Tanpa Melupakanmu
oleh Imelgia

TANPA MELUPAKANMU

Imelgia
SMAN 1 Situjuh Limo Nagari



Jam dinding kuno itu berdentang sebelas kali, namun terasa menggema dua kali lipat di kepalaku. Sekali lagi kutatap koperku yang penuh dengan pakaian dan perlengkapanku.

‘Ini malam terakhir aku tinggal di sini,” gumamku.’

Aku putuskan untuk melanjutkan sekolah di kampung halaman. Tinggal bersama kakek dan nenek, menjadi mandiri di usia yang ke-15 ini. Petualangan baru akan dimulai, dari rumah, keluarga, teman, sekolah, dan lingkungan, semuanya serba baru.

Kata orang, aku merupakan anak yang cukup cerdas dan cakap berbahasa. Mungkin karena ayah adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar di sini, pola bahasanya menurun kepadaku. Dan ibu adalah seorang wanita bijaksana. Beliau mengajarkanku bagaimana menjadi seorang remaja muslimah yang dituntut oleh Alquran. Dengan seluruh kasih sayangnya, mereka membesarkan anaknya tanpa membedakan aku dengan Kak Rusdy, kakakku satu-satunya. Selisih umur kami cukup jauh, empat tahun, tapi hal itu tidak membuat kami merasa begitu berbeda. Kami sering bermain dan bercanda bersama, walau sekarang Kak Rusdy sibuk dengan kuliahnya, dia selalu menyempatkan dirinya untuk bermain denganku.

Nada handphone tanda pesan masuk membuyarkan lamunanku yang sempat melayang.

„Vi, besok pagi aku dan teman-teman kerumahmu. Besok berangkat jam berapa, Vi?“ Segera kuinput nomor Alif di layar handphone. Tak lama teleponku tersambung.

„Assalamualaikum!“

„Waalaikumsalam.“

„Belum tidur, Vi?“

„Belum, Lif! Kamu sendiri belum tidur?“

„Hmm. Aku baru pulang dari rumah Hadi...“

„Tengah malam gini?“

„Tadi ban motorku bocor, dan terpaksa pergi ke bengkel“

„Itu tandanya tidak boleh keluar malam! Besok aku berangkat pukul 10.“

„Iya, Ummi! Besok pagi kami akan ke rumahmu.“ Dengan nada mengeledek nasihatku.

„Hmm, ya deh, Lif! Evi istirahat dulu ya?“

„Ya, Vi! Assalamualaikum!“

„Waalaikumsalam!“

Teleponku terputus. Alif adalah sahabatku dari kecil. Bersama teman yang lain sering pergi sekolah dan mengaji bersama. Kami banyak mengukir cerita yang mungkin takkan terulang lagi. Malam semakin larut. Aku kembali ke tempat tidur dengan harapan baik akan esok pagi. Karena jika hari esok lebih baik dari hari ini, maka aku termasuk orang yang beruntung. Dan bila hari esok sama dengan hari ini, tentunya aku tergolong umat yang merugi.

***

Pagi itu cukup cerah dengan sinar mentari yang menyinari bumi. Setelah mandi dan sarapan aku duduk di ruang keluarga bersama ayah dan ibu. Ayah sengaja minta izin tidak masuk kerja untuk mengantarku ke loket.

"Pastikan semua barangamu sudah lengkap, Vi!"

"Iya, Ayah! Tadi sudah Evi cek semuanya."

"Kamu baik-baik di sana ya, Nak! Kabari kami di sini," timpal ibu.

Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Tidak banyak yang ayah dan ibu sampaikan, karena mereka juga sering mengingatkan aku agar selalu hati-hati dalam bersikap. Mereka tidak menguraikan suatu pokok permasalahan secara panjang lebar seperti kebanyakan orang tua, hanya singkat, namun selalu ku ingat pesan mereka.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" Jawabku langsung menuju pintu menyambut tamu yang datang.

