Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 saat ini telah disahkan dan berlaku aktif.
Untuk riwayat status dari Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951, lihat di sini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 (UU/1951/1)  (1951) 
tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG DARURAT
NOMOR 1 TAHUN 1981
TENTANG
TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa perlu diadakan peraturan tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan. kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil;
Menimbang pula: bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan;
Mengingat:
  1. pasal-pasal 96, 101, 102, 103, 132, 133 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
  2. Undang-undang tentang penghapusan Pengadilan-Raja (Zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1947 No. 23) yuncto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1950 tentang peraturan daerah pulihan, setelah diubah dengan Undang-undang No. 8 tahun 1950;
  3. pasal 9 ayat 3 kontrak politik yang dibuat dengan pemerintah-pemerintah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu, karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu (Staatsblad 1939 No. 146, 612 dan 613), pula pasal 9 ayat 3 "Peraturan Swapraja 1938" (Staatsblad 1938 No. 529) yang sekedar mengenai daerah-daerah Swapraja dalam Negara Sumatera Timur dahulu karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu yang hubungannya dengan Pemerintah Republik Indonesia diperintahkan oleh yang disebut "Korte Verklaring";

Memutuskan:

  1. Mencabut peraturan-peraturan atau pasal-pasal bertentangan dengan Undang-undang ini.
  2. Menetapkan: UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG TINDAKAN-TINDAKAN SEMENTARA UNTUK MENYELENGGARAKAN KESATUAN SUSUNAN, KEKUASAAN DAN ACARA PENGADILAN-PENGADILAN SIPIL.

Pasal 1
  1. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, dihapuskan :
    1. Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntutan Umum padanya;
    2. Appelraad di Makasar;
    3. Appelraad di Medan;
    4. segala Pengadilan Negara dan segala Landgerecht (cara baru), dan alat Penuntutan Umum padanya;
    5. segala Pengadilan Kepolisian dan alat Penuntutan Umum padanya;
    6. segala Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah);
    7. segala Pengadilan Kabupaten;
    8. segala Raad Distrik;
    9. segala pengadilan Distrik;
    10. segala Pengadilan Negorij.
  2. Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan :
    1. segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam Negara Sumatera Timur dahulu, Karesidenan kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja;
    2. segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied), kecuali peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat.
    3. Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a Rechterlijke Organisatie.
    4. Pelanjutan peradilan Agama tersebut di atas dalam ayat (2) bab a dan b, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2
Pada saat peraturan ini mulai berlaku :
  1. tempat kedudukan Pengadilan Tinggi di Yogyakarta dipindahkan ke Surabaya;
  2. tempat kedudukan Pengadilan Tinggi di Bukit Tinggi dipindahkan ke Medan;
  3. diadakan satu Pengadilan Tinggi di Makasar;
  4. diadakan satu Pengadilan Negeri dan satu Kejaksaan padanya, ditiap-tiap tempat di mana berdasar atas ketentuan pasal 1 ayat (1) bab d dihapuskan satu Pengadilan Negara atau Landgerecht (cara baru) beserta alat Penuntutan Umum padanya.

Pasal 3
  1. Susunan, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Tinggi di Makasar dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan-pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
  2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Tinggi di Jakarta dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan- ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan-pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.

Pasal 4
  1. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, daerah hukum Pengadilan-pengadilan Tinggi ditetapkan seperti berikut :
    1. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Jakarta meliputi daerah-daerah hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah Propinsi Jawa Barat dan daerah-daerah hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah-daerah Propinsi Sumatera Selatan dan bekas karesidenan Kalimantan Barat;
    2. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Surabaya meliputi daerah-daerah hukum segala Pengadilan Negeri dalam daerah Propinsi Jawa Tengah dan dalam Propinsi Jawa-Timur;
    3. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Medan meliputi daerah-daerah hukum segala Pengadilan Negeri dalam Propinsi-propinsi Sumatera kecuali dalam Propinsi Sumatera Selatan;
    4. daerah hukum Pengadilan Tinggi di Makasar meliputi daerah-daerah hukum segala Pengadilan Negeri yang lain dalam daerah Republik Indonesia.
  2. Kepada Menteri Kehakiman diberi kuasa untuk mengubah, dengan persetujuan Mahkamah Agung, peraturan dalam ayat (1).

