Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 (UU/1965/18)  (1965) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



Halaman ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikisumber.
Baca halaman bantuan ini sebelum mulai merapikan. Setelah dirapikan, Anda dapat menghapus pesan ini.

Tentang:POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a.bahwa berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan dalam rangka kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 sejak Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka ketentuan-ketentuan perundangan tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah perlu diperbaharui sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara dan pedoman-pedoman pelaksanaannya; b.bahwa pembaharuan itu, sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, haruslah berbentuk satu Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan kegotongroyongan Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari Undang-undang No. 22 tahun 1948, Undang-undang No. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan). Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965 serta untuk mewujudkan Daerah-daerah yang dapat berswadaya dan berswasembada; c.bahwa agar dapat dilaksanakan pembentukan Pemerintah Daerah tingkat III selekas mungkin;

Memperhatikan : Usul Panitia Negara yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 514 tahun 1961 dan No. 5 47 tahun 1961:

Mengingat:

1.Pasal 1 ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 18 dan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar;

2.Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, No. IV/MPRS/ 1963, No. V/MPRS/1965. No. VI/MPRS/1965, No. VII/ MPRS 1965 dan No. VIII/MPRS/1965;

Mendengar: Presidium Kabinet Republik Indonesia;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

Memutuskan:

  • 3481 Pertama mencabut:

1.Undang-undang No, 1 tahun 1957;

2.Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan);

3.Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960;

4.Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965;

Kedua menetapkan:

Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

BAB I. KETENTUAN UMUM.

Pasal 1.

(1) Yang dimaksud dengan "Daerah" dalam Undang-undang ini, ialah daerah besar dan daerah kecil tersebut dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(2) Istilah-istilah "Propinsi", "Kabupaten" dan "Kecamatan" sebagaimana halnya dengan istilah-istilah "Kotaraya", "Kotamadya" dan "Kotapraja", adalah istilah-istilah untuk nama jenis Daerah dan bukan merupakan penunjukan sesuatu wilayah administratif.

(3) Yang dimaksud dengan "Kota" ialah kelompokan penduduk yang bertempat tinggal bersama-sama dalam satu wilayah yang batasnya menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

(4) Yang dimaksud dengan "Desa" atau daerah yang setingkat dengan itu adalah kesatuan masyarakat hukum dengan kesatuan penguasa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri seperti dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar.

(5) Jika dalam Undang-undang ini disebut "setingkat lebih atas", maka yang dimaksudkan adalah: a.Daerah tingkat I bagi Daerah tingkat II yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat I itu; b.Daerah tingkat II bagi Daerah tingkat III yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat II itu.

(6) Dalam Undang-undang ini istilah keputusan dapat diartikan juga peraturan.

BAB II. PEMBAGIAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM DAERAH.

Pasal 2.

(1) Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut: a.Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat I. *3482 b.Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II dan c.Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah tingkat III. (2) Ibu-kota Negara Republik Indonesia Jakarta dimaksud dalam Undang-undang No. 10 tahun 1964, sebagai Kotapraja tersebut pada ayat (1) pasal ini, baik bagi perubahan dan penyempurnaan batas-batas wilayahnya maupun mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya Daerah-daerah tingkat lain ataupun pemerintahan dalam bentuk lain yang sedapat mungkin akan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang.

Pasal 3.

(1) Pembentukan Daerah termaksud dalam pasal 2 ayat (1), nama, ibu-kota dan batasnya, serta tugas kewenangan pangkalnya dan anggaran keuangannya yang pertama, diatur dengan Undang-undang.

(2) Penyempurnaan batas wilayah Daerah begitu pula pemindahan ibu-kota, perubahan nama dan batas wilayah kemudian yang tidak mengakibatkan pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4.

(1) Kota dengan memperhatikan faktor-faktor sosial ekonomis, penduduk dan lain-lain, dapat dibentuk menjadi Kotaraya, Kotamadya atau Kotapraja dimaksud dalam pasal 2.

(2) Sesuatu atau beberapa desa atau daerah yang setingkat dengan desa, dengan mengingat kehidupan masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat dan susunan asli yang masih hidup dan berlaku, dapat dibentuk menjadi Daerah tingkat III.

BAB III. BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAGIAN I. Ketentuan Umum.

Pasal 5.

(1) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.

(2) Kepala Daerah melaksanakan politik Pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarchi yang ada.

Pasal 6.

Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian.

Pasal 7.

  • 3483 Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua sampai terjadi poros Nasakom.

Pasal 8.

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.

Pasal 9.

(1) Ketua dan Wakil-wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disahkan bagi: a.Daerah tingkat I oleh Menteri Dalam Negeri, b.Daerah-daerah lain oleh Kepala Daerah yang setingkat lebih atas.

(2) Selama Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum ada, rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tertua usianya.

Pasal 10.

(1) Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas Pemerintah Daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah, yang disusun dan pembiayaannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan pedoman yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2) Sekretariat Daerah dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah yang melakukan pekerjaannya langsung dibawah pimpinan Kepala Daerah.

BAGIAN II Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

$ 1. Kepala Daerah.

Pasal 11.

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh: a.Presiden bagi Daerah tingkat I, b.Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II dan c.Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.

Pasal 12.

(1) Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh *3484 Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangand tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama

(3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti di maksud ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.

Pasal 13.

(1) Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya emapt orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon dyang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.

(3) Apabila juga dalam pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak,ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.

Pasal 14.

(1) Kepala Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dari sedikit- dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan

(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan diminta oleh Kepala Daerah tingkat I untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.

(3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri, maka Menteri tersebut mengangkat seorang Kepala Daerah di luar pencalonan.

Pasal 15.

Yang dapat diangkat menjadi Kepala Daerah ialah warga negara Indonesia yang selain memenuhi peraturan-peraturan kepegawaian tentang syarat-syarat untuk diangkat menjadi pegawai Negeri:

1.berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi *3485 Revolusi Indonesia;

2.menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpinpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti juga menyetujui dan turut serta aktip melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman pelaksanaannya

3.tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;

4.A.bagi Daerah tingkat I:

a.1.mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;

a.2.berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Tinggi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingakt Atas;

a.3.sekurang-kurangnya berumur 35 tahun;


B.bagi Daerah tingkat II:


b.1.mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;

b.2.berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;


b.3.sekurang-kurangnya berumur 30 tahun;


C.bagi Daerah tingkat III:


c.1.mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;


c.2.berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Dasar;


c.3.sekurang-kurangnya berumur 30 tahun.

Pasal 16.

(1) Kepala Daerah dilarang: a.dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan atau tidak melakukan tindakan, yang hanya menguntungkan dan/atau mendahulukan kepentingan partainya, sesuatu golongan atau sesuatu partai, sehingga merugikan kepentingan Pemerintah dan Rakyat Daerah; b.langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu perusahaan yang mempunyai dasar ikatan perjanjian dengan Negara atau dengan Daerah untuk memperoleh laba atau keuntungan; c.langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan guna kepentingan Daerah; d.melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang memberikan *3486 keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan; e.menjadi adpokat, pkrol atau kuasa dalam perkara dimuka pengadilan, dalam mana Daerah yang bersangkutan tersangkut.

(2) Terhadap larangan-larangan dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c dan d, Presiden dapat memberikan pengecualian, apabila kepentingan Daerah memerlukan.

Pasal 17.

(1) Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 tahun atau untuk masa yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Daerah yang bersangkutan tetapi dapat diangkat kembali.

(2) Kepala Daerah tidak dapat diperhentikan karena sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkecuali apabila Penguasa yang berhak mengangkat menghendakinya.

(3) Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia atau diperhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat; a.atas permintaan sendiri; b.karena berakhir masa jabatannya dan telah diangkat Kepala Daerah yang baru; c.karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat dimaksud dalam pasal 15; d.karena tidak memenuhi lagi ketentuan larangan-larangan bagi Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 16; e.karena sebab-sebab lain.

Pasal 18.

(1) Menteri Dalam Negeri menetapkan peraturan tentang pejabat yang mewakili Kepala Daerah, apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan.

(2) Selama Pemerintah Daerah dari Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini belum terbentuk dan tersusun menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 dan selama kekuasaan pemerintahan dari Daerah termaksud belum diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, kekuasaan dijalankan oleh Penguasa yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Pasal 19.

Kepala Daerah adalah pegawai Negara, yang nama jabatan dan gelarnya, kedudukan dan penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 20.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut kepercayaannya dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan: a.bagi Daerah tingkat I dihadapan Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya; b.bagi Daerah lainnya dihadapan Kepala Daerah setingat *3487 lebih atas atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:

"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala Daerah, langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya senantiasa akan membantu memelihara Undang-undang Dasar 1945 dan segala peraturan-perundangan yang berlaku bagi Republik Indonesia.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara dan Daerah daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan, dan akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Daerah, Pemerintah dan Pegawai Negara.

Saya bersumpah (berjanji), bawha saya akan berusaha sekuat tenaga membantu memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan memajukan kesejahteraan Rakyat di Daerah pada khususnya dan akan setia kepada Negara, Bangsa dan Republik Indonesia".

$2 Wakil Kepala Daerah.

Pasal 21.

(1) Wakil Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 6 diangkat dari antara sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah oleh: a.Presiden bagi Daerah tingkat I; b.Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II dan c.Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I yang bersangkutan.

(2) Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 15 berlaku juga untuk Wakil Kepala Daerah.

(3) Larangan bagi Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 16 berlaku pula bagi Wakil Kepala Daerah. *3488 (4) Wakil Kepala Daerah adalah pegawai Negara yang gelar dan nama jabatannya, kedudukan dan penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

(5) Wakil Kepala Daerah diangkat untuk suatu masa jabatan yang sama dengan masa jabatan Kepala Daerah atau untuk masa yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, tetapi dapat diangkat kembali.

(6) Wakil Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkecuali apabila Penguasa yang berhak mengangkat menghendakinya.

(7) Wakil Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia atau diberhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat: a.atas permintaan sendiri; b.karena berakhir masa jabatannya; c.karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat dimaksud dalam pasal 15 jo. ayat (2) pasal ini; d.karena tidak memenuhi lagi ketentuan larangan-larangan dimaksud dalam pasal 16 jo. ayat (3) pasal ini; e.karena sebab-sebab lain.

(8) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengangkat sumpah atau mengucapkan janji menurut agamanya didepan Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya

(9) Susunan kata-kata sumpah ata janji yang dimaksud dalam ayat (8) adalah sama dengan susunan kata-kata sumpah atau janji dalam pasal 20 ayat (2) dengan ketentuan, bahwa perkataan Kepala Daerah harus dibaca Wakil Kepala Daerah.

BAGIAN III. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. $ 1. Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 22.

(1) Bagi tiap-tiap Daerah jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk yang harus mempunyai eorang wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta syarat-syarat minimum dan maksimum jumlah anggota bagi masing-masing Daerah sebagai berikut: a.bagi Daerah tingkat I, tiap-tiap 200.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 40 maksimum 75; b.bagi Daerah tingkat II, tiap-tiap 10.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 25 dan maksimum 40; c.bagi Daerah tingkat III, tiap-tiap 2.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 15 maksimum 25.

(2) Perubahan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut ketentuan tersebut dalam ayat (1) sub a, b, dan c ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk *3489 masa lima tahun.

(4) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengisi lowongan keanggotaan antar waktu, duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut.

(5) Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Undang-undang.

Pasal 23.

Yang dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah warga negara Indonesia yang:

a.telah berumur 21 tahun; b.bertempat tinggal pokok dalam wilayah Daerah yang bersangkutan sedikit-dikitnya enam bulan yang terakhir, atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat II dan III yang bukan Kotamadya atau Kotapraja dapat juga bertempat tinggal pokok sedikitnya enam bulan yang terakhir dalam Kotamadya atau Kotapraja yang dilingkari oleh Daerah Tingkat II atau Daerah tingkat III yang bersangkutan. c.cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf latin d.berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia; e.menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti juga menyetujui dan turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman pelaksanaannya; f.tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi; g.tidak menjadi anggota/bekas anggota sesuatu partai/organisasi yang menurut peraturan perundangan yang berlaku dinyatakan dibubarkan/terlarang oleh yang berwajib, kecuali mereka yang dengan perkataan dan perbuatan membuktikan persetujuannya apa yang tersebut dalam sub c, menurut penilaian Menteri Dalam Negeri dan disetujui Presiden.

Pasal 24.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh merangkap menjadi:

a.Presiden dan Wakil Presiden; b.Menteri; c.Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; d.Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah atau anggota Badan Pemerintah Harian dari Daerah yang bersangkutan atau Daerah yang lain; c.Ketua, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah yang lain; f.Kepala Dinas Daerah, Sekretaris Daerah dan Pegawai yang bertanggung jawab tentang keuangan pada Daerah yang bersangkutan.

Pasal 25.

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh: a.menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum, *3490 dalam mana Daerah yang bersangkutan itu tersangkut; b.ikut serta dalam penetapan atau pengesahan dari perhitungan yang dibuat oleh sesuatu badan dalam mana ia duduk sebagai anggota pengurusnya, kecuali apabila hal ini mengenai perhitungan anggaran keuangan Daerah yang bersangkutan; c.langsung atau tidak langsung turut serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan guna kepentingan Daerah; d.melakukan pekerjaan yang memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan.

(2) Terhadap larangan-larangan tersebut dalam ayat (1), Kepala Daerah semufakat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan pengecualian, apabila kepentingan Daerah memerlukannya.

(3) Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat (1), setelah diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atu tulisan, semufakat Dewan Perwakilan Rakayt Daerah diperhentikan oleh Kepala Daerah dan sebelum itu oleh Kepala Daerah tersebut dapat diperhentikan untuk sementara.

(4) Terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara tersebut dalam ayat (3), anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, dapat meminta keputusan banding kepada Kepala Daerah yang setingkat lebih atas dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri.

Pasal 26.

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhenti karena meninggal dunia, atau diberhentikan karena: a.Permintaan sendiri; b.tidak lagi memenuhi sesuatu syarat seperti tersebut dalam pasal 23 dan 24; c.terkena larangan untuk mana berlaku ketentuan dalam pasal 23 sub g; d.melanggar suatu peraturan yang khusus ditetapkan bagi anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali dalam hal yang dimaksud dalam pasal 25 ayat (2).

(2) Keputusan mengenai pemberhentian keanggotaan termaksud dalam ayat (1), bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I diambil oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mendengar Badan Pemerintah Harian dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lainnya oleh Kepala Daerah yang setingkat lebih atasnya atas usul Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mendengar Badan Pemerintah Harian.

(3) Atas keputusan yang diambil menurut ketentuan dalam ayat (2) diatas, kecuali dalam hal dimaksud dalam ayat (1) sub a, anggota yang bersagnkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, berhak untuk meminta puutsan banding kepada Presiden mengenai putusan Menteri Dalam Negeri, kepada Menteri mengenai keputusan Kepala Daerah tingkat I *3491 dan Kepala Daerah setingkat lebih atas mengenai keputusan Kepala Daerah tingkat lainnya.

Pasal 27.

(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang sidang, uang jalan dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak menerima uang sidang untuk rapat yang dipimpin atau dihadirinya, tetapi kepadanya diberikan tunjangan jabatan dan disamping tunjangan jabatan dimaksud kepada Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan pula uang kehormatan setiap bulannya, uang jalan dan penginapan, bila dipandang perlu uang perjalanan pindah dari tempat kediamannya yang lama ketempat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sebaliknya, selanjutnya uang penggantian biaya berobat untuk dirinya serta anggota keluarganya, tunjangan kematian serta tunjangan penghargaan yang diberikan pada akhir masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua atau pada waktu mereka berhenti dengan hormat dari jabatannya menurut peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(3) Peraturan Daerah dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatas ditetapkan dengan mengingat pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 28.

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut kepercayaan masing-masing dihadapan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I atau pejabat yang dikuasakan, dan dihadapan Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah-daerah lain atau pejabat yang dikuasakan.

(2) Pengangkatan sumpah (janji) dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang antar waktu mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 22 ayat (4) dilakukan dihadapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(3) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud pada ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk diangkat menjadi Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapjn juga. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai Ketua/Wakil Ketua/Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ..., tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Ketua/Wakil Ketua/Anggota Dewan *3492 Perwakilan Rakyat Daerah dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, dan bawha saya senantiasa akan membantu memelihara Undang-undang Dasar 1945 dan segala peraturan yang lain yang berlaku bagi Republik Indonesia. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya bersedia turut serta melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan berusaha dengan sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan memajukan kesejahteraan Rakyat Daerah ....pada khususnya dan akan setia kepada Nusa, Bangsa dan Republik Indonesia".

(4) Pada waktu pengangkatan sumpah (janji), instansi yang berwenang, pejabat yang dikuasakan atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksud dalam ayat (1) dan (2) berusaha supaya segala sesuatu dilaksanakan dalam suasana khidmad.

$ 2. Sidang dan rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 29.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atau berapat atas panggilan Ketuanya.

Atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut wajib memanggil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut untuk bersidang atau berapat dalam satu bulan sesudah permintaan itu diterimanya

(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang- kurangnya sekali dalam tiga bulan.

(3) Semua yang hadir pada rapat tertutup berkewajiban untuk merahasiakan segala hal yang dibicarakan dalam rapat itu.

(4) Kewajiban merahasiakan seperti tersebut dalam ayat (3) berlangsung terus, baik bagi anggota-anggota maupun pegawai-pegawai/pekerja-pekerja yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan itu dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal itu, sampai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membebaskan mereka dari kewajiban tersebut.

Pasal 30.

(1) Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka untuk umum, kecuali jika Pimpinan menimbang perlu untuk mengadakan rapat tertutup ataupun sekurang-kurangnya seperlima anggota mengusulkan hal itu.

(2) Tentang hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dapat diambil keputusan, kecuali tentang: a.anggaran belanja, perhitungan anggaran belanja; b.penetapan, perubahan dan penghapusan pajak; c.mengadakan pinjaman uang; d.Perusahaan Daerah; *3493 e.kedudukan harta-benda dan hak-hak Daerah; melakukan pekerjaan-pekerjaan, penyerahan-penyerahan barang dan pengangkutan-pengangkutan tanpa mengadakan penawaran umum; g.penghapusan tagihan-tagihan sebagian atau seluruhnya; h.mengadakan persetujuan Penyelesaian perkara perdata secara damai; i.penerimaan anggota-anggota baru; j.mengadakan usaha-usaha yang dapat merugikan atau mengurangi kepentingan umum.

Pasal 32.

Ketua Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerahj idak dapat dituntut karena pembicaraannya didalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau karena tulisannya yang disampaikan kepada rapat Dewan Perwakilan Rakayt Daerah, kecuali jika mereka dengan itu mengumjmkan apa yang dikatakan atau yang dikemukakan dalam rapat tertutup.

BAGIAN IV. Badan Pemerintah Harian. Pasal 33.

(1) Dalam Undang-undang pembentukan Daerah yang bersangkutan ditentukan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut kebutuhan: a.bagi Daerah tingkat I dari sekurang-kurangnya 7 orang; b.bagi Daerah tingkat II dari sekurang-kurangnya 5 orang dan c.bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.

(2) Penambahan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut ketentuan tersebut dalam ayat (1) sub a, b dan c ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Kepala DAerah dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

(3) Masa jabatan anggota-anggota Badan Pemerintah Harian adalah sama dengan masa jabatan Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 17 ayat (1).