Mereka adalah teman seperjuanganku selama ini, merasakan senang dan sedih bersama-sama. Setelah mereka duduk dan minum, kami berbicara sedikit tentang kepindahan aku dan teman-teman lain yang akan pindah. Aku tidak tahu pasti alasan mereka memilih pindah dari negeri rantau ini. Penduduk Jambi memang banyak merupakan orang perantauan. Dari Aceh, Medan, Padang, Riau, Palembang, dan Jawa. Orangtuaku adalah perantau dari bumi Minangkabau. Daerah dengan rumah gadang yang memiliki gonjong seperti tanduk kerbau. Kadang kala digunakan dalam pakaian adat wanita Minangkabau, biasanya diletakkan di atas kepala.

Tak habis cerita kami pagi itu. Kutatap sahabatku satu persatu. Lia akan pindah ke Palembang, Hadi pindah ke Kota Jambi, dan Alif tetap di sini. Daerah ini memang bukan pusat kota. Jarak dari rumah ke kota menghabiskan waktu sekitar tiga jam, namun efek kota tidak sedikit berpengaruh pada masyarakat di sini, dimana gaya hidup anak kota sudah banyak ditemukan. Sebut saja Desa Tebing Tinggi. Di desa inilah kuhabiskan masa kecilku hingga saat ini.

Mendekati pukul 10 ayah menyuruh kami segera naik ke mobil. Kupandangi rumah yang tidak begitu luas ini dengan tatapan penuh iba. Sekian lama ku menjalani aktivitasku di bangunan yang memiliki halaman yang sejuk. Ingin rasanya menangisi kepergianku, seakan hendak membatalkan kepindahanku, namun kutepis bayangan itu, dan segera menyusul yang lain di atas mobil.

Ayah mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. ibu duduk dengan tenang di samping ayah. Mereka terlihat begitu serasi dengan pakaian yang kebetulan berwarna dasar coklat. Aku yakin mereka tidak pernah berjanji memakai pakaian yang serupa, kecuali jika mereka akan menghadiri acara perhelatan atau acara formal semacamnya. Di mataku mereka adalah pasangan sejoli yang selalu bahagia, harmonis dalam menjalani kehidupan berdua, satu hati melewati waktu bersama. Menurutku mereka lebih dari sekedar Romeo dan Juliet yang sering kudengar atau yang kubaca di beberapa novel dan buku cerita.

„“Hei. Aku ada makanan, lho! Ada yang mau?" Lia mengeluarkan sebungkus makanan dari tas mungil yang disandangnya.“

Seketika Hadi, Alif, dan aku berebut mendapatkannya. Seolah-olah makanan itu adalah harta karun yang baru saja ditemukan dari sebuah tempat yang tidak pernah terprediksi keberadaannya. Kami biasa melakukannya sekadar menceriakan suasana yang sempat membisu. Saat itulah sangat terasa kebersamaan kami. Ketika belajar di kelas pun menjadi sangat meriah dengan canda gurau. Apalagi dalam acara perkemahan pramuka yang mengutamakan asas kekeluargaan. Masak dan makan seadanya, tidur dengan tenda, dinginnya malam dan teriknya matahari siang kami nikmati bersama. Dan tidak kalah serunya ketika api unggun menyala diantara kami semua. Menghangatkan badan dari cuaca ekstrem yang mencekam. Menyebrangi sungai dengan arus yang sangat deras, memanjat tebing yang curam, dan bahaya binatang buas pernah kami alami bersama. Merupakan suatu kebetulan anggota HAELF sangat menyukai program ekstrakurikuler sekolah yang menantang ini.

Ibu tertawa kecil melihat kami. Tak butuh waktu yang lama menghabiskan dua hingga tiga bungkus makanan untuk kami berempat. Lia, Aku, Alif, sekalipun Hadi tidak pernah sungkan untuk semua ini. Kebanyakan orang bilang kalau kami adalah anak kembar empat yang hanya beda wajah. Aku rasa jiwa kami sama, perasaan kami satu. Aktivitas di luar rumah hampir kami kerjakan bersama. Orangtua kami pun sudah maklum bila kami sudah berkumpul. Mereka juga saling mengenal dekat satu sama lain.