Pasal 5
  1. Susunan, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Negeri dan Kejaksaan yang dimaksudkan dalam pasal 2 bab d tersebut dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu, dengan ketentuan, bahwa segala Pegawai pada Pengadilan-pengadilan dan pada alat-alat Penuntutan Umum padanya yang dihapuskan menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) bab d tersebut, dianggap pada saat peraturan ini diundangkan telah diangkat dalam jabatan yang sama pada Pengadilan Negeri dan Kejaksaan yang diadakan baru itu, dan dengan ketentuan pula, bahwa daerah hukum Pengadilan Negeri yang diadakan baru itu, adalah sama dengan daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu, selama tiada penetapan lain dari Menteri Kehakiman.
  2. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, kekuasaan, acara dan tugas Pengadilan Negeri di Jakarta dan Kejaksaan padanya dilakukan, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan peraturan ini, menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dan Kejaksaan dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
    1. Pengadilan Negeri, yang daerah-hukumnya meliputi daerah-daerah hukum Pengadilan-pengadilan yang dihapuskan berdasarkan ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) bab e, f, g, h, i dan j, dan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b, sebagai pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk Republik Indonesia memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan/atau segala perkara pidana sipil yang dahulu diperiksa dan diputus oleh Pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu.
    2. Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
      bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
    3. Jika yang terhukum tak memenuhi putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Agama dalam lingkungan peradilan Swapraja dan Adat, salinan putusan itu harus disampaikan oleh yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah-hukumnya meliputi daerah-hukum Hakim Agama itu untuk dapat dijalankan.
    Ketua itu, sesudahnya telah nyata kepadanya bahwa putusan itu tak dapat diubah lagi, menyatakan bahwa putusan dapat dijalankan, dengan menaruh perkataan :
    "Atas nama Keadilan" di atas putusan itu dan dengan menerangkan dibawahnya, bahwa putusan dinyatakan dapat dijalankan, keterangan mana harus ditanggalkannya dan dibubuhi tanda-tangannya. Setelah itu putusan dapat dijalankan menurut acara yang berlaku untuk menjalankan putusan perdata Pengadilan Negeri.

Pasal 6
  1. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan padanya dan oleh segala Pengadilan Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, "Reglemen Indonesia yang dibaharui" (Staatsblad 1941 No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil, dengan perubahan dan tambahan yang berikut :
  1. perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, atau yang menurut ketentuan dalam pasal 5 ayat (3) bab b dianggap diancam dengan hukuman pengganti yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah begitu juga kejahatan "penghinaan ringan" yang dimaksudkan dalam pasal 315 "Kitab Undang-undang Hukum Pidana", diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam sidang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali bilamana Jaksa itu sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk menjalankan pekerjaannya pada sidang itu;
  2. dalam hal memeriksa dam memutus perkara-perkara yang dimaksudkan dalam bab a tadi, berlaku ketentuan dalam pasal-pasal 46 sampai terhitung 52 dari "Reglemen untuk Landgerecht" (Staatsblad 1914 No. 317), sedang perkara-perkara itu dapat diperiksa dan diadili walaupun terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk menghadap dengan sah;
  3. terhadap putusan yang dijatuhkan dengan tak berhadirnya terhukum itu siterhukum dapat memajukan perlawanan;
  4. sebagai acara memeriksa dan memutus dengan tak berhadirnya terhukum itu dan memajukan perlawanan itu, diturut ketentuan dalam pasal 6 "Reglemen untuk Landgerecht" (Staatsblad 1914 No. 317) yuncto 1917 No. 323 dengan pengertian bahwa perlawanan itu harus diajukan kepada Jaksa;
  5. putusan-putusan dalam perkara-perkara yang dimaksudkan dalam bab a tadi juga jika perkara-perkara itu tak dimajukan secara singkat (sumir), tak usah dibuat tersendiri akan tetapi boleh dimasukkan dalam catatan pemeriksaan sidang.
  1. Pada saat peraturan ini mulai berlaku, terhadap putusan Pengadilan Negeri tentang perkara pidana selainnya dari pada yang dimaksudkan dalam ayat 1 bab a tadi, oleh terdakwa untuk dirinya sendiri atau oleh jaksa yang bersangkutan untuk satu atau beberapa terdakwa dapat dimohon bandingan oleh Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri itu, jika putusan itu tidak mengandung pembebasan dari tuntutan seluruhnya. Bandingan itu tidak mengubah putusan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa lain.
  2. Kecuali jika terdakwa dibebaskan, maka sesudah putusan yang dimaksudkan dalam ayat 2 tadi diucapkan, hakim mengingatkan terdakwa akan haknya untuk mohon bandingan dalam tenggang yang ditetapkan, atau untuk menerima baik putusan Pengadilan, atau sesudah dimohon bandingan untuk menarik kembali permohonan itu, atau untuk minta supaya menjalankannya putusan dipertangguhkan 14 hari lamanya dalam tempo mana ia akan memasukkan permohonan grasi.
  3. Peringatan ini dijalankan oleh Panitera jika putusan diberitahukannya kepada terdakwa dalam penjara.
  4. Perbuatan yang dilakukan menurut ayat 3 tadi harus dicatat dalam surat catatan pemeriksaan sidang.
  5. Perbuatan yang dilakukan menurut ayat 4 tadi harus dicatat di bawah surat putusan.

