Juni tahun 1669.

Benteng Sombaopu terletak di tepi pantai Selat Makasar diapit oleh dua buah sungai, yakni Sungai Berang (Jenne' Berang) di sebelah utara dan Sungai Ujung Pucu di sebelah selatan. Kedua sungai itu sekaligus merupakan "parit alam" yang melindungi Benteng Sombaopu dari musuh yang datang menyerang dari sebelah utara atau dari sebelah selatan. Benteng Sombaopu sendiri menghadap ke arah barat, yakni ke arah Selat Makasar.

Sebagai benteng utama dan jantung pertahanan kerajaan Gowa, Benteng Sombaopu dilindungi oleh kubu-kubu pertahanan atau benteng-benteng pengawal, antara lainnya di sebelah selatan terdapat Bentena Garassi, Benteng Pannakukang yang terletak di Ujung Pannakukang dan Benteng Barombong, sedang di sebelah utara Benteng Sombaopu dilindungi dan dikawal oleh Benteng Ujung Pandang dan Benteng Ujung Tanah.

Benteng Sombaopu berbentuk persegi empat dengan panjang sebuah sisinya kurang lebih dua kilometer, tinggi tembok-lingkarnya (ringmuur) kurang lebih 7 sampai 8 meter sedang tebal tembok lingkar itu rata-rata 12 kaki atau kurang Iebih 3,6 meter, sehingga prajurit-prajurit dengan mudah dapat berbaris berkeliling di atas tembok-lingkar itu yang merupakan sebuah jalan atau lorong yang 3,6 meter lebarnya. Pada tembok-lingkar sebelah barat (arah Selat Makasar) terdapat empat buah selekoh atau baluwara (bolwerk) yang berbentuk bundar (setengah lingkaran). Di sudut barat-laut terdapat sebuah selekoh atau baluwara yang disebut Baluwara Agung. Di Baluwara Agung inilah ditempatkan meriam "Anak Makasar". Sebuah selekoh atau baluwara lagi yang besar ditempatkan di sudut barat daya sedang kedua selekoh atau baluwara yang berada di sisi barat di antara kedua buah selekoh yang besar itu agak lebih kecil ukurannya. Pada sisi tembok-lingkar sebelah utara terdapat dua buah selekoh yang berbentuk persegi, sebuah di tengah-

275

tengah dan yang sebuah lagi merupakan selekoh atau baluwara sudut yang menghadap ke arah timur laut. Tembok-lingkar di sisi sebelah selatan dan timur tidak begitu diperkuat, karena musuh diperhitungkan hanya datang menyerang dari arah barat dari dari arah utara.

Benteng Sombaopu seolah-olah merupakan benteng yang bersaf-saf atau berlapis-lapis tembok-lingkarnya, karena istana Raja yang ada di dalamnya dilindungi pula oleh tembok-lingkar yang berselekoh dua buah. Demikian pula rumah-rumah dan bangunan-bangunan lainnya yang berbentuk rumah Makasar yang tinggi dilindungi oleh dinding atau tembok lingkar yang dalam keadaan darurat dapat dipergunakan sebagai kubu atau benteng pertahanan. Tiap-tiap saf atau lapis pertahanan yang terdapat di dalam Benteng Sombaopu itu harus direbut oleh pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya satu demi satu dengan pengorbanan yang tidak sedikit jumlahnya.

Demikianlah sungguhpun Benteng Sombaopu jatuh, namun ia jatuh dengan terhormat. Benteng Sombaopu memberi perlawanan yang jantan dan gagah-berani. Benteng kebanggaan kerajaan Gowa ini telah dihancurkan dan diratakan dengan tanah oleh Belanda (V.O.C.). Sekarang bekas-bekasnya tidak dapat lagi dilihat dengan sekali pandang. Nama Sombaopu yang harumpun seolah-olah hendak dihapus pula oleh Belanda dari rakyat Gowa dan rakyat Indonesia. Tempat di mana benteng yang dulu sangat terkenal itu tegak dengan megahnya, kini telah berubah sama sekali keadaannya. Tempat itu sudah menjadi daerah pedesaan yang diselang-selingi oleh sawah, ladang dan kebun.