Dari jauh terdengar sayup-sayup suara azan berkumandang, ayah menghentikan mobil di depan sebuah mushola dan kami pun segera turun untuk mengambil air wudhu dan salat zuhur. Kemudian kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan yang tidak akan jauh lagi.

Alif mengambil beberapa gambar kami dengan kameranya. Dia memang suka mengabadikan momen-momen indah yang dia lalui, termasuk saat HAELF bersama. HAELF adalah singkatan dari nama kami berempat. Mulai dari Hadi, Alif, Evi, dan Lia. Nama itu berurut dari nama yang tertua. Dan huruf F memiliki makna forever yang berarti selamanya.

Dari dalam mobil terlihat jembatan panjang yang melintang membelah Sungai Batanghari. Sungai Batanghari atau „Nago dari Selatan“ merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatra yang menjadi kebanggaan bagi rakyat Jambi sendiri. Seperti yang tergambar dalam lagu daerah Jambi yang berjudul Batanghari. Menurut cerita di Sungai Batanghari inilah seorang pengkhianat diikat di sebuah rakit dan dihanyutkan bersama dua ekor angsa sepanjang sungai. Yang pada akhirnya rakit itu tenggelam bersamanya. Itu sebabnya dua ekor angsa ini menjadi ikon daerah Jambi yang juga disebut sebagai negeri „Angso Duo“.

Tidak terasa tiga jam sudah perjalanan menuju Kota Jambi. Tak lama ayah memarkirkan kendaraan beroda-empatnya di depan sebuah loket AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) yang tidak asing bagiku. Tentu saja, dulu ketika hendak pulang kampung atau mudik lebaran, kami sekeluarga memakai jasa ini. Namun loket ini terasa jauh berbeda. Memang sudah tiga tahun lebih aku tidak pulang kampung mengunakan jasa bus, sejak ayah beli mobil hitam ini. Dan kali ini ku kembali ke sini, karena ayah sendiri tidak dapat mengantarkan aku ke kampung sebab ayah tak dapat cuti dari kerjanya. Aku justru senang akan hal itu. Mencoba menempuh perjalanan seorang diri. Siapa bilang jarak Jambi-Bukittinggi itu dekat. Harus menanti kurang lebih 16 jam mencapai Bukittinggi.

„Sudah lama sampainya?“ Ujar Kak Rusdy yang baru sampai di loket. Kak Rusdy tinggal di indekos dekat Universitas Jambi dimana dia menimba ilmu sekarang. Sebulan sekali dia pulang ke rumah. Dia juga turut menemuiku sebelum aku berangkat.

"Baru saja sampai, sekarang kita makan siang dulu,” ucap ayah.

Langsung saja kami semua menuju rumah makan yang terletak tak jauh dari loket. Kami benar-benar menyantap makanan kali ini, entah karena aku akan meninggalkan mereka, atau mungkin karena jam memang sudah menunjukkan waktu untuk makan siang. Sudah hampir jam setengah dua di arloji favoritku. Arloji itu adalah hadiah. Arloji itu adalah pemberian Alif saat ulang tahunku bulan lalu. Arloji biru dengan gambar boneka di dasarnya. Terlihat sangat manis, karena Alif benar-benar tahu selera cewek. Saat ulangtahun Lia pun dia membelikan sebuah tas kecil yang sangat bagus.

Sudah penuh lambung ini oleh makan siang yang memang terasa enak. Kami kembali menuju loket. Setelah menunggu sekian lama, terdengar panggilan kepada penumpang jurusan Bukittinggi untuk segera naik ke atas bus, spontan aku beranjak dan menyalami kedua orangtuaku, memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Dari pelukannya terasa ada bisikan tentang pesan mereka agar aku menjaga diri nantinya. Kemudian ku pandangi Kak Rusdy, dia tersenyum dengan senyuman khasnya, namun kutahan air mataku agar tidak jatuh. Perasaan itu semakin kuat ketika Lia memelukku sambil terisak.

„Sudahlah, kita masih bisa komunikasi, kan?“ Aku menghibur Lia.

