|
UMUM
Tujuan Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan merata. Tujuan luhur yang demikian itu hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan nasional secara bertahap, terencana, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Untuk melaksanakan pembangunan nasional dimaksud, diperlukan dana dari masyarakat, antara lain, berupa pembayaran pajak. Oleh karena itu, peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun, dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya. Terhadap tunggakan pajak dimaksud perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Selama ini, tindakan penagihan pajak dimaksud dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa kurang dapat sepenuhnya mendukung pelaksanaan undang-undang perpajakan yang berlaku sekarang sebab selain undang-undang perpajakan telah mengalami perubahan, juga karena adanya perkembangan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat yang dinamis. Oleh karena itu, diperlukan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang dapat mengatasi semua permasalahan yang timbul di masyarakat, khususnya, permasalahan mengenai tunggakan pajak serta dapat memberikan motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat Wajib Pajak. Undang-undang penagihan pajak yang demikian itu diharapkan akan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi, dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum.
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengatur ketentuan tentang tatacara tindakan penagihan pajak yang berupa penagihan seketika dan sekaligus, pelaksanaan Surat Paksa, penyitaan, pencegahan, dan/atau penyanderaan, serta pelelangan. Dalam Undang-undang ini, Surat Paksa diberi kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan banding sehingga Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan dan ditindaklanjuti sampai pelelangan barang Penanggung Pajak. Selaras dengan perkembangan jenis pajak dan pungutan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang dilakukan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Undang-undang ini dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap berbagai jenis pajak dimaksud. Sementara jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Masuk dan Cukai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara lain, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak atas Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Dalam rangka menegakkan keadilan, Undang-undang ini tetap memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan. Karena pelaksanaan sanggahan pada hakikatnya tidak berbeda dengan pelaksanaan gugatan, ketentuan dalam Undang-undang ini mengatur bahwa gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan pelaksanaan penagihan pajak berupa pelaksanaan Surat Paksa, sita, atau lelang diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Sementara itu, gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita diajukan ke Pengadilan Negeri. Sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 bahwa sanggahan dan atau gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak yang selanjutnya berdasarkan undang-undang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Perlindungan hukum terhadap hak dimaksud diberikan porsi sendiri yang dituangkan berupa ketentuan dalam beberapa pasal di dalam Undang-undang ini.
Pelunasan utang pajak oleh Penanggung Pajak merupakan salah satu tujuan penting dari pemberlakuan Undang-undang ini. Untuk menambah ketajaman upaya penagihan pajak, dalam keadaan tertentu terhadap Penanggung Pajak tertentu secara sangat selektif dan hati-hati berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, dapat dilakukan tindakan pencegahan dan dengan seizin Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat dilakukan penyanderaan. Namun, perlindungan hak untuk memperoleh keadilan bagi Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan pencegahan dan/atau penyanderaan dimaksud tetap diberikan oleh Undang-undang ini.
Beberapa pokok pengaturan yang terkandung dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
- Ketentuan tentang pengertian Penanggung Pajak diperluas untuk menyesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, yaitu untuk Wajib Pajak badan, Penanggung Pajak adalah pengurus yang pengertiannya telah diperluas termasuk juga orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan;
- Dalam hal tertentu dapat dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
- Memperjelas dan mempertegas pemberitahuan Surat Paksa secara lebih rinci tentang kepada siapa, dimana, kapan, dan bagaimana Surat Paksa diberitahukan dan kemungkinan pembetulan serta penggantian Surat Paksa;
- Ketentuan tentang penyitaan barang yang digunakan sebagai jaminan pelunasan utang pajak diatur secara lebih rinci dan jelas serta tegas yang meliputi jenis, status, nilai serta tempat penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung Pajak dengan tetap memberikan perlindungan hak bagi pihak ketiga;
- Untuk melindungi kepentingan masyarakat Wajib Pajak diberikan pengecualian terhadap barang yang dapat disita;
- Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Untuk kepentingan negara diatur secara lebih tegas tentang hak mendahulu yang dimiliki oleh negara terhadap pembagian hasil lelang barang milik Penanggung Pajak;
- Dalam rangka mendorong masyarakat agar mengutamakan kewajiban kenegaraan, ketentuan tentang pelaksanaan penagihan pajak sampai dengan lelang lebih dipertegas walaupun Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding;
- Untuk melindungi kepentingan pembeli barang secara lelang, Risalah Lelang digunakan sebagai dasar pengalihan hak;
- Dalam hal-hal tertentu pencegahan dan/atau penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak tertentu agar melunasi utang pajak. Pencegahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Izin penyanderaan yang dahulu diberikan oleh Kepala Daerah Tingkat I, menurut Undang-undang ini diberikan oleh Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Pencegahan dan/atau penyanderaan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati;
- Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan prosedur, gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan pelaksanaan Surat Paksa, sita, atau lelang hanya dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan gugatan tidak dapat diajukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari;
- Dalam hal lelang telah dilaksanakan dan Wajib Pajak memperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang, tetapi Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak dalam bentuk uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Dalam pembentukannya, Undang-undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan undang-undang lainnya, yaitu :
- Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2104);
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);
- Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3474);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613);
- Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632);
- Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684);
- Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685);
- Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);
- Vendu Reglement Staatsblad 1908 Nomor 189 (Peraturan Lelang Tahun 1908).
