Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 (UU/2002/24)  (2002) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002

TENTANG

SURAT UTANG NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu ditingkatkan kemampuan dan kemandirian untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat;

b. bahwa mobilisasi dana melalui pasar keuangan merupakan upaya peningkatan partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. bahwa penerbitan Surat Utang Negara kepada publik merupakan salah satu potensi pembiayaan untuk mengurangi beban dan risiko keuangan bagi negara di masa mendatang;

d. bahwa guna memberikan kepastian hukum kepada pemodal perlu adanya landasan hukum atas komitmen Pemerintah untuk memenuhi kewajiban keuangan serta penyelenggaraan manajemen Surat Utang Negara yang transparan, profesional, dan bertanggung jawab;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-undang tentang Surat Utang Negara;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 A, Pasal 23, Pasal 23 A, Pasal 23 B, Pasal 23 C, dan Pasal 23 D Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SURAT UTANG NEGARA.

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.

2. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali.

3. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana.

4. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia.

5. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BAB II

sunting

BENTUK DAN JENIS SURAT UTANG NEGARA

Pasal 2

(1) Surat Utang Negara diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.

(2) Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk yang diperdagangkan atau dalam bentuk yang tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder.

Pasal 3

(1) Surat Utang Negara terdiri atas :

a. Surat Perbendaharaan Negara;

b. Obligasi Negara.

(2) Surat Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a berjangka waktu sampai dengan 12 (dua[INS: :INS] belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.

(3) Obligasi Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berjangka waktu lebih dari 12 (dua[INS: :INS] belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto.

BAB III

sunting

TUJUAN PENERBITAN

SURAT UTANG NEGARA

Pasal 4

Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan sebagai berikut:

a. membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran;

c. mengelola portofolio utang negara.

BAB IV

sunting

KEWENANGAN DAN KEWAJIBAN

Pasal 5

(1) Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berada pada Pemerintah.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksana-kan oleh Menteri.

Pasal 6

Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.

Pasal 7

(1) Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan atas nilai bersih maksimal Surat Utang Negara yang akan diterbitkan dalam satu tahun anggaran.

(3) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(4) Dalam hal-hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang Negara melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.

Pasal 8

(1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penerbitan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Surat Utang Negara dimaksud.

(2) Pemerintah wajib membayar bunga dan pokok setiap Surat Utang Negara pada saat jatuh tempo.

(3) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.

(4) Dalam hal pembayaran kewajiban bunga dan pokok dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Menteri melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

PENGELOLAAN SURAT UTANG NEGARA

Pasal 9

(1) Pengelolaan Surat Utang Negara diselenggarakan oleh Menteri.

(2) Pengelolaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Surat Utang Negara termasuk kebijakan pengendalian risiko;

b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio utang negara;

c. penerbitan Surat Utang Negara;

d. penjualan Surat Utang Negara melalui lelang dan/atau tanpa lelang;

e. pembelian kembali Surat Utang Negara sebelum jatuh tempo;

f. pelunasan;

g. aktivitas lain dalam rangka pengembangan Pasar Perdana dan Pasar Sekunder Surat Utang Negara.

Pasal 10

(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan pengelolaan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Menteri membuka rekening yang merupakan bagian dari Rekening Kas Negara.

(2) Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 11

Setiap Surat Utang Negara mencantumkan sekurang-kurangnya:

a. nilai nominal,

b. tanggal jatuh tempo,

c. tanggal pembayaran bunga,

d. tingkat bunga (kupon),

e. frekuensi pembayaran bunga,

f. cara perhitungan pembayaran bunga,

g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Surat Utang Negara sebelum jatuh tempo,

h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

Pasal 12

(1) Kegiatan penatausahaan yang mencakup pencatatan kepemilik-an, kliring dan setelmen, serta agen pembayar bunga dan pokok Surat Utang Negara dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

(2) Dalam menyelenggarakan kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank Indonesia wajib membuat laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah.

Pasal 13

(1) Menteri menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang Surat Perbendaharaan Negara di Pasar Perdana.