Lia hanya diam dan menghapus air matanya. Kusalami Hadi dan Alif yang berdiri di samping Lia. Melihat mereka, seakan menahan kakiku melangkah untuk meninggalkan mereka. Namun segera kutepis bayangan itu, dan berpikir realita. Kami sudah sepakat untuk tetap kompak satu sama lain, walaupun nantinya kami akan berpencar. Hadi mengukir senyum, namun kulihat matanya seperti menahan tangis, seperti aku saat ini. Kutarik nafasku dalam-dalam saat kutatap Alif. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, karena memang pribadi Alif yang sulit ditebak.

„Ayo segera, naik! Nanti ketinggalan bus.“ Ayah memukul pundakku sehingga aku merasa sedikit terkejut.

„Baiklah, Yah. Evi berangkat dulu ya, semuanya. Assalamualaikum.“

Kuberjalan menjauhi mereka, orang-orang yang ku sayang. Langkah ini terasa berat. Dan sekali lagi kulempar pandangan kepada mereka yang memperhatikanku. Kulambaikan tangan dan segera naik ke atas bus.

Semua penumpang sudah duduk di tempatnya, ku andarkan diriku pada sebuah bangku yang berada pada barisan keempat dari depan. Seorang wanita paruh baya duduk di sebelahku.

„Mau ke Bukittinggi, nak? Sendirian saja?“ lya menyapaku ramah.

„Iya, bu. Ibu sendirian juga?“

„Tidak. Ibu sama bapak. Dia di belakang.“

Aku mengangguk tanda mengerti. Kurasakan bus yang kutumpangi mulai bergerak meninggalkan loket. Kulihat keluar jendela mencoba mencari sosok yang kukenal. Namun tak kudapati lagi mereka di sana. Kukira tadi adalah tatapan terakhir sebelum aku kembali ke sini. Tapi entah kapan.

Bangunan tinggi di tepi jalan Kota Jambi, tak setinggi yang kubayangkan. Terang saja, posisiku sekitar tiga meter dari tanah. Aku tak tahu pasti tinggi dari kendaraan yang memiliki kapasitas 45 penumpang ini. Juga bukan urusanku untuk mengukurnya, ya kan? Saat ini aku cuma "numpang" duduk dan "diantar" ke tempat tujuanku.

Kulihat benda-benda di luar sana tak lagi bergerak. Ternyata bus ini berhenti. Setelah kuperhatikan, antrian kendaraan cukup panjang. Terkadang Kota Jambi pun tak kalah padat dengan kota-kota yang lebih besar di Indonesia.

Seseorang dengan gitar ditangannya masuk melalui pintu depan. Dia memberi kata pembuka seperti mukadimah pidato yang intinya mengucapkan semoga perjalanan aman dan lainnya. Hingga ia menyanyikan lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya. Mungkin ini lagu ciptaannya, pikirku. Tak sungkan dia melantunkan dua hingga tiga lagu. Aku sendiri merasa sedikit terhibur dengan lagu tersebut. Selesai menghibur, pengamen tadi berjalan sambil menyodorkan sebuah bungkus permen kosong dan menghilang dari atas bus.

Lepas dari kemacetan, bus segera melaju dengan kecepatan sedang. Aku yang duduk di Ssamping jendela menikmati pemandangan Kota Jambi di siang yang cukup terik ini. Dari atas bus terlihat para pejalan kaki, penjual buah-buahan, dan berbagai jenis kendaraan beroda.

Cuaca memang panas di luar sana, namun karena fasilitas transportasi yang full AC membuat para penumpang sudah mulai terbuai dengan suasana tenang dan nyaman dengan udara yang sejuk.

Beragam jenis sifat para penumpanng yang ada saat ini. Terdengar saja suara seseorang yang sedang mabuk darat di depan sana. Memang sebuah keadaan yang tak menerima perjalanan yang cukup panjang ini. Belum sampai satu jam perjalanan sudah pusing. Untungnya aku bukan seorang yang pemabuk darat sehingga ibu dan ayah tidak mencemaskan keadaanku di atas bus.