|
|
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
- Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang bersifat teknis dan baku yang dipergunakan dalam Undang-undang ini. Rumusan pengertian istilah ini diperlukan untuk mencegah adanya salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga dapat memberi kemudahan dan kelancaran, baik bagi Wajib Pajak maupun bagi aparatur dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Pasal 2
- Ayat (1)
- Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat. Yang dimaksud dengan Pejabat untuk penagihan pajak pusat antara lain Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Adapun yang dimaksud dengan pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bea Masuk dan Cukai.
- Ayat (2)
- Kewenangan menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah diberikan kepada Kepala Daerah. Yang dimaksud dengan Pejabat untuk penagihan pajak daerah seperti Kepala Dinas Pendapatan Daerah. Adapun yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara lain, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Kendaraan Bermotor.
- Ayat (3)
- Ayat ini mengatur ketentuan tentang pemberian kewenangan kepada Pejabat di bidang penagihan pajak untuk mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, atau menerbitkan surat lain, misalnya, surat permintaan bantuan kepada Kepolisian atau surat permintaan pencegahan.
Pasal 3
- Ayat (1) dan Ayat (2)
- Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya merupakan pelaksana eksekusi dari putusan yang sama kedudukannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, untuk dapat diangkat sebagai Jurusita Pajak, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, misalnya, pendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat serta telah mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus Jurusita Pajak.
- Dengan pertimbangan bahwa Jurusita Pajak harus ada pada setiap kantor Pejabat, baik Pejabat untuk penagihan pajak pusat maupun Pejabat untuk penagihan pajak daerah, maka kewenangan pengangkatan dan pemberitahuan Jurusita Pajak diberikan kepada Pejabat dengan berpedoman pada syarat-syarat dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 4
- Cukup jelas.
Pasal 5
- Ayat (1)
- Huruf a
- Cukup jelas.
- Huruf b
- Yang dimaksud dengan memberitahukan Surat Paksa adalah penyampaian Surat Paksa secara resmi kepada Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa.
- Huruf c
- Cukup jelas.
- Huruf d
- Jurusita Pajak melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah dari Pejabat sesuai dengan izin yang diberikan oleh Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
- Ayat (2)
- Ketentuan ini mengatur keharusan Jurusita Pajak dalam melaksanakan kewajibannya dilengkapi dengan kartu tanda pengenal yang diterbitkan oleh Pejabat. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti diri bagi Jurusita Pajak bahwa yang bersangkutan adalah Jurusita Pajak yang sah dan betul-betul bertugas untuk melaksanakan tindakan penagihan pajak.
