Takkan Kutukarkan Cintanya

Takkan Kutukarkan Cintanya
oleh Isti Anindya

TAKKAN KUTUKARKAN

CINTANYA

Isti Anindya

SMAN 1 Padang




BETAPA kebetulan ini,

Kebetulan yang manis bagai mimpi
Mempertemukan kita di sini di negeri jauh ini.
Di sini kita, dua jiwa sesama asing ini,
Dipersatukan Dewi Seni,
Yang membawa kita jauh tinggi,
Seakan jiwa kita sebuah lagu
Mengapung di udara Mozart dan di dunianya yang Syahdu,
Kau berkata: betapa dalam matamu,
Betapa manis wajahmu.
Kau katakan itu dengan gairah hatimu yang
bergema sunyi,
Karena kita tidak sendiri,
Dan dimatammu ajakan,

Dan di hatiku kemabukan tak terperikan.

Aku perempuan, maka maafkanlah ketinggian
hatiku,
Bila bisikanmu membelai hatiku: betapa dalam
matamu,
Betapa manis wajahmu.
O, penyair, di negeriku,
Negeriku yang kucinta,
Ada padaku kekasih menunggu,
Ia kawan setanah airku yang takkan kusia-siakan
hatinya.
Ia kawan setanah airku yang takkan kutukarkan
cintanya....

***

“Waktu memang cepat berlalu ya, padahal baru beberapa hari yang lalu kita berdiri di sana.” Aku menunjuk ke arah kumpulan mahasiswa baru yang sedang dipreteli mentalnya oleh anggota senat.

Depok hari ini panas sekali, matahari memberontak, menarik setiap stomata daun yang tumbuh di sekitar area Pusgiwa (Pusat Kegiatan Mahasiswa), yang pada akhirnya akan berguguran mengotori bumi.

Ukhti, kita, kan, udah selesai, nih, kuliahnya, koas juga udah beres, ntar jadinya mau tetap di mana?.” Ansari, sahabatku menghentakkan sedotan yang membantuku melepaskan dahaga.

“Rencananya, mau balik ke Padang, Aan gimana?”

“Belum ada rencana, nih. Oh ya, Ustazah Nailul mau bikin acara perpisahan buat kita, lho!”

“Oh ya, acara apa, tuh?”

“Wah, teu jelas oge ma abdi.”

Tiba-tiba dari kejauhan seorang gadis tinggi, berkulit putih, dan berperawakan seorang wanita sejati menghampiri kami. Dialah Sissy, sahabatku. Kami bertiga bersahabat sejak pertama kali bertemu. Saat itu, kami diospek bersama di ruang senat. Aku, Jauza A'tima Hubban Aziz, nama yang cukup panjang. Aku dipanggil Jauza oleh semua orang. Kecuali ayahku, beliau memanggilku Hubban, yang artinya cinta dalam bahasa Arab. Aku berasal dari kota rendang, Padang. Aku anak keempat dari empat bersaudara. Aku seorang yang bejilbab, tapi masih mencari jati diri yang sesungguhnya. Sama halnya dengan Ansari Euisa, dia berasa dari Bandung. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya, Arham adalah seorang pengusaha terkenal di Bandung. Dia gagah dan baik hati. Terakhir, Sissy, nama lengkapnya Ida Ayu Sissylia Marwa. Dia berasal dari Bali. Dia seorang mualaf. Anak tunggal dari pasangan kasta tertinggi di Bali.

“Assalamualaikum...,” suara merdu khas Balinya menyapa helai jilbabku,

“Waalaikumussalam...,” jawab kami serempak.

“Lagi pada ngapain, nih ?” .

“Si, masih ingat gak, waktu kita di ospek dulu?"

***

Hari itu adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus tercinta. Seperti pada lazimnya, semua mahasiswa baru diospek oleh para senior.

“Kamu, siapa nama kamu?”

“Jauza, Kak.”

"Yang lengkap, dong.”

"Jauza A'tima Hubban Aziz.”

“Kurang keras.”

