Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 saat ini telah disahkan dan berlaku aktif.
Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019, lihat di sini.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 (UU/2019/19)  (2019) 
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2019
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
  1. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme;
  2. bahwa kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
  3. bahwa pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu terus ditingkatkan melalui strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang komprehensif dan sinergis tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  1. bahwa beberapa ketentuan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor l0 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diubah;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;


Mengingat:
  1. Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 20l5 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5698);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5698) diubah sebagai berikut:
  1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 1
    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  1. Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.
  3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel, komunikasi, jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi maupun alat elektronik lainnya.
  5. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.
  1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 3
    Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.


  2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 5
    Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
    1. kepastian hukum;
    2. keterbukaan;
    3. akuntabilitas;
    4. kepentingan umum;
    5. proporsionalitas; dan
    6. penghormatan terhadap hak asasi manusia.

  3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 6
    Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan:
    1. tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi;
    2. koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melalsanakan pelayanan publik;
    3. monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
  1. supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  2. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi; dan
  3. tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 7
    1. Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
      1. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
      2. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
      3. menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jejaring pendidikan;
      4. merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
      5. melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat; dan
      6. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  1. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib membuat laporan pertanggungjawaban 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
  1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 8
    Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
    1. mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
    2. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
    3. meminta informasi tentang Pemberantasan Tindak instansi yang terkait;
    4. kegiatan Pidana Korupsi kepada melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang dalam melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
    5. meminta laporan kepada instansi berwenang mengenai upaya pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi.
  1. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 9
    Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
    1. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan lembaga pemerintahan;
    2. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintahan untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya Tindak Pidana Korupsi; dan
    3. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tidak dilaksanakan.

  2. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 10
    1. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  1. Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
  1. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A, yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 10A
    1. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
    2. Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
      1. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;
      2. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungiawabkan;
      3. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
      4. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;
      5. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
      6. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
  1. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan, kepolisian dan/atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
  2. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian dan/atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum yang menangani Tindak Pidana Korupsi.
  1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 11
    1. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
      1. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
      2. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
  1. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kepada kepolisian dan/atau kejaksaan.
  2. Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan supervisi terhadap penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  1. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 12
    1. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.
    2. Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
      1. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
      2. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang di periksa;
      3. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
      4. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
  1. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
  2. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang sedang diperiksa;
  3. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; dan
  4. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani.
  1. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 12A, Pasal l2B, Pasal 12C, dan Pasal 12D yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 12A
    Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12B
  1. Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
  2. Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
  3. Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.
  4. Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Pasal 12C
  1. Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.
  2. Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungiawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.

Pasal 12D
  1. Hasil Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  1. Hasil Penyadapan yang tidak terkait dengal Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi wajib dimusnahkan seketika.
  2. Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan, pejabat dan/atau orang yang menyimpan hasil Penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 13
    Dalam melaksanakan tugas untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf f, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan tindakan hukum yang diperlukan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan isi dari penetapan hakim atau putusan pengadilan.
  2. Pasal 14 dihapus.
  3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 15
    Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
    1. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  1. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan hasil penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang ditanganinya;
  2. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
  3. menegakkan sumpah jabatan;
  4. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; dan
  5. menyusun kode etik pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
  1. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 19
    1. Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
    2. Dihapus.
  2. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 21
    1. Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas:
      1. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang;
      2. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
      3. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
  1. Susunan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
    1. ketua merangkap anggota; dan
    2. wakil ketua terdiri dari 4 (empat) orang, masing-masing merangkap anggota.
  2. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pejabat negara.
  3. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat kolektif kolegial.
  1. Pasal 22 dihapus.
  2. Pasal 23 dihapus.
  3. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 24
    1. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (l) huruf c merupakan warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
    2. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    3. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 29
    Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. warga negara Indonesia;
    2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    3. sehat jasmani dan rohani;
    4. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
    5. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
    6. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
    7. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
    8. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
    9. melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
    10. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
    11. mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 32
    1. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:
      1. meninggal dunia;
      2. berakhir masa jabatannya;
      3. melakukan perbuatan tercela;
      4. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan;
      5. berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya;
      6. mengundurkan diri; atau
      7. dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
    2. Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sementara dari jabatannya.
    3. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dilarang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengunduran dirinya menduduki jabatan publik.
    4. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
  1. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 33
    1. Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
    2. Anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29.
    3. Anggota pengganti Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang digantikan.
  2. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 37
    Ketentuan sebagaimana dimalsud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
  3. Di antara Bab V dan Bab VI disisipkan 1 (satu) bab yakni Bab VA yang berbunyi sebagai berikut:


