Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2019
TENTANG PESANTREN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pesantren yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan
nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya;
bahwa pengaturan mengenai pesantren belum optimal mengakomodasi perkembangan, aspirasi, dan kebutuhan hukum masyarakat serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pesantren;
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28E, Pasal 29, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PESANTREN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau
sebutan lain yang selanjutnya disebut Pesantren
adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta
memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin.
Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin adalah kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang terstruktur, sistematis, dan terorganisasi.
Pendidikan Muadalah adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur.
Pendidikan Diniyah Formal adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
Ma'had Aly adalah Pendidikan Pesantren jenjang
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren
dengan mengembangkan kajian keislaman sesuai
dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab
Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
Santri adalah peserta didik yang menempuh
pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di
Pesantren.
Kiai, Tuan Guru, Anre Gurutta, Inyiak, Syekh,
Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang
selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik
yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang
berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh
Pesantren.
Dewan Masyayikh adalah lembaga yang dibentuk
oleh Pesantren yang bertugas melaksanakan sistem
penjaminan mutu internal Pendidikan Pesantren.
Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan
independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh
dalam merumuskan dan menetapkan sistem
penjaminan mutu Pendidikan Pesantren.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonomi.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Penyelenggaraan Pesantren berasaskan:
Ketuhanan Yang Maha Esa;
kebangsaan;
kemandirian;
keberdayaan;
kemaslahatan;
multikultural;
profesionalitas;
akuntabilitas;
keberlanjutan; dan
kepastian hukum.
Pasal 3
Pesantren diselenggarakan dengan tujuan:
membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu,
mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat;
membentuk pemahaman agama dan keberagamaan
yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk
perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan
hidup beragama; dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Pasal 4
Ruang lingkup fungsi Pesantren meliputi:
pendidikan;
dakwah; dan
pemberdayaan masyarakat.
BAB III PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN PESANTREN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 5
Pesantren terdiri atas:
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
dalam bentuk pengkajian Kitab Kuning;
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola
Pendidikan Muallimin; atau
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan
pendidikan umum.
Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi unsur paling sedikit:
Kiai;
Santri yang bermukim di Pesantren;
pondok atau asrama;
masjid atau musala; dan
kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Bagian Kedua Pendirian
Pasal 6
Pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat.
Pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan
lil'alamin dan berdasarkan Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
Bhinneka Tunggal Ika;
memenuhi unsur Pesantren sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
memberitahukan keberadaannya kepada kepala
desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili
Pesantren; dan
mendaftarkan keberadaan Pesantren kepada
Menteri.
Dalam hal pendirian Pesantren sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan izin terdaftar.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Penyelenggaraan
Pasal 8
Penyelenggaraan Pesantren wajib mengembangkan
nilai Islam rahmatan lil'alamin serta berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kekhasan atau keunikan tertentu yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam dan karakter Pesantren.
Pasal 9
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kiai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus:
berpendidikan Pesantren;
berpendidikan tinggi keagamaan Islam, dan/atau;
memiliki kompetensi ilmu agama Islam.
Kiai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemimpin tertinggi Pesantren yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan
Pesantren.
Dalam penyelenggaraaan Pesantren sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Kiai dapat dibantu oleh:
pendidik dan tenaga kependidikan dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan Pesantren; dan/atau
pengelola Pesantren.
Pengelola Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bertujuan membantu peran Kiai dalam fungsi administrasi pengelolaan Pesantren.
Pasal 10
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Santri yang
bermukim di Pesantren sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menetap di dalam
pondok atau asrama Pesantren.
Selain Santri yang bermukim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pesantren dapat memiliki
Santri lain yang tidak menetap di dalam pondok
atau asrama Pesantren.
Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk pendalaman dan peningkatan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin, pengamalan ibadah, pembentukan perilaku akhlak mulia, dan penguasaan bahasa.
Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dididik untuk menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hati, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai luhur bangsa Indonesia, serta berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 11
Dalam penyelenggaraan Pesantren, pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c merupakan tempat tinggal Santri yang bermukim selama masa proses pendidikan di Pesantren.
Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pasal 12
Dalam hal penyelenggaraan Pesantren, masjid atau
musala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf d harus memperhatikan aspek daya
tampung, kebersihan, dan kenyamanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid
atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya
tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan
keamanan.
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan Pesantren, kajian Kitab
Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola
Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf e dilaksanakan secara
sistematis, terintegrasi, dan komprehensif.
Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan
Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan
metode sorogan, bandongan, metode klasikal,
terstruktur, berjenjang, dan/atau metode
pembelajaran lain.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat Pesantren dalam Fungsi Pendidikan
Paragraf 1 Umum
Pasal 15
Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pasal 16
Pesantren menyelenggarakan fungsi pendidikan berdasarkan kekhasan, tradisi, dan kurikulum pendidikan masing-masing Pesantren.
Fungsi Pendidikan Pesantren sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
membentuk Santri yang unggul dalam mengisi
kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi
perkembangan zaman.
Pasal 17
Pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal.
Pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk:
satuan Pendidikan Muadalah ula atau Pendidikan Diniyah Formal ula; dan/atau
satuan Pendidikan Muadalah wustha atau Pendidikan Diniyah Formal wustha.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal jenjang pendidikan
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berbentuk satuan Pendidikan Muadalah ulya atau
Pendidikan Diniyah Formal ulya.
Jenjang Pendidikan Muadalah dapat
diselenggarakan dalam waktu 6 (enam) tahun atau
lebih dengan menggabungkan penyelenggaraan
satuan Pendidikan Muadalah wustha dan satuan
Pendidikan Muadalah ulya secara
berkesinambungan.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada
jalur pendidikan formal jenjang pendidikan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk
Ma'had Aly.
Pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berbentuk pengkajian Kitab Kuning.
Pasal 18
Kurikulum Pendidikan Muadalah terdiri atas
kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan
umum.
Kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikembangkan oleh Pesantren dengan
berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan
Pola Pendidikan Muallimin.
Kurikulum pendidikan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 19
Santri satuan Pendidikan Muadalah yang telah
menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui
penilaian oleh pendidik dan satuan Pendidikan
Muadalah.
Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis;
dan/atau
mendapatkan kesempatan kerja.
Pasal 20
Kurikulum Pendidikan Diniyah Formal terdiri atas
kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan
umum.
Penyusunan rumusan kerangka dasar dan struktur
kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang berbasis Kitab Kuning dilakukan oleh
Majelis Masyayikh.
Kurikulum pendidikan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 21
Santri satuan Pendidikan Diniyah Formal yang telah menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik, satuan pendidikan formal, dan penilaian oleh Menteri.
Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis;
dan/atau
mendapatkan kesempatan kerja.
Pasal 22
Ma'had Aly menyelenggarakan pendidikan akademik pada program sarjana, magister, dan doktor.
Ma'had Aly mengembangkan rumpun ilmu agama
Islam berbasis Kitab Kuning dengan pendalaman
bidang ilmu keislaman tertentu.
Pendalaman bidang ilmu keislaman yang
diselenggarakan oleh Ma'had Aly yang
dikembangkan berdasarkan tradisi akademik
Pesantren dalam bentuk konsentrasi kajian.
Ma'had Aly dapat menyelenggarakan lebih dari 1
(satu) konsentrasi kajian pada 1 (satu) rampun ilmu agama Islam.
Kurikulum Ma'had Aly wajib memasukkan materi
muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan Bahasa
Indonesia.
Ma'had Aly memiliki otonomi untuk mengelola
lembaganya sebagaimana tertuang dalam statuta
Ma'had Aly.
Santri Ma'had Aly yang telah menyelesaikan proses
pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak
menggunakan gelar dan mendapatkan ijazah serta
berhak melanjutkan pendidikan pada program yang
lebih tinggi dan kesempatan kerja.
Pasal 23
Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal
dapat diselenggarakan secara berjenjang atau tidak
berjenjang.
Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal
dapat menerbitkan syahadah atau ijazah sebagai
tanda kelulusan.