Untuk mengetahui di mana tepatnya bekas benteng kebangaan kerajaan Gowa itu berdiri, dapat kita ambil sebagai ancer-ancer desa Sapiria, yakni desa lama yang termasuk di wilayah kelurahan Barombong, Kecamatan Palangga, Daerah Tingkat II atau Kabupaten Gowa. Dalam peta daerah bagian Sungguminasa desa Sapiria tidak disebut. Yang ada ialah desa Sarombe. Dari keterangan penduduk diperoleh penjelasan bahwa desa Sarombe itu terdiri dari tiga desa kecil, yakni desa Sapiria di sebelah timur, desa Kaccia di tengah dan desa Sarombe yang sebenarnya ada di sebelah barat.

Jarak daerah Sapiria dan pusat kota Ujung Pandang sekarang ada kurang lebih 8 sampai 9 km ke arah selatan. Dari


276 kota Sungguminasa (ibukota Kabupaten Gowa sekarang) ada kurang lebih 2 sampai 3 km ke arah barat. Orang dengan mudah dapat mencapai desa Sapiria atau Sombaopu dengan kendaraan bermotor dari Ujung Pandang ke arah selatan, lewat Jongaya sampai di tepi Sungai Berang (Jenne Berang). Kemudian kita menyeberang dengan sampan, lalu setelah berjalan kaki sepanjang jarak kurang lebih 1,5 km dari tepi Jenne' Berang, sampailah kita ke daerah Sapiria atau Sombaopu.

Kecuali desa Sapiria, desa Garassi pun dapat dijadikan ancer-ancer, sebab nama desa itu ada dan erat hubungannya dengan sebuah benteng atau kubu pertahanan, yakni Benteng Garassi, yang letaknya di sebelah selatan Benteng Sombaopu. Di dalam peta daerah bagian Sungguminasa desa Garassi terdiri dari desa Garassi baru di sebelah utara dan desa Garassi lama di selatan. Desa-desa yang kami sebutkan di atas itu terletak di daerah yang dibatasi oleh Sungai Berang di sebelah utara dan Sungai Ujung Pucu di sebelah selatan, sedang di sebelah barat terbentanglah Selat Makasar. Di depan daerah Sombaopu menghadap ke laut terdapat daerah Tanjung Alang, yakni tanah endapan Sungai Berang yang masih muda usianya dan pada jaman jayanya Sombaopu daerah tanah endapan tersebut belum ada. Bekas-bekas peninggalan Benteng Sornbaopu yang masih dapat diketemukan ialah;

  1. batu-bata-batu-bata berukuran kira-kira 25 x 35 cm yang keras buatannya berserakan di sana-sini, di sawah, kebun atau ladang;
  2. batu-bata-putih berbentuk persegi empat panjang. Batu-batu tersebut banyak dipergunakan yang oleh penduduk sebagai batu lantai sumur atau tempat mandi
  3. fundasi tembok-lingkar (ringmuur) terdapat di desa sapiria. Fundasi ini masih dapat diikuti atau dilacak bekas-bekasnya dari timur ke arah barat sampai ke desa Sarombe. Agak di tepi pantai di desa Sarombe bekas fundasi itu membelok ke arah selatan dan masih jelas dapat diikuti dari adanya tumpukan batu-batu merah yang berserakan di sana-sini sampai ke tepi Sungai Baru atau Sungai Beru. Menurut keterangan seorang informan, Sungai Beru ini belum lama adanya. Aliran itu merupakan muara baru Sungai Berang yang
bagian muaranya memang bercabang-cabang.