(4) Jumlah anggota Badan Pemerintah Harian tersebut dalam ayat (1) harus tetap terisi; setiap kali timbul lowongan harus diangkat seorang anggota baru yang berhenti bersama-sama dengan anggota-anggota lain pada akhir masa jabatan dimaksud dalam ayat (3).

Pasal 34.

Yang dapat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian ialah warganegara Indonesia yang:

1.sekurang-kurangnya berumur 30 tahun;

2.berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia;

3.menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti juga menyetujui dan turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman pelaksanaannya; *3494 4.tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;

5.A.bagi Daerah tingkat 1:

a.1.mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;

a.2.berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Tinggi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas; B.bagi Daerah tingkat II:

b.1.mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;

b.2.berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; C.bagi Daerah tingkat III:

c.1.mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;

c.2.berpengetahuan yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Dasar;

6.tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Kepala Daerah sampai derajat ketiga, baik menurut garis lurus maupun garis ke- samping termasuk menantu dan ipar.

Pasal 35.

(1) Anggota Badan Pemerintah Harian diangkat dan diberhentikan oleh: a.Presiden bagi Daerah tingkat I; b.Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II dan c.Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.

(2) Prosedur pengangkatan anggota Badan Pemerintah Harian dimaksud dalam ayat (1) mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pengangkatan Kepala Daerah yang setingkat dimaksud dalam pasal-pasal 12, 13 dan 14, kecuali mengenai jumlah calon yang harus diajukan sebanyak dua kali jumlah anggota Badan Pemerintah Harian yang diperlukan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 36 sub a, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dicalonkan sebagai anggota Badan Pemerintah Harian.

(4) Anggota Badan Pemerintah Harian berhenti karena meninggal dunia atau diberhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat: a.atas permintaan sendiri; b.karena berakhir masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan; *3495 c.karena tidak memenuhi lagi sesuatu syarat dimaksud dalam pasal 34 dan d.karena menjalankan sesuatu rangkapan jabatan yang dilarang menurut pasal 36.

Pasal 36.

Anggota Badan Pemerintah Harian tidak boleh:

a.dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan atau tidak melakukan tindakan yang hanya menguntungkan dan/atau mendahulukan kepentingan partainya, sesuatu golongan atau sesuatu partai, sehingga merugikan kepentingan Pemerintah dan Rakyat Daerah; b.merangkap menjadi Sekretaris Daerah dan Pegawai yang bertanggung jawab tentang keuangan kepada Daerah yang bersangkutan; c.merangkap menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum, dalam mana Daerah itu tersangkut; d.ikut memberikan pertimbangan mengenai penetapan atau pengesahan perhitungan sesuatu badan yang ada sangkut-pautnya dengan keuangan Daerah, dalam mana ia duduk sebagai pengurus; e.langsung maupun tidak langsung ikut serta dalam pacht dibawah tangan mengenai sesuatu milik Daerah ataupun ikut serta dalam pembelian suatu tuntutan yang membebani Daerah yang sedang dalam sengketa; f.merangkap menjadi arsitek atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan dan mendatangkan keuntungan baginya; g.merangkap jabatan-jabatan lain yang akan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 37.

(1) Sebelum memangku jabatannya, anggota Badan Pemerintah Harian mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut kepercayaannya dihadapan Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:

"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk diangkat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian langsung atau tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tidak sekali-kali akan menerima, langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga-sesuatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Badan Pemerintah Harian .... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya senantiasa akan setia kepada Undang-undang Dasar 1945 dan akan membantu memelihara segala peraturan perundangan yang berlaku bagi Republik Indonesia.

  • 3496 Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.

Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan membantu Kepala Daerah ... dalam pekerjaannya dan menjalankan pekerjaan yang ditugaskannya kepada saya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran dan akan setia kepada Negara, Bangsa dan Republik Indonesia".

Pasal 38.

(1) Anggota Badan Pemerintah Harian menerima uang kehormatan, uang jalan, uang penginapan, uang perjalanan pindah, uang pengganti biaya berobat untuk dirinya serta anggota keluarganya, tunjangan kematian bila meninggal dunia dan uang tanda penghargaan pada masa akhir jabatannya atau bilamana ia berhenti dengan hormat dari jabatannya menurut peraturan yang ditetapkan oleh Pememrintah Daerah.

(2) Peraturan Daerah tersebut pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan sebelum berlaku harus disahkan terlebih dahulu oleh: a.Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan b.Kepala Daerah setingakt lebih atas bagi lain-lain Daerah.

BAB IV. KEKUASAAN, TUGAS DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH.

BAGIAN I Ketentuan Umum.

Pasal 39.

(1) Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga Daerahnya.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat (1), dalam Undang-undang pembentukan Daerah sebagai pangkal ditetapkan urusan-urusan yang termasuk rumah-tangganya disertai alat perlengkapan dan pembiayaannya serta sumber-sumber pendapatan yang pertama dari Daerah itu.

(3) Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai Daerah tingkat II dan III atas usul dari Kepala Daerah setingkat lebih atas, urusan-urusan tersebut dalam ayat (2) dapat ditambah dengan urusan-urusan lain.

Pasal 40.

(1) Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnya yang menurut pertimbangan Pemerintah Pusat dapat dipisahkan dari tangan Pemerintah Pusat untuk diatur dan diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan menjadi urusan rumah-tangga Daerah.

  • 3497 (2) Dalam Peraturan Pemerintah dimaksud dalam ayat (1) harus diatur pula biaya-biaya belanja urusan serta alat perlengkapannya yang harus diserahkan kepada Daerah serta ditunjuk sumber-sumber pendapatan yang pertama bagi Daerah itu untuk dapat menutup biaya belanja urusan tersebut,

Pasal 41.

(1) Sesuatu Daerah dengan Peraturan Daerah dapat memisahkan sebagian atau seluruh urusan-urusan tertentu dari urusan rumah-tangganya untuk diatur dan diurus sendiri oleh Daerah tingkat bawahan yang ada dalam wilayah Daerahnya.

(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

(3) Bagi penyerahan dimaksud ini, berlaku pula ketentuan termaskud dalam pasal 39 ayat (3) dan pasal 40 ayat (2).

Pasal 42.

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan seperti yang dimaksud dalam pasal 39, 40 dan 41, peraturan perundangan Pusat atau Peraturan Daerah setingkat lebih atas, sedapat mungkin mengatur agar urusan-urusan Pemerintah Pusat atau urusan-urusan yang merupakan rumah-tangga Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, sebagian atau seluruhnya, dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang ditunjuk oleh dan dalam peraturan-peraturan yang dimaksud.

(2) Apabila peraturan-peraturan dimaksud pada ayat (1) menentukannnya, maka Pemerintah Daerah diwajibkan melaksanakan peraturan-peraturan itu.

(3) Dalam peraturan-peraturan dimaksud pada ayat (1), harus diatur pula biaya-biaya belanja pelaksanaan urusan serta alat perlengkapannya yang harus diserahkan kepada Daerah serta ditunjuk sumber-sumber pendapatan bagi Daerah untuk dapat menutup biaya belanja pelaksanaan urusan tersebut.

Pasal 43.

(1) Beberapa Daerah dapat bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama.

(2) Keputusan bersama mengenai hal yang dimaksud dalam ayat (1) demikian juga tentang perubahan dan pecabutannya harus disahkan lebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain- lain Daerah.

(3) Bila tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau pencabutan peraturan tersebut dalam ayat (1), maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah tersebut dalam ayat (2) yang memutuskan.

(4) Untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi sesuatu bentuk kerja sama antar Daerah, Menteri Dalam Negeri dapat *3498 mengadakan pengaturan khusus untuk menampung keerluan itu.

BAGIAN II. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

1. Kepala Daerah.

Pasal 44.

(1) Kepala Daerah adalah a.alat Pemerintah Pusat; b.alat Pemerintah Daerah.

(2) Sebagai alat Pemerintah Pusat Kepala Daerah: a.memegang pimpinan kebijaksanaan politik didaerahnya, dengan mengindahkan wewenang-wewenang yang ada pada. penjabat- pejabat yang bersangkutan berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku; b.meylenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan Pemerintah Pusat di Daerah antara jawatan-jawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah; c.melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintah Daerah; d.menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh Pemerintah Pusat.

(3) Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah biak dibidang urusan rumah-tangga Daerah maupun dibidang pembantuan.

Pasal 45.

(1) Dalam menjalankan tugas kewenangannya, baik yang terletak dibidang urusan otonomi maupun dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan, Kepala Daerah memberikan pertanggungan-jawab sekurang-kurangnya sekali setahun kepada Dean Perwakilan Rakyat Daerah atau apabila diminta oleh Dewan tersebut atau apabila dipandang perlu olehnya.

(2) Dalam menjalankan tugas kewnangannya dibidang Pemerintahan Pusat Kepala Daerah tingkat I bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan bagi Kepala Daerah tingkat II dan III kepada Kepala Daerah setingkat lebih atas.

Pasal 46.

Kepala Daerah mewakili Daerahnya didalam dan diluar pengadilan.

Dalam hal-hal yang dipandan perlu, Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa untuk mewakilinya.

$2. Wakil Kepala Daerah. Pasal 47.

(1) Wakil Kepala Daerah adalah: a.alat Pemerintah Pusat; b.alat Pemerintah Daerah.

(2) Wakil Kepala Daerah membantu Kepala Daerah dalam menjalankan *3499 tugas kewenangannya sehari-hari menurut pedoman yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menyerahkan kepada Wakil Kepala Daerah untuk atas namanya memberikan keterangan dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 48.

(1) Jika Kepala Daerah tidak dapat melakukan tugas kewenangannya Wakil Kepala Daerah melakukan tugas kewenangan Kepala Daerah.

(2) Jika Kepala Daerah meninggal dunia atau diperhentikan, Wakil Kepala Daerah diangkat sebagai penggantinya sampai akhir masa jabatannya, kecuali apabila penguasa yang berhak mengangkat menentukan lain.

BAGIAN III.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. $1. Peraturan Daerah.

Pasal 49.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan- peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah atau untuk melaksanakan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah.

Pasal 50.

(1) Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum.

(2) Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan- ketentuan yang mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

(3) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah tingkat bawahan dalam wilayahnya. (4) Ketentuan-ketentuan dalam sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak berlaku lagi, bilamana hal-hal yang diatur dalam ketentuan-ketentuan dimaksud, kemudian diatur oleh peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Pasal 51.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan peraturan-perundangan dengan ancaman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau dengan sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah) terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya, dengan atau tidak merampas barang-barang tertentu, kecuali jikalau dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya ditentukan lain.

(2) Dalam hal pelanggaran ulangan peraturan pidana dimaksud dalam ayat (1), dalam waktu tidak lebih dari satu tahun *3500 sejak dijatuhkan pidana dalam pelanggaran pertama tidak dapat dirubah lagi maka dapat diancamkan pidana sampai dua kali maksimum dari pidana yang termaksud dalam ayat (1).

(3) Perbuatan tindak pidana sebagai dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

(4) Peraturan Daerah yang memuat peraturan pidana tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi peraturan Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Peraturan Daerah lainnya.

Pasal 52.

Dengan Peralturan Daerah dapat ditunjuk pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas untuk menyidik pelanggaran ketentuan- ketentuan dari Peraturanj Daerah yang dimaksud dalam pasal 5 i.

Pasal 53.

Apabila pelaksanaan keputusan-keputusan Daerah memerlukan bantuan alat kekuasaan, maka dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan, bahwa segala biaya untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada pelanggar.

Pasal 54.

(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan ketentuan-ketentuan tentang bentuk Peraturan Daerah.

(2) Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan, yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus ditanda tangani juga oleh Kepala Daerah.

(3) Pengundangan Peraturan-peraturan Daerah untuk mendapatkan kekuatan hukum dan mengikat, dilakukan menurut ketentuan dalam ayat (4) pasal ini.

(4) Pengundangan Peraturan-peraturan Daerah tersebut ayat (3) begitu pula pengundangan keputusan-keputusan lain yang dipandang perlu, dilakukan oleh Sekretaris Daerah,dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah tingkat I bagi Peraturan Daerah tingkat I yang bersangkutan itu dan bagi lain-lain Daerah dalam wilayahnya.

Jika tidak ada Lembaran Daerah dimaksud, maka pengundangannya dilakukan menurut cara lain yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Peraturan Daerah mulai berlaku pada hari yang ditentukan dalam peraturan tersebut atau jika ketentuan ini tidak ada, Peraturan Daerah mulai berlaku pada hari ke-30 sesudah hari pengundangan termaksud alam ayat (4).

(6) Peraturan Daerah yang tidak boleh belaku sebelum disahkan oleh Penguasa yang berwajib mengesahkannya, tidak diundangkan sebelum pengesahan itu diberikan ataupun jangka waktu tersebut dalam pasal 79 berakhir.

$2. Hak Petisi. *3501 Pasal 55.

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya kepada Pemerintah dan Dewan, Perwakilan Rakyat dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan.

$3. Melalaikan tugas kewenangan.

Pasal 56.

(1) Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata melalaikan tugas kewenangan dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), sehingga merugikan Daerah itu atau merugikan Negara, maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus.

(2) Jika hal seperti tersebut dalam ayat (1) terjadi maka sambil menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah termaksud dalam ayat (1), tugas kewenangan Pemerintah Daerah untuk sementara waktu dijalankan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan atas petunjuk Menteri Dalam Negeri.

(3) Apabila berhubung dnegan sesuatu hal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat menjalankan tugas kewenangannya, dengan petunjuk Menteri Dalam Negeri Kepala Daerah menjalankan tugas kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAGIAN IV. Badan Pemerintah Harian.

Pasal 57.

(1) Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian menanda-tangani persetujuan Kepala Daerah dalam urusan dibidang urusan otonomi dan dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan.

(2) Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian: a.memberikan pertimbangan kepada Kepala Daerah, baik diminta maupun tidak; b.mendapat bidang pekerjaan tertentu dari Kepala Daerah menurut pedoman yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan terhadap itu mereka bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.

(3) Apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menugaskan kepada seorang anggota Badan Pemerintah Harian untuk atas namanya memberikan keterangan dan pertanggungan jawab bidang pekerjaannya dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB V. SEKRETARIS DAN PEGAWAI DAERAH. BAGIAN I. Ketentuan Umum. *3502 Pasal 58.

Semua Pegawai Daerah, begitu pula pegawai Negeri/Pegawai Daerah lainnya yang dipekerjakan/diperbantukan kepada Daerah, ada dibawah pimpinan Kepala Daerah.

Pasal 59.

Latihan dan pendidikan pegawai yang bekerja dibawah pimpinan Kepala Daerah sebagai tersebut pada pasal 58, diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau bersama-sama Menteri Dalam Negeri.

Pasal 60.

Menteri Dalam Negeri mengatur lapangan kariere dari pegawai Daerah, dengan memperhatikan kepentingan Daerah-daerah yang bersangkutan.

BAGIAN II. Sekretaris Daerah. Pasal 61.

(1) Sekretaris Daerah adalah pegawai Daerah yang bagi: a.Daerah tingkat I dan Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas usul Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan; b.Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I atas usul Kepala Daerah yang bersangkutan.

(2) Kedudukan dan kedudukan keuangan serta syarat-syarat untuk jabatan Sekretaris Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 62.

(1) Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Kepala Daerah dalam kedudukannya dimaksud dalam pasal 44 ayat (1) dan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta diberi tugas pula untuk membantu anggota Badan Pemerintah Harian dalam segala hal untuk kelancaran jalannya pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka seperti dimaksud dalam pasal 57.

(2) Sekretaris Daerah melaksanakan persiapan dengan sebaik-baiknya segala sesuatu yang akan dimusyawarahkan dan dimufakatkan serta diputus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 63.

Bila Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugas, maka tugas Sekretaris Daerah dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Pasal 64.

Sekretaris Daerah tidak boleh merangkap jabatan-jabatan lain dan terhadapnya berlaku larangan-larangan dalam pasal 25 ayat (1)

  • 3503 BAGIAN III. Pegawai Daerah. Pasal 65.

(1) Peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara; gaji, pensiun, uang tunggu dan hal-hal lain sebagainya mengenai kedudukan hukum pegawai Daerah, ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 66.

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 65, maka pegawai Daerah, kecuali Sekretaris Daerah, diangkat, diberhentikan untuk sementara oleh Kepala Daerah dan diberhentikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 67.

(1) Cara dan syarat-syarat menetapkan pekerjaan pegawai Negeri yang diperbantukan kepada Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan bagi pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah lainnya dalam Peraturan Daerah dari Daerah yang memperbantukan pegawainya itu.

(2) Pegawai Negeri atau pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah digaji dari keuangan Daerah yang menerima pegawai itu, kecuali apabila dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) ditetapkan lain.

Pasal 68.

(1) Atas permintaan Kepala Daerah, dengan keputusan Menteri yang bersangkutan atau Penguasa yang ditunjuk olehnya, dapat dipekerjakan pegawai dalam lingkungan Departemennya untuk melakukan urusan-urusan tertentu bagi kepentingan Daerah yang bersangkutan.

(2) Dalam hal tersebut dalam ayat (1), syarat-syarat dan hubungan kerja antara pegawai yang bersangkutan dengan alat-alat Pemerintah Daerah, sepanjang diperlukan diatur dalam keputusan termaksud dalam ayat itu.

BAB VI KEUANGAN DAERAH. BAGIAN I. $ 1. Sumber-sumber keuangan Daerah.

Pasal 69.

(1) Sumber-sumber keuangan Daerah ialah: a.hasil perusahaan Daerah dan sebagian hasil Perusahaan Negara; b.pajak-pajak Daerah; c.retribusi Daerah; *3504 d.pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah; e.bagian dari hasil pajak Pemerintah Pusat; f.pinjaman; g.dan lain-lain hasil usaha yang sesuai dengan kepribadian Nasional.

(2) Dengan Undang-undang kepada Daerah dapat : a.diserahkan pajak Negara; b.diberikan sebagian atau seluruh penerimaan pajak Negara; c.diberikan sebagian dari pendapatan bea dan cukai; d.diberikan sebagian dari hasil Perusahaan Negara; e.diberikan ganjaran subsidi dan sumbangan.

2. Pajak dan retribusi Daerah.

Pasal 70.

(1) Dengan Undang-undang dapat diadakan peraturan pokok tentang pemungutan pajak dan retribusi Daerah.

(2) Pemerintah Daerah berhak untuk memungut pajak dan retribusi Daerah menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(3) Peraturan pajak dan retribusi Daerah tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Penguasa yang berwenang menurut cara yang ditetapkan dalam Undang-undang serta dapat berlaku surut.

(4) Perwakilan atau pembebadan pajak Daerah tidak dilakukan kecuali di dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam peraturan pajak Daerah yang bersangkutan.

3. Perusahaan Daerah

Pasal 71.

(1) Pemerintah Daerah berhak mengusahakan kekayaan alam yang ada di Daerahnya dan wajib mengadakan perusahaan-perusahaan Daerah yang pengolahannya dilakukan atas azas-azas ekonomi perusahaan.

(2) Dalam Undang-undang dapat ditetapkan pokok-pokok peraturan tentang Perusahaan Daerah.

4. Pinjaman. Pasal 72.

(1) Pemerintah Daerah dapat mengadakan pinjaman uang atau menanggung pinjaman uang untuk kepentingan dan atas beban Daerah, dengan ketentuan bahwa keputusan-keputusan yang bersangkutan itu harus mendapat pengesahan dari; a.Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan b.Kepala Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

(2) Dalam keputusan untuk mengadakan pinjaman uang itu ditetapkan pula sumber-sumber untuk pembayaran bunga dan angsuaran pinjaman uang dimaksud. *3505 (3) Untuk hal-hal dimaksud dalam ayat (1) Menteri Dalam Negeri dapat mengadakan peraturan-peraturan khusus.

