Surat Pelembut Hati

Surat Pelembut Hati
oleh Susi
52522Surat Pelembut HatiSusi

=== Surat Pelembut Hati ===

Susi sunting

Usuhuluddin IAIN IB sunting

Ini pagi hari ketiga, dengan keadaan sama kulihat laki-laki setengah gondrong itu. Duduk di depan jendela kamarku, sementara dari dalam terdengar lantunan surat Ar-Rahman menyambut mentari yang mulai menunaikan tugas. Seperti hari-hari kemarin, begitu melihatku datang, dia pergi dengan langkah terburu dan wajah setengah takut. Kali ini aku mencegatnya.

"Assalamualaikum."

"Eh, maaf... tidak, maaf, saya bukan maling," tubuh itu tergesa meninggalkanku. Ternyata wajah ramahku membuatnya takut. Sungguh, tak ada niat untuk menakutinya, cuma ingin tahu apa yang dikerjakannya setiap pagi buta di depan kamar ini dan mengapa ia takut melihat kedatanganku.

Aneh, hanya itu yang kurasakan. Aku yakin dia tidak akan mencuri walau kucukup tahu masa lalunya nan kelam. Masih terbayang dalam benakku saat baru menghuni wisma bangsa ini. Tubuh seorang remaja digelandang sepanjang jalan Dr. Soetomo. Tubuh berdarahnya bisa diamankan setelah kedatangan pak lurah. Tidak cuma itu, selama satu tahun menghuni wisma bangsa sudah tiga kali remaja tanggung tersebut diciduk keamanan desa dengan tuduhan berjudi dan merampok.

Seiring perjalanan waktu, ternyata aktivitas dakwahku tidak menyentuh sosok si pemuda yang bernama Toni ini. Seakan-akan dalam jiwaku ada keengganan untuk mendekatinya. Tidak tahu pasti mengapa. Mungkin karena catatan hitam perjalanan hidupnya atau hatinya telah tertutup untuk sebuah kebenaran. Mungkinkah sebuah kesalahan? Entahlah.

***

“Assalamualaikum, maaf, jangan lari dulu. Uda ingin berkenalan. Nama uda, Hafiz,” dengan senyum kuulurkan tangan mencegah kepergiannya. Hari keempat ketika dia kembali duduk di depan wisma.

“Toni, maaf, saya buru-buru.”

“Tunggu, saya tahu, Saudara cuma segan. Jangan malu, masuk dulu. Setelah pertemuan yang kesekian kali, saya yakin ini petunjuk Allah, kita harus saling kenal.”

“Tapi, saya malu dan takut,” Toni tetap menolak. Senyumku mulai membuatnya ragu. Dengan merengkuhnya pelan, kami beriringan masuk. “Subhanallah, Hafiz, pagi-pagi sudah dapat berkah.” Hasan teman satu kamar menyambut, menyalami aku dan Toni, kemudian berlalu ke belakang. Tak lama muncul lagi ia dengan tiga cangkir teh. Kami berbincang hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi.

Dari pertemuan pertama, aku makin karib dengan Toni. Walau jarang bertemu karena jadwal kuliah dan aktivitas yang padat, kami selalu menyempatkan berbicara selepas Isya. Salat berjamaah di musala samping rumah dan menghabiskan waktu mengobrol hingga pukul 21. 30. Ada semacam keterikatan hati yang kuat.

Dalam obrolan aku tidak pernah menyinggung kebiasaannya dulu. Sampai ia dengan heran bertanya mengapa aku tidak pernah menanyakan kebiasaan lamanya. Saat ini kami duduk di sebuah dangau persawahan belakang rumah. Dengan senyum aku menjawab, "Karena Uda tahu pasti, Toni tidak akan mencuri."

"Uda ndak ingin tahu?" Keningnya mengerut.

"Hanya kalau Toni bersedia bercerita."

"Ton sudah cerita sama Uda, kalau ndak pernah ngaji, ndak bisa baca Quran. Bahkan, ndak ingin belajar hingga suatu hari..., Ton ingat Ramadan memasuki minggu kedua. Saat salat Subuh, Uda imam dan membaca surat..., Ton ndak tahu apa, tapi ada yang teringat. Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban. Uda sering mengulangnya. Saat itu aku tidur di lantai dua dan terbangun. Ada perasaan lain menyelinap, rasa ingin menangis juga. Entahlah, Ton ndak tidur lagi sampai salat Subuh selesai. Bahkan, saat musala telah lengang"

Sesaat ceritanya terhenti ketika seekor belalang hinggap di kakinya. "Sebelum pulang Ton lewat depan wisma bangsa dan mendengar lagi suara tadi. Karena enak, besok pagi aku salat Subuh di musala walau selama ini ndak pernah salat. Sebenarnya tidak bisa, Ton cuma ikut imam. Ton berharap, Uda imam dan membaca ayat Fabiayyi."

"Surat Ar-Rahman," kataku dengan tersenyum. Dia juga.

"Ton kecewa, ternyata Uda ndak ada dan imam tidak membaca Ar-Rahman. Ton pulang lagi kayak kemarin, eh ada yang baca. Sejak saat itu, setiap pagi aku suka duduk di sana. Selama ini tidak pernah ketahuan sampai Uda melihat. Ton takut dikira maling, digebukin. Ton sudah kapok."

