Telah Kucintai Bunga
TELAH KUCINTAI BUNGA
Siska Fitriani
Payolanteh, Payakumbuh
PAGI yang masih teramat muda, pada waktu yang selalu menua. Cahayanya menjamah lembut pada ujung-ujung kambojn yang merekah. Menyelip pada celah daun dan menimpakan cahaya remang pada bangku-bangku kayu di sudut taman. In selalu di situ. Setiap saat. Gadis yang bertubuh bening dan hati jernih, ia bukan seorang Principessa " yang menanti seorang pangeran berkuda putih. Bukan seorang Querida yang menanti belaian mesra pasangannya. Ia Air. Air yang menulis sunyi. Selalu. Telah kucintai bunga, pada bumangan nasib yang debu. Bagai lelaki sepi, dan kenang mempersuntingnya. Bunga, merekahlah! Bersama waktu kita kan berkenalan dengan perih. Oh, betapa...
Entah mengapa, kali ini Air mengajakku duduk di bangku bangku kayu di taman itu. Sesuatu yang sesung- guhnya tidak biasa karena setiap hari ia akan menikmati kesendiriannya di sana. Tapi, ketika kulihat matanya penuh harap, aku seakan tidak tega untuk menolaknya.
“Air, ada apa? Apa kau merindukannya lagi?” tanyaku memulai ketika ia diam saja. Wajahnya gelisah dan seolah ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Tidak!” jawabnya datar, seakan ia resah dengan pertanyaanku.
“Sudah kukatakan, kau tidak perlu mengingatnya. Apalagi ia tidak tahu bagaimana perasaanmu. Aku cuma tidak ingin kau bersedih. Karena kau adalah sahabatku. Ya, kita adalah sahabat, Air. Aku ingin kamu menceritakan segala sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”
Ia hanya tersenyum berat. Menatap dengan mata yang lelah. Air! Sosok perempuan yang asing. Tak pernah keluar canda-tawa dari bibirnya yang memerah. Ia seorang gadis yang pendiam. Pindah tiga tahun yang lalu ke rumah ini. Tapi, hanya aku yang bisa membuatnya tersenyum. Hanya aku.
Bagiku, Air seorang sahabat yang tak pernah letih menemaniku dan juga sebagai saudara yang kusayang. Aku akan selalu memperhatikannya dalam keaadan apa pun. Baik itu senang atau sedih.
“Nin, apa kau masih mau membaca tulisanku?” ia membuka pembicaraan lagi. Khayalanku buyar berkeping-keping dan terbang melayang dibawa angin. Entah ke mana.
“Ya, tentu! Seperti biasa, kau selalu memberikan puisi-puisi yang kau buat untuk pangeranmu. Setiap hari,” jawabku tanpa ragu.
“Tolong kau baca ini. Dan, beri aku makna, apa saja,” pintanya.
Aku menoleh, tak biasanya ia memohon padaku. Dan, tak dapat kulukiskan wajahnya yang berharap.
Aku bertekuk padamu, wahai engkau yang tak beda dengan diriku. Tapi, terasa lengkap bila denganmu. O, cermin diriku, aku mencintaimu! 4
“Air! Aku mengerti perasaanmu. Tapi, tolong...”
Belum sempat aku berkata, ia memberikan kertas berikutnya kepadaku.
Juliet, Shinta, atau Hawa, tiba-tiba terasa lebih perkasa ketimbang Romeo, Rama, ataupun Adam. Kurasa mereka lebih hasrat daripada segala jantan 5)
Aku menatapnya dan tersenyum. Mungkin baginya senyumanku adalah satu cemooban yang dalam karena setiap puisi yang ia berikan tidak bisa dicerna akal yang jernih. Seakan ia merindukan belaian seseorang. Seseorang? Lelakikah? Atau...
“Aku rasa kau terlalu berharap pada satu hal yang telah membuatmu gila.”
“Ya! Aku kira begitu. Aku sudah gila dalam hasratku yang tak terkendali. Tapi, kau tak mengerti. Kau tak akan pernah mengerti, Nin.”
Ia menatapku, tajam. Seperti seekor harimau yang menemukan seekor kijang di tengah hutan belantara. Namun, sang kijang tidak lari, tapi pasrah menghadapi musuh yang akan menelannya mentah-mentah. Aku cuma bisa meneguk liur. Tiba-tiba kurasa tenggorokanku menjadi kering. Di taman, di kuntum bunga-bunga, kupu-kupu berebutan mengisap madu, lalu berterbangan riang menuju udara. Sangat riang. Aku mencoba mengalihkan pandangan dari tatapannya, Matahari mulai naik. Pelan-pelan meninggalkan pagi yang ramah.
Tidak lama sesudahnya, Air mengambil kertas lagi dan menulis sesuatu. Aku hanya bisa memandangnya. Seakan kurasakan detak jantungnya, kencang, bergemuruh, berpacu dalam debar yang bergetar. Setelah ia menulis, ia menatap ke arahku dan memberikan kertas itu. Entah mengapa, aku tiba-tiba berharap, ini lembaran yang terakhir yang diberikannya.
Lalu, ia berdiri dan berjalan menuju jembatan yang membelah tengah-tengah kolam. Sebelumnya ia memetik setangkai mawar putih dan menciuminya dengan penuh nafsu. Tak lama, ia membelah-belah setiap kelopak bunga dan menaburkannya ke tengah kolam. Menatap ikan yang sedang berdansa dengan kelopak bunga tadi, penuh dengan keceriaan. Sesekali ia tersenyum tanpa sadar. Seperti orang gila yang berkhayal menari dengan seorang bidadari yang sangat cantik.
“Bacalah!” ucapnya lagi.