Dari arah belakang terdengar suara yang cukup besar dan dalam. Setelah kuperhatikan, seorang lelaki berumur sekitar 45 tahun sedang berbicara melalui ponselnya. Pakaiannya rapi menyelimuti tubuhnya yang gemuk. Kumisnya yang tebal mengikuti gerak bibirnya saat berbicara. Perutnya yang buncit terkadang naik turun saat dia tertawa lepas dengan seseorang yang tak kutehui di balik ponsel itu.

Tak jauh dari bangkuku, sepasang bocah kembar sedang asyik dengan mainannya. Mereka tertawa kecil saat bermain dan bercanda. Senyum lebar terukir di wajah imut mereka sebelum akhirnya salah satu dari mereka menangis. Kebiasaan anak kecil yang bercanda hingga menimbulkan pertengkaran berujung air mata. Karena salah satu anak itu menangis, saudaranya pun ikut menangis. Seorang wanita dan pria yang kuyakini orangtua mereka segera melerai bocah-bocah itu sehingga keadaan kembali tenang.

Pikiranku malah tertuju pada sosok Kak Rusdy. Saat kami masih bocah pun sering terjadi perkelahian karena hal sepele. Aku sering menangis sehingga aku dibilang anak yang cengeng. Sebenarnya bukan cengeng. Tapi karena pada dasarnya jiwa perempuan itu lemah, sehingga mudah menangis kalau hatinya tersakiti. Ketika Kak Rusdy memutuskan untuk pindah saat masuk SMP di Kota Jambi, aku sering menangis tiga hari pertama keberangkatannya. Siapa menyangka, aku akan jarang bertemu kakakku satu-satunya saat aku masih duduk di bangku SD.

Hari semakin sore dan tak ada sinyal di ponselku. Yang kulihat hanyalah hutan di sepanjang jalan yang kulalui. Kubuka novel pemberian Lia yang mengisahkan tentang cinta dan persahabatan, membuatku melupakan waktu sore itu hingga magrib pun datang. Bus berhenti untuk salat magrib di sebuah masjid, dan melanjutkan perjalanan di malam yang mulai gelap.

Cahaya lampu menghiasi jalanan sementara lampu di atas bus dimatikan. Kukirim pesan pada ibu dan sahabat-sahabatku bahwa aku baik-baik saja saat ini. Aku hanya melihat pada tetesan air hujan yang mulai turun mengenai jendela. Keadaan semakin dingin. Kumatikan AC di depanku dan mernakai jaket biru langit kesayanganku.

Terdengar suara alunan musik Minang di atas bus. Beberapa lagu di antaranya sering diputar ayah dan ibu, sehingga sudah tak asing bagi telingaku. Namun mendengar lagu itu, menimbulkan kerinduan terhadap ibu dan ayah.

Tangisan seorang bayi memecah kesunyian di atas bus. Suaranya begitu memilukan, hingga membuat si ibu panik. Sang ibu memberikan susu dan mencoba menenangkan bayinya, Iba rasanya dengan si bayi, karena harus letih dalam perjalanan, hingga mungkin dia masuk angin.

Kugoyangkan kakiku untuk menghilangkan rasa sakit akibat bertahan dalam posisi duduk sejak siang tadi, Terlihat bayangan seperti bangunan yang cukup besar. Setelah kuperhatikan, ternyata rumah gadang dengan gonjongnya. Aku merasa lega telah memasuki daerah Sumatra Barat dan kusadari bahwa aku telah meninggaikan Jambi. Karena dingin dan letih yang mencekam membuatku tertidur meskipun tidak senyaman di atas kasur. Sesekali kumerasa tak dapat tidur hingga ku beralih mencari makanan di dalam tasku.

Pantulan cahaya berkerlap-kerlip. Malam ini memang berbintang, namun cahaya aneh itu datang dari sesuatu seperti bidang datar di bawah sana. Kami melewati sebuah rumah makan yang dalam papan namanya tertera alamat Ombilin, tepi Danau Singkarak. Hey, danau yang cukup dikenal oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Kami sekeluarga pernah berkunjung ke sini. Bermain air dan mencari kerang di tepi danau. Airnya sejuk saat itu, namun kuyakin airnya sangat dingin saat ini.