5. Lain-lain hasil usaha.

Pasal 73.

Pemerintah Daerah tidak boleh mengadakan usaha-usaha lain seperti yang dimaksud dalma pasal 69 sub g yang mengakbitkan beban bagi rakyat, kecuali dengan keputusan Dean Perwakilan Rkayat Daerah, yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Pemerintah bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 74.

(1) Barang-barang milik Daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan hak-haknya kepada fihak lain, dijalankan tanggungan atau digadaikan, kecuali bilamana telah diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(2) Penjualan, peryewaan atau pengepakan barang-barang dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dimuka umum, kecuali bilamana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan hahwa yang demikian itu dapat dlakukan di bawah tangan.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memutuskan tentang: a.penghapusan tagihan Daerah, sebagian atau seluruhnya; b.mengadakan persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; c.tindakan-tindakan hukum lain mengenai barang-barang milik Daerah atau hak-hak Daerah, kecuali mengenai tindakan-tindakan hukum tertentu yang menurut keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah cukup dilakukan oleh Kepala Daerah.

BAGIAN II. Pengelolaan dan pertanggungan jawab keuangan Daerah.

Pasal 75.

(1) Pemerintah Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan Daerah, yang dengan peraturan-peraturan Pusat tidak diletakkan dalam tangan Penguasa lain.

(2) Pekerjaan-pekerjaan yang bersangkutan dengan penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang, surat-surat bernilai uang dan barang-barang untuk kepentingan Daerah, atas permintaan Daerah yang bersangkutan melalui Menteri Dalam Negeri dapat ditugaskan: a.oleh Menteri Urusan Bank Sentral kepada pegawai Kas Negara; b.oleh Kepala Daerah tingkat I kepada pegawai kas Daerah tingkat I; c.kepada sesuatu bank yang ditunjuk oleh Menteri Urusan Bank Sentral, bersama-sama Menteri Dalam Negeri.

(3) Bila dipandang perlu dengan Peraturan Pemerintah dapat *3506 diadakan peraturan-peralturan tata-usaha pengelolaan tentang keuangan Daerah, peraturan-peraturan pertanggungan jawab pegawai yang menjalankan pekerjaan-pekerjaan dimaksud dalam ayat (2) dan peraturan tentang pegawai-pegawai lain yang telah menimbulkan kerugian pada Daerah.

BAGIAN III. Anggaran Keuangan Daerah.

Pasal 76.

(1) Pemerintah Daerah tiap-tiap tahun menetapkan anggaran keuangan untuk Daerahnya.

(2) Anggaran keuangan dimaksud yang dibagi dalam Anggaranj Belanja dan Anggaran Pendapatan Daerah, begitu pula mengenai tiap-tiap perubahannya yang tidak dikuasakan sendiri oleh anggaran termaksud, tidak dapat dilaksanakan sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lainnya. (3) Pemerintah Daerah mengusahakan sedapat-dapatnya menutup anggaran belanja barang routine dengan penerimaan sendiri

(4) Pengesahan atau penolakan anggaran Daerah, dilakukan terhadap anggaran termaksud dalam keseluruhannya. Penolakan harus memuat alasan-alasannya.

Pasal 77.

Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan dan cara-cara menyusun:

a.Anggaran Belanja dan Anggaran Pendapatan Daerah; b.perhitungan atas Angkgaran Belanja dan Anggaran Pendapatan Daerah.

BAB VII. PENGAWASAN TERHADAP DAERAH. BAGIAN I. Pengesahand an jangka waktu pengesahan.

Pasal 78.

Dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan

oleh:

a.Menteri Dalam Negeri untuk keputusan Daerah tingkat I; b.Kepala Daerah tingkat I untuk keputusan Daerah tingkat II dan c.Kepala Daerah tingkat II untuk keputusan Daerah tingkat III Pasal 79.

(1) Bila untuk menjalankan sesuatu keputusan Daerah harus ditunggu pengesahan lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan bagi lain-lain Daerah dari Kepala Daerah setingkat lebih atas, maka keputusan itu dapat dijalankan apabila Menteri atau Kepala Daerah yang bersangkutan dalam tiga bulan terhitung mulai dari keputusan itu diterima untuk mendapat pengesahan, tidak mengambil keuntungan. *3507 (2) Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan lagi oleh Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah tersebut yang memberitahukannya kepada Daerah yang bersangkutan.

(3) Bila keputusan Daerah tersebut dalam ayat (1) tidak dapat disahkan, maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah memberitahukan hal itu dengan keterangan-keterangan yang cukup kepada Daerah yang bersangkutan..

(4) Terhadap penolakan pengesahan tersebut dalam ayat (3) Daerah yang bersangkutan dalam waktu satu bulan terhitung mulai saat pemberitahuan yang dimaksud diterima, dapat mengajukan keberatan kepada instansi setingkat lebih atas dari instansi yang menolak.

BAGIAN II. Pembatalan dan pertangguhan. Pasal 80.

Keputusan-keputusan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Pasal 81.

(1) Menteri Dalam Negeri mempertangguhkan atau membatalkan keputusan-keputusan Daerah dari Daerah-daerah tingkat II dan III yang bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum, apabila ternyata Kepala Daerah yang berwenang menjalankan hak dimaksud dalam pasal 80 tidak melakukannya.

(2) Pembatalan seperti dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah mendengar Kepala Daerah setingkat lebih atas yang berwenang melakukan pembatalan itu.

Pasal 82.

(1) Pembatalan berdasarkan pertentanagan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya, menghendaki pula dibatalkannya semua akibat dari keputusan yang dibatalkan itu, sepanjang akibat itu masih dapat dibatalkan.

(2) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan kepentingan umum hanya nembawa pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan umum itu.

Pasal 83.

(1) Keputusan pertangguhan atau pembatalan termaksud dalam pasal 81 dan 82 dengan menyebutkan alasan-alasannya diberitahukan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dalam tempo 15 (lima belas) hari sesudah tanggal putusan itu.

(2) Lamanya pertangguhan dimaksud dalam ayat (1) disebutkan *3508 dalam surat keputusan yang bersangkutan dan tidak boleh melebihi enam bulan. Pada saat pertangguhan itu keputusan yang bersangkutan berhenti berlaku.

(3) Apabila dalam tempo tersebut dalam ayat (2) berdasarkan pertangguhan itu tidak ada putusan pembatalan, maka keputusan Daerah yang bersangkutan mulai berlaku lagi.

BAGIAN III Perselisihan mengenai pemerintahan antara Daerah.

Pasal 84.

(1) Perselisihan mengenai pemerintahan antara : a.Daerah-daerah tingkat I atau antara Daerah tingkat I dengan Daerah tingkat lainnya, dan antara Daerah-daerah yang tidak terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat I, diputus oleh Menteri Dalam Negeri. b.Daerah-daerah di bawah tingkat I yang sama tingkatannya dan terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat I, diputus oleh Kepala Daerah tingkat I yang bersangkutan apabila mengenai perselisihan antara Daerah-daerah tingkat II, atau oleh Kepala Daerah tingkat II yang bersangkutan, apabila mengenai perselisihan antara Daerah tingkat III yang terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat II. c.Daerah dengan Daerah setingkat lebih atas atau antara Daerah-daerah tingkat III yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat II yang berlainan tetapi terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat 1, diputus oleh Kepala Daerah tingkat I.

(2) Keputusan termaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada Daerah-daerah yang bersangkutan.

BAGIAN IV. Penyelidikan dan pemeriksaan oleh Pemerintah. Pasal 85.

(1) Bagi kepentingan umum, Menteri Dalam Negeri atau pegawai Pemerintah Pusat yang bertindak atas namanya, berhak mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu mengenai pekerjaan mengurus rumah-tangga Daerah maupun mengenai tugas pembantuan oleh Pemerintahan Daerah.

(2) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi sesuatu Daerah terhadap Daerah yang lebih rendah tingkatannya dalam wilayahnya.

Pasal 86.

(1) Untuk kepentingan pengawasan, maka Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh Pemerintah Daerah setingkat lebih atas atau oleh Menteri Dalam Negeri.

(2) Apabila Pemerintah Daerah menolak memberikan keterangan yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Menteri Dalam Negeri *3509 mengambil tindakan yang dianggap perlu.

BAGIAN V. Pengumuman. Pasal 87.

Tiap-tiap keputusan mengenai pembatalan ataupun perselisihan mengenai Pemerintah antara Daerah-daerah seperti termaksud dalam Bagian II dan III Bab ini, diumumkan dalam Berita-Negara Republik Indonesia atau menurut cara termaksud dalam pasal 54 ayat (3).

Kepala Daerah yang bersangkutan mengumjmkan pula keputusan tersebut Daerahnya. BAB VIII.

Peraturan Peralihan.

Pasal 88.

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka: a."Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Propinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini. b."Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya" yang menurut Undang-undang No. 10 tahun 1964 disebut Jakarta adalah "Kotaraya" termaksud pada pasal 2 Undang-undang ini yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Penpetapan Presiden No. 2 tahun 1961 dengan mengingat perubahan-perubahan yang timbul karena berlakunya Undang-undang ini. c."Daerah-daerah Kotapraja" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 adalah "Kotamadya" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub b Undang-undang ini. d."Daerah Tingkat II" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 adalah "Kabupaten" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub b Undang-undang ini.

(2)a.Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan; b.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).

(3) Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau dejure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus. *3510 Akibat-akibat dan kesulitan yang timbul diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya dan apabila dipandang perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 89.

(1) Segala peraturan pelaksanaan yang ditetapkan berdasarkan peralturan-perundangan yang dimaksud dalam PERTAMA Undang-undang ini, yang tidak bertentangan dengan isi dan maksud Undang-undang ini, tetap berlaku selama belum dicabut atau diganti.

(2) Selama berdasarkan Undang-undang ini belum dapat ditetapkan sesuatu peraturan-perundangan yang bersangkutan begitupun bilamana peraturan-perundangan lama dimaksud dalam ayat (1) diatas belum pula mengaturnya, maka segala sesuatu dijalankan menurut instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk yang ada atau yang dapat diadakan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Selama kekuasaan pemerintahan di Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini belum diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah menurut Undang-undang ini, maka kekuasaan tersebut dijalankan oleh Pemerintah Daerah yang ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini.

BAB IX. PERATURAN PENUTUP.

Pasal 90.

(1) Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah".

(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta. pada tanggal 1 September 1965. Presiden Republik Indonesia.

SUKARNO.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 September 1965.

Sekretaris Negara,

MOHD ICHSAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 18 TAHUN 1965 tentang POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH.

  • 3511 I. UMUM.

Berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan setelah Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali Undang-undang Dasar, maka Undang-undang ini disusun untuk melaksanakan pasal 18 Undang-undang Dasar dengan berpedoman kepada Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara yang dipidatokan Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dan telah diperkuat oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS,/ 1960 bersama dengan segala pedoman pelaksanaannya.

Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 dan Keputusan Presiden No. 514 tahun 1961, maka Undang-undang ini mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari Undang-undang No. 22 tahun 1948, Undang-undang No. I tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan), Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965 dengan maksud dan tujuan berdasarkan gagasan Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan berlakunya satu saja Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini, maka dapatlah diakhiri kesimpangsiuran dibidang hukum yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penyusunan Pemerintahan Daerah dan dapat diakhiri pula segala kelemahan demokrasi liberal, sehingga akan terwujudlah Pemerintahan Daerah yang memenuhi sifat-sifat dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 yaitu stabil dan berkewibawaan mencerminkan kehendak rakyat, revolusioner dan gotong royong, serta terjaminnya keutuhan Negara, Kesatuan Republik Indonesia.

Sejiwa dengan Ketetapan M.P.R.S. dimaksud diatas, bertepatan dengan saat mulai berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini, maka dicabut.

1.Undang-undang No. I tahun 1957,

2.Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan),

3.Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960, dan

4.Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965.

Pelaksanaan Undang-undang ini harus berarti terwujud pula pelaksanaan Pembentukan Daerah-daerah tingkat III sebagai Daerah-daerah tingkatan terendah.

Undang-undang ini berkehendak membagi habis seluruh Negara Republik Indonesia dalam tiga tingkatan Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi).

Dengan terbaginya seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri itu, tidak seharusnya ada lagi Daerah lain selainnya hanya wilayah administratif saja. Daerah tingkat III akan menggantikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sesuai dengan pedoman pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, termuat pada s 392 No. 1 angka 4, dengan atau tanpa melalui Desapraja *3512 sebagai masa peralihan.

Dalam pada itu, untuk menampung masa peralihan, ditetapkan, bahwa sejak saat mulai berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan-perundangan yang telah ditetapkan berdasar kan Undang-undang No. I tahun 1957 dan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan), Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini berlaku terus, hingga dirubah, dicabut atau diganti dengan peraturan-peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.

Demikian pula ditetapkan, bahwa selama berdasarkan Undang-undang ini, belum dapat ditetapkan sesuatu peraturan-perundangan yang diperlukan, begitupun bilamana peraturan-perundangan lama dimaksud dimuka belum pula mengaturnya, maka segala sesuatu dijalankan menurut instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk yang ada atau yang dapat diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.

Dalam rangka membagi habis seluruh wilayah Indonesia dalam Daerah-daerah besar dan kecil, Undang-undang ini menentukan hanya ada tiga tingkatan Daerah, yaitu tingkat I, tingkat II dan tingkat III yang semuanya mempunyai bentuk-bentuk susunan pemerintahan berdasarkan Undang-undang ini. Oleh karena tingkat III yang terendah itu nantinya akan harus menggantikan semua kesatuan masyarakat hukum, maka sejak semula dalam pembentukan Daerah tingkat III itu sudah harus diperhitungkan unsur-unsur keaslian yang terdapat dibagian-bagian wilayah Indonesia baik dalam kehidupan kegotong-royongan dalam pemerintahan maupun dalam bidang kebudayaan, sehingga dapat diperkembangkan untuk menyempurnakan kepribadian nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia berlandaskan Undang-undang Dasar, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional.

Semua Daerah, yang dewasa ini telah terbentuk, mengembangkan sejarahnya dengan haluan baru dan landasan hukum yang lebih kuat dan kokoh untuk menunaikan tugas sejarahnya turut membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat.

Sesuai dengan lambang Negara Bhineka Tunggal Ika, maka dalam rangka pembentukan Daerah-daerah yang mengandung bentuk-bentuk kekhususan yang baik, unsur Negara Kesatuan yang kuat harus merata dan mendalam, karena itu maka dalam Undang-undang perlu diadakan jaminan-jaminan esensialia, yaitu:

a.pemusatan pimpinan pada Kepala Daerah yang juga diharapkan menjadi Sesepuh Daerah dibantu secara aktif oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian; b.adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang susunannya mencerminkan kegotong-royongan nasional revolusioner dipimpin oleh Ketuanya sendiri bersama-sama dengan Wakil-wakil Ketua yang berporoskan Nasakom, yang menjalankan tugas kewajibannya menurut demokrasi terpimpin atas dasar hikmah kebijaksanaan musyawarah mencapai kata mupakat dengan mempertanggung-jawabkan tugas kewajibannya kepada Kepala Daerah; c.menjunjung tinggi Kepribadian Bangsa Indonesia dengan *3513 memusatkan pimpinan pada Sesepuh dimaksud diatas, yang memiliki kecakapan dan kebijaksanaan untuk menjalankan pemerintahan, berbudi luhur dan berkewibawaan serta berpengalaman yang cukup untuk kedudukannya sebagai tampuk pimpinan Daerahnya; d.pimpinan yang mendapat kepercayaan rakyat sebagai Kepala Daerah, yang membimbing semua instansi-instansi dan lembaga-lembaga pemerintahan yang bekerja di Daerahnya dengan kegiatan mereka dalam bidang pemerintahan dan yang menghubungkan serta membimbing aktivitas itu dengan daya kerja yang tumbuh atau dapat ditumbuhkan dalam masyarakat, yang mengayomi dan menjalankan tugas kewajibannya memelihara kepentingan, keamanan serta ketertiban umum dan memajukan kesejahteraan rakyat dengan menerima kepercayaan dari Presiden; e.pemerintahan yang stabil, berkewibawaan, mencerminkan kehendak rakyat, revolusioner dan bergotong-royong, yang mendapat kepercayaan dan amanat dari Pemerintah Pusat; f.pengawasan yang efektif dan effisien; g.berlandasakan prinsip berdaulat dalam bidang politik, berdiri diatas kaki sendiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

II. BENTUK SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH.

Dalam sistematik Undang-undang ini, bentuk susunan Pemerintah Daerah mengikuti sedapat mungkin bentuk dan susunan Pemerintah Pusat.

Di Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Kepala Negara hanya mengenal pertanggungan jawab secara pribadi yang ber-Panca Sila kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mengingat akan sistim itu maka badan executif Pemerintahan Daerah, yang dahulu menurut sistematik Undang-undang No. 1 tahun 1957 terdiri dari Dewan Pemerintah Daerah dengan Kepala Daerah sebagai Ketua dan anggota, dan yang anggota-anggotanya bersama-sama harus memberikan pertanggungan jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan garis-garis besar Manipol-Usdek harus ditinggalkan dan kekuasaan pemerintahan di Daerah diletakkan dalam tangan Kepala Daerah dan dibantu oleh Wakil Kepala Daerah serta Badan Pemerintah Harian.

Untuk menjamin kelangsungan kesatuan Negara serta adanya pimpinan nasional, maka perlu kedudukan Kepala Daerah itu diperkuat dan diberi fungsi yang penting sekali, bukan saja menjadi pusat daya upaya kegiatan Pemerintah Daerah yang bergerak dibidang urusan rumah tangga Daerah, tetapi yang juga menjadi mata rantai yang kuat dalam organisasi Pemerintah Pusat. Maka dari itu Kepala Daerah bukan saja merupakan pimpinan Pemerintah Daerah, tetapi Kepala Daerah itu juga merupakan alat Pemerintah Pusat dan sebagai orang kepercayaan Presiden.

Kalau Kepala Negara tidak dapat lagi dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka sudah sewajarnya pula bahwa Kepala Daerah itu tidak boleh lagi ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar dengan jalan demikian itu dapat diciptakan suatu kekuatan sentral di Daerah yang riil, berkewibawaan dan tidak mudah goyah atas desakan-desakan golongan-golongan masyarakat di Daerah dan tidak saja akan memberikan perlindungan atau *3514 pengayoman kepada rakyat pada umumnya, tetapi juga kompeten untuk menjalankan pemerintahan yang berguna bagi kepentingan bersama dari pada rakyat Daerah.

Dalam konstruksi ini unsur demokrasi tetap mempunyai peranan yang penting sekali, tetapi bukan demokrasi liberal namun demokrasi terpimpin yang tidak lagi didasarkan atas faham trias politika. Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjalankan tugas wewenang pemerintahan dibidang legislatif tetapi dibidang pemerintahan eksekutif Kepala Daerah itu dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan sebuah badan yang dinamakan Badan Pemerintah Harian dan ia senantiasa mengadakan musyawarah dengan anggota-anggota badan tersebut.

Ditinjau dari keseluruhanhya, Kepala Daerah - seperti telah diuraikan dimuka - bukan saja merupakan pimpinan Pemerintah Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi juga merupakan alat Pemerintah Pusat.