Begitulah, setiap kali aku dibentak oleh para senior yang sadisnya luar biasa. Aku mulai terlibat dalam sebuah permasalahan besar. Saat seorang senior memaksaku untuk mengaku hahwa temannya adalah kembaranku. Katanya, namanya Jauzi. Akn terus berargumen dan cukup mematahkan pernyataan mereka. Akhirnya, aku diarak senior ke ruang senat. Di sana aku dimaki-maki dan dicaci. Cukup menyakitkan, tapi ini hidup, hidup tidak untuk ditangisi. Setetes pun air mataku tak keluar. Tiba-tiba aku mendengar pebrakan pintu. Scorang senior membawa Jauri, mahasisiwa setingkat di atasku. Aku hanya menunduk, aku tak berselera untuk melihatnya.

“Ada apa, Kake” suara lembutnya mengaliri nadiku, Sepertinya aku mengenali suara itu. “Kamu tahu sama dia, namanya Jauza,.” jawab Kak Seto, senior tergalak.

“Saya tahu, kami saling mengenali, kok, benarkan, Za?” jawabnya lembut mulai mendekatiku. Ya Rabb, hatiku berdegup kencang, rasanya aku benar-benar mengenalnya.Tapi, sungguh, aku tak sanggup menatapnya. Aku memutar otak, tapi yang muncul di pikiranku hanya Kak Raiz, seorang dambaan hatiku, yang telah meninggalkan seberkas kenangan indah di hatiku, tapi dia telah pergi jauh. Dan, aku tak tahu, dia di mana. Tapi, jujur, hatiku tak pernah bisa melepaskan cintanya. Ar Raiz Najaf J., itu namanya, dan baru aku teringat, nama terakhirnya berawal J, mungkinkah? Serentak hatiku terkejut, saat seorang mahasiswa datang dan meneriakkan cukup lantang.

“Raiz, program bea siswamu diterima.”

Hatiku terasa remuk sudah, dugaan itu benar. Dia memang kekasih yang aku cari. J adalah Jauzi. Dan dia kini begitu dekat denganku. Anugerahkah ini?

Aku menatap lariannya menuju luar, aku menangis haru, deras sekali. Yang aku cari sudah kutemui. Kak Seto tertawa keras, dia merasa sudah berhasil membuatku menangis, seandainya dia tahu, apa maksud tangisku. Seketika ruangan senat kosong, para senior berdiri di luar untuk memberi selamat pada Kak Raiz, cintaku.

Aku menatap dua orang gadis yang masih tetap duduk manis di sebelahku.

“Jauza.” Aku memperkenalkan diriku pada seorang gadis berjilbab dan gadis manis di sebelah kiriku.

“Ansari,” jawab yang berjilbab.

“Sissy,” ujar gadis lembut dan manis itu.

Kami pun bercengkrama bersama. Tak terasa setengah jam telah mempersatukan rasa kami.

***

Prof. Dr. Nurul Akbar, Sp. P.D., guru besar favoritku, hari ini kami akan mengambil mata kuliah bersamanya. Salemba sejuk sekali. Ini hari pertamaku di sana. Aku mencintai kampusku, sangat, Bangunannya yang kokoh membuatku bangga menyebutkan namanya. Fakultas yang berdiri pada tahun 1851 ini, dulu bernama STOVIA, menjadi incaran jutaan pelajar. Alhamdulillah, aku salah satu di antara mereka. Beda dengan Kak Raiz, dia mengambil Fakultas Teknik yang terletak di Depok, Jawa Barat. Memang, jarak yang cukupjauh dari kampusku. Tapi, ini tak membuatku kecewa, yang jelas aku sudah menemukannya.

Hari-hari yang cukup melelahkan bagiku, perkuliahan ternyata tak seindah yang kubayangkan. Tapi, hidup harus tetap dijalani meskipun sesulit apa pun. Tak terasa waktu tiga setengah tahun pun telah aku lalui.

