Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1958

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1958 (UU/1958/1)  (1958) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 TAHUN 1958

Tentang:

PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR

(Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-145 pada hari Kamis tanggal 12 Desember 1957, P. 107/1957)

(LN 1958/2 TLN NO. 1571)

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

1. bahwa adanya lembaga tanah partikelir dengan hak-hak pertuanannya di dalam wilayah Republik Indonesia, adalah bertentangan dengan azas dasar keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara

2. bahwa untuk kebulatan kedaulatan dan kewibawaan Negara, demi kepentingan umum lembaga tersebut harus dihapuskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

3. bahwa usaha likwidasi yang dijalankan hingga sekarang, melalui kata sepakat antara Pemerintah dan pemilik-pemilik tanah partikelir atas dasar kebijaksanaan, ternyata tidak membawa hasil yang memuaskan

4. bahwa peraturan-peraturan yang mengenai pencabutan hak, sebagai tercantum dalam "Onteigeningsordonnantie" (S. 1920 - 574) dan peraturan-peraturan tentang "Pengembalian tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara" (S. 1911 - 38 jis S. 1912 - 480 dan S. 1912 - 481) tidak cukup untuk dapat mencapai likwidasi tanah-tanah itu secara integral dalam waktu yang singkat

5. bahwa berhubung dengan itu diperlukan suatu Undang-undang khusus

6. bahwa tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau perlu diturut sertakan dalam likwidasi tersebut di atas, karena bertentangan dengan maksud dan jiwa dari ketentuan dalam pasal 51 ayat 2 Indische Staatsregeling (S. 1925 - 417) jo pasal 8 Agrarisch Besluit (S. 1870 - 18)

Mengingat:

a.Pasal-pasal 26 ayat 2, 27 ayat 1, 38 ayat 3, 89 serta 98 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia

b. Undang-undang No. 29 tahun 1957 Lembaran-Negara tahun 1957 No.101)

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

Undang-undang tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir.

Pasal 1.

1. Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:

a. "tanah partikelir", ialah tanah "eigendom" di atas mana pemiliknya sebelum Undang-undang ini berlaku, mempunyai hak-hak pertuanan

b. "Hak-hak pertuanan", ialah:

1. hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta memperhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum, sebagai yang disebut dalam pasal 2 dan 3 dari S. 1880 - 150 dan pasal 41 sampai dengan 43 dari S. 1912 - 422

2. hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk, sebagai yang disebut dalam pasal 30, 31, 32, 34, 35 dan 37 S. 1912 - 422

3. hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang atau hasil tanah dari penduduk, sebagai yang disebut dalam pasal 16 sampai dengan 27 dan 29 S. 1912 - 422

4. hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan, sebagai yang disebut dalam pasal 46 dan 47 S. 1912 - 422

5. hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan/ atau adat setempat, sederajat dengan yang disebut dalam sub b 1 sampai dengan b 4 ayat ini

c. "tanah usaha" ialah:

1. bagian-bagian dari tanah partikelir yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 dari Peraturan tentang tanah-tanah partikelir, S. 1912 - 422

2. bagian-bagian dari tanah partikelir yang menurut adat setempat termasuk tanah desa atau diatas mana penduduk mempunyai hak yang sifatnya turun-temurun

d. "tanah kongsi" ialah:

1. bagian-bagian dari tanah partikelir yang tidak termasuk "tanah usaha."

2. Tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang menjadi milik seseorang atau suatu badan hukum atau milik bersama dari beberapa orang atau beberapa badan hukum, diperlakukan sebagai tanah partikelir.

Pasal 2.

1. Pemilik tanah partikelir (selanjutnya dalam Undang- undang ini disebut: pemilik) ialah:

a. barangsiapa yang dalam surat eigendom, yang dibuat menurut peraturan-peraturan yang berlaku, tercatat sebagai pemilik tanah partikelir itu

b. barang siapa dengan alat-alat pembukti yang sah dapat membuktikan, bahwa ia berhak atas tanah partikelir itu sebagai pemilik.

2. Di dalam hal suatu tanah partikelir tidak diketahui siapa pemiliknya atau pemiliknya tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak mempunyai wakil yang berkuasa penuh di Indonesia, maka Balai Harta Peninggalan karena jabatannya bertindak sebagai wakil dari pemilik di dalam semua hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan Undang-undang ini.

Pasal 3.

Sejak mulai berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi tanah Negara.

Pasal 4.

1. Likwidasi tiap tanah partikelir yang dimaksudkan dalam pasal 3 dilakukan dengan keputusan Menteri Agraria menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Selama Menteri Agraria belum menetapkan keputusan sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, pemilik wajib bertindak selaku pengurus yang baik atas tanah kongsi yang dikuasainya pada masa sebelum berlakunya Undang-undang ini.