- Ayat (3) dan Ayat (4)
- Ketentuan ini mengatur kewenangan Jurusita Pajak dalam melaksanakan penyitaan untuk menemukan objek sita yang ada di tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat tinggal Penanggung Pajak dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, dengan terlebih dahulu meminta izin dari Penanggung Pajak. Kewenangan ini pada hakikatnya tidak sama dengan penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
- Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugas dapat meminta bantuan pihak lain, misalnya, dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi izin atau menghalangi pelaksanaan penyitaan, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan. Demikian juga dalam hal penyitaan terhadap barang tidak bergerak seperti tanah, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan kepada Badan Pertanahan Nasional atau Pemerintah Daerah untuk meneliti kelengkapan dokumen berupa keterangan kepemilikan atau dokumen lainnya. Dalam hal penyitaan terhadap kapal laut dengan isi kotor tertentu dapat meminta bantuan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
- Ayat (5)
- Pada dasarnya Jurusita Pajak melaksanakan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, namun apabila dalam suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, misalnya, di Jakarta, maka Menteri atau Kepala Daerah berwenang menetapkan bahwa Jurusita Pajak dapat melaksanakan tugasnya di luar wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya.
- Contoh : Jurusita Pajak dari Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Menteng dapat melaksanakan penyitaan barang Penanggung Pajak yang berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Pasar Minggu.
Pasal 6
- Ayat (1)
- Penyampaian Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
- Dalam hal diketahui oleh Jurusita Pajak bahwa barang milik Penanggung Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan, Jurusita Pajak segera melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dengan melaksanakan penyitaan terhadap sebagian besar barang milik Penanggung Pajak dimaksud setelah Surat Paksa diberitahukan.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
Pasal 7
- Ayat (1)
- Agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari oleh Surat Paksa, ketentuan ini memberi kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
Pasal 8
- Huruf a
- Pada dasarnya Surat Teguran, atau Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis hanya diterbitkan satu kali.
- Pengertian surat lain yang sejenis meliputi surat atau bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau Surat Peringatan dalam upaya penagihan pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.
- Huruf b
- Cukup jelas.
- Huruf c
- Dalam hal-hal tertentu, misalnya, karena Penanggung Pajak mengalami kesulitan likuiditas, kepada Penanggung Pajak atas dasar permohonannya dapat diberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak melalui keputusan Pejabat. Oleh karena itu, keputusan dimaksud mengikat kedua belah pihak.
- Dengan demikian, apabila kemudian Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak, maka Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis.
Pasal 9
- Ayat (1) dan Ayat (2)
- Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur bahwa apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, misalnya, kecurian, kebanjiran, kebakaran, atau gempa bumi yang menyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca, atau tidak dapat ditemukan lagi, Pejabat karena jabatan dapat menerbitkan Surat Paksa pengganti yang mempunyai kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.
Pasal 10
- Ayat (1) dan Ayat (2)
- Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan, dan selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan asli Surat Paksa disimpan di kantor Pejabat.
- Ayat (3)
- Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat, antara lain, jumlah tunggakan utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris. Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan kepada wali atau pengampunya.
- Ayat (4)
- Huruf a
- Yang dimaksud dengan pengurus, misalnya : - untuk perseroan terbatas sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas adalah dewan direksi dan dewan komisaris; - untuk badan usaha lainnya seperti persekutuan, firma, CV adalah direktur atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas perusahaan dimaksud; - untuk yayasan adalah ketua dan orang yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas yayasan dimaksud. Termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan, sedangkan yang dimaksud dengan pemegang saham adalah pemegang saham mayoritas.
- Huruf b
- Yang dimaksud dengan pegawai tingkat pimpinan adalah pegawai yang mengepalai salah satu bagian, misalnya, bagian pembukuan, keuangan, personaliaan, hubungan masyarakat, atau bagian umum.
- Ayat (5)
- Cukup jelas.
- Ayat (6)
- Yang dimaksud dengan seorang kuasa pada ayat ini adalah orang pribadi atau badan yang menerima kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
- Ayat (7)
- Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai seorang pun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), salinan Surat Paksa disampaikan kepada Penanggung Pajak melalui aparat Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala Desa dengan membuat Berita Acara, yang selanjutnya salinan Surat Paksa dimaksud akan segera diserahkan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan.
- Ayat (8)
- Cukup jelas.