(2) Menteri dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen untuk melaksanakan lelang Obligasi Negara di Pasar Perdana.

(3) Ketentuan mengenai metode lelang, jadwal pelaksanaan lelang, kriteria peserta lelang, dan hasil akhir lelang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 14

Menteri dapat menunjuk Bank Indonesia dan/atau pihak lain sebagai agen untuk melaksanakan pembelian dan penjualan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder.

Pasal 15

Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan Surat Utang Negara dilakukan oleh instansi pemerintah yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal.

BAB VI

sunting

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI

Pasal 16

(1) Menteri wajib menyelenggarakan penatausahaan dan membuat pertanggungjawaban atas pengelolaan Surat Utang Negara dan dana yang dikelola.

(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksa-naan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 17

Menteri wajib secara berkala mem[DEL: p :DEL] ublikasikan informasi tentang:

a. kebijakan pengelolaan utang dan rencana penerbitan Surat Utang Negara yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;

b. jumlah Surat Utang Negara yang beredar beserta komposisinya, termasuk jenis valuta, struktur jatuh tempo dan tingkat bunga.

Pasal 18

Tata cara penatausahaan, pertanggungjawaban, dan publikasi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII

sunting

KETENTUAN PIDANA

Pasal 19

(1) Setiap orang yang meniru Surat Utang Negara atau memalsukan Surat Utang Negara dengan maksud memperdagangkan atau dengan sengaja memperdagangkan Surat Utang Negara tiruan atau Surat Utang Negara palsu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan Surat Utang Negara tidak berdasarkan Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah).

BAB VIII

sunting

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 20

Surat Utang atau Obligasi Negara yang telah diterbitkan oleh Pemerintah dalam rangka:

a. program rekapitalisasi bank umum;

b. pinjaman luar negeri dalam bentuk surat utang atau obligasi;

c. pinjaman dalam negeri dalam bentuk surat utang;

d. pembiayaan kredit program;

dinyatakan sah dan tetap berlaku sampai dengan saat jatuh tempo.

BAB IX

sunting

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Dengan berlakunya Undang-undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penerbitan Surat Utang dan/atau Obligasi Negara sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 22

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 22 Oktober 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 110

Salinan sesuai dengan aslinya

Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

Lambock V. Nahattands _________________________________________________________________

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2002

TENTANG

SURAT UTANG NEGARA

UMUM

Keberhasilan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan, antara lain, oleh adanya (1) kemandirian bangsa untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinam-bungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat; (2) partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat dipertang-gungjawabkan; (3) kepastian hukum kepada pemodal dan komitmen Pemerintah untuk mengelola sektor keuangan yang transparan, profesional, dan bertanggung jawab.

Dalam konteks kemandirian bangsa, potensi yang tersedia di dalam negeri harus dioptimalkan untuk melaksanakan kegiatan ekonomi dan membiayai kegiatan pembangunan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah perlu diberikan peluang untuk meningkatkan akses yang dapat menggali potensi sumber pembiayaan pembangunan dan memperkuat basis pemodal domestik. Pembiayaan tersebut akan terjamin keamanannya apabila mobilisasi dana masyarakat disertai dengan bekerjanya sistem keuangan, meliputi sistem perbankan, pasar uang dan pasar modal, yang efisien. Terciptanya keragaman dalam mobilisasi dana dapat menghasilkan sistem keuangan yang kuat dan memberikan alternatif bagi para pemodal.

Dalam kegiatan di pasar keuangan, peranan pasar surat utang negara sangat strategis. Artinya, tingkat keuntungan (yield) dari surat utang negara, sebagai instrumen keuangan yang bebas risiko, dipergunakan oleh para pelaku pasar sebagai acuan atau referensi dalam menentukan tingkat keuntungan suatu investasi atau aset keuangan lain. Dengan demikian, penerbitan surat utang negara secara teratur dan terencana diperlukan untuk membentuk suatu tolok ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kewajaran suatu harga aset keuangan atau surat berharga. Adanya pasar keuangan yang efisien akan memberikan beberapa manfaat, antara lain, (1) memberikan peluang dan partisipasi yang lebih besar kepada pemodal untuk melakukan diversifikasi portofolio investasinya, (2) membantu terciptanya suatu tata kelola yang baik (good governance) dikarenakan adanya tingkat transparansi informasi keuangan yang tinggi dalam pasar modal, dan (3) membantu terwujudnya suatu sistem keuangan yang stabil karena berkurangnya risiko sistemik (systemic risk) akibat menurunnya ketergantungan pada modal yang berasal dari sistem perbankan.