d. bekas tempat "Meriam polong", yakni gundukan tanah di desa Kaccia; di mana "Meriam polong" (polong = terpotong atau separuh) dahulu berada "Meriam polong" adalah salah sebuah meriam dari pertahanan Benteng Sombaopu. Tempat bekas Meriam polong" ini dianggap sebagai tempat yang keramat oleh penduduk. Di atas gundukan tanah yang agak tinggi itu di bawah pohon-pohon yang rindang didirikan orang sebuah dangau atau rumah kecil tempat "memuja". Untuk mencegah kemusyrikan, maka meriam polong itu kemudian dipindahkan.
e. Maccini Sombala' (maccini = melihat; sombala' = layar) yakni sebuah gundukan tanah yang tinggi tempat orang melihat layar. Jadi "Maccini Sombala'" ini adalah semacam "uitkijkpost", yakni tempat atau pos penjagaan untuk melihat dan mengawasi perahu-perahu layar atau kapal-kapal layar yang masuk-keluar pelabuhan Sombaopu.
f. bekas menara, yakni berupa gundukan tanah yang hanya ditumbuhi rerumputan, terletak di sebuah tanah lapang di desa Sarombe. Tempat tersebut konon bekas menara Benteng Sombaopu. Jaraknya dari Maccini Sombala' ada kurang lebih 40 m.

Bekas fundasi tembok-lingkar yang didapati dalam usaha penelitian kami, melihat letaknya dan jaraknya dari sungai Berang, adalah tembok-lingkar sisi utara Benteng Sombaopu. Hal itu sesuai dengan keterangan Andi Baso, bekas Pabbicara Butta atau ex-rijksbestuurder (= Mangkubumi) kerajaan Gowa yang menyertai kami dalam survey atau penelitian kami ke daerah ini. Bekas fundasi tembok-lingkar bagian utara di ujung sebelah timur (timur-laut) berukuran 19,60 m membujur ke arah utara ke selatan. Bekas fundasi yang diketemukan di desa Kaccia di sebelah timur tempat Meriam Polong berukuran melintang 3,60 m. Menurut keterangan Dr. K.G. Crucq dalam "Geschiedenis van het heilih Kanon van Makassar" tebal tembok-lingkar Benteng Sombaopu ada 12 kaki.

Dari bahan-bahan penelitian (lapangan dan perpustakaan) ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tebal tembok lingkar Benteng Sombaopu tidak kurang dari 3,60 meter. Jikalau demikian halnya,


278
bekas baluwara pada tembok lingkar
Benteng Wolio (Buton)
maka bekas tembok-lingkar yang berukuran 19,60 meter yang terdapat di bagian utara di ujung sebelah timur itu adalah bekas selekoh atau baluwara (bolwerk) Benteng Sombaopu di sudut timur (timur-laut) yang menghadap ke utara dan menurut keterangan Francois Valentijn berbentuk persegi dan berukuran 16 m (Periksa gambar Benteng Sombaopu menurut Valentijn Deel III plaat atau gambar 23).

Mengingat bahwa meriam-meriam benteng itu tempatnya ada di selekoh atau baluwara, maka tempat bekas "Meriam polong" pun seharusnya merupakan selekoh atau baluwara pula. Letaknya ada di pertengahan jarak antara Maccini Sombala' di ujung barat (barat-laut) dan bekas selekoh atau baluwara di ujung timur (timur-laut) yang tersebut di atas tadi. Hal ini cocok dan sesuai dengan gambar Valentijn. Menurut gambar Valentijn ujung barat-laut Benteng Sombaopu merupakan selekoh atau baluwara (bolwerk) yang besar berbentuk bulat. Kalau kita memperhatikan gambaran Valentijn tentang Benteng Sombaopu kira-kira demikianlah keadaannya.

Tentang tinggi tembok-lingkar Benteng Sombaopu, baik Francois Valentijn maupun Dr. K.G. Crucq, demikian pula penulis-penulis Belanda yang lainnya tidak ada yang menyinggung-nyinggungnya. Sungguhpun demikian, namun jikalau kita mengingat bahwa fungsi tembok-lingkar itu tentunya ialah untuk melindungi bangunan-bangunan penting di dalamnya, misalnya istana Raja dan rumah-rumah para bangsawan (karaeng) dan pembesar kerajaan yang ada di dalam benteng itu, maka dapatlah diperkirakan tinggi tembok-lingkar Benteng Sombaopu itu. Karena bangunan-bangunan penting yang ada di dalam Benteng Sombaopu bercorak rumah Makasar yang didirikan di atas tiang, maka tinggi seluruh bangunan atau rumah-rumah Makasar itu sampai ke atap rata-rata 5 atau 6 meter. Jikalau demikian halnya, maka dapatlah diperkirakan bahwa tembok-lingkar Benteng Sombaopu paling sedikit 7 sampai 8 meter tingginya.

Lebih lanjut Dr. K.G. Crucq yang juga menunjuk gambar Valentijn tentang Benteng Sombaopu melukiskan keadaan benteng kebanggan kerajaan Gowa itu sebagai berikut: "Het kesteel Sombaopu was vierkant, het Westerfront (het seefront) en het Noordfront waren zwaar versterkt, het Zuid en Oostfront minder, aan de West zijde lagen het Zuider-zee-bolwerk, het Nidden bolwerk en het Noordwest of Groot bolwerk; op dit

279

laatste bolwerk was het kanon van Anak Makassar geplaatst." Terjemahan bebasnya: "Benteng Sombaopu berbentuk segi empat. Dinding bagian barat, yakni bagian yang menghadap ke laut (Selat Makasar, penulis) dan dinding bagian utara sangat kuat pertahanannya. Bagian selatan dan timur kurang kuat pertahanannya. Pada dinding bagian barat Benteng Sombaopu terdapat Selekoh atau Baluwara Selatan yang menghadap ke arah laut, Baluwara-Tengah, dan Baluwara Barat-Laut yang lazim juga disebut Selekoh atau Baluwara Agung. Di Baluwara-Agung inilah ditempatkan meriam "Anak Makasar" (Baca: Dr. K.G. Crucq "De Geschiedenis van het Heilig kanon van Makassar" Tijdschrift voor Indische- Taal- Land- en Volkenkunde 1941 deel LXXXI aflevering).
Apabila gambar atau gambaran Francois Valentijn itu diteliti dan Benteng Sombaopu itu berbentuk persegi empat dengan 6 (enam) buah selekoh atau baluwara (bolwerk) pada tembok lingkarnya, maka gambaran dari benteng Gowa yang tangguh itu adalah sebagai berikut:
  1. Sebuah selekoh atau baluwara berbentuk bundar menghadap ke arah barat-daya;
  2. Dua buah selekoh atau baluwara dalam ukuran relatif kecil berbentuk bundar menghadap ke barat, ke arah laut (Selat Makasar;
  3. Sebuah selekoh yang besar menghadap ke arah barat-laut berbentuk bundar. Selekoh atau baluwara inilah yang diSebut Selekoh atau Baluwara Agung.
  4. Pada tembok-lingkar atau dinding sebelah utara di tengah-tengahnya ada sebuah selekoh besar berbentuk persegi;
  5. Sebuah selekoh atau baluwara yang besar berbentuk persegi menghadap ke arah utara di sudut timur-laut benteng itu.

Di dalam Benteng Sombaopu terdapat bangunan-bangunan penting seperti istana Raja yang letaknya agak di tengah-tengah benteng. Istana itu dilindungi pula oleh sebuah tembok-lingkar sehingga merupakan benteng pertahanan tersendiri di dalam benteng, dengan dua buah selekoh atau baluwara untuk menempatkan meriam berbentuk bundar menghadap ke arah barat dan barat-laut serta dua sudut di sebelah selatan menghadap barat-daya.

Di dekat istana di sebelah selatan terdapat sebuah mesjid. Di sekitar istana tampak bangunan-bangunan penting lainnya dengan halamannya masing-masing. Tiap bangunan dilindungi oleh dinding atau pagar yang kokoh sehingga jikalau perlu dapat dijadikan kubu pertahanan yang berlapis-lapis. Itulah sebabnya, maka setelah pasukan-pasukan Belanda dan sekutu-sekutunya berhasil "merobek" dinding Benteng Sombaopu serta menyerbu ke dalam benteng yang tangguh itu dan setelah bertempur mati-matian berhasil menancapkan panji-panjinya di dinding benteng kebanggaan Gowa itu, tugas mereka belum juga selesai. Bahkan mereka masih menghadapi perlawanan yang lebih berat lagi, karena tiap-tiap lapis pertahanan yang ada di dalam benteng itu harus direbut satu demi satu dengan korban yang tidak sedikit, karena orang-orang Gowa mempertahankan setiap jengkal tanah benteng kebanggaannya dengan gagah-berani. Hal ini diakui sendiri oleh pihak Belanda sebagaimana yang dituliskan oleh Dr. F.W. Stapel bahwa di dalam benteng Sombaopu pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya masih menghadapi banyak sekali kubu-kubu pertahanan dan rumah-rumah yang diperkuat, yang harus direbut satu demi satu.