- Ayat (9)
- Pada dasarnya apabila Surat Paksa akan dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta bantuan kepada Pejabat lain. Namun, apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, Menteri atau Kepala Daerah berwenang menetapkan bahwa Pejabat dimaksud dapat melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan Pejabat setempat.
- Contoh : Kepala Kantor Pelayanan Pajak Surabaya Krembangan akan melaksanakan Surat Paksa di tempat usaha Penanggung Pajak di Pasar Genteng, Surabaya. Dalam hal ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Surabaya Krembangan dapat langsung melaksanakan Surat Paksa di tempat usaha Penanggung Pajak tanpa harus meminta bantuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak Surabaya Genteng.
- Ayat (10)
- Cukup jelas.
- Ayat (11)
- Apabila Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa dengan berbagai alasan, misalnya, karena Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan, salinan Surat Paksa dimaksud ditinggalkan di tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan Penanggung Pajak dan dicatat dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau atau menolak menerima salinan Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
Pasal 11
- Jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa yang bersangkutan.
Pasal 12
- Ayat (1)
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Kehadiran para saksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan penyitaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Ayat (3)
- Berita Acara Pelaksanaan Sita merupakan pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa penguasaan barang Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu, dalam setiap penyitaan, Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita secara jelas dan lengkap yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal, nomor, nama Jurusita Pajak, nama Penanggung Pajak, nama dan jenis barang yang disita, dan tempat penyitaan.
- Ayat (4)
- Seorang saksi dari Pemerintah Daerah setempat, sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.
- Ayat (5)
- Dalam pelaksanaan sita yang tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita harus memuat alasan ketidakhadiran Penanggung Pajak. Diperlukannya saksi dari Pemerintah Daerah setempat berfungsi sebagai saksi legalisator. Dengan demikian Berita Acara Pelaksanaan Sita dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
- Ayat (6)
- Cukup jelas.
- Ayat (7)
- Pada dasarnya terhadap barang yang disita harus ditempeli salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, kecuali jika terdapat barang yang disita yang sesuai sifatnya tidak dapat ditempeli salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, misalnya, uang tunai atau sebidang tanah.
- Ayat (8)
- Penempelan atau pemberian segel sita pada barang yang disita dimaksudkan sebagai pengumuman bahwa penyitaan telah dilaksanakan, baik dihadiri ataupun tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak.
Pasal 13
- Ketentuan ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 yang, antara lain, mengatur bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Oleh karena itu, penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Pasal 14
- Ayat (1)
- Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang Penanggung Pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan Penanggung Pajak, atau di tempat lain sekalipun penguasaannya berada di tangan pihak lain.
- Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan terhadap barang bergerak. Keadaan tertentu, misalnya, Jurusita Pajak tidak menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan objek sita, atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya.
- Pengertian kepemilikan atas tanah meliputi, antara lain, hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.
- Yang dimaksud dengan penguasaan berada di tangan pihak lain, misalnya, disewakan atau dipinjamkan, sedangkan yang dimaksud dengan dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, misalnya, barang yang dihipotekkan, digadaikan, atau diagunkan.
- Ayat (2)
- Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Jurusita Pajak harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga Jurusita Pajak tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal tertentu Jurusita Pajak dimungkinkan untuk meminta bantuan jasa penilai.
- Ayat (3)
- Ketentuan ini diperlukan untuk menampung kemungkinan perluasan objek sita berupa hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 15
- Ayat (1)
- Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup dan usaha Penanggung Pajak, terhadap barang tertentu yang digunakan sehari-hari oleh Penanggung Pajak dan alat-alat yang digunakan penyandang cacat dikecualikan dari penyitaan.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
Pasal 16
- Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, penyimpanannya dititipkan kepada Penanggung Pajak, misalnya, tanah dan/atau bangunan. Namun, ada barang yang karena sifatnya atau karena pertimbangan tertentu dari Jurusita Pajak penyimpanannya dapat dititipkan pada bank, atau kantor pegadaian, atau disimpan di kantor Pejabat seperti perhiasan atau peralatan elektronik.