Dengan demikian, maka akan terdapat suatu keseimbangan yang harmonis antara Pusat dan Daerah, dimana Daerah akan lebih mendekati Pusat dan tidak dapat dilepaskan dari hubungan Pusat, sebaliknya pula Pusat tidak dapat lepas dari Daerah.

Memelihara keseimbangan yang harmonis itu adalah suatu kewajiban Kepala Daerah yang menurut Manifesto Politik Republik Indonesia adalah seorang tetua yang tidak "mendiktatori" tetapi "memimpin", "mengayomi".

Seperti dinyatakan diatas, sebagai salah satu jaminan esensialia, Kepala Daerah wajib memiliki kecakapan dan kebijaksanaan untuk menjalankan pemerintahan dalam arti kata yang luas, baik dalam bidang administrasi Negara, maupun dalam bidang ekonomi dan sosial, yang tetap sejurusan dengan garis kebijaksanaan umum Pemerintah Pusat.

Dalam pelaksanaan memimpin dan mengayomi itu, Kepala Daerah melakukan kebijaksanaan pertama-tama dengan mentaati dan menjalankan peraturan-peraturan yang berlaku sebagai kewajibannya menurut hukum, sebagai "rechtsplicht" baginya, dalam pada itu merupakan "rechtsplicht" baginya pula untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum (tata tentram) sebagai dasar untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (kerta raharja) dengan kebijaksanaan yang senantiasa harus sejurusan dengan kebijaksanaan umum, Pemerintah Pusat dan dengan demikian mempertegak kewibawaan Pemerintah. Setiap kali terasa ada divergensi ataupun pertentangan antara kedua kewajiban menurut hukum itu, kebijaksanaan, merupakan unsur pokok yang menjadi persoalan, seperti dalam hal Kepala Daerah menganggap ada kepentingan yang lebih besar atau lebih luas yang perlu diperhitungkan atau untuk memenuhi instruksi atasan, padahal dihadapi kenyataan, bahwa peraturan perundangan yang berlaku tidak atau belum dapat memberikan fungsinya sebagai dasar untuk sesuatu tindakan, lebih-lebih apabila kebijaksanaan yang menurut keyakinan Kepala Daerah harus ditempuh, ada bertentangan dengan bunyinya sesuatu peraturan atau ketentuan dan dalam hubungan itu tindakan atau keputusannya menggeser tempat garis pemisah antara administrasi dan kepidanaan.

  • 3515 Maka dapatlah difahami, bahwa dalam menilai pelaksanaan tugas, kewajiban dan kewenangan serta tanggung jawab seorang Kepala Daerah, unsur kebijaksanaan perlu diakui dan diperhatikan sebagai unsur pokok. Keharusan yang demikian itu wajib diinsyafi serta dipertimbangkan dan diperhitungkan oleh masyarakat dan oleh instansi-instansi pemerintahan, terutama instansi-instansi yang mempunyai wewenang menyidik, guna memelihara kewibawaan Pemerintah yang berarti pula memelihara kewibawaan instansi-instansi itu sendiri.

Dengan demikian, maka tanggung jawab Kepala Daerah yang amat besar dan luas itu, bisa mendapat penilaian yang wajar. Dari sebab tanggung jawab dan kekuasaan yang diletakkan dalam tangan Kepala Daerah itu adalah besar sekali, maka sudah selayaknya bilamana tanggung jawab ini perlu diimbangi pula dengan syarat-syarat tertentu bagi pengangkatan seorang Kepala Daerah.

Oleh karena Kepala Daerah merupakan seorang oknum terpenting dalam daerahnya, maka untuk jaminan-jaminan adanya kepercayaan rakyat Daerah kepada diri seorang Kepala Daerah haruslah Kepala Daerah itu diangkat oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon, sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat, yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

Perlu dijelaskan lagi disini, bahwa Badan Pemerintah Harian itu merupakan pembantu Kepala Daerah, memberi nasehat kepada Kepala Daerah, diminta atau tidak diminta. Dengan memperhatikan yang dimuat dalam penjelasan Undang-undang Dasar, bahwa meskipun kedudukan Menteri Negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah (pouvoir executief) dalam praktek, dilihat dari hubungan tata-kerja, dalam fungsi Badan Pemerintah Harian membantu Kepala Daerah itu ada segi-segi, yang dapat dipandang sama seperti hubungan dan tata-kerja para Menteri dipucuk pimpinan Pemerintah Pusat. Badan tersebut membantu sepenuhnya seluruh tugas yang merupakan tugas wewenang Daerah dibidang perumah-tanggaan Daerah dan dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan.

Dalam hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa pimpinan Pemerintahan Pusat, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri.

Menteri itu menerima tugas pekerjaan tertentu dari Presiden dan Presiden sendirilah yang bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam pada itu, bilamana Presiden menganggap perlu, maka Presiden dapat menunjuk seorang Menteri untuk atas namanya memberikan keterangan mengenai bidang tugas kewajibannya dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedudukan dan hubungan tata kerja pejabat-pejabat di Pusat dalam hal ini, adalah juga dimiliki oleh Kepala Daerah dan anggota-anggota Badan Pemerintah Haian.

Kepala Daerah dalam menjalankan kebijaksanaan pemerintahan sehari-harinya memberikan keterangan pertanggungan jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berhak menjatuhkan Kepala Daerah.

  • 3516 Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian oleh Kepala Daerah dengan tidak merusak pertalian hierachie yang ada antara Kepala Daerah dan Sekretariat Daerah serta Kepala-kepala Dinas Daerah,diberi masing-masing bidang pekerjaan tertentu dari keseluruhan pekerjaan yang termasuk urusan rumah tangga Daerah serta urusan tugas pembantuan dan mereka masing-masing bertanggung jawab hanya kepada Kepala Daerah.

Kepala Daerah dapat juga memberi tugas kepada anggota Badan Pemerintah Harian untuk memberikan keterangan-keterangan tentang tugas pekerjaan yang dibebankan kepadanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sudah barang tentu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sudah barang tentu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu tidak dapat pula menjatuhkan anggota Badan Pemerintah Harian yang bersangkutan itu.

Mengingat berat dan luas tugas pekerjaan Kepala Daerah pada umumnya, dengan mengingat pula perkembangan dan keadaan dalam Daerah serta kegiatan-kegiatan dibidang pembangunan untuk mengejar ketinggalan dalam kemajuan jaman sebagai akibat tiga abad penjajahan bangsa asing, disamping telah ada Badan Pemerintah Harian yang membantu pekerjaan Kepala Daerah, Pemerintah masih memandang perlu untuk mengangkat seorang Wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah ini tidak saja mewakili Kepala Daerah jika ia berhalangan, tetapi pejabat tersebut harus membantu Kepala Daerah dengan menjalankan bagian-bagian tugas wewenang Kepala Daerah itu yang ditentukan olehnya.

Dengan adanya Wakil Kepala Daerah itu tidak berarti, bahwa pimpinan pemerintahan Daerah lalu berada dalam dua tangan. Yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penuh adalah tetap Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah bukan saja pembantu Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai pimpinan Pemerintah Daerah Otonom, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat.

Perlu mendapat perhatian, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai ketuanya sendiri, sehingga Kepala Daerah tidak menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan bahwa Wakil Kepala Daerah bukanlah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam pada itu hubungan dan pertanggungan jawab Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada instansi atasan perlu melalui Kepala Daerah.

Dengan berlakunya Undang-undang baru ini dapatlah diakhiri keadaan yang kurang menyenangkan yang disebabkan, karena masih tetap berlangsungnya akibat-akibat yang ditimbulkan dualisme dalam sistim Undang-undang No. 1 tahun 1957. Dengan peraturan baru ini di Daerah ada satu Sekretariat yaitu yang dinamakan Sekretariat Daerah, yang tidak saja meliputi administrasi tugs wewenang Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemerintah Daerah dan alat Pemerintah Pusat tetapi juga meliputi administrasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sekretariat Daerah dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah langsung dibawah pimpinan Kepala Daerah.

III.URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH DAN URUSAN TUGAS PEMBANTU (desentralisasi hak otonomi dan medebewind).

Tentang hak otonomi Daerah kiranya tidak perlu diragu-ragukan, bahwa Pemerintah akan terus dan konsekwen menjalankan politik *3517 desentralisasi yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial yaitu meletakkan tanggung jawab teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah, disamping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital.

Melanjutkan politik yang demikian ini berarti melanjutkan segala usaha penyerahan c.q. pemberian hak-hak kepada Daerah da kepada alat Pemerintah Pusat di Daerah. Akibatnya ialah, bahwa urusan-urusan yang kini masih ada dalam kekuasaan atau termasuk kewenangan Pemerintah Pusat secara berangsur-angsur harus dialihkan menjadi tugas dan kewenangan Daerah (disentralisir). Sudah barang tentu tindakan-tindakan penyerahan tugas wewenang kepada Daerah itu harus diimbangi dengan keuangan yang diperlukan.

Undang-undang No. 6 tahun 1959 tetap akan merupakan pedoman dan dasar untuk menuju kearah realisasi politik desentralisasi.

Dengan demikian urusan-urusan yang kini termasuk tugas wewenang Pemerintah Pusat semakin lama akan semakin banyak beralih menjadi tugas wewenang Daerah.

Dalam pasal 39 ayat (1) telah ditentukan bahwa Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya.

Kelihatannya memang nampak jelas, tegas dan terang apa tugas wewenang Pemerintah Daerah itu, tidak lain yaitu mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Akan tetapi bilamana dipikirkan betul-betul secara lebih panjang dan lebih mendalam, ternyata bahwa ketentuan yang kelihatannya mudah dimengerti itu mengandung banyak sekali kesukaran dan kesulitan.

Memang ketentuan ini tidak boleh dibaca lepas dari hubungan-hubungan dengan ketentuan-ketentuan lain yang bersama-sama merupakan suatu sistim yang dapat dikatakan baik sekali.

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul ialah :

a.apakah sebetulnya yang dimaksud dengan urusan rumah tangga Daerah itu, b.apakah isi urusan rumah tangga Daerah, c.apakah Pemerintah Daerah bebas dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dan d.bilamna atidak bebas, dimana letak batas-batasnya.

Kesulitan dan kesukaran itu timbul oleh karena :

1.Daerah-daerah otonom itu bukanlah merupakan badan-badan kesatuan pemerintahan yang kita warisi dari zaman yang lampau, tetapi adalah badan-badan pemerintahan yang diciptakan dengan Undang-undang Nasional sesudah berdirinya Negara Republik Indonesia dalam tahun 1945,

2.adanya Daerah-daerah yang bertingkatan kedudukannya sehingga Daerah yang mempunyai tingkatan lebih rendah, wilayahnya merupakan bagian pula dari pada Daerah yang lebih atas tingkatannya,

3.wilayah Daerah itu merupakan juga bagian wilayah Negara.

Walaupun tidak memberikan ketegasan yang pasti tentang arti urusan rumah tangga namun sebagai pangkal bertolak perlu diadakan *3518 ketentuan yang termaktub dalam pasal 39 ayat (1) itu, oleh karena dipelosok-pelosok wilayah negara yang demikian luasnya itu memang terdapat banyak dan bermacam jenis urusan-urusan yang mungkin terluput dari perhatian Pemerintah Pusat dan karena itu mendapat perhatian dan pengurusan Daerah yang bersangkutan; pangkal bertolak yang mengandung prinsip, bahwa hal-hal yang dapat diselesaikan setempat dan tidak mempengaruhi keadaan umum atau kepentingan Nasional, sebaiknyalah diurus dan diatur oleh Pemerintah setempat.

Tetapi oleh karena Daerah yang kecil itu, wilayahnya merupakan bagian wilayah dari pada Daerah yang lebih besar dan pula merupakan juga bagian wilayah Negara, dan jika diperhatikan pula, bahwa menurut Undang-undang ini ada tiga jenis Daerah yang bertingkatan, maka diwilayah Daerah yang terkecil itu sama-sama bekerja empat jenis pemerintahan dalam bidang yang sama, yaitu sama-sama mengatur dan mengurus kepentingan rakyat dalam wilayah Daerah yang terkecil itu.

Berhubung dengan itu maka untuk menghindarkan kesimpang-siuran wewenang antara Daerah satu dengan Daerah lain yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatannya, begitu pula antara Daerah dan Negara, perlu diadakan ketentuan-ketentuan lain untuk memelihara dan menyalurkan hubungan yang baik dan harmonis antara Daerah-daerah satu dengan yang lainnya dan antara Daerah dan Negara, yaitu :

a.Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum; b.Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya, c.Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah bawahan dalam wilayahnya; d.Ketentuan-ketentuan dalam sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak berlaku, bilamana hal-hal yang diatur dalam ketentuan-ketentuan dimaksud, kemudian diatur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi tingaktannya;

(a sampai dengan d lihat pasal 50); e.dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh Pemerintah atasan (pasal 78), dan f.keputusan-kpeutusan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Pemerintah atasan (pasal 80).

Walaupun demikian masih pula belumlah diperoleh suatu gambaran yang jelas apakah yang dimaksud dengan urusan rumah tangga Daerah itu dan belumlah diketahui apakah isi rumah tangga Daerah.

Masalah ini memang dalam praktek telah menimbulkan pula banyak kesukaran-kesukaran dan persoalan-persoalan juridis yang tidak mudah dapat dicari cara penyelesaiannya yang memuaskan, khusus di Negara yang masih muda usia seperti Republik Indonesia.

Untuk menggambarkan betapa sukarnya menentukan isi dan batas- *3519 batas urusan rumah tangga Daerah, ada baiknya bilamana dalam penjelasan Undang-undang yang sekarang ini dimuat kembali apa yang dijelaskan dalam "Penjelasan Umum" Undang- undang No. I tahun 1957 dahulu mengenai masalah yang bersangkutan ini dan yang berbunyi sebagai berikut:

"BAGIAN UMUM".

Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya sosl-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan "otonomi" dan "medebewind" diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sesuai dengan maksud pasal 131 Undang-undang, Dasar Sementara yang berarti juga akan merobah prinsip cara-cara pemerintahan bentuk lama.

Pada umumnya soal-soal tersebut diatas tidak dapat dipisahkan dari soal-soal pokok, yaitu bagaimanakah bentuk Negara yang dihadapi dan bagaimanakah keadaan sesungguhnya dalam pelbagai masyarakat dalam Negara itu. Kita telah menciptakan yang meliputi kepentingan seluruh wilayah Negara Kesatuan itu dan seluruh bangsa yang merupakan bangsa kesatuan itu.

Pemusatan yang dimaksud mempunyai dua segi:

1.segi tugas bagi Negara Kesatuan itu terhadap kepentingan-kepentingan yang dipusatkan itu,

2.segi pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan-kepentingan rakyat setempat, yang walaupun sifatnya hanya setempat, akan tetapi karena penjaringannya dengan lain-lain kepentingan umum, ditinjau dari kesatuan Negara dan Bangsa.

Mengenai keadaan yang sesungguhnya dalam masyarakat, maka soal itu dapat mengenai beberapa segi pula, umpamanya : susunan masyarakat, ikatan-ikatan kemasyarakatan seperti ikatan kedaerahan, ikatan adat-istiadat, ikatan kebudayaan umumnya, sifat dan tingkat perekonomian dalam masyarakat itu, tingkat kecerdasannya dan yang tidak boleh pula dilupakan akhlak umum, yang membedakan satu masyarakat dari masyarakat yang lain itu.

Juga lain-lain faktor dapat mempengaruhi hidupnya kemsyarakatan itu, umpamanya: tempat geografinya, corak buminya yang menentukan kemungkinan-kemungkinan saluran perhubungannya dan dalam perjalanan waktu pelbagai perkembangan dalam lapangan tekhnik. Ad. 1.

Dari gambaran pikiran yang tersimpul pada keterangan umum itu, dapatlah kita pahamkan, bahwa otonomi yang dapat diserahkan kepada sesuatu lingkungan masyarakat yang tertentu itu terbatas kepada pengertian urusan Pusatkah atau kepentingan Pusatkah soal yang dihadapi dan jika jawabannya tidak menurut kebijaksanaan Pusat itu, maka soal itu adalah urusan Daerah semata-mata.

Tentu dalam Negara Hukum seperti sifat Negara kita ini, yaitu dalam arti hukum tertulis, jika mengenai pembagian kekuasaan itu, maka kebijaksanaan yang dimaksud itu dalam pokok-pokoknya perlu disalurkan dalam peraturan-peraturan perundangan, sehingga yang tidak dimaksudkan dalam peraturan-peraturan perundangan, tersebut itulah yang menjadi lapangan kebijaksanaan benar.

Dalam istilah hukum, yang dipakai dalam Undang-undang ini, urusan *3520 dan kepentingan Pusat yang tidak diatur itu dengan secara tertulis, dinamakan kepentingan umum.

Jika kita telah mengerti, apa yang dimaksud dengan urusan Pusat, yaitu segala apa yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada dirinya dan apa yang disebut kepentingan umum, sebagai tadi tersebut diatas, maka nyatalah bahwa yang selebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi kesatuan masyarakat dalam Negara itu.

Teranglah kepada kita, bahwa pembagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan pembagian yang isinya dapat diperincikan satu persatu.

Pada azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan secara tegas tentang urusan "rumah tangga daerah" itu, hal mana terutama disebabkan karena faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan masyarakat Daerah itu sendiri yang merupakan suatu hasil dari pertumbuhan pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan yang dalam perkembangannya akan mencari jalan keluar sendiri.

Kehidupan kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan terbentanglah dimukanya lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas, disebabkan bertambahnya dan berkembangnya perhubungan manusia yang satu dengan yang lain, dan demikian pula kesatuan-kesatuan masyarakat yang satu dengan yang lain.

Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang riil, yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlah kiranya diwujudkan keinginan umum dalam masyarakat itu.

Sistim ketatanegaraan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut ialah sistim yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan masyarakat yang sewajarnya itu. Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan rumah tangga Daerah, maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk tugas Pemerintah Pusat, tidak mungkin dapat diadakan, karena perincian yang demikian itu tidak akan sesuai dengan daya perkembangan kehidupan masyarakat, baik di Daerah maupun di Pusat. Negara.

Urusan yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena perkembangan keadaan dapat dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus oleh Daerah itu, disebabkan urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang luar dari pada Daerah itu sendiri.

Dalam keadaan yang demikian itu urusan tersebut dapat beralih menjadi urusan dari Daerah yang lebih atas tingkatannya atau menjadi urusan Pemerintah Pusat, apabila hal tersebut dianggap mengenai kepentingan Nasional.

Demikian pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah Tingkat 1, kemudian karena perkembangan keadaan dirasakan sudah sepatutanya urusan itu dilakukan oleh Daerah, maka urusan tersebut dapat diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan Daerah atau urusan Daerah bawahan.

Jadi pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah sebaik-baiknya kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara, *3521 sehingga dicapailah hasil yang sebesar-besarnya.

Dalam memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita mendasarkan diri pada keadaan yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata, sehingga dapatlah tercapai harmoni Daerah itu sendiri maupun dengan Pusat Negara ...... "

Demikianlah penjelasan mengenai arti urusan, krumah tangga Daerah" yang didasarkan atas prinsip hak-hak otonomi yang riil itu.

Tetapi oleh karena di Indonesia ini Daerah-daerah otonom itu baru ada kemudian dari pada Negara, maka walaupun Daerah-daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dapat dikatakan bahwa seluruh tugas kewenangan yang ada sudah dalam tangan Pemerintah Pusat, sehingga Daerah-daerah yang dibentuk kemudian itu dalam teori akan tidak mempunyai bidang lagi yang berarti untuk menjalankan tugas kewenangannya.