Lulusan Pendidikan Pesantren jalur pendidikan
nonformal diakui sama dengan pendidikan formal
pada jenjang tertentu setelah dinyatakan lulus ujian.
Lulusan Pendidikan Pesantren jalur pendidikan
nonformal yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat melanjutkan ke
jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, baik
yang sejenis maupun tidak sejenis, dan/atau
kesempatan kerja.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pendidikan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2 Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren
Pasal 25
Dalam menjaga mutu pendidikan, Pesantren menyusun kurikulum.
Pasal 26
Untuk menjamin mutu Pendidikan Pesantren,
disusun sistem penjaminan mutu.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi:
melindungi kemandirian dan kekhasan
Pendidikan Pesantren;
mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan
memajukan penyelenggaraan Pendidikan
Pesantren.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diarahkan pada aspek:
peningkatan kualitas dan daya saing sumber
daya Pesantren;
penguatan pengelolaan Pesantren; dan
peningkatan dukungan sarana dan prasarana
Pesantren.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun oleh Majelis Masyayikh.
Rumusan penjaminan mutu yang disusun oleh
Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 3 Dewan Masyayikh
Pasal 27
Dalam rangka penjaminan mutu internal, Pesantren membentuk Dewan Masyayikh.
Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kiai.
Dewan Masyayikh memiliki tugas paling sedikit:
menyusun kurikulum Pesantren;
melaksanakan kegiatan pembelajaran;
meningkatkan kompetensi dan profesionalitas
pendidik dan tenaga kependidikan;
melaksanakan ujian untuk menentukan kelulusan
Santri berdasarkan kriteria mutu yang telah
ditetapkan; dan
menyampaikan data Santri yang lulus kepada Majelis Masyayikh.
Paragraf 4 Majelis Masyayikh
Pasal 28
Majelis Masyayikh merupakan perwakilan dari
Dewan Masyayikh.
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan Majelis Masyayikh diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
Majelis Masyayikh bertugas:
menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam
menentukan kurikulum Pesantren;
merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan
Pesantren;
merumuskan kompetensi dan profesionalitas
pendidik dan tenaga kependidikan;
melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan
mutu; dan
memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah
Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.
Pasal 30
Hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e disampaikan kepada Menteri.
Berdasarkan hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:
pemetaan mutu;
perencanaan target pemenuhan mutu berdasarkan pemetaan mutu; dan
pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam
pencapaian target pemenuhan mutu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemetaan mutu, perencanaan target pemenuhan mutu, dan pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam pencapaian target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Menteri.
Pasal 31
Majelis Masyayikh menyusun struktur, organisasi, dan tata kerja.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Majelis
Masyayikh dibantu oleh sekretariat.
Pasal 32
Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari bantuan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Paragraf 5 Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Pesantren
Pasal 33
Dalam penyelenggaraan Pendidikan Pesantren, Kiai
dalam fungsinya sebagai pendidik berperan menjaga
kultur dan kekhasan Pesantren.
Kultur dan kekhasan Pesantren sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan
karakter dan nilai Islam rahmatan liPalamin, toleran, keseimbangan, dan moderat yang berkomitmen pada kebangsaan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 34
Pendidik pada Pendidikan Pesantren jalur
pendidikan formal harus memenuhi kualifikasi dan
kompetensi sebagai pendidik profesional.
Kualifikasi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berpendidikan Pesantren dan/atau pendidikan tinggi.
Kompetensi sebagai pendidik profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus
memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan/atau
kompetensi sesuai dengan bidang yang diampu dan
bertanggung jawab.
Penetapan pendidik sebagai tenaga profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Menteri.
Pasal 35
Tenaga kependidikan pada Pendidikan Pesantren dapat berasal dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Pesantren dalam Fungsi Dakwah
Pasal 37
Pesantren menyelenggarakan fungsi dakwah untuk mewujudkan Islam rahmatan lil'alamin.