Subhanallah, hatiku tersentuh. Ternyata hatinya begitu lembut. Mahasuci Allah. Tiba tiba aku ingat betapa selama ini tidak mempedulikannya. Menganggap sosok tujuh belasan itu terlalu jahil dan jauh dari hidayah Allah. Ampuni aku, Ya Allah. Maafkan Uda, adikku. Kurengkuh tubuhnya, kucium kepalanya. Air mataku jatuh, hangat di kepalanya.

"Eh, Uda mengapa menangis?" Dia mengangkat kepala dan menatapku heran. Aku menggeleng, tersenyum. "Uda sayang Toni," kugandeng tangannya. Azan terdengar di kejauhan, magrib menjelang.

***

Ar-Rahman...

Kupandang Toni dengan tatapan sayang. Dalam dua bulan, Toni hafal lima belas ayat surat Ar-Rahman. Dia menghafal dengan cara mendengar dari kaset karena dia masih belajar iqro. Dia juga mulai salat dengan bacaan yang benar. Ar-Rahman surat yang melembutkan hati.

Tak biasanya, selesai menyetor hafalan dia menunduk, wajahnya mendung. Tak ada acungan dua jempol saat mengakhiri bacaan. Tidak juga lafaz takbir kemenangan saat hafalannya bertambah. Saat mengangkat kepala, aku kaget ada aliran hangat membelah kedua pipinya. Dengan sabar kutunggu dia bersuara.

"Da, mungkin ini pertemuan kita yang terakhir. Ton harus pergi, Ton takut," kata-katanya tersendat berusaha melawan emosi. Kugenggam erat tangannya mencoba membagi beban. Kubiarkan dia terus bercerita, tak berusaha menyela.

"Ton harus pergi jauh," tatapnya nanar.

"Mengapa Uda diam?”

"Uda yakin, Ton akan bercerita kalau punya masalah karena Uda tahu siapa Ton," dengan senyum kutatap Toni, mencoba berempati.

"Da Kaing tertangkap, Ton takut, kapok di penjara. Ton harus pergi jauh."

"Ton lupa janji, Ton?"

"Ndak. Ton ndak lupa, tapi ada hal yang Ton khawatirkan. Jika tertangkap, aku mungkin tak bisa belajar lagi," Omongannya terhenti sesaat.

"Ton sering keluar masuk penjara. Kalau ditangkap lagi akan dibuang jauh. Tidak bisa dan tidak lagi melihat wajah-wajah bersih yang selama ini meneduhkan. Tolong, Ton, Da..!"

Kueratkan lagi genggamanku. Hatiku tersayat, ucapannya terasa benar. Ada keinginan untuk membantu pelariannya. Dengan ini, berarti aku bersekutu dalam kejahatan. Hatiku bimbang, ingin membantu dan berbuat adil.

"Ton ingat omongan Uda, kan? Allah ada di mana-mana, bisa disembah di mana saja dan yakinlah sekalipun di penjara, Allah akan bersama kita kalau mau mengingat-Nya."

"Ton terlalu jahat. Ini kali keempat Ton dipenjara, di tempat yang sama. Ton pasti akan lebih disiksa dan yang paling menyedihkan, tidak bertemu Uda lagi."

Napasku kembali tersekat di tenggorokan. Tidak ada masyarakat. Kota Padang yang tidak bergidik mendengar nama Kaing. Perampok yang dua tahun terakhir menjadi momok paling menakutkan. Ternyata, Ton sebelum "hijrah", pernah terlibat dalam kelompok ini. Sekarang Kaing tertangkap dan kemungkinan besar Ton juga akan diciduk. Tetapi, melarikan diri bukan cara baik, apalagi menyelesaikan masalah. Ton harus tetap di sini dan menyerahkan din pada polisi. Aku harus meyakinkannya.

Toni tersedak, kening mengerut, kepala menggeleng, mulutnya setengah terbuka. Kata-kataku seolah menjadi petir di telinganya. Aku sendiri ikut terkejut melihat reaksinya. Sambil berusaha menenangkan diri sendiri dan juga Toni kulanjutkan, berkata, "Tidak, jangan berpikir yang bukan-bukan. Uda tidak akan menjerumuskanmu. Dengan menyerahkan diri kepada pihak kepolisian, mungkin hukumannya akan dipertimbangkan. Lagi pula Ton tidak terlibat langsung penjarahan itu."

"Uda ndak tahu isi hati ini. Ton takut, sangat takut. Pokoknya harus pergi."

"Jangan emosi, istigfar. Tarik napas dalam, pertimbangkan dengan baik. Kalau nanti Ton memutuskan untuk pergi, Uda akan restui dengan syarat, pikirkan dengan matang." Ton terdiam, kubiarkan sampai dentang pukul sebelas mengejutkan. Larut malam sebelum berpisah, kupeluk Sulthon dengan sepenuh rasa, menguatkan. Teriring doa, semoga adikku bisa mengambil keputusan yang tepat.

***

Aku tersenyum. Dari jauh kutatap sosok berwajah bersih dalam penjara kelas II A, Padang. Toni, adikku.

“Da, Ton berjanji, begitu keluar dari penjara ini, Ton sudah pintar mengaji dan akan mengimami orang salat dengan ayat ini. Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban." Janji Ton mengiang di telingaku. Toni di penjara delapan belas bulan. Air mataku menetes mengiringi langkahku meninggalkan LP, selesai membezuknya setelah seminggu ditahan.






86