Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003/Konsolidasi
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
|
Mengingat: | Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: | UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN |
BAB I
KETENTUAN UMUM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan:
|
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. |
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
|
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. |
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. |
BAB IV
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
BAB IV
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 7
|
Pasal 8
|
BAB V
PELATIHAN KERJA
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. |
Pasal 10
|
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. |
Pasal 12
|
Pasal 13[1]
|
Pasal 14[1]
|
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
|
Pasal 16
|
Pasal 17
|
Pasal 18
|
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. |
Pasal 20
|
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. |
Pasal 22
|
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. |
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. |
Pasal 25
|
Pasal 26
|
Pasal 27
|
Pasal 28
|
Pasal 29
|
Pasal 30
|
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. |
Pasal 32
|
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari:
|
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. |
Pasal 35
|
Pasal 36
|
Pasal 37[1]
|
Pasal 38
|
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
|
Pasal 40
|
Pasal 41
|
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42[1]
|
Pasal 43[1]
Pasal 44[1]
Pasal 45[1]
|
Pasal 46[1]
Pasal 47[1]
|
Pasal 48[1]
Pasal 49[1]
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. |
Pasal 51
|
Pasal 52
|
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. |
Pasal 54
|
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. |
Pasal 56[1]
|
Pasal 57[1]
|
Pasal 58[1]
|
|
Pasal 60
|
Pasal 61
|
Pasal 61A[1]
|
Pasal 62
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. |
Pasal 63
|
Pasal 64[1]
|
|
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Bagian Kesatu
Perlindungan
Pasal 67
|
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. |
Pasal 69
|
Pasal 70
|
Pasal 71
|
Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. |
Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. |
Pasal 74
|
Pasal 75
|
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
|
Paragraf 4
Waktu Kerja
Pasal 77[1]
|
Pasal 78[1]
|
Pasal 79[1]
|
Pasal 80
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. |
Pasal 81
|
Pasal 82
|
Pasal 83
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. |
Pasal 84[1]
Setiap Pekerja/ Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayal (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat Upah penuh. |
Pasal 85
|
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
|
Pasal 87
|
Bagian Kedua
Pengupahan
Bagian Kedua
Pengupahan
Pasal 88[1]
|
Pasal 88A[1]
|
Pasal 88B[1]
|
Pasal 88C[1]
|
Pasal 88D[1]
|
Pasal 88E[1]
|
Pasal 88F[1]
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). |
Pasal 89[1]
Pasal 90[1]
Pasal 90A[1]
Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan. |
Pasal 90B[1]
|
Pasal 91[1]
Pasal 92[1]
|
Pasal 92A[1]
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. |
Pasal 93
|
Pasal 94[1]
Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. |
Pasal 95[1]
|
Pasal 97[1]
Pasal 98[1]
|
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
|
Pasal 100
|
Pasal 101
|
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
|
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana:
|
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
|
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
|
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
|
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
|
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
|
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. |
Pasal 110
|
Pasal 111
|
Pasal 112
|
Pasal 113
|
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. |
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri. |
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
|
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. |
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan. |
Pasal 119
|
Pasal 120[4]
Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan. |
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota. |
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha. |
Pasal 123
|
Pasal 124
|
Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. |
Pasal 126
|
Pasal 127
|
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. |
Pasal 129
|
Pasal 130
|
Pasal 131
|
Pasal 132
|
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. |
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. |
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. |
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
|
Paragraf 2
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. |
Pasal 138
|
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. |
Pasal 140
|
Pasal 141
|
Pasal 142
|
Pasal 143
|
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:
|
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah. |
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (Lock Out)
Pasal 146
|
Pasal 147
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. |
Pasal 148
|
Pasal 149
|
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. |
Pasal 151[1]
|
Pasal 151A[1]
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:
|
Pasal 152[1]
Pasal 153
|
Pasal 154[1]
Pasal 154A[1]
|
Pasal 155[1]
Pasal 156[1]
|
Pasal 157[1]
|
Pasal 157A[1]
|
Pasal 160[1]
|
Pasal 161[1]
Pasal 162[1]
Pasal 163[1]
Pasal 164[1]
Pasal 165[1]
Pasal 166[1]
Pasal 167[1]
Pasal 168[1]
Pasal 169[1]
Pasal 172[1]
BAB XIII
PEMBINAAN
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
|
Pasal 174
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 175
|
BAB XIV
PENGAWASAN
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. |
Pasal 177
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. |
Pasal 178
|
Pasal 179
|
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Pasal 181
Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 176 wajib:
|
BAB XV
PENYIDIKAN
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
|
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
|
Pasal 184[1]
Pasal 185[1]
|
Pasal 186[1]
|
Pasal 187[1]
|
Pasal 188[1]
|
Pasal 189
Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh. |
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190[1]
|
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang ini. |
Pasal 191A[1]
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
|
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka:
|
Pasal 193
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
Naskah asli disahkan oleh Megawati Soekarnoputri, 25 Maret 2003; diundangkan oleh Bambang Kesowo, 25 Maret 2003. Perubahan pertama ditetapkan oleh Joko Widodo, 30 Desember 2022; diundangkan oleh Pratikno, 30 Desember 2022. |
Penjelasan
suntingI.UMUM
suntingPembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah:
- Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 Nomor 8);
- Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
- Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
- Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
- Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
- Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
- Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a);
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
- Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan diganti dengan undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam undang-undang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti. Undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998. Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu: Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ). Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut. Undang-undang ini antara lain memuat: Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja danv pekerja/buruh; Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan; Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja; Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan; Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi; Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial; Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.