Dari sisi mobilisasi dana masyarakat melalui mekanisme APBN, penggunaan surat utang negara secara potensial dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Di samping itu, pengelolaan surat utang negara secara baik dapat mengurangi kerugian negara yang ditimbulkan oleh berbagai risiko keuangan dalam portofolio utang negara. Melalui mekanisme APBN, dengan sendirinya akan terselenggara pengawasan langsung oleh publik.

Pelaku pasar keuangan sangat berkepentingan terhadap informasi tentang arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tercermin dalam APBN, mengingat implikasi kebijakan tersebut terhadap minat dan kesempatan investasi di pasar keuangan domestik. Persepsi pasar akan sangat tergantung pada konsistensi tindakan Pemerintah dalam menjalankan kebijakan tersebut. Di samping itu, para pemodal membutuhkan adanya kepastian hukum dan jaminan adanya pengelolaan pasar keuangan yang profesional dan berstandar internasional.

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, diperlukan pasar surat utang negara yang aktif dan likuid baik di pasar perdana maupun pasar sekunder. Dalam rangka mewujudkan pasar tersebut diperlukan langkah-langkah strategis untuk membangun infrastruktur, antara lain, sistem penerbitan di pasar perdana, sistem perdagangan di pasar sekunder, sistem registrasi, kliring dan setelmen yang efisien, serta kerangka regulasi yang transparan dan adil. Prasyarat terpenting bagi terciptanya suatu pasar surat utang negara adalah adanya kepercayaan pasar terhadap surat utang negara yang diterbitkan oleh Pemerintah.

Untuk itu, Undang-undang ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. Transparansi pengelolaan surat utang negara dalam kerangka kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan pasar surat utang negara dengan mengatur lebih lanjut tentang tujuan penerbitan surat utang negara.

2. Kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan surat utang negara yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan, misalnya, dalam menentukan persyaratan dan ketentuan (terms and conditions) surat utang negara.

3. Kewenangan Pemerintah untuk membayar semua kewajiban yang timbul dari penerbitan surat utang negara tersebut secara penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut.

4. Landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan mekanisme penerbitan surat utang negara di pasar perdana maupun perdagangan surat utang negara di pasar sekunder agar pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan memperdagangkan surat utang negara secara mudah dan aman.

Undang-undang ini tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian pinjaman (loan agreement) bilateral maupun multilateral yang dibuat oleh Pemerintah dengan pihak lain, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Berkenaan dengan hal-hal di atas, perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-undang ini, antara lain, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet, Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608), dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843).

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Surat Utang Negara dengan warkat adalah surat berharga yang kepemilikan-nya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas unjuk. Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum, sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. Surat Utang Negara tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga yang kepemilikan-nya dicatat secara elektronis (book-entry system). Dalam hal Surat Utang Negara tanpa warkat, bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis dimaksudkan agar pengadministrasian data kepemilikan (registry) dan penyelesaian transaksi perdagangan Surat Utang Negara di Pasar Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat, aman, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ayat (2)

Surat Utang Negara yang diperdagangkan adalah Surat Utang Negara yang diperjualbelikan di Pasar Sekunder baik di dalam maupun di luar negeri. Perdagangan dapat dilakukan melalui bursa dan/atau di luar bursa yang biasa disebut over the counter (OTC). Surat Utang Negara yang tidak diperdagangkan adalah Surat Utang Negara yang tidak diperjualbelikan di Pasar Sekunder dan biasanya diterbitkan secara khusus untuk pemodal institusi tertentu, baik domestik maupun asing, yang berminat untuk memiliki Surat Utang Negara sesuai dengan kebutuhan spesifik dari portofolio investasinya.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pembayaran bunga secara diskonto adalah pembayaran atas bunga yang tercermin secara implisit di dalam selisih antara harga pada saat penerbitan dan nilai nominal yang diterima pada saat jatuh tempo.