Setelah Benteng Sombaopu jatuh dengan terhormat pada tanggal 24 Juni 1669, maka ibukota dan pertahanan kerajaan Gowa dipindahkan dari Sombaopu ke Benteng Gowa yang lazim juga disebut Benteng Anak Gowa. Benteng Gowa atau Benteng Anak Gowa inipun pada waktu sekarang ini sudah tidak dapat dilihat lagi dengan sekali pandang. Letaknya memang tepat untuk dijadikan pertahanan kedua setelah Benteng Sombaopu, dilihat dari segi strategi pertahanan pada jaman abad ketujuh-belas. Di Benteng Gowa inilah Sultan Hasanudin dan pengikut-pengikut beliau yang setia bertahan.

Sesungguhnya, setelah merebut dan menduduki Benteng Sombaopu, Speelman dan pembantu-pembantunya ingin terus menyerang Benteng Anak Gowa, tempat pasukan-pasukan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin bertahan. Akan tetapi hal itu tidak mereka laksanakan, karena dua hal yang penting, yakni:

281

  1. Pada waktu itu Speelman (V.O.C.) tidak mempunyai pasukan yang cukup kuat untuk segera menyerang Benteng Gowa dengan hasil yang sesuai dengan harapan mereka. Apalagi mengingat betapa gigihnya dan betapa nekadnya pasukan-pasukan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin mempertahankan setiap jengkal tanah-airnya dari serbuan musuhnya. Speelman sangat berhati-hati pada saat-saat terakhir peperangan itu. Mereka tahu bagaimana orang-orang Gowa bertempur laksana ayam jantan yang tidak mudah menyerah. Speelman dan kawan-kawannya khawatir kalau tindakan mereka yang tergesa-gesa dan terburu nafsu akan membawa akibat buruk yang sangat merugikan mereka.
  2. Sementara itu Speelman dan kawan-kawannya mendapat kabar bahwa orang-orang Gowa di dalam benteng pertahanannya yang baru itu berada di dalam keadaan terdesak. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu tindakan nekad pada orang-orang Gowa yang terkenal mudah kalap dan mengamuk bagaikan banteng ketaton tanpa menghiraukan bahaya atau risiko yang akan dihadapinya. Jikalau hal ini terjadi, maka banyak korban yang akan jatuh lagi dan dendam tidak akan berkesudahan.