Berhubung dengan itu, maka hak-hak otonomi yang diberikan kepada Daerah itu harus diimbangi dengan usaha-usaha pemisahan tugas wewenang yang dapat diatur dan diurus oleh Daerah dari tangan Pemerintah Pusat untuk diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Teranglah kiranya, bahwa otonomi Daerah tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi. Dalam Undang-undang ini masalah desentralisasi telah diatur dalam pasal 40, yaitu mengenai pemisahan dan penyerahan tugas wewenang Pusat kepada Daerah dan dalam pasal 41 dari Daerah yang lebih tinggi kedudukannya kepada Daerah yang dibawahnya.

Kepada Daerah bukan saja diberi hak-hak otonomi untuk mengurus dan mengatur rumah-tangganya sendiri, tetapi kepada Daerah juga diberi tugas kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan perundangan bukan saja yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, tetapi pula yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya (diberi hak medebewind.).

Hal yang demikian ini diatur dalam pasal 42.

Untuk memberi tuntutan kepada Daerah-daerah yang baru dibentuk, agar Daerah-daerah itu sudah dapat mengetahui urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga Daerahnya, maka dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang ini diadakan ketentuan yang menyatakan, bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), dalam Undang-undang pembentukannya sebagai pangkal harus ditetapkan urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga Daerah, dengan disertai alat perlengkapan, belanja dan pendapatan Daerah yang dibentuk itu.

Disamping itu telah pula diadakan ketentuan yang menyatakan, bahwa tiap-tiap waktu dengan Peraturan Pemerintah atau dengan Peraturan Daerah dari Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dan dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, urusan rumah tangga Daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan itu dapat ditambah dengan urusan-urusan lain (pasal 39 ayat 3). Dalam hubungan ini maka untuk melancarkan dan menyempurnakan penyerahan tugas-tugas baru kepada Daerah dapat dibentuk suatu Dewan Otonom Daerah dan kepada Dewan itu dapat pula diserahi tugas untuk mengatur masalah perimbangan *3522 keuangan antara Pusat dan Daerah.

Dalam garis besarnya urusan rumah tangga Daerah yang diletakkan diatas landasan sistim otonomi riil itu dan aktivita Daerah mengenai tugas pembantuan dalam menjalankan peraturan-peraturan perundangan dari Pemerintah yang lebih atas, dapat dijelaskan sebagai berikut :

a.Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya, b.status Daerah, yaitu Propinsi atau Kotaraya, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan atau Kotapraja, begitu pula kedudukan Daerah-daerah tersebut sebagai kesatuan pemerintahan ditengah-tengah masyarakat Daerahnya, menentukan corak dan isi rumah tangga Daerahnya, luas dan batas-batas rumah tangga Daerah itu selalu berobah sesuai dengan perkembangan masyarakat Daerah yang bersangkutan, c.bentuk dan corak urusan rumah tangga Daerah dipengaruhi oleh berbagai anasir yang ada dalam Daerah yang bersangkutan, d.sukar, bahkan tidak mungkin untuk menyusun suatu daftar perincian secara limitatif tentang pelbagai jenis urusan-urusan yang termasuk rumah tangga Daerah yang seragam berlaku bagi semua Daerah, malahan perincian yang demikian itu akan tidak sesuai dengan dinamik kehidupan masyarakat Daerah yang bersangkutan. e.dalam kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya Daerah tidak dapat menjalankan kekuasaan diluar batas-batas wilayah Daerahnya, f.begitu pula tidak diperbolehkan mencampuri urusan rumah tangga Daerah lain, yang secara positif anumeratif telah ditentukan dalam :

1.Undang-undang pembentukan sebagai tugas kewenangan pangkai dan

2.Urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah dari Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. g.Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak diperbolehkan memasuki hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah yang ada dibawahnya. h.Akhirnya bilamana keputusan-keputusan Daerah bertentangan-dengan kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, maka keputusan Daerah yang bersangkutan itu dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Pengusaha yang berwenang.

Sudah menjadi pengertian umum, bahwa pokok-pokok dasar dan tujuan setiap Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri ialah dapat membuktikan hak hidupnya, menjalankan pemerintahan Daerah dengan keadaan keuangan yang sehat, yang mengusahakan sedapat-dapatnya menutup anggaran belanja routine dengan penerimaan sendiri dan untuk itu tidak menggantungkan diri kepada ganjaran, subsidi atau sumbangan, serta selanjutnya yang merasa wajib dan karena itu mengerahkan seluruh dana dan kekuatan agar berswadaya dan berswasembada dalam segala bidang, sesuai dengan Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. yang berjudul "Berdikari".

Seterusnya, mengenai keuangan dan perusahaan Daerah diberikan penjelasan umum lebih lanjut dalam bagian yang berikut ini.

IV. KEUANGAN DAERAH. *3523 Daerah seperti badan hukum lainnya untuk dapat hidup serta menyelenggarakan tugasnya memerlukan uang.

Sudah barang tentu untuk dapat melayani kepentingan umum dalam wilayahnya dengan sebaik-baiknya, Daerah harus mengetahui dengan jelas dan tegas dari mana Daerah itu dapat memperoleh keuangannya dan bagaimana harus berdaya-upaya menggali sumber-sumber keuangan yang baru, bilamana hasil pendapatan dari sumber-sumber keuangan yang telah ada tidak cukup lagi untuk menutup belanja yang diperlukannya.

Sumber-sumber keuangan Daerah dalam garis-garis besarnya dapat dibagi dalam golongan:

a.hasil perusahaan Daerah dan sebagian hasil perusahaan Negara; b.pajak Daerah termasuk pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah dan retribusi Daerah; c.penerimaan dari sebagian pendapatan pajak Negara, bea masuk, bea keluar dan cukai serta penerimaan dari pada Pemerintah Pusat yang berupa ganjaran, subsidi atau sumbangan; d.Penerimaan Daerah sendiri, antara lain yang penting ialah pajak, retribusi dan perusahaan Daerah. penduduk Daerah dan bersifat menaikkan pendapatan Nasional; e.lain-lain hasil usaha Daerah yang sesuai dengan kepribadian Nasional.

Yang dimaksud dengan lain-lain hasil usaha Daerah ialah hasil pencaharian dari Daerah, yang diperolehnya misalnya dari perjanjian jual-beli, sewa-menyewa atau pacht hak dan milik Daerah. upah karena telah memberikan jasa-jasa baik kepada dan atas permintaan pihak ketiga, upah pemeriksaan sesuatu yang harus dilakukannya serta izin-izin yang diberikan olehnya.

Untuk mengurus rumah tangga Daerahnya dengan sebaik-baiknya, maka Daerah untuk suatu masa tertentu harus mempunyai rencana yang teratur dan tersusun dalam suatu anggaran keuangan, dalam mana harus ada keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan Daerah.

Dari angka-angka dalam anggaran keuangan Daerah itu, rakyat Daerah dapat mentafsirkan sampai dimana kemampuan dan kesanggupan Daerahnya untuk mencapai kemajuan yang diidam-idamkan.

Dalam melaksanakan anggaran keuangan Daerah harus dijaga betul-betul agar jangan sampai ada pengeluaran yang melewati batas-batas yang telah ditentukan atau pemborosan yang merugikan kepentingan umum (rechtmating dan doelmatigheid). Pegawai-pegawai Daerah yang bertanggung-jawab atas keuangan Daerah dalam menjalankan pekerjaannya wajib memeriksa dengan teliti segala tagihan-tagihan yang diajukan kepada Daerah, agar jangan terjadi pembayaran-pembayaran yang tidak sah (onrechtmatig), begitu pula harus dijaga agar pendapatan Daerah yang seharusnya dipungut, betul-betul ditagih dan masuk dalam kas Daerah.

Berhubung dengan itu maka dipandang perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan mengenai dan cara-cara menyusun.

  • 3524 a.anggaran belanja dan anggaran pendapatan Daerah;

b.perhitungan atas anggaran belanja dan anggaran pendapatan Daerah;

a dan b lihat pasal 77.

Demikian pula ketentuan-ketentuan mengenai c.pengaturan tata-usaha pengolahan keuangan Daerah; d.pertanggungan jawab dari pegawai-pegawai yang menjalankan pekerjaan yang bersangkutan dengan penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang, surat-surat bernilai uang dan barang-barang untuk kepentingan Daerah dan e.penggantian kerugian oleh pegawai-pegawai yang telah menimkerugian pada Daerah;

c, d dan e lihat pasal 75.

Sampai saat mulai berlakunya Undang-undang ini, berdasarkan Undang-undang No.1 tahun 1957 belum diadakan peraturan-peraturan baru mengenai hal-hal dimaksud a sampai dengan e diatas.

Oleh karena masalah keuangan Daerah ini adalah penting sekali bagi Daerah, maka Pemerintah perlu mengadakan peraturan-peraturan mengenai hal-hal dimaksud tadi dalam waktu yang singkat. Dalam pada itu, untuk mencapai keseragaman yang sangat memudahkan pengawasan, maka cara menyusun anggaran keuangan berdasarkan Staatsblad 1936 No. 432, yang disesuaikan dengan instruksi tahunan Menteri Dalam Negeri, dapat diteruskan untuk sementara waktu menurut ketentuan dalam pasak 89 ayat (2) sampai pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah dimaksud dalam pasal 77.

Dalam menyusun anggaran keuangan Daerah, sepanjang mengenai pendapatan Daerah, harus diperhatikan pula peraturan perundangan tentang perimbangan keuangan antara Negara dan Daerah yang kini berlaku yaitu :

a.Undang-undang No. 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antara Negara dan Daerah (yang menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 harus seegera diganti). b.Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1957 tentang penyerahan pajak Negara kepada Daerah, c.Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1957 tentang pemberian ganjaran, subsidi dan sumbangan kepada Daerah, d.Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Persenasi dari beberapa penerimaan Negara untuk Daerah, yang tiap tahun dikeluarkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian maka dalam anggaran keuangan Daerah harus dicantumkan:

a.Penerimaan ganjaran, subsidi dan sumbangan Negara. b.Penerimaan dari pajak-pajak Negara yang sudah dinyatakan sebagai pajak Daerah, c.Penerimaan sebagian pajak Negara, bea dan cukai, d.Penerimaan Daerah sendiri antara lain yang penting ialah pajak, retribusi dan perusahaan Daerah.

Selanjutnya perlu pula dicantumkan penerimaan melalui pungutan-pungutan khusus yang dibenarkan Pemerintah. *3525 Perusahaan Daerah pada dasarnya harus memberi bantuan didalam pembiayaan umum dari Daerah. Karena itu pengelolaan perusahaan Daerah perlu didasarkan atas azas-azas ekonomi perusahaan dan dalam Undang-undang dimaksud pasal 71 perlu ditetapkan pokok-pokok peraturan tentang perusahaan Daerah yang memberi kemungkinan penggalian dan penyusunan segala dana dan yang ada di Daerah.

Untuk dapat merealisir cita-cita yang akan membawa Daerah kearah kemajuan yang cepat, Pemerintah Daerah tidak saja harus menyusun anggaran belanja dan pendapatan Daerah secara terperinci dalam anggaran keuangan Daerah yang seimbang yang menurut pasal 76 hanya berlaku untuk satu tahun saja, akan tetapi anggaran keuangan Daerah dimaksud harus pula dilaksanakan secara teliti dan sesempurna mungkin menurut peraturan-peraturan perundangan serta instruksi-instruksi mengenai keuangan Daerah, sedangkan administrasi keuangan Daerah harus pula dilakukan sedemikian dan harus ada bukti pertanggungan jawab dengan mengadakan perhitungan pengeluaran dan penerimaan Daerah serta pengawasan secara teratur, sehingga tidak mudah ada uang atau milik Daerah menjadi hilang atau tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Pemerintah Daerah harus mengusahakan agar sedapat-dapatnya anggaran belanja barang routine ditutup dengan penerimaan Daerah sendiri. Perhatian Pemerintah Daerah perlu dicurahkan pada pengintensipan pemungutan penerimaan sendiri dan dimana perlu tarip-tarip lebih disesuaikan.

Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan Daerah yang dengan peraturan perundangan Pusat tidak diletakkan dalam tangan Penguasa lain.

Pengelolaan keuangan Daerah yang tepat dan sehat serta seksama sebagai dimaksud diatas, akan memberi gambaran dan pemandangan setiap waktu tentang cara bagaimana Daerah melaksanakan kewajiban dan merupakan syarat utama dalam melaksanakan kebijaksanaan Pemerintah Daerah, lagi pula akan menjadi dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan Daerah.

Dalam hubungan ini untuk menjaga jangan sampai batas-batas yang sudah ditetapkan dalam anggaran dilampaui, maka harus ditetapkan siapa-siapa yang akan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang mengikat Daerah, yaitu perbuatan yang menimbulkan tagihan-tagihan dan berakibat pengeluaran uang dalam garis-garis yang sudah ditentukan menurut anggaran belanja, misalnya pengangkatan pegawai Daerah, memberi pensiun, mengadakan perjanjian, diantaranya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pacht, menyelenggarakan sesuatu pekerjaan umum dan sebagainya.

Wajib diadakan suatu pengawasan keuangan Daerah yang effisien pula.

Yang perlu diatur dengan sebaik-baiknya ialah tugas kewajiban pegawai yang menjalankan pekerjaan kas Daerah Dalam hal ini bilamana Daerah tidak mempunyai pegawai Daerah sendiri, yang dapat menjalankan pekerjaan itu, maka menurut pasal 75, pekerjaan itu atas permintaan Daerah. melalui Menteri Dalam Negeri, dapat ditugaskan kepada: *3526 a.pegawai kas Negara oleh Menteri Urusan Bank Sentral, b.pegawai kas Daerah tingkat I oleh Kepala Daerah tingkat I. c.sesuatu bank yang ditunjuk oleh Menteri Urusan Bank Sentral dan Menteri Dalam Negeri bersama-sama.

Untuk memudahkan hal-hal itu, Pemerintah secepat-cepatnya mengadakan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.

Dalam pada itu dan untuk selanjutnya, disamping instruksi tahunan tentang penyusunan anggaran keuangan Daerah, Pemerintah Daerah harus pula memperhatikan instruksi-instruksi lain mengenai keuangan Daerah, yang telah ada akan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Ketentuan-ketentuan dalam peraturan lama, yang termuat dalam Staatsblad:

a.tahun 1924 No. 78, b.tahun 1924 No. 79, c.tahun 1926 No. 365, yang sejak beberap aklai telah diubah dan ditambah mengenai masalah pengelolaan dan pertanggungan jawab keuangan Daerah, khususnya yang tercantum didalam berturut-turut Bab VI, Bab VII dan Bab IX peraturan tersebut untuk sementara waktu masih dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi:

1. Propinsi mengenai ad a,

2.Kabupaten mengenai ad b dan 3.Kotapraja, baik Kotaraya, Kotamadya dan Kotapraja lainnya mengenai ad c.

Pelaksanaan dari pada ketentuan-ketentuan dimaksud lebih lanjut, diatur dalam Staatsblad 1936 No. 432, yaitu tentang:

a.penyusunan anggaran keuangan Daerah, b.penyusunan perhitungan anggaran keuangan Daerah dan c.pengelolaan dan tata-usaha keuangan Daerah.

Disamping itu sepanjang mengenai bidang penyelenggaraan tata-usaha keuangan Daerah, berlaku pula ketentuan-ketentuan dimaksud dalam surat keputusan Menteri Keuangan tertanggal 28 Pebruari 1953 No. 47545/PKN.

Pemegangan kas Daerah harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam keputusan Menteri Keuangan tersebut dan dilakukan oleh Kepala-kepala Kas Negara/Kas Negara Pembantu atau Pembantu Kas-kas Negara didalam wilayah masing-masing Daerah yang bersangkutan.

Untuk melakukan pekerjaan keuangan Daerah yang berupa menunaikan S.P.M.U yang diterbitkan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan dan yang memberatkan anggaran keuangan Daerah serta hal menerima, menyimpan dan sebagainya dari pada pendapatan Daerah, dilakukan satu dan lain dengan mengingat ketentuan-ketentuan termuat dalam instruksi tata-usaha dan organisasi kantor-kantor Kas Negara dan petunjuk-petunjuk yang berlaku.

Sebagaimana dijelaskan tadi, administrasi keuangan Daerah akan menjadi lebih sempurna lagi, bilamana di Daerah-daerah yang bersangkutan sendiri diadakan suatu aparatur pengawasan keuangan Daerah, yang menjalankan tugas memeriksa sewaktu-waktu situasi *3527 keuangan Daerah dalam keseluruhannya dan yang bekerja effisien.

V. PENGAWASAN

Perubahan-perubahan yang telah diadakan dalam struktur pemerintahan Daerah dan yang dimasukkan dalam sistimatik Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang baru ini,ialah ditujukan untuk menjamin dapat diselenggarakannya satu Pimpinan Nasional dari Pusat sampai di Daerah-daerah yang terbawah serta keutuhan kesatuan Republik Indonesia dalam rangka Undang-undang Dasar Proklamasi 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara dimaksud dalam Manipol-USDEK.

Dalam pada itu seperti telah dinyatakan diatas sifat-sifat dan syarat-syarat dari pada pemerintahan Daerah harus:

a.stabil dan berkewibawaan. b.mencerminkan kehendak rakyat Daerah. c.revolusioner, d.gotong-royong, e.berdiri diatas kaki sendiri (berswadaya untuk mencapai swasembada) dan f.berkepribadian Nasional.

Untuk mencapai maksud dan tujun itu, maka layak dan pada tempatnya, apabila Pemerintah Pusat mengadakan pengawasan atas Daerah-daerah. Seharusnya maslah pengawasan itu, ditinjau dari segi ketata-negaraan dalam rangka Negara Kesatuan, merupakan segi hubungan suplementer saja, sebab makin baik jalannya Pemerintahan Daerah, makin sederhanalah stelsel pengawasan yang diperlukan dan sebaliknya.

Terutama untuk menjaga kewibawaan Pemerintah Daerah serta untuk menghindarkan terjadinya atau memeperkecil kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan (detournement de pouvoir) kecerobohan atau kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan masyarakat Daerah dan Negara, maka disamping mengadakan pengawasan secara umum atas Daerah-daerah, perlu diselenggarakan pengawasan preventif dalam wujud mengesahkan Peraturan Daerah atau keputusan Daerah, serta pengawasan repressif terhadap tindakan-tindakan yang diselenggarakan oleh Daerah atau terhadap keputusan Daerah yang sudah mempunyai kekuatan hukum, juga bilamana keputusan Daerah itu secara formil tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu dari Penguasa yang berwenang mengesahkannya.

Menurut sistimatik Undang-undang baru ini terdapat tiga macam pengawasan, yaitu

a.pengawasan umum, b.pengawasan preventif dan c.pengawasan repressif.

PENGAWASAN UMUM.

Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam prakteknya dilaksanakan selama masa yang lampau, pada umumnya jauh dari pada keadaan yang ideal, sedangkan aparatur pengawasan yang diperlukan belumlah dapat disusun dengan sempurna dan karena itu tidak dapat menyalurkan tugasnya demikian rupa sehingga dapat berjalan effektif dan lancar. *3528 Kebijaksanaan politik untuk memberikan otonomi seluas-luasnya dan riil kepada Daerah perlu diimbangi dengan sistim pengawasan yang berdaya guna, betapapun hal ini nampaknya tidak dapat dihubungkan dengan hak-hak otonomi Daerah itu.