Ayat (3)

Obligasi Negara dengan kupon adalah Surat Utang Negara yang pembayaran bunganya dihitung dengan persentase tertentu atas nilai nominal dan dibayarkan secara berkala. Obligasi Negara dengan pembayaran bunga secara diskonto adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dan pembayaran bunganya tercermin secara implisit di dalam selisih antara harga pada saat penerbitan dan nilai nominal yang diterima pada saat jatuh tempo.

Pasal 4

Huruf a

Jika suatu saat APBN mengalami defisit, maka salah satu sumber pembiayaannya adalah penerbitan Surat Utang Negara. Pilihan atas Surat Utang Negara sebagai sumber dari berbagai sumber pembiayaan lainnya harus didasarkan atas perhitungan yang cermat yang dapat meminimalkan biaya utang pada anggaran negara.

Huruf b

Agar kegiatan-kegiatan dan/atau proyek yang telah ditetapkan di dalam APBN tidak mengalami hambatan, penerbitan Surat Utang Negara berjangka pendek (Surat Perbendaharaan Negara) digunakan untuk menutup kekurangan kas tersebut. Apabila penerimaan yang direncanakan tersebut terealisasi, dananya digunakan untuk menebus kembali Surat Perbenda-haraan Negara tersebut.

Huruf c

Manajemen portofolio utang negara bertujuan untuk meminimalkan biaya bunga utang pada tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Untuk itu, portofolio utang negara terutama portofolio Surat Utang Negara harus dilakukan secara efisien berdasarkan praktek-praktek yang berlaku umum di berbagai negara. Manajemen portofolio dimaksud meliputi penerbitan, pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond swap) sebagian Surat Utang Negara yang beredar.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Pemerintah mengadakan konsultasi dengan Bank Indonesia pada saat merencana-kan penerbitan Surat Utang Negara untuk satu tahun anggaran. Konsultasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat Utang Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan Surat Utang Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan Pemerintah.

Pasal 7

Ayat (1)

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap penerbitan Surat Utang Negara mencakup persetujuan atas pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Surat Utang Negara dimaksud.

Ayat (2)

Nilai bersih adalah tambahan atas jumlah Surat Utang Negara yang beredar. Jumlah ini merupakan selisih antara jumlah Surat Utang Negara yang diterbitkan dengan yang ditarik kembali sebelum jatuh tempo dan dilunasi selama satu tahun anggaran.

Ayat (3)

Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah mencakup hal-hal sebagai berikut[INS: : :INS] [INS: :INS]

1. penerbitan Surat Perbendaharaan Negara dalam rangka menutup kekurangan kas jangka pendek menjelang akhir tahun anggaran yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga jumlah nilai bersih maksimal yang telah disetujui terlampaui. [INS: :INS]

2. penerbitan Obligasi Negara dalam rangka pengelolaan portofolio Surat Negara adakalanya dilakukan menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan pasar surat utang, sedangkan realisasi pembelian kembali (buyback) baru dilakukan pada tahun berikutnya (carry over) sehingga jumlah nilai bersih maksimal yang disetujui terlampaui.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul akibat penerbitan Surat Utang Negara dialokasikan dalam APBN setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam APBN tahun yang bersangkutan.

Ayat (4)[INS: :INS]

Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban bunga dan pokok dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh perbedaan perkiraan kurs (nilai tukar), tingkat bunga, dan tingkat inflasi.

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Menteri membuka rekening yang diperlukan baik untuk menampung hasil penjualan Surat Utang Negara maupun menampung penyediaan dana bagi pembayaran bunga dan pokok Surat Utang Negara.

Ayat (2)

Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening yang dimaksudkan dalam ayat ini mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan rekening di Bank Indonesia mengikuti ketentuan Bank Indonesia.