Aku berjalan terburu menuju stasiun kota, aku hendak menemui Ustazah Nailul, dia pemilik sebuah yayasan di daerah Depok. Aku senang membantunya saat hari libur. Biasanya, aku membantunya bersama Ansari menjadi pengajar di sana. Hari ini, beliau mengajakku ke Pasar Senen. Biasanya, kami mencari buku loakan bersama di sana. Untuk menambah referensi pustaka di yayasan.

“Assalamualaikum, Ustazah. Maaf, saya terlambat,” jawabku sedikit ngos-ngosan.

“Waalaikumussalam, tak apalah Jauza. Ayo, jangan buang-buang waktu.”

Aku berjalan bersama wanita salehah itu. Ustazah Nailul bersama suaminya, Ustaz Ibrahim Al-Husta, yang merupakan anak pemilik yayasan yang cukup terkenal di kota ini, membantu anak-anak kurang mampu untuk dapat mengecap Indahnya pendidikan. Anak mereka, Nazik al-Malakah dan Salma al-Jayyusi, adalah dua berlian kecil yang manis dan berprestasi, Nazik lebih dekat kepada para pengajar laki-laki yang juga membantu di sana. Dan, Salma sangat dekat kepadaku.

Setelah selesai memborong banyak buku yang cukup heat, kami segera kembali ke yayasan. Kali ini, tanpa Ansari karena Kak Arham datang hari ini untuk mengajaknya ke Kandung, Malam Sabtu memang biasanya aku menginap di kamar Salma, sok sorenya aku akan diantar Mang Syarip, supir yayasan, yang sudah karui anggap sebagai keluarga.

"Itagaimana skripsinya, Jauza?” tanya Ustazah Nailul sambal memotong-motong kecil bawang merah. “Alhamdulillah, menjadi yang terbaik. Rencananya setelah koas, saya mau balik ke Padang. Menurut Teteh, gimana?”

“Bagus, mengabdi di negeri sendiri memang lebih menyenangkan. Tidak ada rencana menikah?”

“Menikah?” aku tersenyum geli mengulangi kata-kata itu dalam hati.

“Iya, Teteh udah punya calon buat kamu.”

“Saha yang mau ka abdi.”

“Eh, banyak, atuh. Mau, yah?”

***

Aku melamun cukup lama. Sampai aku tak sadar, Sissy dan Ansari dari tadi sibuk memotreti gaya lamunanku.

Kumaha, teh, ngalamun aja,” teriak Ansari membuatku mengejarnya menuju masjid.

Teh, dihapus atuh fotonya,” tawarku sedikit merajuk.

Teu, engke abdi pangmeserkeun ka Aa Raiz.”

“Ansari, apaan, sih?”

Wajahku memerah. Tiba-tiba dari luar tampak langkah Teteh Nailul.

“Jauza, siap, atuh, teh.”

“Siap naon?”

“Bertemu jodohnya, hari ini sudah Teteh buatkan janji. Dia anaknya baik, pintar, saleh pula. Dia salah satu pengajar tetap di yayasan. Bagaimana?”

“Sekarang, tapi...”

Tapi, aku belum siap untuk mengikhlaskan dia nantinya menjadi suamiku. Di hatiku masih bersemayam wajah Raiz. Lelaki yang menjadikan aku permata di antara kerikil. Kabarnya, dia mendapat bea siswa ke luar negeri. Jadi, mungkin tak ada harapan bagiku untuk bisa dipersunting olehnya. Aku berusaha memanfaatkan waktu yang hanya tinggal sejengkal ini. Aku berperang dengan batinku, aku berusaha membebaskan diri dari belenggu cinta Raiz yang takkan pernah berlabuh. Apakah aku sanggup menukarkan cintanya untuk masa depanku?

“Assalammu alaikum, Ukhti Jauza,” suaranya aku kenal, itu suara Kak Raiz, tapi tak mungkin itu dia, mungkin itu hanya halusinasiku karena di benakku masih terpahat namanya dan ditimpaniku mengalir salinan nada suaranya.

