Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 (UU/2019/18)  (2019) 
tentang Pesantren

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2019
TENTANG
PESANTREN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil'alamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya;
  1. bahwa pengaturan mengenai pesantren belum optimal mengakomodasi perkembangan, aspirasi, dan kebutuhan hukum masyarakat serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pesantren;
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28E, Pasal 29, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PESANTREN.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia serta
memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  1. Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin.
  2. Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
  3. Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin adalah kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang terstruktur, sistematis, dan terorganisasi.
  4. Pendidikan Muadalah adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur.
  5. Pendidikan Diniyah Formal adalah Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
  1. Ma'had Aly adalah Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pesantren dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
  2. Santri adalah peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di Pesantren.
  3. Kiai, Tuan Guru, Anre Gurutta, Inyiak, Syekh, Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren.
  4. Dewan Masyayikh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pesantren yang bertugas melaksanakan sistem penjaminan mutu internal Pendidikan Pesantren. Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren.
  5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonomi.
  7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP


Pasal 2
Penyelenggaraan Pesantren berasaskan:
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
  2. kebangsaan;
  3. kemandirian;
  4. keberdayaan;
  5. kemaslahatan;
  6. multikultural;
  7. profesionalitas;
  8. akuntabilitas;
  9. keberlanjutan; dan
  10. kepastian hukum.

Pasal 3
Pesantren diselenggarakan dengan tujuan:
  1. membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat;
  2. membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama; dan
  3. meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Pasal 4
Ruang lingkup fungsi Pesantren meliputi:
  1. pendidikan;
  1. dakwah; dan
  2. pemberdayaan masyarakat.


BAB III
PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN PESANTREN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 5
  1. Pesantren terdiri atas:
    1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengkajian Kitab Kuning;
    2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin; atau
    3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
  2. Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi unsur paling sedikit:
    1. Kiai;
    2. Santri yang bermukim di Pesantren;
    3. pondok atau asrama;
    4. masjid atau musala; dan
    5. kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.


Bagian Kedua
Pendirian


Pasal 6
  1. Pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat.
  1. Pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
    1. berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika;
    2. memenuhi unsur Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
    3. memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren; dan
    4. mendaftarkan keberadaan Pesantren kepada Menteri.
  2. Dalam hal pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan izin terdaftar.

Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Ketiga
Penyelenggaraan


Pasal 8
  1. Penyelenggaraan Pesantren wajib mengembangkan nilai Islam rahmatan lil'alamin serta berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
  1. Penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kekhasan atau keunikan tertentu yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam dan karakter Pesantren.

Pasal 9
  1. Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kiai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus:
    1. berpendidikan Pesantren;
    2. berpendidikan tinggi keagamaan Islam, dan/atau;
    3. memiliki kompetensi ilmu agama Islam.
  2. Kiai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemimpin tertinggi Pesantren yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan Pesantren.
  3. Dalam penyelenggaraaan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kiai dapat dibantu oleh:
    1. pendidik dan tenaga kependidikan dengan kompetensi sesuai dengan kebutuhan Pesantren; dan/atau
    2. pengelola Pesantren.
  4. Pengelola Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bertujuan membantu peran Kiai dalam fungsi administrasi pengelolaan Pesantren.

Pasal 10
  1. Dalam penyelenggaraan Pesantren, Santri yang bermukim di Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menetap di dalam pondok atau asrama Pesantren.
  1. Selain Santri yang bermukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pesantren dapat memiliki Santri lain yang tidak menetap di dalam pondok atau asrama Pesantren.
  2. Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk pendalaman dan peningkatan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin, pengamalan ibadah, pembentukan perilaku akhlak mulia, dan penguasaan bahasa.
  3. Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hati, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai luhur bangsa Indonesia, serta berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 11
  1. Dalam penyelenggaraan Pesantren, pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c merupakan tempat tinggal Santri yang bermukim selama masa proses pendidikan di Pesantren.
  2. Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
  3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

Pasal 12
  1. Dalam hal penyelenggaraan Pesantren, masjid atau musala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus memperhatikan aspek daya tampung, kebersihan, dan kenyamanan.
  2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.

Pasal 13
  1. Dalam penyelenggaraan Pesantren, kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dilaksanakan secara sistematis, terintegrasi, dan komprehensif.
  2. Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, metode klasikal, terstruktur, berjenjang, dan/atau metode pembelajaran lain.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Pesantren dalam Fungsi Pendidikan


Paragraf 1
Umum

Pasal 15
Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.

Pasal 16
  1. Pesantren menyelenggarakan fungsi pendidikan berdasarkan kekhasan, tradisi, dan kurikulum pendidikan masing-masing Pesantren.
  2. Fungsi Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk membentuk Santri yang unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi perkembangan zaman.

