Ulama Perempuan, Mengapa Tidak ?

Ulama Perempuan, Mengapa Tidak ?
oleh Yulianti Muthmainnah


“….Kalau perempuan jadi presiden itu boleh, tapi kalau jadi keuchik ya.. gak boleh. Karena itu hanya untuk laki-laki. Laki-laki itu pemimpin, akalnya banyak,
gak gampang marah, beda dengan perempuan...”.


Itulah jawaban dari seorang penghuni salah satu barak di Banda Aceh pada bulan Agustus 2007 lalu. Pendapat Kak Cut muncul saat saya bertanya tentang pendapatnya mengenai mungkinkah perempuan menjadi keuchik [1]. Ia sangat disegani dan memiliki pengaruh dalam komunitasnya atau presiden?

Kepemimpinan Ulama Perempuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pemimpin berarti orang yang memimpin. Sedangkan dalam Bahasa Arab, pemimpin disebut qowamun yang selain bermakna pemimpin, kata ini juga berarti pelindung atau pendidik. Menjadi pemimpin berarti seseorang ditunjuk, dipercaya oleh organisasi atau komunitasnya untuk menjadi pelindung, pendidik, dan sekaligus menjadi contoh yang baik bagi orang lain yang dipimpinnya.

Dalam kehidupan sosial masyarakat kita dewasa ini, wacana tentang kepemimpinan perempuan selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Dalam dunia politik praktis, masuknya perempuan dalam kancah perpolitikan masih dianggap sebagai hal yang tabu. Padahal masuknya perempuan dalam perpolitikan di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak masa kesultanan atau kerajaan. Baik kerajaan yang bercorak Islam, Hindu, atau Budha. Sebut saja Ratu Kalinyamat di Jawa, atau Sultanah Sri Alam Permaisuri atau yang dikenal Sri Ratu Taj al-Alam Safiat Addin di Aceh. Ironisnya kepemimpinan perempuan hampir selalu digagalkan oleh para ulama laki-laki dengan mengusung dalil pamungkas. Lan yufliha qaum wallauw amrahum imra’ah (tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan). Digunakannya dalil-dalil semacam ini karena tradisi keulamaan banyak didominasi oleh kaum laki-laki.

Mengapa harus laki-laki?
Dalam suatu pertemuan yang membahas tentang kepemimpinan perempuan, dengan ibu-ibu komunitas di Jakarta tahun 2006, saya bertanya “Bagaimana dengan Jang Geum ? [2]. Spontan dan saling bersahutan, ibu-ibu menjawab. “Saya suka dengan Jang Geum, dia itu cerdas banget, lincah, berani, lemah lembut tapi juga tegas pada bawahannya. Makanya, ia jadi perempuan pertama yang dapet jabatan tabib agung di Istana Korea....” seorang ibu menambahkan, “......dia juga jadi perempuan karier pertama lho...”. Namun, jawaban ini akan berbeda jika pertanyaan yang saya ajukan terkait dengan kemungkinan perempuan menjadi ulama, imam shalat, atau berkhutbah di mimbar.

Kedua ilustrasi di atas menunjukkan bahwa ambiguitas akan muncul bila pertanyaan itu menyangkut pemimpin perempuan di ranah agama, seperti ulama atau keuchik. Ada inkonsistensi dalam pendapat mereka soal kepemimpinan. Menjadi pemimpin negara atau suatu instansi untuk perempuan bukanlah suatu halangan, tapi menjadi pemimpin agama menjadi larangan. Hal ini karena anggapan bahwa agama adalah wilayah sakral. Selain itu agama dipandang sebagai otoritas kaum lelaki.

Hal ini muncul karena dua faktor. Pertama, faktor budaya dimana masyarakat banyak menganggap perempuan tidak layak menjadi pemimpin agama, apalagi menjadi pembaharu dalam implementasi fiqh. Kedua, stereotip akal yang kurang. Hal ini telah terinternalisasi dalam jiwa perempuan, sehingga untuk memangku jabatan sebagai keuchik yang di kalangan masyarakat Aceh adalah hal yang hampir mustahil. Kalaupun ia mampu, ia cenderung berkata tidak. Keputusannya sangat dipengaruhi oleh faktor di luar dirinya. Bila tidak mendapat dukungan dari suami, keluarga, atau lingkungan tak jarang juga perempuan akan berkorban demi keutuhan keluarga.