Karena kedua pertimbangan inilah maka Speelman dan kawan-kawannya tidak berani langsung menyerang benteng pertahanan orang-orang Gowa yang baru itu. Seraya menanti keadaan yang lebih menguntungkan, orang-orang Belanda menghancurkan Benteng Sombaopu sampai rata dengan tanah. Karena tebalnya dan kokohnya dinding tembok yang melingkari benteng kerajaan Gowa yang tangguh itu, maka Belanda mempergunakan beribu-ribu pon mesiu untuk meledakkan dan meratakan dengan tanah benteng kebanggaan kerajaan Gowa itu. (satu pon = setengah kilogram).
Kemudian, pada hari Minggu tanggal 30 Juni 1669 Speelman dan kawan-kawannya mengadakan rapat khusus. Belanda berusaha mencari jalan keluar yang lebih menguntungkan dan tidak terlalu banyak membawa risiko atau akibat yang sangat berat. Dalam rapat itu diputuskan bahwa akan dikeluarkan suatu pengampunan atau amnesti yang menyatakan bahwa siapa-siapa yang dengan sukarela menghentikan perlawanannya dalam jangka waktu lima hari setelah amnesti itu dikeluarkan akan diterima sebagai sahabat dan sekutu Kompeni (V.O.C.). Kemudian pribadi orangorang yang mentaati seruan amnesti itu akan dijamin penuh oleh Kompeni Belanda. Jadi orang-orang itu tidak akan dijadikan budak. Hal inilah yang paling tidak disukai oleh orang-orang Gowa.
Ini adalah suatu siasat yang jitu dan lihai dari pihak Belanda. Dengan demikian tercegah pulalah tindakan nekad orang-orang dan terutama para bangsawan Gowa yang merasa dirinya terdesak. Di sinilah letak kelihaian dan kepandaian Belanda yang harus kita akui. Dengan tanpa mengeluarkan tenaga serta biaya yang banyak, dengan tidak usah mengorbankan jiwa prajurit-prajuritnya, tetapi dengan hasil yang lebih besar dan lebih menguntungkan, Belanda mempergunakan cara yang tepat dengan janji-janji yang sangat menarik untuk mencapai tujuannya.
Dengan siasat yang lihai dan bujukan yang halus inilah Belanda (V.O.C.) berhasil menarik ke pihaknya Raja Tallo yang bernama Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese, dua orang bangsawan dan pemimpin Gowa yang terkenal dan besar sekali pengaruhnya. Dengan perantaraan Sultan Mandarsyah (Sultan Ternate) yang masih selalu mendampingi Speelman, Belanda berhasil membujuk Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese untuk mengakhiri perlawanannya dan menandatangani sebuah perjanjian perdamaian (vredestractaat) yang baru. Hal ini terjadi pada tanggal 15 Juli 1669 dan dilakukan oleh wakil-wakil berkuasa penuh kedua Raja dan pemimpin Gowa yang terkenal itu. Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese berjanji pula akan menyerahkan semua meriam yang mereka miliki dan akan menghancurkan benteng-benteng mereka serta tidak akan membangun lagi benteng-benteng atau pertahanan-pertahanan yang baru untuk melawan Belanda (V.O.C.). Kedua orang bangsawan itu berjanji pula untuk berusaha membujuk agar Sultan Hasanudin dan para pemimpin yang masih bertahan di dalam Benteng Gowa menghentikan perlawanan mereka. Perjanjian ini dikuatkan dengan sumpah oleh Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese sendiri pada tanggal 21 Juli 1669.

Dengan berhentinya Raja Tallo Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese melawan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya, maka kekuatan tempur Gowa menjadi bertambah lemah dan perlawanan sukar dapat diteruskan lagi. Namun Belanda menanti dengan gelisah apa gerangan yang akan di-

283

lakukan oleh pemerintah kerajaan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin.

Setelah Benteng Sombaopu jatuh ke tangan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya pada tanggal 24 Juni 1669 dan karena tidak mau bekerja bersama dengan penjajah Belanda, maka pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanudin dengan sukarela mengundurkan diri. Jadi lima hari sesudah Benteng Sombaopu jatuh dengan terhormat Sultan Hasanudin mengundurkan diri. Baginda menyerahkan takhta kerajaan Gowa kepada puteranya yang bernama I. Mappasomba Daeng Nguraga yang kemudian terkenal pula sebagai Sultan Amir Hamzah. Pada waktu itu Sultan Amir Hamzah masih berusia 13 (tiga belas) tahun. Baginda ini lahir pada tanggal 31 Maret 1656.

Setelah mendapat jaminan bantuan dari Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese, maka barulah Speelman mengerahkan pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya menuju ke Benteng Gowa. Akhirnya Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya berhasil membujuk kerajaan Gowa untuk menanda-tangani sebuah perjanjian perdamaian (vredestractaat) yang baru, seperti yang sudah ditanda-tangani oleh Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese. Pada tanggal 27 Juli 1669 surat perjanjian perdamaian itu dibubuhi cap oleh Pahlawan Hasanudin. Pada waktu itu I. Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah yang sudah menggantikan Pahlawan Hasanudin menjadi Raja Gowa, tidak hadir. Juga Karaeng Karunrung terpaksa menanda-tangani Perjanjian perdamaian itu. Demikianlah akhirnya kerajaan Gowa yang kuat dan jaya itu mengalami keruntuhannya.