    BAB VA
    DEWAN PENGAWAS

  1. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G, yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 37A
    1. Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a.
    2. Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 (lima) orang.
    3. Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

    Pasal 37B
    1. Dewan Pengawas bertugas:
      1. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
      2. memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
      3. menyusun dan menetapkan kode etik Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi;
      4. menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini;
      5. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
      6. melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  1. Dewan Pengawas membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 37C
  1. Dewan Pengawas dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37B membentuk organ pelaksana pengawas.
  2. Ketentuan mengenai organ pelaksana pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 37D
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. warga negara Indonesia;
  2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. sehat jasmani dan rohani;
  4. memiliki integritas moral dan keteladanan;
  5. berkelakuan baik;
  6. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
  7. berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
  8. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu);
  1. tidak menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik;
  2. melepaskan jabatan struktural atau jabatan lainnya;
  3. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Dewan Pengawas; dan
  4. mengumumkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37E
  1. Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
  2. Dalam mengangkat ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden Republik Indonesia membentuk panitia seleksi.
  3. Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat dan unsur masyarakat.
  4. Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengumumkan penerimaan calon.
  5. Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja secara terus menerus.
  6. Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
  7. Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diumumkan.
  8. Panitia seleksi menentukan nama calon yang akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia.
  1. Dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi, Presiden Republik Indonesia menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dikonsultasikan.
  2. Presiden Republik Indonesia menetapkan ketua dan anggota Dewan Pengawas dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) selesai dilaksanakan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37F
  1. Ketua dan anggota Dewan Pengawas berhenti atau diberhentikan, apabila:
    1. meninggal dunia;
    2. berakhir masa jabatannya;
    3. melakukan perbuatan tercela;
    4. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
    5. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; dan/atau
    6. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut.
  2. Dalam hal ketua dan anggota Dewan Pengawas menjadi tersangka tindak pidana, ketua dan anggota Dewan Pengawas diberhentikan sementara dari jabatannya.
  1. Ketua dan anggota Dewan Pengawas yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilarang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pengunduran dirinya menduduki jabatan publik.
  2. Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Pasal 37G
  1. Sebelum memangku jabatan, Ketua, dan anggota Dewan Pengawas wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik Indonesia.
  2. Bunyi sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis dengan bunyi sumpah/janji Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
  1. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 38
    Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini.
  1. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 40
    1. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
    2. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
    3. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.
    4. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 43
    1. Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal Komisi Pemberantasan Korupsi.
  1. Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
  2. Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk pada mekanisme penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A, yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 43A
    1. Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
      1. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;
      2. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan;
      3. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
      4. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
    2. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan.
    3. Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dari jabatannya apabila:
      1. diberhentikan sebagai aparatur sipil negara;
      2. tidak lagi bertugas di bidang teknis penegakan hukum; atau
      3. permintaan sendiri secara tertulis.
  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.
  1. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 45
    1. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
    2. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    3. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib tunduk pada mekanisme penyidikan yang diatur berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
    4. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mempunyai standar kompetensi yang sama.
  2. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A, yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 45A
    1. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
      1. paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;
      2. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyidikan;
  1. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan
  2. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
  1. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beke{a sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan.
  2. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dari jabatannya karena:
    1. diberhentikan sebagai aparatur sipil negara;
    2. tidak lagi bertugas di bidang teknis penegakan hukum; atau
    3. permintaan sendiri secara tertulis.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.
  1. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 46
    Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan pemeriksaan tersangka dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.
  1. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 47
    1. Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
    2. Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permintaan izin diajukan.
    3. Penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penggeledahan dan penyitaan pada hari penggeledahan dan penyitaan paling sedikit memuat:
      1. nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang digeledah dan disita;
      2. keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penggeledahan dan penyitaan;
      3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut;
      4. tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penggeledahan dan penyitaan; dan
      5. tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
    4. Salinan berita acara penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.
  1. Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 47A
    1. Hasil penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan pelelangan.
    2. Ketentuan mengenai pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  2. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 69A, Pasal 698, Pasal 69C, dan Pasal 69D, yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 69A
    1. Ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.
    2. Kriteria ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Pasal 37D termasuk dan tidak terbatas pada aparat penegak hukum yang sedang menjabat dan yang telah berpengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun.
    3. Penunjukan dan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk 1 (satu) kali masa jabatan sesuai masa jabatan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A ayat (3).
  1. Pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan bersamaan dengan pengangkatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode tahun 2019 sampai dengan tahun 2023.