Aku terdiam, lirih menjawab salamnya. Kami berbicara di balik pembatas saf. Aku tak percaya, hari ini akan datang secepat itu. Hari yang aku harus mengakhiri cintaku. Tapi, aku tak sanggup menahan semua ini, tangisku sudah cukup deras.

“Ukhti, saya takut, ternyata nantinya saya bukan orang yang kau inginkan untuk menjadi pendampingmu.”

Aku menangis sejadinya dan berlari ke kamar mandi. Aku mulai berusaha menenangkan hatiku ini cukup berat bagiku.

Tiba-tiba ponselku bedering.

“Anakku, Hubban, segera kembali ke Padang, ya, Ayah telah menyiapkan tiket untukmu, berangkatnya besok pagi pukul 10 siang. Terima Faksnya di yayasan, ya...”

“Ayah, ada apa.”

“Segeralah kembali, ini demi masa depanmu, Nak.”

Aku bingung, aku takut, terlintas wajah kedua orang tuaku. Mungkinkah terjadi sesuatu pada mereka?

Aku berjalan gontai menuju dalam masjid. Teteh Nailul mendekatiku dan bertanya apa yang terjadi. Aku menjelaskan semuanya.

***

Bandara menjadi saksi kepedihanku dan kelinuanku. Berjuta tanya menyedot sel-sel otakku. Pertemuanku dengan si ikhwan itu pun tertunda. Setidaknya aku lega, masih diberi wakti untuk menguatkan hati.

Aku merebahkan tubuhku di kursi pesawat. Aku hendak melupakan sesaat apa yang telah terjadi. Tapi, tiba-tiba seseorang yang sangat kukenal duduk di sampingku. Aku menatap wajahnya. Oh, dia Raizku. Hatiku mulai berperang kembali.

"Jauza, wah, aku tidak menyangka kita bisa bertemu di sini.”

Aku hanya tersenyum dan mulai kembali menata hatiku. Dia memakai kemeja biru muda, wajah gagahnya menyiram dahagaku. Ya Rabb, kuatkanlah hatiku. “Permisi, ini makanannya, ini paket khusus, Iho, Mas.”

“Paket khusus apa, Mbak?” tanya Raiz bertanya kepada si pramugari.

“Paket khusus pengantin baru, selamat menikmati.”

Apa? Pramugari itu menyangka kami sudah menikah. Raiz memberikan senyuman manisnya kepadaku. Layak orang yang suka menggoda.

“Udah diaminkan belum, Za ?”

“Apa?”

Dia tersenyum kembali kepadaku. Apa maksudnya?

***

Bandara Internasional Minangkabau menyambut tangisku. Aku berjalan menghindar dari Kak Raiz. Dia hanya menambah pedihku.

Ponselku berdering. Kali ini ada sms.

Ass, Dik, Kak Gibran yang jemput. Kamu pulang bareng dia, ya. Take care.

Ini pesan dari uniku, Raigha. Aku menatap ke arah luar. Astaga, aku melihat Kak Gibran berbincang bersama Kak Raiz. Sesekali Kak Raiz melihat ke arahku, kali ini menunjuk dan berjalan ke arahku.

“Sama, kan? ayo aku angkat barangnya, silakan.”

Dia membawa barangku, dia berjalan duluan. Aku hanya diam. Selama perjalanan satu jam, aku lebih banyak mengangguk. Tidak terlalu banyak komentar.

Sesampai di rumah, aku terkejut sekali. Tenda-tenda telah dipasang. Pelaminan telah berdiri kokoh, siapa yang akan menikah?

***

Selesai membersihkan diri dan menenangkan hati, aku berjalan ke luar. Melihat banyak yang berkumpul, aku urungkan ke sana. Aku melihat dari balik kaca. Naisha, sahabatku, Rafli, mantan ketua Rohis di SMA-ku dulu, Kak Gibran, uniku, dan para tetua.

Ada apa ini?

