Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili

Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili  (1848) 
(Rechterlijke Organisatie; RO)
(S. 1847-23 jo. S. 1848-57)

SUSUNAN KEHAKIMAN DAN KEBIJAKSANAAN MENGADILI

(Rechterlijke Organisatie; RO)

S. 1847-23 jo. S. 1848-57, Hanya pasal-pasal 55, 56, 140, 180, 181, 182 dan Bab VI dan VII

Anotasi:

Beberapa pasal perlu dimuat di sini, karena perundang-undangan Rl belum mengatur hal-hal yang dimaksudkan dalam pasal-pasal di bawah ini:

Pasal 55. (s.d.u. dg. S. 1864-52.) Openbaar Ministerie ("Kejaksaan") diberikan tugas khusus untuk menegakkan ketentuan-ketentuan undang-undang dan ketetapan-ketetapan dan Kekuasaan Umum dari Pemerintah, untuk mengadakan penuntutan atas semua kejahatan dan pelanggaran dan untuk melaksanakan semua keputusan hukuman. (RO. 37, 62, 70, 116 octies, 131 d, 134, 137, 144, 168, 170, 179 dst., 182; KUHPerd. 65, 86 dst., 381, 435, 439, 442, 45, 457; Rv. 319,321 dst.; Sv. 1 dst., 9 dst., 21 dst., 27 dst., 40 a dst., 338; RBg. 518 dst.; S. 1864-52 jo. S. 1908-522 pada Rv. 318.)

Pasal 56. (1) Pejabat-pejabat (pegawai-pegawai) dan Openlaar Ministerie menjalankan perintah-perintah, yang diberikan kepadanya dalam kedudukan selaku Pejabat, yang akan diberikan oleh Gouvenieur Generaal (G.G.; kini dapat disamakan dengan Menteri Kehakiman) atau karenanya. (RO. 5, 179 dst.) (2) Mereka juga diwajibkan apabila diminta, menyampaikan dengan segera berita-berita, pertimbangan-pertimbangan dan saran-saran kepada G.G. dan majelis di mana mereka ditempatkan. (RO. 5, 32.)

Pasal 140. Pengawasan oleh Raden van Justitie (R.v.J.; kini dapat disamakan dengan Pengadilan Tinggi) terhadap para notaris, dan arsipnya, register dan daftar urutan akta-akta, demikian pula terhadap lembaga-lembaga pemasyarakatan di tempat-tempat yang terdapat Raden van Justitie tersebut, diatur dengan ketentuan-ketentuan khusus. (Ketentuan tentang berlakunya dan peralihan perundang-undangan baru 104; Acara Pidana 362, 367; Reglemen Peradilan Luar Jawa dan Madura 96; Not. 50 dst.; S. 1918-169.)

Pasal 180. Procureur Generaal (P.G.; kini dapat disamakan dengan Jaksa Agung), ialah Kepala Kepolisian Kehakiman di seluruh Indonesia dan dalam kedudukannya demikian berkewajiban untuk dengan segera melaksanakan dengan penuh kewibawaannya segala ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam hukum acara pidana. (s.d. u. dg. S. 1941 -31.) Pegawai-pegawai Kejaksaan yang menjalankan tugasnya dalam Majelis-majelis Pengadilan untuk golongan Eropa, begitu juga Pegawai-pegawai Pengadilan-pengadilan Negeri yang berdasarkan pasal 93 a ditunjuk oleh G.G. semata-mata berada secara langsung di bawah perintahnya, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam pasal 56. (Sv. pasal 2, III.)