Pasal 7
  1. Permohonan untuk bandingan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permohonan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam tujuh hari, terhitung mulai hari berikut sesudah hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.
  2. Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditanda tangani oleh Panitera tersebut dan jika dapat juga oleh pemohon atau wakilnya, surat keterangan mana harus disertakan dengan surat-surat pemeriksaan perkara, dan juga dicatat dalam daftar.

Pasal 8
Jika Jaksa yang memohon bandingan, maka hal ini harus selekas-lekasnya diberitahukan kepada terdakwa.

Pasal 9
Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke Pengadilan Tinggi, permohonan bandingan dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan jika dicabut permohonan sedemikian, maka tidak dapat diajukan lagi.

Pasal 10
  1. Selambat-lambatnya lima minggu, terhitung mulai hari berikut sesudah hari pengumuman putusan Pengadilan Negeri kepada yang bersangkutan, Panitera harus mengirimkan kepada Pengadilan Tinggi turunan dan surat-surat pemeriksaan serta surat-surat bukti.
  2. Dalam tujuh hari sebelum pengiriman surat-surat kepada Pengadilan Tinggi dan dalam empat belas hari sesudah diterimanya surat-surat oleh Pengadilan Tinggi harus diberi kesempatan kepada terdakwa atau wakilnya dan kepada Jaksa untuk membaca surat-surat tersebut.
  3. Mulainya berlaku tenggang ini harus diberitahukan kepada terdakwa dan Jaksa oleh Panitera Pengadilan Negeri dan Panitera Pengadilan Tinggi.

Pasal 11
Pemeriksaan dalam tingkat bandingan dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan Tiga Hakim, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri terdakwa atau saksi.

Pasal 12
Dalam perkara kejahatan yang terdakwanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara, sejak permohonan bandingan diajukan Pengadilan tinggilah yang menentukan ditahan atau tidaknya.

Pasal 13
Selama Pengadilan Tinggi belum memutuskan dalam tingkat bandingan terdakwa atau wakilnya dan Jaksa dapat menyerahkan surat-surat pembelaan atau keterangan kepada Pengadilan Tinggi.

Pasal 14
  1. Dalam tingkat bandingan Pengadilan Tinggi dapat mengubah surat tuntutan secara yang boleh dilakukan oleh Jaksa Kejaksaan Negeri dalam pemeriksaan tingkat pertama.
  2. Atas pengubahan surat tuntutan ini terdakwa harus didengar oleh Pengadilan Tinggi sendiri atau oleh Pengadilan Negeri atas perintahnya.

Pasal 15
  1. Jika menurut pandapat Pengadilan Tinggi ada kesalahan atau kealpaan atau yang kurang lengkap atau kurang sempurna dalam pemeriksaan tingkat pertama, hal-hal ini harus diperbaiki.
  2. Dalam hal ini Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan perbaikan ini oleh Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama atau oleh salah satu Hakim dari Pengadilan Tinggi.
  3. Jika perlu, Pengadilan Tinggi dapat membatalkan perbuatan Hakim dalam tingkat pertama yang mendahului putusan penghabisan Pengadilan Negeri.
  4. Apabila hal ini terjadi, Pengadilan Negeri tersebut harus mengulangi pemeriksaan dalam tingkat pertama mulai dengan perbuatan yang dibatalkan tadi.