Mereka berjalan masuk ke dalam. Naisha memelukku erat, jilbab lebar putihnya menyapa wajahku. Rasanya aku ingin menangis. Aku melihat tiga model undangan perni-

42

kahan. Di situ tertulis tiga pasang inisial. G&R (Gibran dan Raiqha, pastinya), R&J, dan R&N. Aku yakin. J itu adalah inisialku. Tapi, siapa yang berinisial R? Rafli atau Raiz?

Semua duduk berhadap-hadapan. Aku duduk di antara Naisa dan uniku. Di depanku Rafli. Diakah calon suamiku? Di depan Naisha duduk bersila Raiz. Ya Rabb, akankah hati ini ikhlas?. Tiba-tiba ponselku berdering. Ini dari Teteh Nailul.

"Ada apa, Teh?”

"Jauza, mengapa gak cerita, kalau kamu begitu mencintai Raiz? sekarang kamu harus kehilangan dia karena sebenarnya laki-laki yang hendak kami jodohkan denganmu itu adalah Raiz."

Hatiku terbakar, kamarku yang dingin menjadi panas neraka.

"Dan, kini Kaiz akan dijodohkan oleh orang tua angkatnya di Padang."

"Aku tahu, dia dijodohkan dengan sahabatku, Naisha. Aku hanya bimbang dan takut waktu itu. Andaikan aku tahu dia adalah Raizku, hari ini takkan kutukarkan cintanya dengan Kafli."

"Sebelumnya kami mohon maaf karena tidak bisa mewujudkan keinginanmu. Berusahalah untuk ikhlas karena sesungguhnya keikhlasan akan membawamu kepada kebabagiaan."

Aku hancur, semua sudah sirna. Aku berjalan ke bawah. Semua mata melihatku dan bertanya ada apa. Tapi, aku hanya diam dan duduk di tempatku semula.

"Baiklah, sepertinya acara tunangan ini sudah bisa dimulai karena ketiga pasangan kita sudah hadir," suara Wan Aszhir memulai acara.

"Saya, Gibran, mengikhlaskan hati untuk mencintai Raiqha dengan sepenuh hati. Apakah kau juga akan mencintaiku sepenuh hatimu, Dik?"

"Saya, Raiqha, dengan setulus hati akan menerimamu menjadi pendampingku."

Semua mengucap hamdalah, seketika terjadilah ikatan pada diri mereka, ikatan sebagai calon mempelai. Selanjutnya adalah pedibiku, hatiku sesaat sejuk, rasanya semua sudah tetikhlaskan. “Saya, Raiz, ingin sedikit bercerita. Saya takut, calon istri saya nantinya tidak ikhlas mencintai saya karena saya bukan cintanya. Sebab dalam karya Fadwa Tugan, seorang penyair wanita Palestina, memaparkan bahwa seorang perempuan akan sulit menukarkan cintanya dengan apa pun. Saya takut, istri saya nanti takkan menukarkan cinta masa lalunya dengan cinta masa sekarang. Saya pun cemas, nantinya tak dapat membahagiakannya setulus hati saya karena sesungguhnya, saya mencintai dia dengan setulus hati saya. Sekian tahun saya menanti hari ini. Menyembunyikan cinta itu sangat menyakitkan. Tapi, kini semua akan kuungkapkan. Adinda, bersediakah kau menjadi belahan jiwaku?”

Semua diam, tak satu suara pun menjawab. Aku tertunduk, tapi sejuk. Ikhlasku telah membunuh resah dalam jiwa.

“Jauza A'tima Hubban Aziz, aku mencintaimu karena Allah, kumohon jawablah.”

Keterangan:

  1. ukhti: saudara perempuan (bahasa Arab)
  2. Teu jelas oge ma abdi: kurang jelas juga sama saya
  3. Saha mau ka abdi?: siapa yang mau sama saya?
  4. Kumaha teh?: bagaimana, sih?
  5. Teu, engke abdi pangmersekeun ka Aa' Raiz: tidak, nanti saya kirimin ke Kak Raiz
  6. Uni: kakak perempuan (bahasa Minangkabau)
  7. Wan: paman (bahasa Minangkabau)
  8. Ikhwan: saudara/sahabat laki-laki