Pasal 181. Jaksa Agung berwenang untuk memberikan instruksi-instruksi kepada Pegawai-pegawai administrasi dari golongan Eropa, yang ditugaskan dalam kepolisian apabila dianggap perlu untuk kepentingan kehakiman, mengenai penyelidikan dan pencegahan kejahatan atau pelanggaran dan mengenai tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan keamanan. Apabila dalam memberikan instruksi-instruksi itu ataupun dalam menjalankan jabatannya selaku P.G. timbul halangan-halangan, maka hal itu harus diberitahukan kepada Hogegerechtshof (H.g.H.; kini dapat disamakan dengan Mahkamah Agung) yang dengan disertai pertimbangan dan nasihatnya selanjutnya meneruskan kepada G.G. untuk dimohonkan Keputusannya. Akan tetapi P.G. atas kekuasaannya sendiri tidak diperkenankan untuk memberikan perintah-perintahnya mengenai hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan Pamongpraja ataupun dengan organisasi kerumah-tanggaan desa, tapi mengenai hal ini harus diajukan usul-usul kepada G.G. yang kemudian oleh G.G. akan diadakan surat-menyurat mengenai hal itu apabila hal itu memang dianggap perlu.

Pasal 182. P.G. berkewajiban untuk mengelola daftar, seperti yang ditentukan dalam pasal 144. H.g.H. mempunyai wewenang untuk dalam setiap waktu melihat daftar-daftar itu dan untuk mendapatkan salinan-salinan dari surat-surat mengenai hal-hal yang menurut pasal 144 harus dikirimkan kepada P.O.

BAB VI. ADVOKAT DAN PENGACARA.

Pasal 185. Para Advokat sekaligus menjadi Pengacara. Sifat dan pemberian jasa dan pekerjaan yang bersangkutan dengan jasa itu, ditetapkan dengan peraturan mengenai hukum acara perdata dan hukum acara pidana. (Rv. 23, 28 dst.; Sv. 101, 120, 180.)

Pasal 186. (s.d.u. dg. S. 1934-484.) Para Advokat yang sekaligus menjadi Pengacara diangkat dan diberhentikan oleh G.G. Untuk diangkat sebagai Advokat yang sekaligus menjadi Pengacara, ialah hanya mereka yang: 1°. berkaula negara Belanda; 2°. mempunyai ijazah Universitas di Negeri Belanda atau iiazah RHS di Jakarta; atau yang telah mencapai gelar doctor dalam llmu Hukum, atau yang telah mencapai gelar Meester in de Rechten, apabila dalam hal ini dicapai setelah lulus dalam ujian Hukum Perdata dan Dagang Belanda atau Indonesia, Hukum Tatanegara dan Hukum Pidana.

Pasal 187. Para Advokat dan Pengacara sebelum menerima jabatan diadakan pengambilan sumpahnya di hadapan Ketua R.v.J. dalam sidang Majelis Pengadilan yang terbuka untuk umum di mana mereka diangkat.

Pasal 188. Para Advokat dan Pengacara yang menjalankan prakteknya pada H.g.H. di mana mereka diangkat, harus mempunyai tempat tinggal dalam jarak tiga, untuk selebihnya lima paal, dan tempat kedudukan H.g.h. di mana sidang-sidang dilakukan.

Pasal 189. Para Advokat dan Pengacara pada R.v.J. dalam menjalankan tugasnya terikat dengan R.v.J. tersebut di mana mereka diangkat untuknya. Para Advokat dan Pengacara yang diizinkan untuk bertugas pada H.g.H. dapat menangani perkara perdata pada H.g.H. dan begitu juga pada R.v.J. di Jakarta, sedangkan mengenai perkara pidana di seluruh Jawa.

Pasal 190. (s.d.u. dg. S. 1941-511 jo. 513.) Para Advokat dan Pengacara yang ditunjuk dalam menjalankan tugasnya pada R.v.J.-R.v.J. yang bersangkutan, diwajibkan dengan cuma-cuma atau setengah dan honorariumnya, untuk memberikan bantuan hukum kepada mereka, yang telah memperoleh izin untuk mengajukan perkara di muka Pengadilan dengan cara cuma-cuma ataupun dengan tarip yang dikurangi. (Rv. 876, 889.) Begitu pula mereka berkewajiban untuk secara cuma-cuma membela perkara dalam perkara pidana, apabila hal ini diperintahkan oleh Hakim. (Sv. 101, 120, 180.) Mereka tidak dapat membebaskan diri dan kewajiban itu, kecuali dengan alasan yang disetujui oleh Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan.