Pasal 38
Fungsi dakwah oleh Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi:
upaya mengajak masyarakat menuju jalan Allah Swt. dengan cara yang baik dan menghindari kemungkaran;
mengajarkan pemahaman dan keteladanan
pengamalan nilai keislaman yang rendah hati,
toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur
bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan
menyiapkan pendakwah Islam yang menjunjung
tinggi nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 39
Pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan oleh Kiai, Santri, dan/atau melalui lembaga dakwah yang dibentuk dan dikelola oleh Pesantren.
Pasal 40
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren harus:
menanamkan nilai ajaran agama dan menjaga
moralitas umat;
memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat;
mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat;
menjaga kerukunan hidup umat beragama;
selaras dengan nilai kebangsaan dan cinta tanah air; dan
menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai rujukan dunia dalam praktik keberagamaan yang moderat.
Pasal 41
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
pengajaran dan pembelajaran;
ceramah, kajian, dan diskusi;
media dan teknologi informasi;
seni dan budaya;
bimbingan dan konseling;
keteladanan;
pendampingan; dan/atau
pendekatan lain.
Pasal 42
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.
Bagian Keenam Pesantren dalam Fungsi Pemberdayaan Masyarakat
Pasal 43
Pesantren menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan Pesantren dan masyarakat.
Pasal 44
Dalam menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat, Pesantren melaksanakan aktivitas dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.
Pasal 45
Pemberdayaan masyarakat oleh Pesantren dilaksanakan dalam bentuk:
pelatihan dan praktik kerja lapangan;
penguatan potensi dan kapasitas ekonomi Pesantren
dan masyarakat;
pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan lembaga
usaha mikro, kecil, dan menengah;
pendampingan dan pemberian bantuan pemasaran
terhadap produk masyarakat;
pemberian pinjaman dan bantuan keuangan;
pembimbingan manajemen keuangan, optimalisasi,
dan kendali mutu;
pelaksanaan kegiatan sosial kemasyarakatan;
pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri;
dan/atau
pengembangan program lainnya.
Pasal 46
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
bantuan keuangan;
bantuan sarana dan prasarana;
bantuan teknologi; dan/atau
pelatihan keterampilan.
Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI
Pasal 47
Menteri mengembangkan sistem informasi dan
manajemen untuk mengelola data dan informasi
Pesantren.
Sistem informasi dan manajemen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara
terpadu dengan pengelolaan data dan informasi oleh
Menteri.
Data dan informasi hasil pengelolaan digunakan
untuk pengembangan Pesantren.
BAB V PENDANAAN
Pasal 48
Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren
berasal dari masyarakat.
Pemerintah Pusat membantu pendanaan
penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara sesuai dengan
kemampuan keuangan negara dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah membantu pendanaan
penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan
kewenangannya dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren
dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sumber pendanaan Pesantren yang berasal dari
hibah luar negeri diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden.
Pasal 49
Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi
Pesantren yang bersumber dan merupakan bagian
dari dana abadi pendidikan.
Ketentuan mengenai dana abadi Pesantren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB VI KERJA SAMA
Pasal 50
Dalam meningkatkan peran dan mutu, Pesantren
dapat melakukan kerja sama yang bersifat nasional
dan/atau internasional.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dalam bentuk:
pertukaran peserta didik;
olimpiade;
sistem pendidikan;
kurikulum;
bantuan pendanaan;
pelatihan dan peningkatan kapasitas; dan/atau
bentuk kerja sama lainnya.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 51
Dalam pengembangan penyelenggaraan Pesantren,
masyarakat dapat berpartisipasi dalam
pengembangan Pesantren.
Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
memberikan bantuan program dan/atau pembiayaan kepada Pesantren;
memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pesantren;
mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan Pesantren;
mendorong pengembangan mutu dan standar Pesantren;
mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren; dan
memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
Partisipasi dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, badan, dan/atau organisasi masyarakat.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 53
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pesantren disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini
harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan
Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan
Rakyat paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 55
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan dengan pengundangan Undang-Undang ini penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2019
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2019
Plt. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
TJAHJO KUMOLO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 191
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan,