Tenun Tradisional Minangkabau/Bab 1

B A B  I

PENDAHULUAN


MUSEUM merupakan salah satu wadah yang berfungsi untuk menyelamatkan warisan budaya sesuatu daerah atau bangsa dalam bentuk koleksi. Karena itu Museum juga bertugas untuk mencari, mengumpulkan, meneliti, mengelola serta memamerkan koleksi itu untuk masyarakat pengunjung. Dalam arti lain dapat dikatakan bahwa Museum dapat kita anggap sebagai salah satu bentuk Media massa yang mempunyai tugas menyebarkan pesan melalui koleksi yang dipamerkan kepada masyarakat pengunjung. Pesan yang hendak disampaikan kepada pengunjung tersebut disamping melalui koleksi yang dipamerkan itu, dapat pula dilakukan melalui penerbitan-penerbitan yang memuat tentang penjelasan dan latar belakang koleksi itu sendiri.

Penulisan tentang “Tenun tradisional Minangkabau” ini merupakan salah satu dari kegiatan staf Museum. Setiap koleksi yang terdapat di Museum perlu dibuatkan keterangannya yang lengkap dan jelas, yang menyangkut tentang sejarah latar belakangnya, bahan, kegunaan dan sebagainya. Tenun sebagai bahan pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang dipergunakan untuk menutupi tubuh mereka dari serangan hawa panas dan dingin. Kebutuhan akan adanya pakaian ini sudah ada semenjak zaman dahulu kala, yang disesuaikan menurut tingkat peradaban manusia pada waktu itu. Ditinjau dari segi bahannya, pakaian ini bukan hanya dibuat dari benang, sutra, rami dan sebagainya, tetapi juga dibuat dari bahan daun-daunan, seperti pakaian masyarakat Mentawai waktu dulu. Demikian juga penduduk pedalaman di Irian Jaya mempergunakan sejenis buah labu yang dikeringkan sebagai bahan pakaian untuk mereka, yang mereka namakan “HOLIM” atau yang populer dengan nama "Koteka". Untuk bahan pakaian para wanita di Irian Jaya dibuat dari semacam rumput yang tumbuh di air, yang mereka namakan “Kem”, yang dijadikan sebagai rok rumbai. Di Minangkabau, bahan pakaian ini pada waktu dahulu dibuat dari sejenis kulit kayu, yang dinamakan “Tarok”. Kutil kayu tarok ini, setelah dikelupaskan dari batangnya kemudian di tokok-tokok ( dipukul-pukul ) dengan kayu yang keras dan dikeringkan. Setelah dianggap baik, kemudian dijadikan dalam bentuk pakaian yang dipergunakan baik oleh kaum laki-laki maupun kaum wanita.

Kepandaian membuat pakaian ini oleh nenek moyang kita dahulu, ditirunya dari proses anyam-mengayam rumput-rumputan. Pengetahuan mengayam ini mereka kembangkan terus sehingga akhirnya terciptalah kepandaian bertenun seperti sekarang ini. Menurut cara yang sekarang ini, kain tenun diperoleh dengan cara perpaduan teknik “Pakan dan teknik lusi”. Pakan, dalam pengertian tenun ialah perjalanan benang secara bolak-balik menurut arah lebarnya ( melintang ) pada suatu alat tenun. Benang pakan ini kadang-kadang juga disebut dengan istilah benang pengisi. Pada waktu menenun, benang pakan diatur dan diletakkan di alas atau di bawah benang lusi dengan suatu alat yang dinamakan “teropong” yang bergerak kesana-kesini ( bergerak dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri ). Benang pakan tidak perlu sekuat benang lusi, karena tidak banyak mendapat tegangan pada waktu proses menenun. Sedangkan pengertian lusi ( sering juga dinamakan orang dengan sebutan benang lungsi ) ialah benang yang letaknya memanjang pada alat tenun. Kain tenun diperoleh dengan cara mengayam benang-benang pakan diantara benang-benang lusi. Benang lusi mula-mula dipasang sejajar pada suatu balok lusi. Dari sini benang lusi berjalan melalui suatu rol dan beberapa alat lainnya. Dengan demikian, benang-benang itu pada waktu bertenun dapat diatur susunannya menurut pola tertentu yang diinginkan oleh si penenun. Benang-benang lusi diatur terpisah menjadi dua lapis, antara lapis alas dan lapis bawah terdapat suatu tempat yang terbuka. Melalui tempat yang terbuka ini, teropong membawa benang pakan kian kemari ( dari kiri ke kanan dan dari kanan ke kiri ) dan dengan sendirinya akan terciptalah kain tenun. Jadi perpaduan dan jalinan antara benang pakan dengan benang lusi itu menurut teknik-teknik tertentu akan terbentuklah suatu bentuk kain tenun. Di Minangkabau, sejak kapan orang mulai pandai bertenun tidak ada berita yang pasti. Mungkin sudah ada semenjak masuknya agama Islam atau bahkan sudah ada semenjak zaman Hindu atau lebih tua dari periode tersebut.

Dalam uraian tentang Tenun Tradisional Minangkabau ini, selain membicarakan masalah pengertian tenun itu sendiri pada bagian pendahuluannya, maka pada bagian berikutnya juga dibicarakan tentang masalah-masalah yang menyangkut tentang peralatan, ragam hias dan macam-macam hasilnya. Untuk lebih sistimatisnya, maka uraiannya kami bagi atas beberapa bab,

Bab. I Pendahuluan

Bab. II Tenun Tradisional Minangkabau

Bab. III Koleksi Tenun Tradisional Di Museum Negeri Adhityawarman

Bab. IV Kesimpulan dan penutup.

Selain itu, juga dalam buku kecil ini akan kami lengkapi dengan foto-foto pendukung yang berhubungan dengan Tenun Tradisional Minangkabau itu sendiri.