Pasal 191. Para Advokat dan Pengacara dalam memperhitungkan honorarium perkara dan uang muka untuknya, diwajibkan mengambil dasar tarip yang telah ada atau tarip yang akan ditentukan lebih lanjut. (S. 1861-27, pasal 22 dst.)

Pasal 192. Majelis-majelis Hakim berkewajiban untuk mengawasi tingkahlaku dari para advokat dan pengacara yang diizinkan menjalankan prakteknya pada Majelis yang bersangkutan yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan mereka. Dalam tugas mengawasi ini, susunan Majelis Hakim ditambah dengan dua orang advokat sebagai pendamping. Para pendamping ini, begitu pula dengan dua orang sebagai pengganti pendamping yang diambilnya dari para advokat dan pengacara, diangkat oleh G.G. untuk masa jabatan selama tiga tahun. Untuk pengangkatan tersebut G.G. dapat meminta saran-saran dari satu atau lebih lkatan Advokat dan Pengacara dari advokat dan pengacara, yang menjalankan prakteknya pada Pengadilan yang bersangkutan. Pendamping pengganti hanya dapat mengikuti sidang apabila pendamping itu sendiri berhalangan atau karena suatu sebab tidak dapat hadir, untuk siapa ia ditunjuk sebagai penggantinya. Ketua Majelis Pengadilan mengatur penggantian sementara pada setiap peristiwa yang terjadi, apabila pendamping atau penggantinya berhalangan atau karena satu sebab tidak dapat menghadiri sidang. Ketentuan-ketentuan pada pasal 18 ayat (1), (3) dan (4), kalimat pertama pada pasal 20 ayat (1) huruf a, b, c, dan d - ketentuan yang disebut terakhir telah dihapuskan dan pasal 9 dan 21 -, pada pasal 20a ayat (1), (2) dan (3), pada pasal 20c ayat (1) - setelah dihapuskan dan pasal 9 dan 21 -, pada pasal 37 ayat (1), pasal 41 ayat (1), pasal 42, dan pasal 44 dan pasal 67 ayat (1) berlaku pula bagi pendamping dan penggantinya. Pada peristiwa-peristiwa di mana dapat terjadi hak ingkar atau hak untuk membebaskan din dan tugas yang diberikan dan para pendamping atau penggantinya, berlaku ketentuan-ketentuan yang sama seperti yang diatur dalam perundang-undangan mengenai Pejabat-pejabat Pengadilan dalam acara perkara perdata. (s.d.u. dg. S. 1939-283.) Majelis Hakim Pengadilan berwenang untuk menegur para advokat dan pengacara yang menjalankan praktek pada Pengadilan-pengadilan, apabila para advokat dan pengacara ini mengabaikan kepentingan para kliennya, bertingkah laku tidak sepantasnya terhadap para pihak yang berperkara atau para advokatnya dan selanjutnya apabila mereka ini melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban dan kehormatannya selaku advokat dan pengacara atau juga apabila mereka ini menunjukkan sikap tidak hormat terhadap Majelis atau para anggotanya atau pejabat pengadilan lain, begitu pula dalam menggunakan kata-kata yang tidak pada tempatnya terhadap Undang-undang atau kekuasaan umum dan bahkan juga menurut keadaan, maka Majelis Hakim dapat mengadakan pemecatan sementara (schorsing) untuk jangka waktu setinggi-tingginya enam bulan atau dikenakan denda paling tinggi f. 200,- untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu, dengan memerintahkan pula untuk membayar ganti-rugi seluruhnya atau sebahagian, yang ditimbulkan oleh kesalahannya atau kelalaiannya dalam memperhatikan para pihak yang berperkara. (RO. 203; Rv. 29, 60, 93, 98, 264; S. 1851-27 pasal 66.) (s.d.t. dg. S. 1925-153 danS. 1939-283.) Atas keputusan dan R.v.J., advokat dan pengacara yang berkepentingan dapat mengajukan banding dengan surat permohonan dalam waktu empat belas hari setelah hari keputusan diucapkan kepada H.g.H. Dalam hal mengambil keputusan mengenai banding ini dalam sidang H.g.H. turut bersidang pula para pendamping yang telah diangkat untuk H.g.H. Apabila tingkah laku yang dianggap tidak pantas itu berulang kembali atau terjadi kelampauan batas yang tidak semestinya maka H.g.H. karena jabatannya atau berdasarkan usul dan R.v.J. dapat mengusulkan kepada G.G. pemecatan dengan tidak mengurangi wewenang dan G.G. untuk mengadakan pemecatan tanpa adanya usulan sedemikian.

