Tabir Adalah Lambang Perbudakan

TABIR ADALAH LAMBANG PERBUDAKAN

TABIR TIDAK DIPERINTAHKAN OLEH ISLAM

Berhubung dengan artikel di dalam "Adil" tanggal 21 Januari 1939, yang mengenai hal tabir, maka koresponden "Antara" telah memerlukan bertemu dengan Ir. Sukarno, untuk menginterview beliau. Beginilah jalannya percakapan koresponden "Antara"

dengan beliau:

Kor.: Perkabaran kami tempo hari, yang mengenai diri tuan dengan soal tabir telah dikomentari. Tentu tuan telah membaca komentar itu. Sekarang kami bertanya kepada tuan: "Apakah benar tuan meninggalkan rapat umum Muhammadiyah itu sebagai protes

kepada tabir?"

Ir. Sukarno: Benar! Saya anggap tabir itu sebagai suatu simbul. Simbulnya perbudakan perempuan. Keyakinan saya ialah, bahwa Islam tidak mewajibkan tabir itu. Islam memang tidak mau memperbudakkan perempuan. Sebaliknya Islam mau mengangkat derajat perempuan. Tabir adalah salah satu contoh dari hal yang tidak diperintahkan oleh Islam, tetapi diadakan oleh umat Islam. Tuan tentu sudah baca saya punya "Surat-surat Islam dari Endeh". Siapa yang sudah baca itu, ten­tulah ia mengerti bagaimana visi saya tentang Islam. Saya menolak sesuatu hukum agama yang tidak nyata diperintah oleh Allah dan Rassul.

Kor.: Tidakkah Islam melarang lelaki dan perempuan berpandangan satu sama lain?

Ir. Sukarno: Islam pada bathinnya menyuruh laki-laki dan perempuan (pada umumnya), menundukkan math, jika berhadapan satu sama lain.

Kor.: Tetapi boleh jadi tabir itu dianggap oleh sebahagian dari umat Islam sebagai suatu alat, agar supaya lelaki dan perempuan tidak berpandangan satu sama lain. Sebab sudah nyata, bahwa pada umumnya berpandang-pandangan satu sama lain itu terlarang.

Ir. Sukarno: Boleh jadi begitu. Tetapi itu satu ikhtiar yang di luar perintah Allah, dan … ganjil! Marilah saya ambil satu tamzil:

Allah melarang orang mencuri. Kenapa tidak semua rumah

ditutup rapat sahaja, agar orang tak bisa mencuri? Atau Allah melarang orang berjusta. Kenapa kita tidak menjahit sahaja mulut kita agar supaya kita tidak berjusta? Nah, begitulah duduknya dengan pandang-memandang antara lelaki dan perempuan.

Dilarang pandang-memandang bila tak perlu, tetapi tidak diperintahkan bertabir! Masing-masing orang harus menjaga hati

dan matanya sendiri-sendiri.

Kor.: Bagaimanakah kehendak tuan menempatkan orang lelaki

dan perempuan di tempat rapat?

Ir. Sukarno: Dijarakkan sahaja antara lelaki dan perempuan zonder tabir, atau satu fihak ditempatkan di muka dan satu fihak lagi di bagian belakang, sebagai yang dicontohkan oleh Nabi. Saya anti pergaulan secara Barat.

Kor.: Bukankah tabir itu telah menjadi adat bagi tiap-tiap rapat Muhammadiyah, terutama di Bengkulen? Tuan tokh mengetahui

hal itu dari dulu dan mengapakah tuan masuk Muhammadiyah?

Ir. Sukarno: Hal itu saya ketahui! Tapi saya masuk di kalangan Muhammadiyah itu bukanlah berarti saya menyetujui semua hal yang ada di dalamnya. Juga di dalam dunia Muhammadiyah ada terdapat elemen­-elemen yang di dalam pandangan saya adalah masih kolot sekali. Saya masuk ke Muhammadiyah karena saya ingin mengabdi kepada Islam. Pada azasnya Muhammadiyah adalah mengabdi kepada Islam. Tetapi tidak semua sepak terjangnya saya mufakati.

Dari H. Mansur cs saya percaya akan datang banyak perobahan.

