Tsunami  (2005) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi 45/XXXIII/03 - 9 Januari 2005

Antara pukul 9 dan 10 pagi 1 November 1755 itu, kertas-kertas bergetar di atas meja seorang penghuni Kota Lisbon. Tak lama kemudian suara gemeretak terdengar. Tiba-tiba lantai atas ambruk. Perempuan itu pun lari keluar, dengan napas nyaris tercekik oleh debu puing yang tersembur dari mana-mana. Kota hancur. Teriakan terdengar dari pelbagai sudut. Ia lihat para padri berdoa dan gereja-gereja mulai runtuh.

Dalam tempo enam menit, 30 gereja ambruk. Tapi sesuatu menyusul. “Laut datang!” terdengar orang memekik.

Gulungan gelombang setinggi enam meter menggodam kota di tepi pantai itu dengan ganas: gempa melontarkan tsunami ke daratan. Ketika kemudian air kembali ke laut, ribuan bangkai tampak terapung, terangkut, lenyap. Kemudian bumi tak berguncang lagi, tapi api terbit. Lisbon—salah satu permata Eropa—terbakar selama lima hari. Seluruh bencana menewaskan puluhan, mungkin sampai 50 ribu. “Apa yang harus dilakukan, wahai, makhluk fana?”

Pertanyaan itu bergetar dalam sajak Voltaire tentang gempa di Lisbon itu dan merobek dunia pemikiran abad ke-18. Pesimismenya mencekam, meskipun pesimisme itu sebenarnya bagian dari kritiknya terhadap filsafat yang percaya bahwa Tuhan memberi manusia “dunia yang terbaik dari yang mungkin ada”. Itulah filsafat Leibniz: alam semesta adalah harmoni yang didesain Tuhan. Tapi, tulis Voltaire: “Leibniz tak dapat mengatakan padaku kenapa/ Di dunia yang diatur oleh hukum yang paling arif ini/ kekacauan tak kunjung berhenti/Dan bencana terus/dan kenikmatan yang sia-sia bercampur nestapa/.”

Agaknya bagi Voltaire tak mungkin hal-ihwal hidup dijelaskan dengan Tuhan sebagai Sebab Utama. Tidakkah Ia seharusnya berada di atas hukum sebab-akibat? Dalam gempa Lisbon itu, misalnya: kenapa Tuhan meluluh-lantakkan sebuah kota Katolik, di suatu hari suci, pada jam ketika hampir semua umat mengikuti misa? Dan kenapa rumah Sebatiao de Carvalho e Melo, menteri yang anti-Jesuit itu, tak tersentuh—sementara seorang padri Jesuit mengatakan bahwa gempa bumi dan tsunami itu sebuah hukuman Tuhan kepada orang jahat yang jadi makmur di Kota Lisbon?

Hukuman Tuhan bagi umat Katolik? Tapi mereka tak sendirian jadi korban. Gempa hari itu juga mengguncang pantai lain di seberang dan menghancurkan Masjid Al-Mansur di Rabat. Beberapa pendeta Protestan yang bersyukur karena Tuhan terbukti marah kepada Roma segera harus tutup mulut. Delapan belas hari setelah malapetaka Lisbon, sebuah gempa lain menghancurkan 1.500 rumah orang Protestan di Boston, Amerika.

Akan berkatakah Tuan, di depan ribuan korban ini/’Balasan Tuhan telah dipenuhi, mereka membayar dosa dengan kematian’?

Dengan kata lain, satu hal harus dilihat: yang disebut “desain Tuhan” hanyalah konstruksi manusia—lengkap dengan hasrat dan kesumat manusia pula. Tapi bisakah Voltaire dari sini menyimpulkan bahwa hidup tak ada hubungannya dengan kebaikan? “Alam, dan hewan, dan manusia—semua dalam keadaan perang,” Begitulah di sajaknya tertulis. Mari kita akui: kekejian berjalan tegak di atas bumi.”

Mungkin kalimat itu bagian dari sebuah gaya polemik. Pesimisme Voltaire toh tak menyebabkan ia menolak manusia dan menampik hidup. Ia tak bunuh diri. Ia hanya mencemooh optimisme abad ke-18, ketika rasionalisme meyakinkan diri dengan ilmu dan kawin campur dengan iman. Cemooh inilah yang kemudian dipertegasnya dengan novel Candide yang asyik dan lucu itu, yang kelak berkaitan dengan kritiknya kepada ajaran Kristen.

Ada yang mengatakan novel itu menjawab Rousseau, filsuf segenerasinya, yang mempersoalkan pesimisme itu dalam sepucuk surat bertanggal 18 Agustus 1756. Bagi Rousseau, manusia tak seburuk itu pada dasarnya. Sejak nenek moyang, manusia punya dua ciri: amour de soi, dorongan untuk mempertahankan hidup sendiri, dan pitié, perasaan belas kepada sesama yang menderita. Sifat manusia memburuk ketika ia terlibat dalam pelembagaan milik pribadi, perdagangan, dan hal-hal lain yang terutama tampak di masyarakat kota, pusat peradaban. Dan itulah penjelasannya tentang bencana Lisbon: kesalahan harus ditimpakan kepada manusia di kota besar itu sendiri. Seandainya mereka tak berjejal-jejal berebut kapling, seandainya mereka tak sibuk dengan milik mereka, bencana itu tak akan begitu besar makan korban.

Voltaire tak menjawab, dan Rousseau mengeluh: “Saya ajak dia berfilsafat, tapi dia mengolok-olok.” Tapi sebenarnya ada satu bagian yang serius dalam novel Candide—justru di kalimat pendek terakhir. Ketika Candide sedang di kebun, dan si Optimis Pangloss datang dan menguraikan bahwa “dunia ini adalah yang terbaik dari yang mungkin ada”, Candide pun menjawab. “Bagus, bagus, tapi kebun kita harus diolah.” Dengan kata lain: kerja atau praxis akan membantah klaim tiap pandangan dunia yang mencoba menjelaskan hidup secara menyeluruh. Agama dan filsafat—dengan optimisme atau tidak—bisa menyenangkan, tapi kemudian terbatas.

Mungkin ada yang pernah bicara tentang Voltaire sang pragmatis. Tampaknya baginya “pemikiran” lebih penting ketimbang “filsafat”, dan Voltaire adalah kritik yang terus-menerus-dengan gelora hati, kalimat kocak, pikiran tangkas, dan main-main. Ia mengatakan “Aku menghormati Tuhan, tapi aku mencintai manusia”: kita tahu ia memilih dekat dengan yang konkret, meskipun ia tak mengingkari ada yang lain dari yang konkret.

Justru sebab itu ia tergugah oleh kesengsaraan manusia dan tahu ada hal yang tak terjelaskan dengan satu Sebab Besar. Maka biarkan Voltaire bicara kepada kita kini. Banyak benar kebuasan alam dan manusia yang tak terduga-duga, sejak tsunami Lisbon 1755 sampai dengan tsunami Aceh 2004, dan di situ apa artinya “mengetahui”? Dalam sajaknya Voltaire mengingatkan bahwa ada momen dalam hidup ketika kita niscaya “sumarah, memuja, berharap, dan mati”—se soumettre, adorer, espérer, et mourir.