Ulama Perempuan? Mengapa Tidak!
Bagaimana Syari’at Islam memposisikan perempuan dalam wilayah kepemimpinan?. Dalam Alquran tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Mereka memiliki persamaan sebagai makhluk ciptaan Allah, kecuali dibedakan dari takwanya (QS. al-Hujurat [49]: 13); dan persamaan beban dan tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan melakukan kerja-kerja positif (QS. an-Nahl [16]: 97).

Implementasi dari ayat diatas telah dicontohkan Rasulullah dalam menggambarkan perempuan sebagai sosok yang aktif, sopan, dan terpelihara ahlaknya. Dimasa Rasulullah hidup, banyak perempuan yang aktif berdiskusi di masjid, dan meriwayatkan ribuan hadis. Bahkan, dalam Alquran, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, al-istiqlal al-siyasah (QS al-Mumtahanah [60]:12), seperti figur Ratu Balqis yang memimpin kerajaan superpower (’arsyun ’azhim) (QS. Al-Naml [27]:23); memiliki kemandirian ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (QS. Al-Nahl [16]: 97), seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan (QS. Al-Qashash, [28]:23); bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi, al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami (QS. Al-Tahrim [66]:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum menikah (QS. Al-Tahrim, [66]:12).

Sayangnya, hal diatas tidak bertahan lama, sejak kepergian Rasulullah dan sejalan dengan perpolitikan dimasa itu kehadiran ulama perempuan mulai berkurang. Adalah Umar bin Khatab yang mula-mula melarang perempuan untuk shalat di masjid. Lalu, pada masa selanjutnya perempuan makin tersingkir dari wilayah politik dan terhalang menjadi pemimpin. Kepemimpinan perempuan benar-benar dihapus dalam kesejarahan Islam. Dan, parahnya lagi seolah kita melupakan hadirnya para pemikir perempuan yang pantas disebut sebagai ulama semisal Sayyidah Nafisah yang menjadi guru bagi ulama terkenal al-Shafi’i ketika mengikuti halaqoh di kota Fustat, Shaykhah Shuhda yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu (sastra, stilistika sampai puisi), Rabi’ah al-Adawiyah dalam kajian sufi, dan berbagai nama lainnya.

Ketika Perempuan Berkesempatan jadi Ulama Adalah Rahima yang menggelar kegiatan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) selama 2005-2006. Para peserta yang terpilih, adalah para perempuan yang mewakili daerahnya masing-masing. Peserta yang terpilih telah mengikuti seleksi yang cukup ketat dari tim Rahima. Hanya satu tujuannya yaitu, memunculkan potensi ulama perempuan dalam kancah kepemimpinan agama di Indonesia.

Saya, adalah satu dari peserta yang terpilih. Sama-sama merasakan betapa kehadiran kami dianggap kecil dan sederhana, terutama jika bicara tentang agama. Tak jarang pula orang akan bertanya berapa usia kami, belajar dimana, berguru pada siapa, dan pertanyaan lainnya yang mengecilkan. Apalagi jika berhadapan dengan para tokoh agama yang telah memiliki pengaruh yang cukup kuat. Agaknya, masyarakat kita lupa akan nasebat nabi unzur ma qola wala tanzur man qola (lihat apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakannya).

Selain itu, bicara tentang ketidakadilan bagi perempuan dalam literatur fiqh bukan perkara mudah. Ungkapan sebagai antek antek asing sering kami jumpai. Tapi, kami tak pernah menyerah, karena rata-rata telah memiliki majelis taklim dan ruang-ruang diskusi untuk terus mengirimkan kabar baik yang bernama ’keadilan dan kesetaraan dalam Islam’.

Bagi kami, PUP merupakan wadah menuangkan gagasan dan berbagi pengalaman. Kami meyakini benar, bahwa hambatan masih akan kami jumpai. Untuk itulah, saatnya ulama perempuan saling bahu membahu dan terus berjaringan. Gerakan perempuan insyaallah akan semakin mantap dengan hadirnya para ulama yang turut menyuarakan keadilan relasi lelaki- perempuan. ]
(Diolah dari berbagai sumber.)


  1. Sebutan bagi tokoh agama atau tokoh masyarakat dalam masyarakat Aceh
  2. Pemeran utama dalam serial Korea Jewel in the Palace. Kisahnya mulai diputar pertama kali oleh Indosiar, tahun 2005