Terlepas dari pesona Danau Singkarak, kembali kubuka tas dan mencari keajaiban di dalam sana. Kudapati sebungkus coklat. Tanpa pikir panjang kubuka dan kunikmati coklat itu.

Tak terasa aku sudah menunaikan salat subuh. Sepengetahuanku, aku telah melewati Solok, Padang Panjang, dan akan memasuki Kota Bukittingi. Cahaya pagi mulai muncul menerpa bunga-bunga, membuatku semakin tak sabar untuk sampai di rumah.

Kuturunkan semua barangku di terminal Aur Kuning, Bukittinggi. Kota Wisata ini masih sepi. Tentu saja, masih pukul enam pagi. Kupandang Gunung Marapi dan Gunung Singgalang yang saling bergandengan menjunjung langit. Sesuai petunjuk dari ayah, aku harus mencari minibus menuju Payakumbuh.

Etek Widi menelpon menanyakan keberadaanku. Dia adalah adik bungsu ibu yang turut tinggal bersama kakek dan nenek. Dia seorang pegawai muda di kantor camat, dan masih gadis alias belum menikah.

Tak begitu sulit menemukan minibus jurusan Payakumbuh. Dari dalam sini kulihat sawah hijau membentang, pohon kelapa berdiri tegak, dan langit biru yang cerah. Suasana alam yang indah saat cahaya. menembus embun pagi itu. Aku ingat pesan ayah. Aku harus turun di sebuah tempat bernama Simpang Balai Panjang, Payakumbuh.

Sebelumnya aku tidak mengetahui jalan menuju rumah kakek dan nenek. Aku hanya mengikuti petunjuk dari ayah. Petunjuk jalannya sangat berbeda ketika saat aku melakukan perjalanan tengah malam dalam suatu kegiatan pramuka. Di sana kami harus teliti melihat yang ada di sekitar kami. Sungai, hutan, semak dan berbagai rintangan yang harus dihadapi. Perjalanan hari ini malah terasa lebih mudah. Karena aku hanya duduk dan menunggu. Namun jurit malam memang lebih seru dan menegangkan.

Lagi-lagi aku teringat kisah itu, belum rela seutuhnya aku terlepas dari mereka semua. Siapa lagi kalau bukan ayah, ibu, Kak Rusdy, dan HAELF. Namun kupunya rencana, di sekolah baruku nanti. Aku tidak akan meninggalkan kegiatan menyenangkan itu. Ku percaya dengan melintasi daerah yang banyak sawah dan bukit serta lembah ini akan menjadi lebih mengesankan.

Dan sampailah di simpang yang kumaksud. Kata ayah cukup menggunakan jasa ojek untuk mengantarku ke Situjuah. Kuikuti petunjuk tersebut dalam rangka mencapai daerah dalam jarak sekitar 10 km. Kusebutkan alamat rumah secara lengkap hingga aku tiba di rumah.

Sebuah rumah sederhana dengan cat warna kuning muda. Pintunya terbuka, namun tiada seorangpun yang kulihat.

"Assalamualikum...!"

"Waalaikumsalam. Eh, Evi sudah sampai," ujar nenek yang muncul dari belakang.

Kusalami nenek dan memasukkan barang-barangku ke kamar yang sudah disiapkan untukku. Setelah beristirahat sejenak, aku dan nenek menemui kakek yang sedang bekerja di sawah. Di usianya yang telah lanjut, kakek masih sanggup mengolah sawah keluarga. Beliau tersenyum melihatku datang. Pemandangan sawah yang luas dan Gunung Sago yang mempesona. Sebuah kelapa muda segar yang sengaja diambilkan kakek untukku membasahi kerongkonganku.

Usai makan malam, kami berbincang di ruang tengah ditemani makanan yang dibawa Etek Widi sepulang kerja. Nenek menyuruhku untuk segera istirahat karena seharian di perjalanan. Dalam kamar aku berpikir sendiri. Aku merindukan Jambi. Namun ku menunggu hari esok juga pengalaman-pengalaman yang tak kuduga. Aku yakin dan percaya, kalau di sini akan menjadi lebih menyenangkan. Aku bahagia di Payakumbuh tanpa melupakan mereka, Jambi dan kenangannya.