Pengawasan umum ini diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dengan aparaturnya sendiri, yaitu oleh:

a.Menteri Dalam Negeri; b.Penguasa yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri dan c.Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat.

Untuk menjalankan pengawasan seperti yang dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) sub c, pada Departemen Dalam Negeri diadakan satuan-satuan organisasi dan pada Kepala-kepala Daerah dipekerjakan pegawai-pegawai Negeri khusus untuk melaksanakan tugas tersebut yang melakukan pekerjaannya langsung dibawah pimpinan Kepala Daerah yang bersangkutan.

Disamping mengadakan pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan Daerah, khusus mengenai pengawasan dibidang keuangan Negara dan Daerah, pada Departemen Dalam Negeri diadakan Pula satuan organisasi lain, yaitu Inspeksi Keuangan, yang kecuali menjalankan pemeriksaan dan Inspeksi atas Keuangan Departemen Dalam Negeri sendiri, jika mempunyai tugas untuk memeriksa keuangan Daerah, baik keuangan Pusat yang dikuasai oleh atau dikuasakan kepada Daerah maupun keuangan Pemerintah Daerah sendiri yang terletak dibidang otonomi Daerah. Inspeksi Keuangan ini berada langsung dibawah pimpinan Menteri Dalam Negeri dan mempunyai cabangnya pada tiap Daerah yang walaupun administratif tidak lepas dari susunan organisasi Sekretariat Daerah tetapi taktis operasionil bekerja langsung dibawah pimpinan dan perintah Kepala Daerah yang bersangkutan Pula.

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa Menteri Dalam Negeri atau pegawai Pemerintah Pusat yang bertindak atas namanya, untuk kepentingan umum dapat mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu mengenai pekerjaan termasuk dalam bidang otonomi Daerah maupun bidang urusan tugas pembantuan dengan kewajiban kepada Daerah-daerah yang bersangkutan untuk memberikan segala keterangan-keterangan yang diperlukan (lihat pasal 86).

PENGAWASAN PREVENTIF.

Dasar-dasar pokok pengawasan preventif ini diatur dalam pasal-pasal 78 dan 79, BAB VII, Bagian I yang mengandung prinsip, bahwa sesuatu peraturan atau keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu, tidak berlaku sebelum disahkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri.

Sebagian dari pada hak pengawasan preventif ini menurut pasal 78 telah diserahkan kepada Kepala Daerah terhadap Daerah-daerah tingkat bawahan yang ada dalam wilayah Daerahnya.

Menurut sistimatik ini, maka sesuatu peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan yang mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh :

a.Menteri Dalam Negeri bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat II, *3529 b.Kepala Daerah tingkat I bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat II, c.Kepala Daerah tingkat II bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat III.

Peraturan atau keputusan apa yang memerlukan pengesahan terlebih dahulu itu, hal ini akan diatur dengan Undang-undang lain atau dengan Peraturan Pemerintah.

Namun demikian, apabila ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang baru-baru ini diteliti betul-betul, maka ternyatalah bahwa dalam Undang-undang baru ini sudah banyak ditentukan peraturan atau putusan yang mana, yang memerlukan pengesahan itu.

Peraturan atau keputusan yang memerlukan pengesahan terlebih dahulu sebelumnya berlaku ialah antara lain :

a.pasal 27 ayat (3) mengenai penetapan uang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan lain-lain. b.pasal 31 ayat (2) mengenai tata-tertib rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c.pasal 38 ayat (2) mengenai honorarium dan lain-lain dari Badan Pemerintah Harian, d.pasal 41 mengenai penambahan urusan, rumah-tangga sesuatu Daerah oleh Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, c.pasal 43 ayat (2) mengenai kerja sama antar Daerah, f.pasal 51 ayat (4) mengenai peraturan pidana, g.pasal 65 ayat (2) mengenai peraturan tentang, hal dan kedudukannya pegawai Daerah, h.pasal 70 ayat (3) mengenai pajak dan retribusi Daerah, i.pasal 72 ayat (1) mengenai pinjaman Daerah, j.pasal 73 mengenai usaha-usaha Daerah yang membebani rakyat Daerah.

Oleh karena pengawasan preventif ini erat hubungannya dengan pengawasan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yang di Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah sebagai alat Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kepala Daerah, maka peraturan-peraturan Daerah, begitu pula keputusan-keputusan lain yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga ditanda-tangani oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pengundangan peraturan-peraturan Daerah dari semua tingkatan dalam Daerah tingkat I di Lembaran Daerah tingkat I yang bersangkutan itu dan yang merupakan syarat tunggal sebagai dasar hukum untuk mengikat, begitu pula keputusan-keputusan lain dari pada Daerah yang perlu diundangkan atau diumumkan dalam Lembaran Daerah tingkat I, dilakukan oleh Sekretaris Daerah. (lihat ayat (2) dan (3) pasal 54).

Perlu dikemukakan disini, bahwa tidak semua keputusan-keputusan Daerah itu harus diundangkan dalam Lembaran Daerah tingkat I; yang harus diundangkan atau diumumkan dalam Lembaran Daerah tingkat I itu ialah keputusan-keputusan dan khususnya peraturan-peraturan Daerah yang tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh penguasa yang berwenang, oleh karena keputusan-keputusan yang demikian ini pada umumnya antara lain;

a.menetapkan norma-norma yang mengikat rakyat Daerah, norma-norma yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan lain-lain *3530 ditujukan langsung kepada rakyat Daerah; b.mengadakan sangsi atau ancaman hukuman berupa denda atau kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah; c.memberi beban kepada rakyat Daerah untuk memberikan sebagaian dari harta benda milik rakyat dalam bentuk uang (pajak atau retribusi Daerah); d.menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum, karena menyangkut kepentingan rakyat Daerah, misalnya: mengadakan pinjaman, mengadakan perusahaan Daerah, menetapkan anggaran keuangan Daerah atau merobah anggaran keuangan Daerah, menyerahkan Daerah atau merobah anggaran keuangan Daerah, menyerahkan sebagian urusan rumah-tangganya kepada Daerah-daerah yang ada dalam wilayahnya, mengatur gaji pegawai, pengangkatan atau pemberhentian pegawai Daerah, mengatur honorarium, uang sidang dan lain-lain untuk anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Pemerintah Harian dan lain-lain.

Cara-cara menjalankan pengawasan preventif itu dalam,garis-garis besarnya menurut pasal 78 adalah sebagai berikut :

a.pengesahan harus sudah diberikan dalam tempo tiga bulan terhitung mulai hari keputusan yang bersangkutan diterima oleh Penguasa yang berwenang menjalankan pengesahan. Penguasa yang berwenang menjalankan pengesahan. Penguasa tersebut segera, sesudah menerima keputusan Daerah, memberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan hari dan tanggal keputusan telah diterima olehnya; b.apabila jangka waktu mengesahkan keputusan itu masih kurang cukup, maka Penguasa dapat menunda pengesahannya dengan memberitahukan penundaan itu kepada Daerah yang bersangkutan; c.apabila dalam jangka waktu dimaksud, Penguasa tersebut tidak mengambil ketetapan, maka-keputusan yang bersangkutan dapat dijalankan oleh Daerah yang berkepentingan; d.dalam hal terjadi penolakan pengesahan, maka Daerah yang bersangkutan dapat minta putusan banding kepada instansi yang lebih tinggi dari pada instansi yang menjalankan pengesahan.

PENGAWASAN REPRESSIF.

Pengawasan repressif ialah mempertangguhkan dan/atau membatalkan peraturan atau keputusan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam sistimatik otonomi. Pemerintah Daerah berhak, apabila tidak secara positif dan tegas ditentukan dalam peraturan perundangan, bahwa keputusan Daerah terlebih dahulu harus disahkan oleh instansi yang berwenang, untuk mengambil keputusan-keputusan tentang segala hal mengenai urusan rumah tangga Daerahnya, tanpa meminta penesahan terlebih dahulu dari instansi atasannya.

Namun demikian, keputusan-keputusan Pemerintah Daerah ini, baik Peraturan Daerah maupun keputusan lain, bila bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan-peraturan perundangan lain yang lebih tinggi tingkatannya, dapat dipertangguhkan dan/atau dibatalkan.

  • 3531 Pertangguhan atau pembatalan keputusan Daerah itu dilakukan oleh :

1.Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat I dan

2.Kepala Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.

Apabila Kepala Daerah yang setingkat lebih atas dimaksud tadi, tidak menjalankan wewenangnya, misalnya Kepala Daerah Tingkat I tidak menjalankan wewenangnya untuk mempertangguhkan atau membatalkan keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tingkat II, maka Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya mempertangguhkan atau membatalkan keputusan Pemerintah Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan-peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya itu.

Sistim pengawasan secara bertingkat ini, yang dapat dikoreksi dengan pengawasan langsung oleh Pemerintah Pusat sendiri, jika pengawasan yang diletakkan dalam tangan Kepala Daerah tingkat lebih atas tidak berjalan lancar, dengan adanya struktur dan sistim pemerintahan Daerah yang menimbulkan kesukaran dan kesulitan seperti dimasa-masa yang lampau, justru oleh karena Kepala Daerah yang sekarang ini bukan saja merupakan alat Pemerintah Daerah yang tidak saja memegang pimpinan kuasa eksekutif tetapi oleh karena juga Kepala Daerah itu merupakan alat Pemerintah Pusat.

Kepala Daerah dalam kedudukannya yang demikian ini, sebagai pemegang dan pelaksana kebijaksanaan politik Pemerintah Pusat dalam pengurusan dan pengaturan kepentingan rakyat dalam Daerahnya serta dalam membina urusan-urusan yang termasuk rumah tangga Daerahnya, banyak dapat mempengaruhi keadaan dan apriori dapat menghindarkan keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan yang akan bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan-peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya dan yang oleh karenanya dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Kepala Daerah tingkat atasan atau oleh Menteri Dalam Negeri.

Menurut struktur Pemerintahan Daerah sekarang ini, pengawasan repressif sebagaimana halnya dengan pengawasan preventif, tidak akan menimbulkan banyak kesukaran dan kesulitan lagi seperti zaman dahulu. Pengawasan repressif ini diatur dalam paal-pasal 80 sampai dengan pasal 83. BAB VII, Bagian II. Pengawasan ini dilakukan secara bertingkat, yang bilamana tehnis tidak dapat berjalan lancar, masih membuka pintu bagi Pemerintah Pusat untuk bertindak korektif, haitu terhadap Daerah tingkat II dan III, dengan jalan melakukan sendiri hak pengawasan itu secara langsung.

Pembatalan lazimnya didahului dengan keputusan pertangguhan, akan tetapi dapat pula dilakukan secara langsung tidak usah melalui tingkat pertanggungan terlebih dahulu Keputusan pembatalan dalam waktu 15 hari sesudah tanggal keputusan pembatalan yang bersangkutan diberitahukan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya.

Pertangguhan dan pembatalan dilakukan atas dasar dua faktor yaitu : *3532 a. pertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya dan b. pertentangan dengan kepentingan umum.

Pembatalan karena pertentangan dengan kepentingan umum hanya membawa pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan umum itu. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 dan 2.

Menurut pasal 1 ayat (1) semua badan-badan pemerintahan yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang ini disebut dengan istilah "Daerah'..

Daerah-daerah ini adalah pula daerah-daerah besar dan kecil termaksud dalam pasal 18 Undang-undang Dasar. Istilah "Daerah" adalah istilah tehnis bagi penyebutan sesuatu bagian teritoir yang berpemrintahan sendiri dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam mengusahakan pembagian wilayah Indonesia dalam Daerah-daerah dimaksud serta menetapkan jumlah banyaknya tingkatan telah diperhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang menghendaki agar keputusan-keputusan mengenai hal-hal ini dipakai pedoman dalam melaksanakan Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yaitu yang termaktub dalam lampiran B. ad III sub Ib dari pada Ketetapan No. II/MPRS/1960 dan mengandung pokok-pokok antara lain sebagai berikut :

1.Seluruh wilayah Indonesia dibagi habis dalam Daerah-daerah.

2.Daerah terdiri dari 3 tingkatan, tingkat I dan II sebagaimana yang telah ada dan yang masih akan diadakan berdasarkan perundang-undangan yang telah ada.

3.Tingkat III diadakan pada Daerah Kecamatan atau Daerah kesatuan masyarakat hukum yang cukup besar, atau dari gabungan beberapa desa,

4.Daerah tingkat III pada akhirnya harus menggantikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum terendah. 5.Tidak setuju Pola yang hendak menempatkan Daerah tingkat I didaerah Keresidenan dan Daerah tingkat II didaerah Kecamatan.

Dengan memperhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dimaksud, maka menurut ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi dalam 3 jenis Daerah yang bertingkatan, yaitu berturut-turut dari atas kebawah:

a.Daerah tingkat I, b.Daerah tingkat II dan c.Daerah tingkat III.

Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah tingkat III adalah Darah tingkat II dan bagi Daerah tingkat II adalah Daerah tingkat I (lihat pasal I ayat 5).

Daerah tingkat I dinamakan "Propinsi" dan yang khusus mempunyai wilayah yang seluruhnya atau sebagian besar merupakan tempat tinggal bersama-sama kelompok penduduk dinamakan "Kotaraya".

  • 3533 Berdasarkan prinsip yang sama ini, maka Daerah tingkat II dinamakan "Kabupaten" dan "Kotamadya" dan Daerah tingkat III dinamakan "Kecamatan" dan "Kotapraja".

Berhubungn dengan penjelasan diatas, bahwa "Daerah" adalah istilah teknis bagi penyebutan sesuatu bagian teritoir dan nama "Propinsi", "Kabupaten" dan sebagainya adalah menunjukkan jenis Daerah, maka daerah yang bersifat "istimewa" yang didasarkan atas ketentuan dalam pasal 18 Undang-undang Dasar atau yang ditetapkan oleh Pemerintah atas alasan lain, disebut Daerah Istimewa.

Karena itu, maka sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan sifat keistimewaannya yang bersumber pada pasal 18 Undang-undang Dasar dan sebutan Daerah Istimewa Aceh dengan keistimewaannya yang terletak dalam suatu kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang urusan pemerintahan, berdasarkan pasal 88 ayat.(2), berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah.

Adapun yang mengenai Jakarta, Pemerintah telah menetapkan status "istimewa", bukan saja karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara, akan tetapi juga karena Jakarta merupakan kota pelabuhan yang penting sekali, lagi pula karena merupakan suatu kota teladan dan kota internasional yang mengingat luas dan jumlah penduduknya telah tumbuh kearah suatu kota metropolitis. Untuk menaikkan kedudukannya sebagai tempat yang sering harus menyelenggarakan bermacam kegiatan internasional, dan agar dapat memenuhi syarat-syarat istimewa sebagai kota teladan dan kota modern, begitu pula untuk menjunjung tinggi nama dan kehormatan Bangsa Indonesia, maka di Daerah ini harus dilaksanakan pembangunan secara besar-besaran yang intensif sekali. Maka karena itu, untuk mencapai effisiensi kerja yang cepat dan lancar menurut satu garis komando langsung yang tegas, bagi Daerah ini masih berlaku Penetapan Presiden No. 2 tahun 1961, yang memberikan dasar dari pada status istimewa bagi Jakarta.

Pertumbuhan dan perkembangan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta adalah pesat sekali dan Kotaraya ini tentu akan menjadi kota metropolistis, yang membawa pemekaran kepentingan-kepentingan khusus.

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu, luas wilayah dan jumlah penduduknya dengan kepentingan-kepentingan yang beraneka corak ragamnya, memerlukan bentuk-bentuk pemerintahan yang beradaya guna.

Karena itu, maka dalam wilayah Ibu-Kota Negara akan tumbuh Daerah-daerah tingkat lain dan diperlukan bentuk-bentuk pemerintahan khas untuk tetap mencapai effisiensi dalam penyelenggaraan rakyat; walaupun demikian akan senantiasa diusahakan agar sedapat-dapatnya ada persesuaian keistimewaan seperti yang dimaksudkan diatas yang menentukan adanya Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta dengan status khusus begitu pula keistimewaan-keistimewaan yang menjadi dasar dari pada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh masing-masing sebagai Daerah tingkat I, maka Daerah-daerah tingkat I yang lain, adalah "Propinsi" menurut Undang-undang ini, misalnya: Daerah tingkat I Kalimantan Barat disebut Propinsi: Kalimantan Barat, Daerah tingkat I Jawa Barat menjadi *3534 Propinsi Jawa Barat tingkat I Maluku menjadi Propinsi Maluku dan seterusnya.

Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud diatas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus.

Begitu pula semua Daerah tingkat II selain Kotapraja adalah Kabupaten, misalnya Daerah tingkat II Agam dinamakan sekarang "Kabupaten Agam" dan seterusnya, dan semua Kotapraja dinamakan Kotamadya, misalnya Kotapraja Blitar, Bandung, Palembang, Pontianak Pare-Pare, Ambon sekarang dinamakan Kotamadya Blitar Bandung, Palembang, Pontianak, Pare-Pare dan Ambon".

Perlu ditegaskan disini, bahwa melihat perkembangan sekarang, seluruh wilayah Negara kini telah habis terbagi dalam 25 Daerah tingkat I, yaitu 25 Propinsi (sudah termasuk Kotaraya Jakarta, dan Propinsi Irian Barat) sedang tiap-tiap Propinsi telah terbagi habis pula dalam Kabupaten dan Kotamadya.

Pembagian dalam Daerah-daerah ini sudah brang tentu masih juga belum dapat dikatakan sempurna dan memuaskan dan dikelak kemudian hari masih akan mengalami perubahan-perubahan lagi, tetapi Daerah-daerah yang ada sekarang ini terutama yang baru saja dibentuk seharusnya terlebih dahulu diberi kesempatan dan cukup waktu untuk menyempurnakan alat-alat perlengkapan, organisasi pemerintahan dan peningkatan kemampuan kerjanya, sehingga dengan demikian dengan sudah adanya pemerintahan yang stabil dan effisien, langkah-langkah selanjutnya untuk membentuk Daerah-daerah yang baru, dapat dilaksanakan dengan mudah dan teratur.

Daerah tingkat III sampai sekarang masih belum pernah diadakan.

Menurut Undang-undang ini dalam pasal 4 ayat (2), sesuatu atau gabungan desa atau Daerah yang setingkat dengan desa atau kecamatan, dengan mengingat keadaan kehidupan masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat yang masih berlaku, dawpat dibentuk sebagai Daerah tingkat III dengan nama Kecamatan atau Kotapraja.

Dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum termasuk juga kesatuan masyarakat hukum adat yaitu kesatuan masyarakat hukum yang setingkat dengan desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai pembawaan sejarah pertumbuhannya, dimana ikatan kesatuan atau adat kebiasaannya demikian kuat dan mendalam atau berakar.

Nama "Propinsi", "Kabupaten" atau "Kecamatan" dalam istilah tehnis menurut Undang-undang ini bukan lagi merupakan nama penunjukan sesuatu wilayah kerja seorang pejabat lingkungan Departemen Dalam Negeri, tetapi adalah jenis Daerah, yaitu suatu kesatuan pemerintahan teritorial yang berotonomi (lihat pasal 1 ayat 2) yang mempunyai tingkatan tertentu.

Begitu pula nama ,Kotapraja" bukan lagi merupakan sesuatu Daerah tingkat II, tetapi Kotapraja menurut Undang-undang ini *3535 adalah,termasuk Daerah tingkat III.