Di dalam konferensi pengajaran daerah Bengkulen, pernah saya katakan, bahwa janganlah orang mengira, yang saya akan ikut sahaja semua aliran yang ada dalam dunia Muhammadiyah itu. Saya ingin menjadi salah satu motor evolusi! Sejarah dunia menunjukkan, bahwa selamanya ada perjoangan dan dialektik antara kuno dan muda, antara orthodoxie dan evolusi, antara kolot dan modern. Islam sejati mau mengangkat derajat perempuan, akan tetapi orthodoxie menjadi rem besar bagi evolusinya perempuan itu. Orang yang membanteras orthodoxie itu selamanya men­dapat rintangan.

Lihatlah Kemal Ataturk, lihatlah Nabi kita sendiri. Saya mengetahui, bahwa banyak orang Islam, banyak sekali, akan mengatakan, bahwa visi saya tentang tabir perempuan tidak tepat, akan tetapi ortho­doxie, wat dan nog?

Bagi saya tabir itu adalah satu simbul perbudakan, yang tidak dikehen­daki oleh Islam. Saya ingat bahwa dulu H. A. Salim pernah merobek tabir di salah satu rapat umum, – ya merobek, terang-terangan! Di dalam pandangan saya, perbuatan beliau itu adalah satu perbuatan, yang lebih besar misalnya daripada menolong orang dari pahlawan air laut yang sedang mendidih atau masuk penjara karena delik sekalipun. Sebab perbuatan sedemikian itu minta keberanian moril yang besar. Apakah yang saya per­buat? Bukan menunjukkan keberanian yang besar, tetapi … keluar dari itu rapat moril "sebagai protes", – als een laffe hond!

Mendengar perkataan ini koresponden "Antara" termenung sebentar. Kemudian bertanya pula: Kenapa tuan tidak nasihatkan lebih dahulu kepada pengurus Muhammadiyah, supaya jangan diadakan tabir, dan cukup dijarakkan sahaja antara laki-laki dan perempuan?

Ir. Sukarno: Sudah saya nasihatkan kepada beberapa anggota pengurus dan mereka mufakat semuanya. Sudah pula saya berkata: "Kalau diadakan tabir, saya tidak datang dirapat itu." Mereka sanggup menia­dakan tabir. Tiba-tiba saya datang di ruangan rapat, ternyata tabir dipa­sang. Bukan oleh mereka yang sefaham dengan saya itu, tapi oleh anggota pengurus yang lain.

Kor.: Waktu diadakan sembahyang di tanah lapang pada waktu Idulfitri, tidak ada tabir di antara laki-laki dan perempuan. Benarkah itu anjuran tuan?

Ir. Sukarno: Benar! Maka karena itulah saya makin menyesali tabir pada rapat umum. Pada hal dulu Muhammadiyah Bengkulen selamanya memakai tabir pada waktu sembahyang Idulfitri.

Satu tanda bagi-saya adat boleh dirobah!

Kor.: Apakah kata H. Sujak tentang tabir itu?

Ir. Sukarno: Keesokan harinya H. Sujak bersama dengan tuan Semaun Bakri datang ke rumah saya. Beliau berkata, bahwa tabir itupun tak perlu. Malahan beliau menceritakan, bahwa H. Dachlan marhumpun berpendapat begitu.

Kor.: Apakah tuan anggap tabir itu begitu penting, sehingga tuan anggap perlu memprotesnya secara demonstratif? De moeite van het boos worden waard?

Ir. Sukarno: Saya tidak boos sahaja, saya tidak marah. Saya tokh tidak bisa marah kepada sesuatu adat yang kolot, pun tidak marah kepada saudara-saudara yang berlainan faham dengan saya itu. Mereka tidak se­ngaja mau menghina kaum perempuan. Mereka ada merdeka di dalam keyakinan mereka dan sayapun merdeka juga. Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk. Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya soal maha-besar dan maha-penting, soal yang menge­nai segenap maatschappelijke positie kaum perempuan. Saya ulangi: tabir adalah simbul dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbu­dakan itu adalah pula satu historische plicht!

"Panji Islam", 1939