BAB VII. JURU SITA. Pasal 193. - (s.d.u. dg. S. 1895-497.) Para juru sita baik yang luar-biasa maupun yang biasa, adalah Pejabat Umum. (Sv. 422; IR. 388 dst.; RBg. 716.) - (s.d.u. dg. S. 1925-497.) Para juru sita yang biasa di tiap daerah (gewest) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. - G.G. menekan jumlah mereka yang ditempatkan pada tiap Pengadilan. - Para juru sita pada H.g.H. militer dapat juga diangkat untuk H.g.H. sipil dan begitu pula untuk sebaliknya. - (s.d.u. dg. S. 1925-497.) Para juru sita luar biasa di tiap afdeeling diangkat menurut kebutuhan oleh kepala afdeeling yang bersangkutan yang juga mempunyai wewenang untuk memberhentikannya. (RO. 198, 203, 205; Rv. 20, ayat 2.) (Tiga alinea berikutnya dihapuskan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang).

Pasal 194. Sebelum menjalankanjabatannya, para juru sita biasa diambil sumpahnya dalam sidang yang terbuka untuk umum dan Majelis Pengadilan, di mana mereka diangkat, diambil sumpahnya oleh Ketua Majelis. Sumpah jabatan yang dimaksudkan di atas dilakukan juga oleh parajuru sita luar biasa di hadapan Kepala Pemerintahan setempat, yang selaujutnya mengenai pengangkatan dan pengambilan sumpah ini diberitahukan kepada R.v.J. (S. 1886-101.)

Pasal 195. Para juru sita biasa diharuskan mempunyai tempat tinggal dalam jarak tiga paal dari gedung Majelis, di mana dilakukan sidang-sidangnya, pada Majelis mana mereka diangkat. Untuk parajuru sita luar biasa dalam surat pengangkatannya, ditunjuk pula suatu tempat di mana mereka harus bertempat tinggal. (RO. 198, dst.)

Pasal 196. Para juru sita biasa menjalankan tugas-tugas dalam sidang pengadilan dan melaksanakan pekerjaan dalam permusyawaratan-permusyawaratan dan panitia-panitia khusus. Mereka berkewajiban untuk melaksanakan perintah-perintah yang diberikan oleh Ketua kepadanya.

Pasal 197. Majelis Pengadilan berwenang, apabilajuru sita biasa berhalangan menjalankan pekerjaannya, untuk mengangkat juru sita sementara. Pegawai ini, yang bertugas selaku juru sita dalam jabatannya, tidak diperbolehkan menjalankan tugasnya sebelum melakukan sumpah jabatan seperti yang dimaksud dalam pasal 194. (s.d.u. dg. S. 1895-106.) Pengangkatan ini harus dengan segera diberitahukan kepada H.g.H. dan harus mendapatkan pengesahan dan Dir. v. Justitie. Pemberitahuan dan pengesahan ini tidak diharuskan, apabila pengangkatan ini mengenai pengangkatan sementara belaka bagi penggantian juru sita biasa yang sedang dalam schorsing (pemberhentian sementara) atau berhalangan untuk menjalankan tugasnya karena sakit.