Diakui, bahwa istilah-istilah itu dalam permulaan masa berlakunya Undang-undang ini akan menimbulkan rasa kurang puas dan salah faham, namun seperti halnya dengan nama Propinsi atau Kabupaten yang semula hanya dikenal di Jawa-Madura saja, kemudian dapat diterima pula di Daerah-daerah lain, maka diharapkan nama Kecamatan sebagai nama sesuatu jenis Daerah akan dapat pula kiranya diterima, lebih-lebih kalau diingat, bahwa memang sukar sekali untuk mencarikan nama baru yang cocok, begitu pula kiranya dengan nama Kotaraya dan Kotamadya.

Ketentuan-ketentuan dalam ayat (3) dan (5) sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Pasal 3.

Undang-undang pembentukan sesuatu Daerah harus memuat pengaturan esensialia, yang isinya dapat menunjukkan hak hidup bagi Daerah itu, yang terdiri atas setidak-tidaknya nama ibukota dan batas Daerah serta kewenangan pangkalnya dan anggaran keuangannya yang pertama.

Dalam perkembangan selanjutnya, mungkin perlu diadakan penyempurnaan batas wilayah Daerah; demikian pula ibukota mungkin perlu dipindah atau nama daerah perlu diubah dengan nama yang lebih aseli atau lebih sesuai dengan sejarahnya, maka dalam ayat (2) pasal ini ditetapkan bahwa perubahan-perubahan atau penyempurnaan yang tidak mengakibatkan pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4.

Mengenai pembentukan Daerah tingkat III, seperti yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini, telah diuraikan seperlunya dalam Penjelasan Umum.

Ayat (2) pasal ini tidaklah harus ditafsirkan, bahwa Daerah tingkat III baru akan dibentuk, apabila kehidupan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi suatu atau beberapa desa atau Daerah yang setingkat dengan desa sudah mencapai tingkat taraf tertentu, sehingga sebelum taraf itu dicapai tidak akan dibentuk Daerah tingkat II, melainkan maksudnya ialah hal-hal itu diperhatikan untuk menentukan, apakah suatu atau atau beberapa desa dan Daerah yang setingkat dengan desa dibentuk menjadi Daerah tingkat III.

Pasal 5 sampai dengan pasal 10

Konstruksi Pemerintah Daerah menurut Undang-undang ini, yakni terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum mengenai fungsi, tugas, kewajiban dan kewenangannya masing-masing serta hubungan timbal-balik antara keduanya. Kepala Daerah karena jabatannya adalah menjadi kepercayaan Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang memegang kekuasaan menurut Undang-undang dan melaksanakan kebijaksanaan Presiden/Perdana Menteri/Pemimpin Besar Revolusi dalam Daerahnya, karena itu Kepala Daerah bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarchie yang ada (pasal 5 ayat 2). Disamping itu Kepala Daerah adalah pula kepercayaan Rakyat Daerahnya yang *3536 diwakili dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang komposisinya mencerminkan kegotong-royongan nasional revolusioner.

Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu memilih dan mempunyai sendiri Ketua dan Wakil-wakil Ketuanya yang harus menjamin poros Nasakom (pasal 7 dan pasal 9 ayat 1), tetapi Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempertanggung-jawabkan tugasnya kepada Kepala Daerah yang menjadi penanggung-jawab umum Daerah (pasal 8).

Sebagai penanggung-jawab umum Daerah yang bertanggung-jawab kepada Presiden (lihat juga pasal 45 ayat 2), maka dalam menjalankan seluruh tugas-kewenangannya itu Kepala Daerah tidak diwenangkan menjalankan politik lain dari pada politik Negara dan karena itu Kepala Daerah adalah pula pegawai Negara (Pasal 19).

Mengingat demikian luas dan berat tugas dan kewajiban Kepala Daerah, maka didalam Kepala Daerah menjalankan tugas kewajiban pelaksanaan Pemerintah sehari-hari perlu dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan para anggota Badan Pemerintah Harian. Adanya bantuan Wakil Kepala Daerah dan anggota-anggota Badan Pemerintah Harian ini tidak merubah tanggung-jawab atas pemerintahan Daerah yang etap ada ditangan Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah dan anggota Badan Pemerintah Harian bertanggung-jawab kepada Kepala Daerah atas tugas pekerjaan yang ditugaskan kepadanya dalam rangka membantu Kepala Daerah dalam menjalankan tugas pekerjaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.

Pasal 11 sampai dengan pasal 14.

Menurut Undang-undang ini, Kepala Daerah seperti telah diuraikan dalam Penjelasan Umum, idiil dan strukturil diberi kedudukan khas dalam susunan ketatanegaraan. Ia bukan saja merupakan alat Pemerintah Daerah, tetapi juga alat Pemerintah Pusat dan dalam demokrasi terpimpin Kepala Daerah itu tidak saja memegang pimpinan dan mengayomi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi pula ia adalah pelaksana semua keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut dan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh Badan Pemerintah Harian.

Sebagai alat yang mempunyai tugas untuk merealisasikan dasar dan tujuan revolusi, iapun tidak dapat ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan revolusi, iapun tidak dapat ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, walaupun hal yang demikian ini tidak menguraikan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan keterangan-keterangan tentang pertanggungan jawab mengenai kebijaksanaan pemerintahan Daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah.

Untuk mencapai maksud dan tujuan dimaksud diatas, serta menjamin terdapatnya pemerintahan Daerah yang stabil dan berkewibawaan, sudah barang tentu tidak setiap orang dapat menduduki jabatan Kepala Daerah yang amat penting dan berat itu dan karenanya harus ditentukan cara bagaimana orang dapat menjadi Kepala Daerah dengan syarat-syarat yang tidak ringan pula.

Cara-cara untuk dapat menduduki jatah Kepala Daerah, diatur dalam pasal-pasal 11, 12, 13 dan 14, yaitu bagi Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden atas pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan melalui Menteri Dalam Negeri, dan bagi *3537 Daerah-daerah lain diangkat oleh Penguasa yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat atas pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan melalui Kepala Daerah setingkat lebih atas.

Apabila dari pencalonan pertama tidak ada calon yang memenuhi syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dengan penjelasan penolakan oleh Penguasa yang berwenang diberi keleluasaan untuk mengajukan calon-calon kedua kalinya.

Adalah tidak wajar bila dalam pencalonan yang kedua ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengajukan calon-calon yang telah diajukan dalam pencalonan yang pertama, oleh karena penolakan calon-calon pertama mengandung pengertian bahwa semua calon-calon pertama itu tidak memenuhi syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Penguasa yang berwenang. Penguasa yang berwenang seharusnyalah memberikan keterangan seperlunya yang menjadi dasar penolakan pengangkatan dari setiap calon yang diajukan.

Berhubung dengan itu maka sudah pada tempatnya bilamana dalam pencalonan yang kedua kalinya tidak diajukan nama calon-calon yang sudah disebut dalam pencalonan pertama, dengan memperhatikan alasan-alasan penolakan pada pencalonan pertama.

Apabila juga pada pencalonan yang kedua ini tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka Penguasa yang berwenang mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan (lihat pasal-pasal 13 dan 14 ayat 3).

Pasal 15

Pasal ini menetapkan syarat-syarat pengangkatan Kepala Daerah.

Yang dimaksudkan dengan syarat "tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia" ialah orang-orang yang tidak pernah secara langsung ikut atau membantu musuh-musuh Negara Republik Indonesia.

Perumusan tentang syarat-syarat pendidikan, kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan dalam pemerintahan (pemerintahan umum, pemerintahan Daerah atau dalam Jawatan-jawatan atau Dinas-dinas Daerah) yang terdapat dalam syarat-syarat tersebut dalam pasal 15 ini, disamping berupa himpunan syarat-syarat negatif yang sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh calon Kepala Daerah, mengandung pula syarat-syarat positif khusus mengenai hal pendidikan, pengalaman dan umur, agar dengan demikian ini akan terdapat keseimbangan antara akseptabilitas politis dan kecakapan tehnis bagi seorang Kepala Daerah itu.

Untuk menjaga jangan sampai terjadi penerobosan terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan ini, maka calon yang dimajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus memiliki bukti-bukti yang sah tentang kebenaran keterangan-keterangan yang mereka berikan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pengangkatan pegawai Negeri.

Berhubung dengan pentingnya kedudukan Kepala Daerah sebagai pemusatan pimpinan, baik mengenai bidang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah seperti telah diuraikan dimuka, diangkat oleh Pemerintah Pusat dan diberi kedudukan sebagai pegawai Negara. *3538 Syarat-syarat mengenai pendidikan, kecakapan dan pengalaman harus dipentingkan pula, karena seorang Kepala Daerah hanya dapat menunaikan tugasnya dengan baik, jika ia betul-betul mempunyai syarat-syarat tertentu itu.

Kepada Daerah adalah seorang kepercayaan Presiden/Mandataris/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang harus melaksanakan di Daerahnya kebijaksanaan Presiden/Perdana, Menteri/Pimpinan Besar Revolusi, harus melaksanakan politik Pemerintah.

Untuk pelaksanaan itu ia bertanggung jawab kepada Presiden.

Karenanya Kepala Daerah harus selalu mengutamakan kepentingan Negara dan kepentingan umum.

Kepala Daerah harus selalu bertindak seobyektif-obyektifnya dan dalam tindakan-tindakannya tidak akan mengutamakan atau menguntungkan salah satu organisasi/golongan/partai politik, tetapi benar-benar mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan Rakyat dari Daerahnya.

Pasal 16.

Larangan-larangan yang disebut dalam pasal ini adalah bersifat mutlak, sehingga hanya Presiden yang berwenang memberikan pengecualian, apabila kepentingan Daerah memerlukan (lihat juga penjelasan pasal II sampai dengan pasal 14).

Pasal 17.

Masa jabatan Kepala Daerah adalah selama lima (5) tahun yakni sesuai dengan masa-duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selama masa jabatan dimaksud Kepala Daerah menjalankan tugas dan kewajiban serta wewenangnya. Dalam hal masa jabatannya berakhir dan ia berhenti sebagai Kepala Daerah baginya tetap terbuka kemungkinan untuk dapat diangkat kembali untuk suatu masa jabatan yang sama lamanya juga, dengan melalui prosedur yang telah ditentukan dalam Undang-undang ini.

Pasal 18.

Wakil Kepala Daerah adalah seorang pembantu Kepala Daerah baik dalam kedudukannya sebagai Pimpinan Pemerintah Daerah, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat.

Dengan sendirinya Wakil Kepala Daerah sebagai pembantu Kepala Daerah menjalankan juga tugas-tugas dan bagian-bagian wewenang Kepala Daerah yang ditentukan baginya. Wakil Kepala Daerah tidak saja mewakili Kepala Daerah jika Kepala Daerah berhalangan, tetapi juga didalam hal Kepala Daerah diberhentikan oleh Penguasa yang berwenang mengangkat atau bila Kepala Daerah meninggal dunia, Wakil Kepala Daerah akan mewakili dan menjalankan tugas kewajiban dan kewenangan Kepala Daerah untuk sisa masa jabatan Kepala Daerah yang ia wakili.

Dalam-hal bagi Daerah yang bersangkutan telah diangkat seorang Kepala Daerah yang baru, tugas perwakilan yang dimaksud berakhir. Bagi Daerah-daerah yang baru dibentuk, perlu didudukkan seorang *3539 Penguasa yang menjalankan tugas kewenangan Pemerintah Daerah dengan tugas khusus menyiapkan penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum dan pasal 48.

Pasal 19.

Untuk sementara waktu masih berlaku Peraturan Presiden No. 17 tahun 1961 mengenai nama, jabatan, gelar, penghasilan dan keuntungan lain Kepala Daerah.

Pasal 20.

Cukup jelas.

Pasal 21

Berbeda dengan ketentuan mengenai Kepala Daerah dalam pasal 17 ayat (3) sub b, maka Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena berakhir masa jabatannya, tanpa menunggu terlebih dahulu diangkatnya seorang Wakil Kepala Daerah baru.

Selanjutnya isi pasal ini cukup jelas,lihat juga mengenai syarat pengangkatan Kepala Daerah pada Penjelasan pasal II sampai dengan pasal 15.

Pasal 22.

Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya atas dasar perhitungan jumlah tertentu penduduknya, harus diberi seorang Wakil dalam Dewan (ayat 1).

Oleh karena kepadatan penduduk tidak merata diseluruh wilayah Negara, maka perlu diadakan syarat-syarat minimum dan maksimum, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuatu Daerah,a gar dengan demikian itu Daerah yang sangat sedikit sekali penduduknya, mempunyai Wakil-wakil sangat sedikit sekali penduduknya, mempunyai Wakil-wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang cukup representatif untuk menjamin terpeliharanya kepentingan-kepentingan umum seluruh wilayah Daerah yang bersangkutan secara baik.

Bagi Daerah yang banyak sekali penduduknya, dapat dicegah terbentuknya suatu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang amat besar jumlah anggotanya sehingga menjadi "log", yang tidak menguntungkan Daerah, tetapi malahan akan dapat menghambat kelancaran jalannya pemerintahan Daerah.

Agar jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu senantiasa dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat Daerah yang bersangkutan, maka jumlah anggota Undang-undang pembentukan setiap waktu dapat dirubah oleh Menteri Dalam Negeri.

Masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan, tidak lagi empat tahun seperti yang ditentukan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1957 dahulu, akan tetapi dijadikan lima tahun, dengan ketentuan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengisi lowongan keanggotaan antar-waktu, duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya untuk sisa masa lima tahun dimaksud. *3540 Berhubung dengan diadakannya ketentuan yang dimaksud dalam pasal 89 ayat (3), maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong yang ada, masih dapat terus menjalankan tugas kewajibannya sampai terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru yang dibentuk berdasarkan ketentuan dalam pasal 22 ayat (5).

Biarpun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk tindakan-tindakan perubahan komposisi keanggotaan dan peremajaan agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong dapat mencerminkan perkembangan perimbangan yang terjadi di Daerah, secara lebih mendekati kenyataan (obyektif)

Pasal 23.

Syarat-syarat yang diadakan bagi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. adalah perlu untuk menjaga, agar para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu minimal mempunyai cukup kesadaran, kecakapan dan penetahuan untuk dapat menjalankan tugas kewajiban mereka dengan sebaik-baiknya.

Umur 21 tahun harus sudah tercapai pada waktu yang bersangkutan ditetapkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Syarat-syarat itu berlaku baik bagi anggota laki-laki maupun perempuan.

Kotamadya dan Kotapraja dalam hakekatnya merupakan tempat tinggal bersama kelompok penduduk dan pada umumnya merupakan juga faktor penarik yang tidak kecil artinya bagi pemusatan tempat-tempat tinggal tetap kaum intelek dan para cerdik pandai.

Dari sebab anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah wakil rakyat yang bertempat dinggal dalam wilayah Daerah yang bersangkutan, maka penduduk sesuatu Kotamadya sudah barang tentu tidak akan dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah tingkat II yang berbatasan, karena Kotamadya yang sama tingkatannya dengan Darah tingkat II berdiri sejajar, sehingga wilayah Kotamadya itu bukan merupakan bagian wilayah dari pada Daerah tingkat II yang melingkarinya. Hal yang demikian ini sedikit banyak akan dapat menimbulkan kerugian kepada Daerah tingkat II yang bersangkutan, bilamana tidak diadakan pengaturan secara khusus.

Mengingat bahwa Kotamadya dapat pula merupakan tempat kedudukan sesuatu Daerah tingkat II, sedang kebanyakan penduduk yang telah maju dalam pendidikan dan pengetahuan, lebih suka bertempat tinggal dalam Kotamadya yang dilingkarinya, maka dengan ketentuan dalam pasal 23 sub b itu telah dibuka kemungkinan, penduduk Kotamadya itu dapat dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat II yang melingkari Kotamadya yang bersangkutan itu.

Kata "dilingkari" tidak perlu ditafsirkan demikian, bahwa Kota-madya itu harus sepenuhnya berada ditengah-tengah garis batas wilayah Daerah tingkat II yang bersangkutan itu.

Kotamadya yang sebagian berbatasan misalnya dengan laut (seperti Surabaya Semarang) atau dengan Daerah/Daerah-daerah tingkat II lainnya, adalah termasuk dalam arti istilah "dilingkari" oleh *3541 Daerah/Daerah-daerah tingkat II itu.

Jadi penduduk Kotamadya yang sebagian berbatasan dengan Daerah atau beberapa Daerah tingkat II dalam hal ini dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari lebih dua Daerah, misalnya penduduk Kotamadya Binjai yang berbatasan dengan Daerah tingkat II Langkat dan Daerah tingkat II Deli Serdang, dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari ketiga Daerah tersebut, tetapi calon itu diperbolehkan menjadi anggota hanya dari satu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja.

Uraian diatas berlaku pula bagi Kotaparaja dan Daerah tingkat III yang melingkarinya.

Menurut sub g seorang anggota partai terlarang, sesuai dengan ketentuan pasal 9 Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 tentang "Syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian" jis pasal 9 Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960 dan Peraturan Presiden No. 25 tahun 1960, sebagai akibat pembubaran/pelarangan sesuatu partai, tidak dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali mereka yang dengan perkataan dan perbuatan membuktikan menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti pula menyetujui dan bersedia turut aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959, segala sesuatu menurut penilaian Menteri Dalam Negeri dan disetujui oleh Presiden.

Pasal 24.

Larangan rangkapan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan pegawai yang bertanggung-jawab tentang keuangan daerah dari daerah yang bersangkutan meliputi semua pejabat dari Daerah, yang bersangkutan dengan keuangan Daerah, termasuk Kepala Biro/kepala Bagian dan pegawai yang bertugas di Biro/Keuangan dari Daerah yang bersangkutan dan yang bertugas serta bertanggung jawab dalam bidang keuangan Daerah.

Pasal 25.

Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan sesuatu baik secara langsung ataupun tidak langsung yang mendatangkan keuntungan baginya akan tetapi merugikan kepentingan Daerah yang bersangkutan dan yang dapat menurunkan derajat atau kehormatan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dimata rakyat yang mereka wakili.

Bilamana larangan itu tidak bertentangan dengan kepentingan Daerah, maka menurut ayat (2), Kepala Daerah setelah mendengar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan mendapat mufakatnya, dapat memberikan pengecualian apabila kepentingan Daerah memerlukannya.

Untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang, maka kecuali kesempatan yang harus diberikan kepada yang bersangkutan untuk memperatahankan diri, anggota yang bersangkutan dapat minta putusan banding kepada Kepala Daerah setingkat lebih atas atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah tingkat I *3542 kepada Menteri Dalam Negeri terhadap putusan pemberhentian atau pemberhentian sementara dalam waktu satu bulan sesudah anggota yang bersangkutan itu menerima putusan tersebut.

Pasal 26.

Cukup jelas.

Pasal 27.

Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk menetapkan Peraturan-peraturan Daerah yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang:

1.uang sidang, uang jalan dan uang penginapan bagi para anggota-anggotanya;

2.tunjangan jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua Dewan;

3.uang kehormatan untuk setiap bulannya, uang jalan dan penginapan, uang perjalanan pindah dari tempat kediaman semula ketempat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau sebaliknya, uang penggantian biaya berobat, tunjangan kematian, tunjangan penghargaan pada akhir masa jabatan atau setelah berhenti dari jabatan dengan hormat bagi Ketua dan Wakil Ketua. dengan ketentuan, bahwa Peraturan-peraturan Daerah itu ditetapkan dengan mengingat pedoman yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah tingkat I bagi Daerah-daerah tingkat II dan III.

Peraturan-peraturan Daerah dimaksud untuk berlaku masih memerlukan pengesahan oleh instansi atasan.