Pada tanggal 13 Agustus 1669 berita kemenangan terakhir pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya itu tiba di Batavia. Berita itu tiba dengan surat-surat Raja Gowa, Raja Tallo dan Karaeng Lengkese yang menyatakan bahwa mereka telah menanda-tangani perjanjian perdamaian dengan Belanda. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa mereka atau wakil-wakil mereka akan mengadakan perkunjungan ke Batavia sebagai tanda persahabatan antara kerajaan Gowa dan Kompeini Belanda (V.O.C.).

Pada tanggal 16 dan 17 Agustus 1669 diadakanlah pesta kemenangan di Batavia, sedang di Ujung Pandang Speelman


284 sibuk sekali dengan persiapan-persiapannya untuk berangkat dan kembali ke Batavia. Ternyata pasukan-pasukan Belanda (V.O.C.) banyak yang sakit. Bahkan orang kedua sesudah Speelman, yakni Danckert van der Straten, meninggal karena penyakit beri-beri pada tanggal 8 September 1669. Untuk mencegah timbulnya kembali perlawanan orang-orang Gowa, Speelman terpaksa mengawasi sendiri penghancuran benteng-benteng dan pertahanan kerajaan Gowa yang masih ada. Di dalam dan di sekitar Benteng Ujung Pandang yang sudah dirobah namanya menjadi Fort Rotterdam dibangun gudang-gudang dan gedung-gedung kantor V.O.C.

Pada awal bulan Desember 1669 Speelman tiba di Batavia bersama beberapa orang Raja dan bangsawan beserta pengiring-pengiringnya. Di dalam rombongan Speelman itu ikut serta Raja Tallo Sultan Harun Alrasyid dan Karaeng Lengkese dengan 400 (empat ratus) orang pengikutnya, putera Pahlawan Hasanudin yang mewakili kerajaan Gowa dan kemudian menjadi Raja Gowa yang ke XVIII yang bemama I. Mappaosong Daeng Mangewai Karaeng Bisei Tumenanga ri Jakarta dengan 140 (seratus empat puluh) orang pengikutnya. Kemudian ada Pangeran Kacil Korimata (Kalamatta), saudara Sultan Ternate Mandarsyah. Pangeran Kalamatta menjadi ipar Raja Tallo dan membawa 150 (seratus lima puluh) orang. Selanjutnya hadir pula Aru Palaka bersama keponakan beliau yang bemama La Patau beserta Raja-Raja sahabat dan sekutu V.O.C. dengan pengikut-pengikutnya kurang lebih 800 (delapan ratus) orang. Dalam rombongan Speelman yang akan menghadiri pertemuan besar di Batavia itu turut pula Kapten Joncker dari Manipa.

Pada tanggal 20 Desember 1669 di ruang sidang Kasteel Batavia dilangsungkanlah sebuah upacara dan pesta yang sangat meriah yang tidak pernah diadakan dan disaksikan orang sebelum itu di Batavia, kota pusat kekuatan dan kekuasaan V.O.C. di Indonesia. Pesta itu dihadiri pula oleh Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) dan para anggota Dewan Hindia (de Raden van lndie). Kemenangan ini sangat menggembirakan para pembesar Belanda (V.O.C.) dan sekutu-sekutunya. Terutama pihak Belanda (V.O.C.) sendiri sangat gembira dengan kemenangan gilang-gemilang itu. Kemenangan atas kerajaan Gowa itu sangat menaikkan gengsi dan memperbesar pengaruh Belanda (V.O.C.) terutama di Indonesia bagian timur.

285

Pun di negeri Belanda sendiri orang-orang Belanda menyembut dengan sangat gembira kemenangan V.O.C. atas kerajaan Gowa. Kemenangan Belanda (V.O.C.) atas kerajaan Gowa ini besar sekali pengaruhnya terhadap Raja-Raja yang belum mengakui kekuasaan Belanda (V.O.C.) seperti misalnya: Banten dan Mataram. Memang kemenangannya atas kerajaan Gowa itu sengaja dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda (V.O.C) yang memang ahli dan sangat mahir di bidang ini untuk menarik keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Nama Laksamana Cornelis Janszoon Speelman mendadak menanjak sebagai seorang yang besar sekali jasanya terhadap V.O.C., bangsa dan negeranya. Speelman disebut-sebut dan disanjung sebagai seorang pahlawan penakluk kerajaan Gowa yang kuat dan jaya.

__________