Pasal 69B
  1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pengangkatan sebagaimana dimalsud pada ayat (1) berlaku bagr penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 69C
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling larna 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 69D
Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.
  1. Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 70A, Pasal 70B, dan Pasal 70C, yang berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 70A
    Pengangkatan, pembinaan, dan pemberhentian Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 70B
    Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Pasal 70C
    Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2019

PLT. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

TJAHJO KUMOLO


Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 197

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan,


cap dan ttd.

Lydia Silvanna Djaman

 
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2019
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. UMUM

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua Tindak Pidana Korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dengan berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Pemerintah Pusat yang tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam perkembangannya, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini penegak hukum, terjadinya pelangaran kode etik oleh pimpinan dan staf Komisi Pemberantasan Korupsi, serta adanya masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, yakni adanya pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbeda dengan ketentuan hukum acara pidana, kelemahan koordinasi dengan sesama aparat penegak hukum, problem Penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoodinasi, terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta kelemahan belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi sehinga memungkinkan terdapat cela dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Untuk itu dilakukan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kegiatan pencegahan bukan berarti kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi diabaikan. Justru adanya penguatan tersebut dimaksudkan agar kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, semakin baik dan komprehensif. Pembaruan hukum juga dilakukan dengan menata kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan sehingga timbul kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.

Kemudian penataan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/20l7. Di mana dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi ternasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pernerintah (regeringsorgaan-bestuursorganen). Hal ini dimaksudkan agar kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas, yaitu sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pernerintahan (executive power). Dengan perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang ini, diharapkan dapat:

  1. Mendudukkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktur dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
  2. Menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan lebih efektif, efisien, terkoordinasi, dan sesuai dengan ketentuan umum yang diatur dalam peraturan penrndang-undangan;
  3. Mengurangi ketimpangan hubungan antar kelembagaan penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan tidak memonopoli dan menyelisihi tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; dan
  4. Melakukan kerjasama, supervisi dan memantau institusi yang telah ada dalam upaya bersama melakukan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka I
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Yang dimaksud dengan "lembaga negara" adalah lembaga negara yang bersifat sebagai state auxiliary agency yang masuk dalam rumpun eksekutif.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legslatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 10A
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 12A
Cukup jelas.
Pasal 12B
Ayat (1)
Izin tertulis diajukan setelah dilakukan gelar perkara di hadapan Dewan Pengawas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12C
Cukup jelas.
Pasal 12D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hukuman pidana dijatuhkan termasuk namun tidak terbatas terhadap hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum Undang-Undang ini berlaku.
Angka 13
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 14
Dihapus.
Angka 15
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 22
Dihapus.
Angka 19
Pasal 23
Dihapus.
Angka 20
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Angka 22
Pasa1 32
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 25
BAB VA
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 37A
Cukup jelas.
Pasal 37B
Cukup jelas.
Pasal 37C
Cukup jelas.
Pasal 37D
Cukup jelas.
Pasal 37E
Cukup jelas.
Pasal 37F
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Korupsi Pemberantasan Korupsi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37G
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 43A
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 45A
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 47A
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 69A
Cukup jelas.
Pasal 69B
Cukup jelas.
Pasal 69C
Cukup jelas.
Pasal 69D
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 70A
Cukup jelas.
Pasal 70B
Cukup jelas.
Pasal 70C
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6409