Mengenai hal-hal dimaksud diatas, bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong, yang berdasarkan ketentuan dalam pasal 89 ayat (3) masih dapat terus menjalankan tugas kewajibannya sesudah berlakunya Undang-undang ini, berlaku terus pula segala peraturan-peraturan yang bersangkutan yang mengatur hal-hal dimaksud (pasal 89 ayat 1), kecuali bilamana peraturan-peraturan itu bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 28.

Ketentuan ini hanya berlaku bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk menurut pasal 22 ayat (5) Undang-undang ini dan tidak bagi anggota-anggota antar waktu yang mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong yang masih ada.

Pasal 29.

Perkataan sidang atau rapat dalam ketentuan ini mengandung arti sama dengan perakataan "zitting" atau "vergadering" dalam bahasa asing. Suatu sidang dapat ditentukan untuk suatu waktu, dalam pada mana dapat diadakan rapat secara berturut-turut. Penetapan waktu dan penyelenggaraan dari rapat atau sidang ini adalah termasuk tugas kewajiban Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang dibicarakan dalam rapat tertutup tidak saja mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan tetapi berlaku juga para pegawai/pekerja yang ada dalam ruangan dimana diadakan rapat atau sidang tertutup semua yang hadir dan mengetahui hal-hal yang dibicarakan dalam *3543 rapat tertutup itu, begitu pula mereka yang dapat mengetahuinya dengan jalan lain, umpamanya pegawai yang karena tugas kewajibannya menerima laporan dari lain pegawai yang mengunjungi rapat.

Apabila dengan mempergunakan dasar dimaksud dalam ayat (3), tidak bisa dicapai kata mufakat, maka keputusan itu diserahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengambil keputusan dengan memperhatikan semua pendapat yang ada dan apabila dengan menempuh cara demikian tidak dicapai hasil pula, keputusan dapat diserahkan kepada Kepala Derah.

Pasal 30.

Pada umumnya rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka bagi umum; sifat terbuka itu adalah adalah sesuai dengan cita-cita demokrasi, dimana umum juga dapat mengikuti dengan saksama segala apa yang dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung.

Dengan demikian maka umum dapat mengadakan kritik-kritik dan pembahasan-pembahasan atas pembicaraan dan putusan yang diambil dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu melalui surat-surat kabar, radio dan lain-lain.

Dalam keadaan yang khusus, misalnya kalau kepentingan umum memerlukannya, maka rapat memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup, kecuali mengenai hal-hal tertentu yang tersebut dalam ayat (2).

Pasal 31.

Cukup jelas.

Pasal 32.

Maksud peraturan ini adalah agar supaya anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas, dengan tidak perlu takut akan dituntut karena hal-hal yang dengan lisan atau tertulis telah dikemukakan dalam rapat, Meskipun demikian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus mempunyai sopan-santun sendiri dan senantiasa harus mengingat tata cara berbicara dalam rapat sesuai peraturan tata tertib yang berlaku.

Pasal 33.

Pada dasarnya, jumlah anggota Badan Pemerintah Harian ditentukan menurut kebutuhan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Penetapan minuman jumlah anggota badan Pemerintah Harian bagi Daerah tingkat I sebanyak 7 orang, Daerah tingkat II sebanyak 5 orang dan Daerah tingkat III sebanyak 3 orang dipandang sesuai, namun penambahan jumlah itu sewaktu-waktu berdasarkan perkembangan Daerah harus dimungkinkan.

Dengan memberikan kewenangan penambahan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian itu kepada Menteri Dalam Negeri diharapkan proses akan dapat cepat diselesaikan, yakni setelah dinilai sebaik-baiknya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. *3544 Jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut ketentuan ini harus terus diisi selengkapnya. Manakala timbul lowongan, dalam waktu sesingkatnya lowongan tersebut harus segera diisi.

Pasal 34 sampai dengan pasal 38

Cukup jelas.

(Lihat juga penjelasan umum).

Pasal 39 sampai dengan pasal 41.

Cukup jelas.

(Lihat juga penjelasan umum).

Pasal 42.

Mengingat, bahwa pelaksanaan urusan-urusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah setingkat lebih atas dapat dilakukan di Daerah dengan sebaik-baiknya apabila Pemerintah Daerah yang bersangkutan diturut-sertakan, maka kecuali pemberian otonomi yang luas dan riil kepada Daerah seperti yang diatur dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal 39, 40 dan 41, adalah selayaknya, apabila dipergunakan sebanyak mungkin tugas pembantuan (medebewind) yang dilaksanakan oleh Daerah. Berhubung dengan itu, dalam pasal ini ditentukan agar peraturan-peraturan perundangan Pusat atau peraturan Daerah setingkat lebih atas, sedapat mungkin menyerahkan pelaksanaan urusan-urusan Pemerintah Pusat atau urusan rumah tangga. Daerah setingkat lebih atas, sebagian atau seluruhnya, sebagai tugas pembantuan kepada Daerah yang ditunjuk oleh dan dalam peraturan-peraturan itu. Peraturan-peraturan itu wajib menyerahkan biaya-biaya belanja serta alat perlengkapannya kepada dan menentukan sumber-sumber pendapatan bagi Daerah yang ditunjuk itu guna pelaksanaan tugas pembantuan yang dimaksud. Pemerintah Daerah yang ditunjuk wajib melaksanakan tugas pembantuan itu.

Pasal 43.

Mengenai pasal 43 dijelaskan, bahwa pasal ini mengatur dasar-dasar pokok kerja sama antara Daerah-daerah untuk mencapai daya kerja yang lebih kuat mengenai soal-soal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah.

Dengan bertumbuh dan berkembangnya Daerah-daerah, maka akan meluas pula bidang-bidang dimana terdapat kepentingan bersama. Keputusan-keputusan Musyawarah Antar Kotapraja seluruh Indonesia dengan Departemen Dalam Negeri yang ke II di Makasar tanggal 31 Maret sampai dengan 4 April 1964, dapat menunjukkan, betapa luasnya bidang-bidang yang dimaksud. Untuk bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama itu, Daerah-daerah dapat mengadakan kerja sama.

Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) memberikan beberapa ketentuan kerja sama resmi ini, sedangkan ayat (4) menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri dapat mengadakan pengaturan khusus untuk memberikan *3545 pelayanan sebaik-baiknya bagi sesuatu bentuk kerja sama Antara Daerah.

Kerja sama ini tidak terbatas saja kepada Daerah-daerah yang sama tingkatnya, akan tetapi dapat dilakukan juga antara Daerah-daerah yang tidak sama tingkatnya yang berkehendak untuk mencapai suatu tujuan yang, sama untuk kepentingan penduduk didalam masing-masing wilayahnya. Keputusan bersama untuk mengatur kerja sama itu tidak dapat dilaksanakan bilamana tidak disahkan oleh instansi atasan dan sudah barang tentu rencana- rencana untuk mengadakan kerja sama dengan lain-lain Daerah itu harus dimusyawarahkan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

Dalam keadaan yang memaksa, Kepala Daerah diperbolehkan juga untuk mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama tetapi dengan ketentuan, bahwa keputusan yang demikian itu kemudian harus pula dimusyawarahkan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, karena kerja sama itu pada umumnya membawa akibat-akibat finansiil yang tidak dapat lepas dari campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Selain dari pada itu jika untuk melaksanakan kerja sama perlu dibentuk sebuah badan atau panitia, maka dalam peraturan kerja sama itu harus pula diatur tentang pertanggungan jawab badan atau panitia itu.

Apabila kerja sama itu terjadi antara Daerah tingkat I dengan Daerah-daerah tingkat lain maka pengesahan terhadap keputusan kerja sama itu dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi dari Daerah yang tertinggi tingkatnya i.c. oleh Menteri Dalam Negeri.

Bila kemudian tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau pencabutan peraturan tentang kerja sama, maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) yang memutuskannya.

Pasal 44 sampai dengan pasal 46.

Kepala Daerah yang bertanggung jaab atas maju mundurnya Daerah serta penduduknya, dan untuk itu memegang kesatuan komando dan kesatuan kebijaksanaan pemerintahan di Daerah menjalankan hak dan wewenang sebagai

a.alat Pemerintah Pusat, b.alat Pemerintah Daerah,

Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah :

a.memegang Pimpinan dalam melakukan kebijaksanaan untuk melaksanakan politik Pemerintah Pusat mengenai ketertiban dan keamanan umum, guna mencapai situasi tata-tentram di Daerahnya agar dapat ditingkatkan kekertaraharjaan. b.menyelenggarakan koordinasi antar jawatan-jawatan Pemerintah Pusat di Daerah dan antara jawatan-jawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah, dan jawatan-jawatannya, c.melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, dan d.menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh Pemerintah Pusat. *3546 Wewenang Kepala Daerah memegang pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan politik Pemerintah Pusat mengenai ketertiban dan keamanan umum dilaksanakan sesuai dengan jiwa kegotong-royongan yang tercermin dalam keputusan Presiden No. 71 tahun 1964, dengan mengindahkan wewenang dan dengan bermusyawarah dengan alat-alat Negara yang bertugas dan berwenang dalam bidang-bidang tersebut didaerahnya; sebaliknya dengan kewajiban bagi alat-alat Negara yang dimaksud untuk mengindahkan wewenang dan kewibawaan Kepala Daerah.

Sudah sewajarnyalah bahwa alat-alat Negara yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijksanaan itu, setelah melaksanakan kebijaksanaan tersebut melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Kepala Daerah sebagai pemegang pimpinan kebijaksanaan umum didaerahnya.

Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah, baik dibidang urusan rumah tangga Daerah maupun dibidang pembantuan, dalam hal mana ia memberikan pertanggungan jawab sekurang-kurangnya sekali setahun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bila diminta oleh Dewan tersebut atau bilamana dipandang perlu oleh Kepala Daerah.

Dalam menjalankan tugas kewenangan ini, Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (lihat pasal 17).

Dalam melaksanakan tugas kewenangan dan kewajiban saeperti yang dirumuskan dalam pasal 44 ini, nampaklah perwujudan fungsi Kepala Daerah. Dalam memimpin dan mengayomi sebagai pejabat kepercayaan Presiden/Perdana Menteri/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Pemimpin Besar Revolusi di Daerahnya, maka unsur kebijaksanaan pada semua tindakan dan keputusan Kepala Daerah, serta tindakan dan kebijaksanaan dengan maksud untuk mempertinggi dan memperlengkap ketahanan serta kesiapsiagaan Revolusi Indonesia sesuai TAVIP dengan mengubah gerak pelaksanaan yang masih bersifat routine konvensional dan tindakan kebijaksanaan untuk pelaksanaan pedoman- pedoman pelaksanaan Manipol, merupakan unsur pokok.

Jelaslah juga disini bahwa yang dimaksud dengan kebijaksanaan politik polisionil dalam pasal 44 sekali-kali bukanlah politik polisionil beleid yang ada ditangan seorang Gubernur/Resident dari jaman Hindia Belanda, yang semata-mata ditujukan untuk menumpas kegiatan politik bangsa Indonesia yang ingin melepaskan belenggu penjajahan.

Kebijaksanaan politik polisionil yang ada pada seorang Kepala Daerah dalam alam Sosialisme Indonesia yang berdasarkan Panca Sila dengan demokrasi terpimpin sebagai alatnya dimaksudkan untuk memupuk, mempersatukan dan mengembangkan kegiatan politik Bangsa Indonesia yang progressif revolusioner untuk mencapai tujuan revolusi, dan kebijaksanaan politik polisionil dalam arti menghambat, menumpas atau membinasakan hanya ditujukan terhadap kegiatan politik antek-antek nekolom dan kaum kontra revolusioner.

Peristilahan kita belum cukup kaya untuk mengganti istilah "politik polisionil" yang sebenarnya sudah lapuk itu dengan suatu *3547 istilah baru yang khas dan berkepriabdian Indonesia seperti yang dimaksudkan diatas, sehingga dalam pasal 44 ini istilah tersebut masih dipakai.

Pasal 45 ayat (2) menetapkan, bahwa seorang Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Hal Perwakilan yang termaktub dalam pasal 46 perlu diadakan, agar tegas siapa yang akan mewakili Daerah untuk bertindak jika daerah menjadi penggugat atau tergugat dalam perkara perdata atau perkara pidana. Bukan perwakilan didalam pengadilan saja, tetapi juga diluar pengadilan Kepala Daerah yang bersangkutan itu akan mewakili Daerahnya. Dalam soal perwakilan ini, Kepala Daerah dapat menunjuk orang kuasanya untuk mewakili Kepala Daerah.

Pasal 47 dan pasal 48.

Cukup jelas.

Pasal 49 sampai dengan pasal 56.

(Lihat penjelasan umum).

Didalam hal sesuatu materi/persoalan telah diatur dengan Peraturan Daerah dan ternyata kemudian bahwa materi /persoalan dimaksud diatur oleh peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya, maka Peraturan Daerah dimaksud karena hukum dengan sendirinya tidak berlaku lagi dengan segala sesuatunya harus disesuaikan dengan ketentuan didalam peraturan-perundangan tersebut yang lebih tinggi tingkatannya.

Dalam hal dipandang perlu maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tentang ketentuan-ketentuan dan bentuk dari Peraturan Daerah, agar dapat terpenuhi cara-cara melaksanakan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang harus dilaksanakan oleh Daerah.

Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditanda-tangani oleh Kepala Daerah (pasal 54 ayat 2). Dalam pada itu pengundangan adalah syarat tunggal untuk mendapatkan kekuatan hukum dan mengikat (pasal 54 ayat 3).

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai Wakil Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan (pasal 55) agar dengan demikian ada saluran, sehingga kepentingan Daerah dan penduduknya, bila perlu , dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan, dapat dibela sampai pada pemerintahan tingkat Pusat.

Pasal 57.

Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian dimaksudkan supaya dapat membantu sepenuhnya Kepala Daerah dalam urusan dibidang rumah tangga dan dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan. Maka adalah merupakan kewajiban Kepala Daerah untuk membagi-bagikan pekerjaan dalam bidang-bidang tersebut diatas, sehingga ada *3548 tanggung jawab luas bagi setiap anggota Badan Pemerintah Harian.

Pasal 58 sampai dengan pasal 60.

Menurut pasal 58, yang bekerja pada pemerintahan Daerah ialah :

a.pegawai Negara; b.pegawai Negeri; c.pegawai Daerah; d.pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Daerah; e.pegawai Negeri yang diperbantukan kepada Daerah; f.pegawai Daerah lain yang dipekerjakan pada Daerah dan g.pegawai Daerah lain yang diperbantukan kepada Daerah.

Penjelasan Pemerintah yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong pada tanggal 5 Juni 1961 mengenai pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 18 tahun 1961 menunjukkan betapa eratnya hubungan mengenai status hukum antara pegawai Negeri dan pegawai Daerah; maka pokok-pokok ketentuan mengenai status hukum pegawai Negeri yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 18 tersebut diatas berlaku pula bagi seluruh pegawai Daerah. Dalam rangka hubungan yang demikian, untuk dapat lebih menjamin adanya pengertian mental, pendidikan, pengetahuan dan kemampuan yang merata pada setiap pegawai, maka ditetapkan ketentuan yang termuat pada pasal 59 dan 60.

Sepanjang Undang-undang No. 18 tahun 1961 belum mengatur tentang latihan dan pendidikan pegawai Daerah, maka Menteri Dalam Negeri didalam mengatur lapangan kariere pegawai dalam mengadakan latihan dan pendidikan pegawai mengikut-sertakan pegawai Daerah. Dengan demikian terbuka kemungkinan bagi kariere pegawai Daerah yang bersangkutan.

Pasal 61 sampai dengan pasal 63.

Untuk mencapai daya guna yang sebesar-besarnya dalam pelaksanaan Pemerintah yang dikomandokan dari satu sumber pimpinan di Daerah, dalam pada mana menurut sistimatik Undang-undang ini Kepala Daerah itu telah diberikan kedudukan khas dalam rangkaian susunan ketatanegaraan yang tidak mudah dapat tergoyahkan, maka dalam administrasi pemerintahan Daerah Sekretaris Daerah itu dijadikan poros yang utama pula dalam perputaran roda pemerintahan Daerah.

Menurut pasal 10 penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas Pemerintah Daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah yang dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah. Sekretaris Daerah itu bertanggung-jawab kepada dan melakukan pekerjaannya langung dibawah pimpinan Kepala Daerah.

Oleh karena Sekretaris Daerah itu menurut pasal 62 bukan saja merupakan Sekretaris dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dari Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Daerah, tetapi juga adalah Sekretaris dari Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat, maka Sekertariat Daerah itu mencakup sekaligus dua Kantor Administrasi Pemerintah Pusat dan kantor Adminitrasi Pemerintah Daerah, sehingga dengan demikian hapus pula dualisme dalam administrasi pemerintahan di Daerah seperti hapusnya dualisme dalam pimpinan pemerintahan Daerah. *3549 Untuk menjaga agar dalam administrasi Pemerintahan Daerah ada kontinuitas dalam pimpinannya yang setiap kali tidak akan turut berubah manakala ada pergeseran atau penggantian Kepala Daerah dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka menurut ketentuan dalam pasal 61 telah ditentukan, bahwa Sekertaris Daerah itu diberi status pegawai Daerah.

Syarat-syarat dan hak pengangkatannya ditentukan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat c.q. Menteri Dalam Negeri.

Dalam hal Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugasnya, maka tugas Sekretaris Daerah dilakukan oleh pejabat yang tunjuk oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 64.

Sudah cukup jelas.

Pasal 65 dan pasal 66.

Mengenai ketentuan pasal 65 ayat (1) dikemukakan, bahwa berhubung dengan berlakunya Undang-undang No. 18 tahun 1961 tersebut diatas, Daerah dalam menetapkan peraturan-peraturan Daerah tentang hal kepegawaian Daerah harus mengikuti ketentuan-ketentuan pokok yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut serta menyesuaikan peraturan-peraturan Daerahnya dengan peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai hal pegawai Negeri yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (prinsip konkordansi).

Pasal 67 sampai dengan pasal 72.

Sudah cukup jelas.

Untuk selanjutnya (Lihat penjelasan umum).

Pasal 73.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengadakan usaha-usaha yang mengakibatkan tambahan beban Rakyat perlu mendapatkan pengesahan terlebih dahulu. Didalam Menteri Dalam Negeri mengesahkan keputusan-keputusan semacam itu selalu akan mendengarkan saran dan pendapat dari Menteri Iuran Negara dan/atau Menteri yang lain, sepanjang apa yang akan diatur didalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyangkut sesuatu bidang tertentu yang termasuk dalam tugas bidang Menteri yang bersangkutan.

Pasal 74 dan pasal 75.

Sudah cukup jelas.

Untuk selanjutnya (Lihat penjelasan umum).

Pasal 76.

Dalam jangka panjang memang diharapkan agar Daerah itu dapat ber-swasembada dan ber-swadaya menutup kebutuhan rumah tangganya sendiri, akan tetapi sekarang ini Daerah baru dalam taraf memupuk kemampuan untuk dapat membiayai belanja routine. *3550 Pasal 86.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang, sekarang pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya tidak terikat jangka masa jabatan dimaksud pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5), dengan pengertian bahwa bagi pengangkatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan proseduril menurut pasal 11 dan 12

Pasal 87 sampai dengan pasal 90.

Tidak memerlukan penjelasan.

Mengetahui : Sekretaris Negara,

MOHD. ICHSAN.


CATATAN

DICETAK ULANG