Pasal 17
- Ayat (1)
- Penyitaan atas kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan cara pemblokiran terlebih dahulu yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Ayat (2)
- Penyitaan barang yang kepemilikannya terdaftar seperti kendaraan bermotor diberitahukan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; tanah diberitahukan kepada Badan Pertahanan Nasional; penyitaan kapal laut dengan isi kotor tertentu diberitahukan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar barang sitaan dimaksud tidak dapat dipindahtangankan sebelum utang pajak beserta biaya penagihan pajak dan biaya lainnya dilunasi oleh Penanggung Pajak. Pemberitahuan dilakukan dengan penyerahan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita.
- Ayat (3)
- Atas penyitaan barang tidak bergerak, misalnya, tanah yang kepemilikannya belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional, Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Pemerintah Daerah setempat untuk digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Keterangan Riwayat Tanah dan untuk mencegah pemindahtanganan tanah dimaksud. Penyampaian Berita Acara Pelaksanaan Sita ke Pengadilan Negeri dimaksudkan untuk didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dan Pemerintah Daerah setempat selanjutnya mengumumkan penyitaan dimaksud.
Pasal 18
- Ayat (1)
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Ketentuan ini dimaksudkan agar penyitaan dapat dilaksanakan sebelum barang dikembalikan kepada Penanggung Pajak.
- Dalam hal Kejaksaan atau Kepolisian lalai memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, sehubungan dengan akan dikembalikannya barang yang disita kepada Penanggung Pajak, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
Pasal 19
- Ayat (1)
- Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa terhadap semua jenis barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, tidak boleh disita lagi oleh Jurusita Pajak. Adapun yang dimaksud dengan instansi lain yang berwenang adalah instansi lain yang juga berwenang melakukan panyitaan, misalnya, Panitia Urusan Piutang Negara.
- Ayat (2)
- Penyerahan salinan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang dimaksudkan agar pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan bahwa penyitaan atas barang dimaksud juga berlaku sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak yang tercantum dalam Surat Paksa.
- Ayat (3)
- Pengadilan Negeri setelah menerima salinan Surat Paksa selanjutnya dalam sidang berikutnya menetapkan bahwa barang yang telah disita dimaksud juga sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
- Dengan demikian, berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri dimaksud pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahuinya secara resmi.
- Ayat (4)
- Cukup jelas.
- Ayat (5)
- Cukup jelas.
- Ayat (6)
- Cukup jelas.
- Ayat (7)
- Sebagai kelanjutan dari penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan pembagian hasil penjualan barang sitaan dengan memperhatikan hak mendahulu untuk tagihan pajak, apabila putusan dimaksud kemudian telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pengadilan Negeri segera mengirimkan putusannya ke Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.
Pasal 20
- Ayat (1)
- Pada dasarnya apabila objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta bantuan kepada Pejabat lain untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita dimaksud. Namun, apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, Menteri atau Kepala Daerah berwenang menetapkan bahwa Pejabat dimaksud dapat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan Pejabat setempat.
- Contoh : Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran Baru akan melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di Tanjung Priok yang bukan merupakan wilayah kerjanya. Dalam hal ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran Baru dapat langsung melaksanakan penyitaan terhadap objek sita dimaksud tanpa meminta bantuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanjung Priok.
- Ayat (2)
- Ketentuan ini dimaksudkan agar Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat meminta bantuan kepada Pejabat lain untuk menerbitkan surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan penyitaan terhadap barang yang berada jauh dari tempat kedudukan Pejabat dimaksud sekalipun masih berada dalam wilayah kerjanya. Misalnya, apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah di Jakarta yang wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia akan melakukan penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di Kupang, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Kupang.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
Pasal 21
- Apabila hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, Jurusita Pajak dapat melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang belum disita. Dengan demikian, penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak.
Pasal 22
- Ayat (1)
- Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri atau Kepala Daerah untuk melakukan pencabutan sita karena adanya sebab-sebab di luar kekuasaan Pejabat yang bersangkutan, misalnya, objek sita terbakar, hilang, atau musnah.
- Yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari peradilan umum. Putusan peradilan umum, misalnya, putusan atas gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, sedangkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, misalnya, putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
Pasal 23
- Ayat (1)
- Huruf a dan Huruf b
- Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka Penanggung Pajak dilarang untuk memindahtangankan atau memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau menyumbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Penanggung Pajak juga dilarang membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan. Larangan dimaksud berlaku baik untuk seluruh maupun untuk sebagian barang yang disita.
- Huruf c
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
Pasal 24
- Cukup jelas.
Pasal 25
- Ayat (1)
- Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak, tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Huruf a
- Cukup jelas.
- Huruf b
- Pemindahbukuan objek sita yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Huruf c
- Cukup jelas.
- Huruf d
- Cukup jelas.
- Huruf e
- Cukup jelas.
- Huruf f
- Cukup jelas.
- Ayat (4)
- Yang dimaksud dengan pihak-pihak pada ayat (3) huruf : b. adalah bank termasuk lembaga keuangan lainnya, c. adalah bursa efek, d. adalah Pejabat, e. adalah Notaris, debitur, dan f. adalah Notaris.
- Ayat (5)
- Cukup jelas.
Pasal 26
- Ayat (1)
- Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajaknya sebelum pelelangan terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang setiap penjualan secara lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Pengumuman lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah penyitaan, sedangkan lelang dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sejak pengumuman lelang. Apabila Penanggung Pajak belum juga melunasi utang pajaknya, sedangkan lelang harus dilaksanakan, kepada Penanggung Pajak masih diberi kesempatan untuk menentukan urutan barang yang akan dilelang. Dalam hal Penanggung Pajak tidak menggunakan kesempatan dimaksud atau apabila pelaksanaan lelang berdasarkan urutan yang ditentukan Penanggung Pajak menjadi terhambat, Pejabat menentukan kembali urutan barang yang dilelang dimaksud.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Kehadiran Pejabat atau yang mewakilinya dalam pelaksanaan lelang diperlukan untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lelang lebih rendah dari harga limit yang ditentukan. Selain itu, kehadiran Pejabat atau yang mewakilinya juga diperlukan untuk menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak
- Ayat (4)
- Cukup jelas.
- Ayat (5)
- Cukup jelas.
- Ayat (6)
- Cukup jelas.
Pasal 27
- Ayat (1)
- Mengingat bahwa lelang merupakan tindak lanjut eksekusi dari Surat Paksa yang kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sekalipun Wajib Pajak mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.
- Ayat (2)
- Karena penguasaan barang yang disita telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka Pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk menjual barang yang disita dimaksud. Mengingat Penanggung Pajak yang memiliki barang yang disita telah diberitahukan bahwa barang yang disita akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan, lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
- Ayat (3)
- Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Namun, dalam hal terdapat putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas kepemilikan barang yang disita, atau putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak atas pelaksanaan penagihan pajak, atau barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau bencana alam, lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun utang pajak dan biaya penagihan pajak belum dilunasi.
Pasal 28
- Ayat (1) s/d Ayat (4)
- Tujuan utama lelang adalah untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan tetap memberi perlindungan kepada Penanggung Pajak agar lelang tidak dilaksanakan secara berlebihan. Selain itu, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi Penanggung Pajak agar Pejabat tidak berbuat sewenang-wenang dalam melakukan penjualan secara lelang termasuk, misalnya, dalam penentuan harga limit. Sisa barang sitaan beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah dibuatnya Risalah lelang sebagai tanda bahwa lelang telah selesai dilaksanakan. Risalah Lelang antara lain, memuat keterangan tentang barang sitaan telah terjual.
- Ayat (5)
- Sebagai syarat pengalihan hak dari Penanggung Pajak kepada pembeli lelang dan juga sebagai perlindungan hukum terhadap hak pembeli lelang, kepadanya harus diberikan Risalah Lelang yang berfungsi sebagai akta jual beli yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.
Pasal 29
- Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penagihan pajak. Namun, agar pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka pelaksanaan pencegahan sebagai upaya penagihan pajak diberikan syarat-syarat, baik yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak sehingga pencegahan hanya dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati.
Pasal 30
- Ayat (1)
- Pelaksanaan pencegahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan Menteri sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang, antara lain menentukan bahwa yang berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri sepanjang menyangkut urusan piutang negara.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
- Ayat (4)
- Cukup jelas.