72
Kata demi kata kucerna perlahan. Tapi, aku tidak mengerti apa yang ia tuliskan. Sesuatu yang samar. Absurd. Mungkin ada roh jahat yang mengubahnya seperti ini, Atau benarkah ia mencintai seseorang? Tapi, siapa? Kucoba untuk membacanya lagi. Berharap akan mengerti. Tapi, yang kutemui hanya kesamaran, asing, dan fatamorgana. Aku tak menemukan sedikit pun makna.
“Ayolah, Air. Jalan kita masih panjang. Biarkan lentera hatimu menyala agar kau tak redup. Dunia memang keras. Mari kita berjuang. Hidup tak berhenti di sini, ini baru permulaan. Berikan cahayamu ke semua orang agar mereka tidak kalap dalam kegelapan,” ucapku berusaha menghibur seolah-olah aku paham persoalan yang dihadapinya.
“Kau tidak mengerti perasaanku,” lanjutnya.
“Tapi, aku melihat kesedihan.”
“Apa yang kau mengerti tentang kesedihanku? Tak ada satu pun yang kau tahu tentangku. Tak satu pun!” seolah sebuah ledakan keras. Bak petir, ia menyambarku dengan ucapannya yang tajam. Aku tersayat-sayat, sangat perih. Kalimatnya menabuh dadaku sangat kuat dan bertubi-tubi mengenai jantungku. Aku kalah. Terpana. Diam dalam keterkejutan yang parah. Hanyut dalam ketidakterdugaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ah, Air. Apa sesungguhnya yang engkau sembunyikan.
Tak pernah kubayangkan kemarahannya itu tertimpa kepadaku, seperti kobaran api yang merayap menembus celah-celah pinus yang rapuh. Hangus. Aku bagai arang yang tak berguna. Yang seketika akan bisa menjadi abu dan dibawa angin pada kehancuran. Ada apa sebenarnya, Air?
“Tiga tahun yang lalu aku bertemu dengannya. Pada satu tatapannya yang tajam, begitu saja telah menembus jantungku. Aku lemah. Aku kira ia begitu perkasa, jika dibandingkan dengan para lelaki hidung belang yang hanya mengejar nafsu sesaat. Nafsu yang sangat murahan. Aku memujanya. Aku mendambakannya dan membayangkan ia akan menjamahku tiap malam dan menyanyikan lagu nina bobok untukku. Sampai aku terlelap dalam angan-angan. Aku
73
Air berhenti sejenak. Menghirup udara. Lalu melepaskannya pelan-pelan. Seolah-olah ada beban berat yang tengah ditanggungnya. Ia mencoba menatap mataku. Wajahnya terlihat hambar meski aku telah memberikan senyuman.
“Tapi, itu masa lalu. Bukan itu sebenarnya yang ingin kuceritakan kepadamu,” lanjutnya.
“Lalu?”
Air menarik napas lagi. Kali ini terlihat kian berat. Kemudian ia berkata, “Alangkah sulit untuk jujur pada kenyataan!”
“Maksudmu?” tanyaku semakin tidak mengerti.
“Lama setelah masa lalu itu terkubur, diam-diam aku mencintai seseorang. Tapi sayang, ia tidak pernah tahu apa yang aku rasakan. Walau semua cara telah aku lakukan, selalu saja gagal. Mungkin aku bukan satu pilihan hatinya dari beribu-ribu pilihan. Dan, ini adalah takdirku. Tapi, ia selalu ada dalam nadiku. Menggelegak bersama darahku dan mengalir dalam tubuhku. Mungkin kau belum pernah merasakannya.”
Air menatapku, seolah meminta jawaban dan berharap aku mengatakan belum pernah. Aku tersenyum simpul, tapi barangkali luka untuknya, dan hatiku bertanya, apa yang sedang engkau ceritakan, Air? Aku benar-benar tidak mengerti segala yang kau kisahkan.
“Aku sudah lelah, Nin. Apalagi menahan rasa ini, sungguh membuat kusakit. Aku ingin bebas dari semua ini. Bebas, seperti burung yang bisa menentukan sendiri ke mana ia akan terbang, tidak diatur oleh siapa pun. Menentukan jalan hidup sendiri dan melayang tanpa beban. Itu yang aku inginkan. Otakku sudah lelah untuk berpikir, Nin.”
Air diam. Berhenti beberapa detik. Lalu meneruskan kalimatnya. “Tapi, cinta ini seperti mengepungku.”
Ada kegetiran kudengar dari kalimat terakhimya dan aku tiba-tiba serasa hanyut ke dalam suasana asing yang tak menentu.
“Air, boleh aku tahu laki-laki itu?” tanyaku hati-hati.
Air menatap bola mataku. Dalam. Tak berkedip. “Tak ada lelaki, Nin,” ucapnya tak lama kemudian. “Mungkin ini gila.
74
"Aku tidak mengerti, Air."
"Harusnya kamu mengerti, Nin!"
"Air!"
"Kamu sudah membaca puisi-puisiku. Seharusnya kamu tahu, Nin."
"Jadi?" tanyaku memburu.
"Aku mencintaimu, Nin. Sungguh. Lebih dari cinta yang pernah kupunya pada masa lalu. Aku tahu ini tidak semestinya. Tapi, bagaimana lagi. Maafkan aku!"
Lalu, Air pergi meninggalkan aku yang serasa ingin jatuh. Kuingat kembali puisi-puisinya. Aku mengerti. Aku mengerti. Tapi? Ah, Air.
Keterangan:
1) Puteri dalam bahasa Itali
2) Kekasih dalam bahasa Portugis
3) Puisi Fadhila Rahmadona
4)5)6) Puisi Iyut Fitra