Pasal 16
  1. Setelah semua hal tersebut di atas dipertimbangkan dan dijalankan, Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan, yaitu membenarkan atau mengubah putusan Pengadilan Negeri atau membatalkannya dan mengadakan putusan sendiri.
  2. Jika pembatalan ini terjadi atas putusan Hakim Pengadilan Negeri, karena ia tidak berhak memeriksa perkaranya, maka perkaranya harus dikembalikan kepada Hakim Pengadilan Negeri tersebut yang wajib memeriksanya.

Pasal 17
  1. Jika terdakwa dalam tingkat bandingan dihukum oleh karena kejahatan yang terdakwanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara, Pengadilan Tinggi menentukan penahanan berjalan terus atau penghentiannya penahanan.
  2. Jika keadaan berlainan dari pada yang tersebut dalam ayat 1, Pengadilan Tinggi, tidak boleh memerintahkan penahanan dan jika terdakwa tertahan, perintah penahanan harus dicabut.

Pasal 18
Putusan Pengadilan Tinggi dalam tingkat bandingan ini harus ditanda tangani oleh semua Hakim yang turut memutuskan dan oleh Panitera yang turut membantu meriksa, kecuali jika mereka berhalangan, hal mana harus dicatat dalam surat putusan.

Pasal 19
  1. Turunan putusan ini beserta dengan surat-surat pemeriksaan harus selekaslekasnya dikirim kepada Pengadilan Negeri yang memutuskan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
  2. Isi putusan harus diberitahukan kepada terdakwa oleh Panitera Pengadilan Negeri itu selekas mungkin, pemberitahukan mana harus dicatat dalam putusan Pengadilan Negeri.

Pasal 20
  1. Dengan mengingat peraturan pemerintah tentang permohonan grasi demikian juga peraturan tentang pengembalian barang-barang bukti segera sesudah habis sidang dan jika tiada peraturan lain dari pada ayat-ayat yang tersebut di bawah ini, maka putusan Pengadilan Tinggi dalam tingkat bandingan ini harus selekas-lekasnya dijalankan oleh Jaksa dari Kejaksaan pada Pengadilan yang mengadili perkara dalam tingkatan pertama.
  2. Untuk dapat menjalankan putusan itu, Panitera Pengadilan Negeri yang tersebut dalam pasal 19 ayat 2, sesudah diberitahukannya putusan itu kepada terdakwa menurut aturan dalam pasal 19 itu, mengirimkan kepada Jaksa yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini untuk tiap-tiap terdakwa petikan dari putusan itu berangkap dua, dalam petikan mana disebut :
    nama, umur, tempat lahir, pekerjaan, tempat tinggal atau tempat kediaman terdakwa, putusan dari Pengadilan dalam peradilan tingkat pertama dan putusan dalam tingkat bandingan, hari putusan itu dijatuhkan, demikian pula nama Hakim yang turut memberi keputusan, dan lagi perintah tentang penahanan terdakwa, dengan catatan bahwa putusan itu sudah mendapat kekuatan tetap kecuali dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan.
  3. Putusan Pengadilan Tinggi itu dijalankan oleh Jaksa yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini secara peraturan menjalankan putusan perkara pidana dalam peradilan tingkatan pertama.