Pasal 11

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Tanggal pembayaran bunga hanya berlaku pada Surat Utang Negara dengan kupon.

Huruf d

Tingkat bunga hanya berlaku pada Surat Utang Negara dengan kupon.

Huruf e

Frekuensi pembayaran bunga hanya berlaku pada Surat Utang Negara dengan kupon.

Huruf f

Cara perhitungan pembayaran bunga hanya berlaku pada Surat Utang Negara dengan kupon.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Bank Indonesia, sebagai pelaksana kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, menetapkan ketentuan tentang prosedur dan tata cara penatausahaan dimaksud.

Ayat (2)

Laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini disampaikan kepada Menteri.

Pasal 13

Ayat (1)

Penunjukan Bank Indonesia sebagai agen lelang dimungkinkan mengingat ketentuan dalam Pasal 55 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat membantu penerbitan Surat-surat Utang Negara yang diterbitkan Pemerintah.

Ayat (2)

Lelang Obligasi Negara dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat Pemerintah dinilai telah siap serta mampu secara teknis untuk melaksanakan lelang bersama Bank Indonesia atau secara tersendiri.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Pengaturan (regulasi) dan pengawasan (supervisi) terhadap kegiatan perdagangan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemodal dan para pelaku pasar Surat Utang Negara. Kedua hal tersebut diperlukan agar kegiatan perdagangan Surat Utang Negara dapat dilaksanakan secara efisien dan sehat. Pengaturan dilaksanakan melalui penerbitan berbagai ketentuan, antara lain, mengenai transparansi data dan informasi penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan Surat Utang Negara. Pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan akan ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku.

Pasal 16

Ayat (1)

Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan pembukuan (akuntansi) semua transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan Surat Utang Negara.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 17

Aktivitas pasar Surat Utang Negara dapat ditingkatkan bilamana informasi tentang rencana dan realisasi penerbitan yang meliputi, antara lain, informasi tentang jadwal penerbitan, jatuh tempo, dan volume Surat Utang Negara, diumumkan secara luas dengan jadwal yang teratur. Program tersebut khususnya dilakukan dalam rangka penerbitan Surat Utang Negara yang dimaksudkan untuk pembentukan tolok ukur harga aset keuangan. Adanya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada para pemodal untuk menyusun strategi penawaran (bidding), menentukan jumlah persediaan Surat Utang Negara dalam portofolio, dan merencanakan penjualan/pelepasan Surat Utang Negara yang saat ini berada dalam portofolio mereka. Bilamana pelaku pasar sudah mengetahui jadwal penerbitan dimaksud, gangguan potensial yang terjadi di pasar dapat dihindari.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Yang dimaksud dengan Surat Utang Negara tiruan atau Surat Utang Negara palsu adalah surat utang yang sengaja diterbitkan dengan bentuk yang mirip atau sama dengan Surat Utang Negara yang sah, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Pemalsuan data dalam perdagangan Surat Utang Negara tanpa warkat, termasuk tindakan pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 20

Surat Utang atau Obligasi Negara yang dinyatakan sah dan tetap berlaku adalah Surat Utang atau Obligasi Negara yang telah diterbitkan berdasarkan :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program Rekapitalisasi Bank Umum;

b. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1978 tentang Pinjaman Luar Negeri Dalam Bentuk Surat Hutang atau Obligasi;

c. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1998 tentang Pinjaman Dalam Negeri Dalam Bentuk Surat Utang, Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1998 tentang Penerbitan Jaminan Bank Indonesia, serta Penerbitan Jaminan Bank oleh Bank Persero dan Bank Pembangunan Daerah untuk Pinjaman Luar Negeri, dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat;

d. Keputusan Presiden Nomor 176 Tahun 1999 tentang Penerbitan Surat Utang Pemerintah Dalam Rangka Pembiayaan Kredit Program.

Surat Utang yang telah diterbitkan dalam rangka Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dapat ditukar dengan surat utang lainnya dengan ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) yang disepakati Pemerintah dan Bank Indonesia setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4236