- Ayat (5)
- Cukup jelas.
Pasal 31
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa. Dengan demikian, pencegahan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak. Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan pencegahan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 32
- Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Pasal 33
- Ayat (1)
- Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu.
- Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam melunasi utang pajak, serta telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa. Dengan demikian, Pejabat mendapatkan data atau informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir.
- Ayat (2)
- Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara sangat selektif dan hati-hati. Oleh karena itu, Pejabat tidak boleh menerbitkan surat Perintah Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
- Ayat (4)
- Cukup jelas.
- Ayat (5)
- Cukup jelas.
- Ayat (6)
- Cukup jelas.
Pasal 34
- Cukup jelas.
Pasal 35
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa. Dengan demikian, penyanderaan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak. Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penyanderaan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dilaksanakan.
Pasal 36
- Sebelum tempat penyanderaan ditentukan dengan Peraturan Pemerintah, Penanggung Pajak yang disandera dititipkan sementara di rumah tahanan negara.
Pasal 37
- Ayat (1)
- Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan hak kepada Penanggung Pajak untuk mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dalam hal Penanggung Pajak tidak setuju dengan pelaksanaan penagihan pajak yang meliputi pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang. Termasuk dalam pengertian gugatan dalam Undang-undang ini adalah sanggahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
- Ayat (2)
- Jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan gugatan dianggap memadai dan telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap Surat Paksa dihitung sejak pemberitahuan kepada Penanggung Pajak, untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk lelang dihitung sejak pengumuman lelang. Dengan demikian, lelang tidak boleh dilaksanakan sebelum lewat 14 (empat belas) hari sejak pengumuman lelang. Apabila jangka waktu dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak Penanggung Pajak untuk menggugat dinyatakan gugur.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
Pasal 38
- Ayat (1) s/d Ayat (3)
- Cukup jelas.
- Ayat (4)
- Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan gugatan terhadap kepemilikan barang yang disita oleh Jurusita Pajak melalui proses perdata. Namun, apabila Pejabat Lelang telah menunjuk seorang pembeli sebagai pemenang lelang dalam proses lelang yang sedang berlangsung, maka gugatan tidak dapat diajukan lagi terhadap kepemilikan barang yang telah terjual dimaksud. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi kepentingan pembeli lelang karena kepada pihak ketiga telah diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan gugatan sebelum lelang dilaksanakan.
Pasal 39
- Ayat (1)
- Ketentuan ini mengatur pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, jumlah utang pajak, atau keterangan lainnya yang tercantum dalam Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan Pengumuman Lelang yang permohonannya diajukan oleh Penanggung Pajak kepada Pejabat. Dalam hal Penanggung Pajak mengajukan permohonan pergantian surat-surat dimaksud baik karena hilang ataupun rusak, atau karena alasan lain, penggantiannya diberikan dalam bentuk salinan atau turunan yang ditandatangani oleh Pejabat.
- Ayat (2)
- Cukup jelas.
- Ayat (3)
- Cukup jelas.
Pasal 40
- Ayat (1)
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Dalam hal barang yang dimiliki oleh Penanggung Pajak telah dilelang dan kemudian diperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud hanya dapat dikembalikan dalam bentuk uang.
Pasal 41
- Cukup jelas.
Pasal 42
- Ayat (1)
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Ketentuan ini dimaksudkan agar gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang telah diajukan kepada Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara sebelum Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terbentuk, tetap diselesaikan oleh badan peradilan yang bersangkutan.
Pasal 43
- Ayat (1)
- Cukup jelas.
- Ayat (2)
- Ketentuan pelaksanaan yang masih berlaku, antara lain, ketentuan tentang tata cara angsuran dan penundaan pembayaran pajak, ketentuan tentang tata cara pelaksanaan penagihan pajak dan penunjukan pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Paksa, ketentuan mengenai besarnya biaya penagihan pajak, dan ketentuan tentang tata cara penghapusan piutang pajak dan besarnya piutang pajak.
Pasal 44
- Cukup jelas.
Pasal 45
- Cukup jelas.
|