Pasal 198. Para juru sita dalam daerah Majelis masing-masing, di mana mereka ditempatkan, berwenang untuk melakukan pemberitahuan pengadilan, pengumuman, protes-protes dan exploit-exploit lain yang bersangkutan ataupun tidak bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam proses; pula untuk mengadakan segala macam panggilan, teguran dan pemberitahuan tentang kapan dimulainya perkara atau instruksi yang bersangkutan dengan perkara perdata ataupun perkara pidana dan menjalankan semua exploit untuk melaksanakan perintah-perintah hukum, keputusan-keputusan hakim dan arrest-arrest, baik dalam perkara perdata, maupun pidana. Dalam melakukan semua exploit-exploit, mereka meninggalkan salinannya sebagaimana diharuskan. (Rv. 1, 16, 142, 435, 443, 504 dst.; Sv. 46, 80, 107, 178 dst.)

Pasal 199. (s.d.u. dg. S. 1925- 234.) Setiap juru sita atas tanggung-jawabnya pribadi berkewajiban untuk menjalankan segala exploit dalam afdeeling, di mana ia mempunyai tempat tinggal, apabila hal itu diperintahkan oleh departemennya (s.d.u. dg. S. 1918-234.) Akan tetapi ia berkewajiban untuk menolak pelaksanaan exploit yang bertentangan dengan kewajiban yang bersifat hukum kerakyatan dan Negara, apabila mengenai hal itu telah ada peringatan dan atau atas nama G.G. Untuk penolakan ini ia tidak bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang berperkara.

Pasal 200. Para juru sita berkewajiban dalam memperhitungkan gaji dan uang muka, memperhatikan ketentuan-ketentuan tarip yang telah diadakan untuk itu. Pada bagian bawah dan exploit yang telah dilaksanakannya, harus dinyatakan secara tersendiri gaji dan uang-muka yang telah ia terima. Tanpa menyebutkan hal ini, tidak akan dibayarkan dan anggaran yang diperuntukkan untuk itu, dan para pihak yang berperkara tidak diharuskan untuk memenuhi pembayaran itu. Para juru sita berwenang untuk meminta uang-muka, sebelum menjalankan pelaksanaan exploit. (S. 1851-57, S. 1872-153.)

Pasal 201. (s.d.u. dg. S. 1941-511 jo. 513.) Para juru sita berkewajiban untuk menjalankan perintah dan Majelis di mana mereka ditempatkan, secara cuma-cuma atau dengan setengahnya dan gajinya dan tanpa meminta uang-muka terlebih dahulu, dalam kasus-kasus yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 202. Para juru sita harus mengelola suatu register atau repertoire. Surat-surat exploit yang telah dikeluarkan dan ditandatangani harus ditulis dengan jelas dan teliti. Apabila hal ini tidak diindahkannya, gajinya yang berkaitan dengan surat-surat itu tidak akan diberikan. (KUHD 182; Rv. 98.)

Pasal 203. (s.d.u. dg. S. 1895-106, 1925-497, 1939-283.) Ketentuan-ketentuan dalam pasal 192 mengenai advokat dan pengacara yang menjalankan praktek, berlaku pula bagi juru sita, dalam arti bahwa Majelis dalam hal ini mengambil putusannya tanpa diikutsertakan para pendamping dan selanjutnya dalam hal seperti yang dimaksudkan dalam ayat terakhir, keputusan untuk memberhentikanjuru sita biasa darijabatannya terletak di tanganKepala Daerah (gewest), dimana juru sita itu bertempat tinggal dan mengenai juru sita luar biasa di tangan Kepala afdeeling yang bersangkutan. (Rv. 21, 60, 93, 98.)

Pasal 204. (s.d.u. dg. S. 1901-15, 273.) Peraturan khusus mengenai juru sita yang ditempatkan pada Pejabat-pejabat Pengadilan bangsa Indonesia, begitu pula pada Pengadilan karesidenan, ditetapkan secara khusus. (Rv. 933; Sv. 422; S. 1895-204.)

Pasal 205. Wewenang untuk melaksanakan exploit-exploit Pengadilan, dari para petugas Pengadilan dan pegawai dari Penguasa Umum, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. (Sv. 422; IR. 388; RBg. 716.)