Pasal 17
  1. Pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal.
  2. Pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
  3. Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk:
    1. satuan Pendidikan Muadalah ula atau Pendidikan Diniyah Formal ula; dan/atau
    2. satuan Pendidikan Muadalah wustha atau Pendidikan Diniyah Formal wustha.
  1. Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk satuan Pendidikan Muadalah ulya atau Pendidikan Diniyah Formal ulya.
  2. Jenjang Pendidikan Muadalah dapat diselenggarakan dalam waktu 6 (enam) tahun atau lebih dengan menggabungkan penyelenggaraan satuan Pendidikan Muadalah wustha dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara berkesinambungan.
  3. Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk Ma'had Aly.
  4. Pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk pengkajian Kitab Kuning.

Pasal 18
  1. Kurikulum Pendidikan Muadalah terdiri atas kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
  2. Kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh Pesantren dengan berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin.
  3. Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 19
  1. Santri satuan Pendidikan Muadalah yang telah menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik dan satuan Pendidikan Muadalah.
  1. Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
    1. melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
    2. mendapatkan kesempatan kerja.

Pasal 20
  1. Kurikulum Pendidikan Diniyah Formal terdiri atas kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
  2. Penyusunan rumusan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berbasis Kitab Kuning dilakukan oleh Majelis Masyayikh.
  3. Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 21
  1. Santri satuan Pendidikan Diniyah Formal yang telah menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik, satuan pendidikan formal, dan penilaian oleh Menteri.
  2. Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
    1. melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
    2. mendapatkan kesempatan kerja.

Pasal 22
  1. Ma'had Aly menyelenggarakan pendidikan akademik pada program sarjana, magister, dan doktor.
  1. Ma'had Aly mengembangkan rumpun ilmu agama Islam berbasis Kitab Kuning dengan pendalaman bidang ilmu keislaman tertentu.
  2. Pendalaman bidang ilmu keislaman yang diselenggarakan oleh Ma'had Aly yang dikembangkan berdasarkan tradisi akademik Pesantren dalam bentuk konsentrasi kajian.
  3. Ma'had Aly dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) konsentrasi kajian pada 1 (satu) rampun ilmu agama Islam.
  4. Kurikulum Ma'had Aly wajib memasukkan materi muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
  5. Ma'had Aly memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya sebagaimana tertuang dalam statuta Ma'had Aly.
  6. Santri Ma'had Aly yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak menggunakan gelar dan mendapatkan ijazah serta berhak melanjutkan pendidikan pada program yang lebih tinggi dan kesempatan kerja.

Pasal 23
  1. Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal dapat diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
  2. Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal dapat menerbitkan syahadah atau ijazah sebagai tanda kelulusan.
  3. Lulusan Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal diakui sama dengan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelah dinyatakan lulus ujian.
  1. Lulusan Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis, dan/atau kesempatan kerja.

Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pendidikan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren

Pasal 25
Dalam menjaga mutu pendidikan, Pesantren menyusun kurikulum.

Pasal 26
  1. Untuk menjamin mutu Pendidikan Pesantren, disusun sistem penjaminan mutu.
  2. Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
    1. melindungi kemandirian dan kekhasan Pendidikan Pesantren;
    2. mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan
    3. memajukan penyelenggaraan Pendidikan Pesantren.
  3. Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan pada aspek:
    1. peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya Pesantren;
    2. penguatan pengelolaan Pesantren; dan
    3. peningkatan dukungan sarana dan prasarana Pesantren.
  1. Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Majelis Masyayikh.
  2. Rumusan penjaminan mutu yang disusun oleh Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.

Paragraf 3
Dewan Masyayikh

Pasal 27
  1. Dalam rangka penjaminan mutu internal, Pesantren membentuk Dewan Masyayikh.
  2. Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kiai.
  3. Dewan Masyayikh memiliki tugas paling sedikit:
    1. menyusun kurikulum Pesantren;
    2. melaksanakan kegiatan pembelajaran;
    3. meningkatkan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
    4. melaksanakan ujian untuk menentukan kelulusan Santri berdasarkan kriteria mutu yang telah ditetapkan; dan
    5. menyampaikan data Santri yang lulus kepada Majelis Masyayikh.

Paragraf 4
Majelis Masyayikh

Pasal 28
  1. Majelis Masyayikh merupakan perwakilan dari Dewan Masyayikh.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan Majelis Masyayikh diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29
Majelis Masyayikh bertugas:
  1. menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
  2. memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren;
  3. merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren;
  4. merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
  5. melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan
  6. memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.

Pasal 30
  1. Hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e disampaikan kepada Menteri.
  2. Berdasarkan hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:
    1. pemetaan mutu;
    2. perencanaan target pemenuhan mutu berdasarkan pemetaan mutu; dan
    3. pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam pencapaian target pemenuhan mutu.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemetaan mutu, perencanaan target pemenuhan mutu, dan pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam pencapaian target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Menteri.

Pasal 31
  1. Majelis Masyayikh menyusun struktur, organisasi, dan tata kerja.
  2. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Majelis Masyayikh dibantu oleh sekretariat.