II.PASAL DEMI PASAL
suntingPasal 1
Cukup jelas. |
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. |
Pasal 3
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. |
Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya. Huruf b Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. |
Pasal 5
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. |
Pasal 6
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. |
Pasal 7
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh. Huruf b Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi atau perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 8
Ayat (1)
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau kabupaten/kota. Ayat (2) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi atau kabupaten/kota. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 9
Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja. |
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan sektor terkait. Ayat (3) Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 11
Cukup jelas. |
Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi pekerjanya. Ayat (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh. Ayat (3) Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan. |
Pasal 13[1]
Ayat (1)
Huruf a Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja pemerintah" adalah lembaga Pelatihan Kerja yang dimiliki oleh pemerintah. Huruf b Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja swasta" adalah lembaga yang dimiliki oleh swasta. Huruf c Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan" adalah unit pelatihan yang terdapat di dalam Perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 14[1]
Cukup jelas. |
Pasal 15
Cukup jelas. |
Pasal 16
Cukup jelas. |
Pasal 17
Cukup jelas. |
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. |
Pasal 19
Cukup jelas. |
Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 21
Cukup jelas. |
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program. Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan. Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan. Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja. Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan. Ayat (3) Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. |
Pasal 23
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan bila programnya bersifat khusus. |
Pasal 24
Cukup jelas. |
Pasal 25
Cukup jelas. |
Pasal 26
Cukup jelas. |
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air. Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti teknologi budi daya tanaman dengan kultur jaringan. Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara, maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti keahlian membuat alat-alat pertanian modern. |
Pasal 28
Cukup jelas. |
Pasal 29
Cukup jelas. |
Pasal 30
Cukup jelas. |
Pasal 31
Cukup jelas. |
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan. Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah. |
Pasal 33
Cukup jelas. |
Pasal 34
Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku. |
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 36
Cukup jelas. |
Pasal 37[1]
Cukup jelas. |
Pasal 38
Cukup jelas. |
Pasal 39
Cukup jelas. |
Pasal 40
Cukup jelas. |
Pasal 41
Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi. |
Pasal 42[1]
Cukup jelas. |
Pasal 43[1]
Dihapus |
Pasal 44[1]
Dihapus |
Pasal 45[1]
Ayat (1)
Huruf a Tenaga pendamping Tenaga Kerja Asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan Tenaga Kerja Asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti Tenaga Kerja Asing yang didampinginya. Huruf b Pendidikan dan Pelatihan Kerja oleh Pemberi Kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan Tenaga Kerja warga negara Indonesia untuk berlatih ke luar negeri. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 46[1]
Dihapus. |
Pasal 47[1]
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 48[1]
Dihapus. |
Pasal 49[1]
Cukup jelas. |
Pasal 50
Cukup jelas. |
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Ayat (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antar kerja, antar daerah, antar kerja, antar negara, dan perjanjian kerja laut. |
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 53
Cukup jelas. |
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 55
Cukup jelas. |
Pasal 56[1]
Cukup jelas. |
Pasal 57[1]
Cukup jelas. |
Pasal 58[1]
Cukup jelas. |
Pasal 59[1]
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan opekerjaan yang bersifat tetap" adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu Perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 61[1]
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hak�hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama' adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
Pasal 61A[1]
Cukup jelas. |
Pasal 62
Cukup jelas. |
Pasal 63
Cukup jelas. |
Pasal 64[1]
Cukup jelas. |
Pasal 65[1]
Dihapus. |
Pasal 66[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pengalihan pelindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh" yaitu Perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh Perusahaan alih daya sebelumnya. Yang dimaksud dengan "objek pekerjaannya tetap ada" adalah pekerjaan yang ada pada 1 (satu) Perusahaan pemberi pekerjaan yang sama.
Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. |
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas serta pemberian alat kerja dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kedisabilitasan. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 68
Cukup jelas. |
Pasal 69
Cukup jelas. |
Pasal 70
Cukup jelas. |
Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 72
Cukup jelas. |
Pasal 73
Cukup jelas. |
Pasal 74
Cukup jelas. |
Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. |
Pasal 77[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)jam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan)jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam I (satu) minggu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. |
Pasal 78[1]
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena Pekerja/Buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga Pekerja/Buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 79[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bagi Perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. Ayat (6) Cukup jelas. |
Pasal 80
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. |
Pasal 81
Cukup jelas. |
Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 83
Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. |
Pasal 84
Cukup jelas. |
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 88[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "alasan tertentu' antara lain alasan karena Pekerja/Buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu istirahatnya. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah" antara lain berupa denda, ganti rugi, pemotongan Upah untuk pihak ketiga, uang muka Upah, sewa rumah dan/ atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/ Buruh, hutang atau cicilan utang Pekerja/Buruh kepada Pengusaha, atau kelebihan pembayaran Upah. Huruf g Yang dimaksud dengan "Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya" antara lain Upah untuk pembayaran pesangon atau Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Cukup jelas. |
Pasal 88A[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengusaha dilarang tidak membayar Upah bagi Pekerja/Buruh. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. |
Pasal 88B[1]
Cukup jelas. |
Pasal 88C[1]
Cukup jelas. |
Pasal 88D[1]
Cukup jelas. |
Pasal 88E[1]
Cukup jelas. |
Pasal 88F[1]
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" mencakup antara
lain bencana yang ditetapkan oleh Presiden, kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional seperti bencana nonalam pandemi. |
Pasal 89[1]
Dihapus. |
Pasal 90[1]
Dihapus. |
Pasal 90A[1]
Cukup jelas. |
Pasal 90B[1]
Cukup jelas. |
Pasal 91[1]
Dihapus. |
Pasal 92[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Penyusunan struktur dan skala Upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan Upah sehingga terdapat kepastian Upah tiap Pekerja/Buruh serta mengurangi kesenjangan antara Upah terendah dan tertinggi di Perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 92A[1]
Peninjauan Upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja,
perkembangan, harga dan kemampuan Perusahaan. |
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundangundangan. Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara dilaksanakan apabila: a. negara tidak melakukan pembayaran; atau b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. Huruf e Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. |
Pasal 94[1]
Yang dimaksud dengan "tunjangan tetap" adalah
pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. |
Pasal 95[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud "didahulukan pembayarannya" yaitu pembayaran upah Pekerja/Buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 96[1]
Dihapus. |
Pasal 97[1]
Dihapus. |
Pasal 98[1]
Dihapus. |
Pasal 99
Cukup jelas. |
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 102
Cukup jelas. |
Pasal 103
Cukup jelas. |
Pasal 104
Ayat (1)
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 105
Cukup jelas. |
Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 107
Cukup jelas. |
Pasal 108
Cukup jelas. |
Pasal 109
Cukup jelas. |
Pasal 110
Cukup jelas. |
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. |
Pasal 112
Cukup jelas. |
Pasal 113
Cukup jelas. |
Pasal 114
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh. |
Pasal 115
Cukup jelas. |
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain. Ayat (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 117
Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. |
Pasal 118
Cukup jelas. |
Pasal 119
Cukup jelas. |
Pasal 120
Cukup jelas. |
Pasal 121
Cukup jelas. |
Pasal 122
Cukup jelas. |
Pasal 123
Cukup jelas. |
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. |
Pasal 125
Cukup jelas. |
Pasal 126
Cukup jelas. |
Pasal 127
Cukup jelas. |
Pasal 128
Cukup jelas. |
Pasal 129
Cukup jelas. |
Pasal 130
Cukup jelas. |
Pasal 131
Cukup jelas. |
Pasal 132
Cukup jelas. |
Pasal 133
Cukup jelas. |
Pasal 134
Cukup jelas. |
Pasal 135
Cukup jelas. |
Pasal 136
Cukup jelas. |
Pasal 137
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu.
Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. |
Pasal 138
Cukup jelas. |
Pasal 139
Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut.
Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. |
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. |
Pasal 141
Cukup jelas. |
Pasal 142
Cukup jelas. |
Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara: a.menjatuhkan hukuman; b.mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau c.melakukan mutasi yang merugikan. Ayat (2) Cukup jelas. |
Pasal 144
Cukup jelas. |
Pasal 145
Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif. |
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh. |
Pasal 147
Cukup jelas. |
Pasal 148
Cukup jelas. |
Pasal 149
Cukup jelas. |
Pasal 150
Cukup jelas. |
Pasal 151[1]
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "mengupayakan" ada-lah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada Pekerja/ Buruh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat(4) Cukup jelas. |
Pasal 151A[1]
Cukup jelas. |
Pasal 152[1]
Dihapus. |
Pasal 153[1]
Cukup jelas. |
Pasal 154[1]
Dihapus. |
Pasal 154A[1]
Cukup jelas. |
Pasal 155[1]
Dihapus. |
Pasal 156[1]
Cukup jelas. |
Pasal 157[1]
Cukup jelas. |
Pasal 157A[1]
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur. Ayat (3) Yang dimaksud "sesuai tingkatannya" adalah penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/arbitrase atau pengadilan Hubungan Industrial. |
Pasal 158[1]
Dihapus. |
Pasal 159[1]
Dihapus. |
Pasal 160[1]
Ayat (1)
Keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, Anak, atau orang yang sah menjadi tanggungan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. |
Pasal 161[1]
Dihapus. |
Pasal 162[1]
Dihapus. |
Pasal 163[1]
Dihapus. |
Pasal 164[1]
Dihapus. |
Pasal 165[1]
Dihapus. |
Pasal 166[1]
Dihapus. |
Pasal 167[1]
Dihapus. |
Pasal 168[1]
Dihapus. |
Pasal 169[1]
Dihapus. |
Pasal 170[1]
Dihapus. |
Pasal 171[1]
Dihapus. |
Pasal 172[1]
Dihapus. |
Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. |
Pasal 174
Cukup jelas. |
Pasal 175
Cukup jelas. |
Pasal 176
Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain. |
Pasal 177
Cukup jelas. |
Pasal 178
Cukup jelas. |
Pasal 179
Cukup jelas. |
Pasal 180
Cukup jelas. |
Pasal 181
Cukup jelas. |
Pasal 182
Cukup jelas. |
Pasal 183
Cukup jelas. |
Pasal 184[1]
Dihapus. |
Pasal 185[1]
Cukup jelas. |
Pasal 186[1]
Cukup jelas. |
Pasal 187[1]
Cukup jelas. |
Pasal 188[1]
Cukup jelas. |
Pasal 189
Cukup jelas. |
Pasal 190
Cukup jelas. |
Pasal 191
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undang-undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum undangundang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan asas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini. |
Pasal 191A[1]
Huruf a
Yang dimaksud dengan "untuk pertama kali" adalah Upah minimum Tahun 2O2L yang ditetapkan pada Tahun 2020. Huruf b Cukup jelas. |
Pasal 192
Cukup jelas. |
Pasal 193
Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279
Catatan
sunting- ↑ 1,000 1,001 1,002 1,003 1,004 1,005 1,006 1,007 1,008 1,009 1,010 1,011 1,012 1,013 1,014 1,015 1,016 1,017 1,018 1,019 1,020 1,021 1,022 1,023 1,024 1,025 1,026 1,027 1,028 1,029 1,030 1,031 1,032 1,033 1,034 1,035 1,036 1,037 1,038 1,039 1,040 1,041 1,042 1,043 1,044 1,045 1,046 1,047 1,048 1,049 1,050 1,051 1,052 1,053 1,054 1,055 1,056 1,057 1,058 1,059 1,060 1,061 1,062 1,063 1,064 1,065 1,066 1,067 1,068 1,069 1,070 1,071 1,072 1,073 1,074 1,075 1,076 1,077 1,078 1,079 1,080 1,081 1,082 1,083 1,084 1,085 1,086 1,087 1,088 1,089 1,090 1,091 1,092 1,093 1,094 1,095 1,096 1,097 1,098 1,099 1,100 1,101 1,102 1,103 1,104 1,105 1,106 1,107 1,108 1,109 1,110 1,111 1,112 1,113 1,114 1,115 1,116 1,117 1,118 1,119 1,120 1,121 1,122 1,123 1,124 1,125 1,126 1,127 1,128 1,129 1,130 1,131 1,132 1,133 1,134 1,135 1,136 1,137 1,138 1,139 1,140 1,141 1,142 1,143 1,144 1,145 1,146 Sesuai dengan perubahan yang disahkan dalam Pasal 81 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022.
- ↑ 2,0 2,1 2,2 2,3 Frasa "demi hukum" dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pekerja/buruh dapat meminta pengesahaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: 1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan 2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan," berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014.
- ↑ Pasal 96 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012.
- ↑ Pasal 120 ayat(1) dan ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009. Pasal 120 ayat(3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”
- ↑ Frasa "kecuali telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama" dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017.
- ↑ 6,0 6,1 6,2 6,3 6,4 6,5 Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat "… bukan atas pengaduan pengusaha… "; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat "… kecuali Pasal 158 ayat (1), …"; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat "… Pasal 158 ayat (1) …"; Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat "… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …" dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003.