ATURAN PERALIHAN

    1. Dalam 7 hari sesudah peraturan ini mulai berlaku, dimana-mana "Reglemen Indonesia yang Dibaharui" (Staatsblad 1941 No. 44) mulai berlaku sebagai pedoman tentang perkara pidana sipil. Jaksa Pengadilan Negeri diwajibkan memeriksa dalam daerah hukumnya orang manakah yang ditahan sementara oleh karena kejahatan sipil yang terdakwanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara.
    2. Jika ada alasan cukup untuk meneruskan penahanan sementara itu, Jaksa yang bersangkutan harus mengeluarkan dalam 7 hari tersebut untuk tiap-tiap tersangka perintah penahanan yang berlaku 30 hari.
  1. Jika pada saat peraturan ini mulai berlaku belum lagi liwat 7 hari, terhitung mulai hari berikut sesudah hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan, tenggang yang ditetapkan dalam pasal 7 untuk dapat mohon bandingan terhadap putusan perkara pidana yang diterangkan dalam pasal 6 ayat 2 harus dihitung mulai dari pada saat peraturan ini telah mulai berlaku.
  1. Dengan mulai berlakunya peraturan ini, seketika itu juga segala pengadilan yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dan segala alat Penuntutan Umum yang sekedar ada pada Pengadilan-pengadilan itu harus memperhentikan pekerjaannya.
    1. Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada Mahkamah Justisi di Makasar, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi di Makasar, menurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Tinggi itu.
    2. Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Panitera Mahkamah tersebut harus menyerahkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
    3. Arsip, uang dan barang-barang (inventaris) Mahkamah tersebut, oleh Paniteranya harus selekas-lekasnya diserahkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
    4. Kepala alat Penuntutan Umum pada Mahkamah tersebut harus selekaslekasnya menyerahkan segala perkara pidana yang ada padanya untuk diperiksa beserta segala barang bukti dan arsip, uang dan barang-barang Kantornya kepada Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri di Makasar.
    1. Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada Appelraad di Makasar, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan mengindahkan ketentuan Undang-undang ini.
    2. Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Panitera Appelraad tersebut harus mengirimkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
    3. Arsip, uang dan barang-barang Appelraad tersebut, oleh Paniteranya harus selekas-lekasnya diserahkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
    1. Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada Appeiraad di Medan, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Tinggi di Medan menurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Tinggi itu.
    2. Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Panitera Appelraad tersebut harus menyerahkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
    3. Arsip, uang dan barang-barang Appetraad tersebut, oleh Paniteranya harus selekas-lekasnya diserahkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi tersebut.
    1. Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada : Pengadilan Negara, Landgerecht (cara baru), Pengadilan Kepolisian, Pengadilan Magistraat (Rendah), Pengadilan Kabupaten, Raad Distrik, Pengadilan Distrik dan Pengadilan Negorij dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a, menurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri itu.
    2. Untuk dapat menjalankan ketentuan dalam bab 1, Hakim yang mengepalai berikut masing-masing Pengadilan Kepolisian, Pengadilan Magistraat (Rendah), Pengadilan kabupaten, Raad Distrik, Pengadilan Distrik dan Pengadilan Negorij harus mengirimkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu kepada Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.
    3. Arsip, uang dan barang-barang pengadilan-pengadilan yang dimaksudkan dalam bab 2 beserta segala barang bukti yang ada padanya, oleh hakim yang mengepalai pengadilan-pengadilan itu harus selekas-lekasnya diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam pasal 5 bab 3 huruf a.
    1. Terhadap segala perkara pidana yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah diputuskan oleh Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat, maka ketentuan dalam aturan peralihan bab B yuncto ketentuan dalam pasal 5 bab 3 huruf b berlaku juga.
    2. Segala perkara yang pada saat peraturan ini mulai berlaku telah ada pada Pengadilan Swapraja atau Pengadilan Adat - melainkan perkara yang dikecualikan berdasar atas ketentuan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b -, dijalankan putusannya atau diteruskan perjalanan putusannya atau dilanjutkan pemeriksaannya dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a, menurut hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Negeri itu.
    3. Untuk dapat melakukan ketentuan dalam bab 1, Pemimpin swapraja dan Pemimpin Pengadilan Adat harus mengirimkan selekas-lekasnya segala perkara tersebut beserta segala surat pemeriksaan sidang dan segala surat pembukti perkara itu kepada Panitera pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.
    4. Arsip Pengadilan Swapraja dan segala barang bukti yang ada padanya, dan arsip, uang dan barang-barang Pengadilan Adat beserta segala barang bukti yang ada padanya, oleh Pemimpin pengadilan-pengadilan itu harus diserahkan selekas-lekasnya kepada Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.
    5. Kepala alat Penuntutan Umum pada Pengadilan Swapraja harus menyerahkan selekas-lekasnya segala perkara pidana yang ada padanya untuk diperiksa beserta segala barang bukti dan arsip Kantornya, dan Kepala alat Penuntutan Umum pada Pengadilan Adat harus menyerahkan selekas-selekasnya segala perkara pidana yang ada padanya untuk diperiksa beserta segala barang bukti, dan arsip, uang dan barang-barang Kantornya, kepada Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri yang dimaksudkan dalam pasal 5 bab 3 huruf a.

Ketentuan terakhir.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 1950

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



SOEKARNO

Diundangkan
pada tanggal 14 Januari 1950

MENTERI KEHAKIMAN,




WONGSONEGORO

Lihat Juga

sunting

Keterangan

  Status: Berlaku
Tanggal diundangkan: 14 Januari 1950
  Peraturan terkait
Belum ada peraturan terkait
  Sejarah
Belum ada riwayat sejarah