Pasal 32
Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari bantuan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Paragraf 5
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Pesantren

Pasal 33
  1. Dalam penyelenggaraan Pendidikan Pesantren, Kiai dalam fungsinya sebagai pendidik berperan menjaga kultur dan kekhasan Pesantren.
  2. Kultur dan kekhasan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan karakter dan nilai Islam rahmatan liPalamin, toleran, keseimbangan, dan moderat yang berkomitmen pada kebangsaan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 34
  1. Pendidik pada Pendidikan Pesantren jalur pendidikan formal harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional.
  1. Kualifikasi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berpendidikan Pesantren dan/atau pendidikan tinggi.
  2. Kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan/atau kompetensi sesuai dengan bidang yang diampu dan bertanggung jawab.
  3. Penetapan pendidik sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

Pasal 35
Tenaga kependidikan pada Pendidikan Pesantren dapat berasal dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Kelima
Pesantren dalam Fungsi Dakwah


Pasal 37
Pesantren menyelenggarakan fungsi dakwah untuk mewujudkan Islam rahmatan lil'alamin.

Pasal 38
Fungsi dakwah oleh Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi:
  1. upaya mengajak masyarakat menuju jalan Allah Swt. dengan cara yang baik dan menghindari kemungkaran;
  2. mengajarkan pemahaman dan keteladanan pengamalan nilai keislaman yang rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
  3. menyiapkan pendakwah Islam yang menjunjung tinggi nilai luhur bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 39
Pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dapat dilakukan oleh Kiai, Santri, dan/atau melalui lembaga dakwah yang dibentuk dan dikelola oleh Pesantren.

Pasal 40
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren harus:
  1. menanamkan nilai ajaran agama dan menjaga moralitas umat;
  2. memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat;
  3. mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat;
  4. menjaga kerukunan hidup umat beragama;
  5. selaras dengan nilai kebangsaan dan cinta tanah air; dan
  6. menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai rujukan dunia dalam praktik keberagamaan yang moderat.

Pasal 41
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
  1. pengajaran dan pembelajaran;
  2. ceramah, kajian, dan diskusi;
  3. media dan teknologi informasi;
  4. seni dan budaya;
  5. bimbingan dan konseling;
  6. keteladanan;
  7. pendampingan; dan/atau
  8. pendekatan lain.

Pasal 42
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.


Bagian Keenam
Pesantren dalam Fungsi Pemberdayaan Masyarakat


Pasal 43
Pesantren menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan Pesantren dan masyarakat.

Pasal 44
Dalam menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat, Pesantren melaksanakan aktivitas dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.

Pasal 45
Pemberdayaan masyarakat oleh Pesantren dilaksanakan dalam bentuk:
  1. pelatihan dan praktik kerja lapangan;
  2. penguatan potensi dan kapasitas ekonomi Pesantren dan masyarakat;
  3. pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan lembaga usaha mikro, kecil, dan menengah;
  4. pendampingan dan pemberian bantuan pemasaran terhadap produk masyarakat;
  5. pemberian pinjaman dan bantuan keuangan;
  6. pembimbingan manajemen keuangan, optimalisasi, dan kendali mutu;
  7. pelaksanaan kegiatan sosial kemasyarakatan;
  8. pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri; dan/atau
  9. pengembangan program lainnya.

Pasal 46
  1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat.
  2. Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
    1. bantuan keuangan;
    2. bantuan sarana dan prasarana;
    3. bantuan teknologi; dan/atau
    4. pelatihan keterampilan.
  3. Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB IV
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI


Pasal 47
  1. Menteri mengembangkan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan informasi Pesantren.
  2. Sistem informasi dan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu dengan pengelolaan data dan informasi oleh Menteri.
  3. Data dan informasi hasil pengelolaan digunakan untuk pengembangan Pesantren.


BAB V
PENDANAAN


Pasal 48
  1. Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren berasal dari masyarakat.
  2. Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Sumber pendanaan Pesantren yang berasal dari hibah luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Pasal 49
  1. Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan.
  2. Ketentuan mengenai dana abadi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB VI
KERJA SAMA


Pasal 50
  1. Dalam meningkatkan peran dan mutu, Pesantren dapat melakukan kerja sama yang bersifat nasional dan/atau internasional.
  2. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
    1. pertukaran peserta didik;
    2. olimpiade;
    3. sistem pendidikan;
    4. kurikulum;
    5. bantuan pendanaan;
    6. pelatihan dan peningkatan kapasitas; dan/atau
    7. bentuk kerja sama lainnya.
  3. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT


Pasal 51
  1. Dalam pengembangan penyelenggaraan Pesantren, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan Pesantren.
  2. Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. memberikan bantuan program dan/atau pembiayaan kepada Pesantren;
    2. memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pesantren;
    3. mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan Pesantren;
    4. mendorong pengembangan mutu dan standar Pesantren;
    5. mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren; dan
    6. memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
  3. Partisipasi dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, badan, dan/atau organisasi masyarakat.


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 52
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 53
  1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pesantren disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
  2. Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 54
  1. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
  2. Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 55
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan dengan pengundangan Undang-Undang ini penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2019

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Oktober 2019

Plt. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

TJAHJO KUMOLO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 191

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Deputi Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,


cap dan ttd.

Lydia Silvanna Djaman