3. Menteri Agraria segera menetapkan pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan lain tentang tanaman, pertanggungan jawab dan honorarium atas tugas pemilik yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini.

Pasal 5.

1. Tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1 sub c oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya, diberikan kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik, kecuali jika hal itu menurut peraturan yang ada sekarang tidak mungkin.

Dalam hal yang terakhir oleh Menteri Agraria diadakan ketentuan-ketentuan khusus.

2. Pemberian hak milik tersebut pada ayat 1 pasal ini dilakukan dengan cuma-cuma dan dapat disertai syarat-syarat menurut keputusan Menteri Agraria.

3. Hak-hak lainnya yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku membebani bekas tanah partikelir tersebut pada pasal 3 tetap berlangsung kecuali jika kemudian ditentukan lain oleh Menteri Agraria.

Pasal 6.

1. Orang asing yang mempunyai tanah usaha harus melepaskannya kepada seorang warga-negara Indonesia atau kepada Negara dalam waktu satu tahun terhitung mulai berlakunya Undang- undang ini. Atas permintaan yang bersangkutan Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya dapat memperpanjang waktu tersebut di atas dengan paling lama satu tahun.

2. Di dalam hal ketentuan dalam ayat 1 pasal ini tidak dipenuhi maka haknya atas tanah usaha itu batal dan tanahnya menjadi tanah Negara bebas. Pembatalan itu dinyatakan oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya.

Pasal 7.

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6, maka setiap serah pakai tanah usaha buat lebih dari satu tahun, setiap pemindahan hak atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat diduga bertujuan jelas untuk memindahkan hak atas tanah usaha, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya.

2. Didalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya dapat menyatakan hak atas tanah usaha itu batal dan tanahnya menjadi tanah Negara bebas.

3. Di dalam surat keputusan tentang pernyataan batalnya hak atas tanah usaha, sebagai yang termaksud dalam ayat 2 pasal 6 dan ayat 2 pasal ini, dapat dicantumkan perintah pengosongan, yang dapat dijalankan dengan segera oleh jurusita, kalau perlu dengan bantuan polisi, juga sekalipun yang berkepentingan mengajukan tuntutan berkeberatan di muka Pengadilan.

Pasal 8.

1. Kepada pemilik tanah partikelir yang dimaksudkan dalam pasal 3 diberikan ganti-kerugian yang dapat berupa:

a. sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil kotor setahun, rata-rata selama lima tahun terakhir sebelum 1942, dikurangi 40% sebagai biaya usaha, kemudian dikalikan angka 81/2 (delapan setengah), b. hak, bantuan dan/atau keleluasaan lain.

2. Atas bagian-bagian tanah partikelir yang pada mulai berlakunya Undang-undang ini tidak digunakan atau diusahakan oleh pemiliknya, karena alasan-alasan yang tidak dapat dibenarkan oleh Menteri Agraria, tidak diberikan ganti-kerugian.

3. Pembayaran ganti-kerugian tersebut pada ayat 1 sub a pasal ini dapat dilakukan secara berangsur, paling lama lima tahun dan dalam hal ini kepada pemilik diberikan bunga menurut Undang-undang.

4. Ganti kerugian tersebut diatas ditetapkan dengan keputusan Menteri Agraria menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

5. Keputusan Menteri Agraria mengenai penetapan ganti- kerugian tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dimintakan bandingan kepada badan pemerintahan yang lebih tinggi atau badan pengadilan.

Pasal 9.

Terhadap hypotheek atau oogstverband yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku membebani seluruh atau sebagian dari suatu tanah partikelir yang dimaksud dalam pasal 3, berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal 40 Onteigeningsordonnantie (S. 1920 - 574).

Pasal 10.

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat 2 pasal 4 di atas, maka barang siapa tanpa idzin Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, menduduki dan/atau memakai tanah Negara bekas tanah kongsi, ataupun mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,-

2. Dengan hukuman yang sama dihukum a. Barangsiapa dengan langsung atau tidak langsung mengajak membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan. b. Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga, untuk melakukan perbuatan tersebut dalam ayat 1 pasal ini.

3. Pemilik yang menurut keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan untuk dijalankan, dinyatakan bersalah atas perbuatan-pidana termaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, disamping hukuman tersebut dalam ayat-ayat di atas, oleh Menteri Agraria dapat dinyatakan kehilangan haknya atas seluruh atau sebagian dari ganti kerugian yang dimaksudkan dalam pasal 8.

4. Perbuatan-pidana termaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 11.

Keputusan hakim yang menyatakan seseorang bersalah atas perbuatan-pidana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal 10 di atas, menentukan pula perintah terhadap yang bersalah untuk mengosongkan tanah yang diduduki dan/atau dipakainya dengan segala barangnya dan orang yang menerima hak dari padanya, perintah mana sesudah berlaku tentang 14 hari terhitung dari tanggal keputusan hakim tersebut diucapkan, atas salinan diktum keputusan dapat dijalankan lebih dahulu oleh jurusita, jika perlu dengan bantuan polisi, juga sekalipun yang bersalah mengajukan permohonan banding, kasasi atau grasi.

Pasal 12.

1. Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang- undang ini dapat dicantumkan ancaman hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000,-

2. Perbuatan-pidana termaksud dalam ayat 1 pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 13.

1. Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir"

2. Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 1958,
Pejabat Presiden Republik Indonesia

ttd.

SARTONO.

Diundangkan pada tanggal 24 Januari 1958
Menteri Kehakiman,

ttd.
G. A. MAENGKOM.

Sesuai dengan salinan aslinya,
SEKRETARIAT NEGARA
Biro Organisasi dan Administrasi
Pd. Kepala I Bagian Kearsipan,

(M. HARTONO)

Menteri Agraria

ttd.

SUNARJO

MEMORI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1958

TENTANG

"PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR".

PENJELASAN UMUM.

1. Alasan untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir.

(1) Tanah partikelir adalah tanah eigendom, yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Pada awal mulanya (sebelum diadakan pengambilan tanah-tanah itu kepada Negara) luasnya sampai sejumlah 1.150.000 ha, terutama terletak di Jawa Barat. Yang membedakan tanah partikelir dari tanah eigendom lainnya, ialah adanya hak-hak pada pemiliknya, yang bersifat hak-hak kenegaraan, sebagain misalnya hak untuk mengangkat/memberhentikan kepala-kepala kampung/desa/umum yang diberi kekuasaan dan kewajiban kepolisian, hak menuntut kerja paksa (rodi) atau uang pengganti rodi dari penduduk yang berdiam di tanah-tanah itu dan untuk mengadakan pemungutan-pemungutan, baik berupa uang maupun hasil tanah, dari penduduk yang mempunyai "hak usaha". Hak-hak demikian itu dahulu disebut "landheerlijke rechten" dan di dalam Undang-undang ini disebut "hak-hak pertuanan". Di dalam ketatanegaraan yang modern hak-hak pertuanan itu tidak boleh tidak haruslah hanya ada pada Pemerintah (Negara). Hak-hak pertuanan itu adal yang sudah diatur dengan peraturan Undang-undang misalnya yang mengenai tanah-tanah partikelir disebelah Barat Cimanuk dengan Ordonansi tanggal 3 Agustus 1912 (S. 1912 - 422). Di tanah-tanah partikelir lainnya hak-hak itu didasarkan pada adat setempat. Lembaga tanah partikelir yang memberikan hak-hak istimewa kepada para pemiliknya ("tuan-tuan tanah") sebagai yang diuraikan di atas itu, seakan-akan menimbulkan negara-negara kecil di dalam Negara kita dan benar-benar tidak sesuai lagi dengan sifat dan azas-azas Negara kita sebagai negara modern. Lagi pula tanah-tanah partikelir itu ternyata selalu merupakan sumber kesulitan, kegaduhan dan sumber dari pada keadaan-keadaan yang buruk, disebabkan terutama karena kurangnya perhatian tuan-tuan tanah terhadap penduduk juga terhadap usaha-usaha pembangunan, yang tidak langsung membawa keuntungan baginya. Keadaan penghidupan penduduk yang menyedihkan itu disebabkan pula, karena di dalam segala hal tuan-tuan tanah itu selalu berada dalam kedudukan yang kuat. Sikap tuan-tuan tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya, yang menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk, terang tidak membawa faedah bagi masyarakat, hal mana sudah barang tentu bertentangan dengan azas keadaan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.

Mengingat akan hal-hal di atas itu maka sudahlah seharusnya, bahwa untuk kepentingan umum tanah-tanah partikelir, yang kini masih ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi dihapuskan di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

(2) Lain dari pada itu tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau perlu diperlakukan juga sebagai tanah partikelir, hingga dapat dihapuskan menurut ketentuan-ketentuan dalam rancangan Undang-undang ini. Dengan demikian maka pemilik-pemilik tanah eigendom yang luas yang mengingkari, bahwa tanahnya itu adalah tanah partikelir dengan alasan tidak adanya hak-hak partuanan, juga terkena oleh Undang-undang ini. Membuktikan adanya hak-hak partuanan atas sesuatu tanah eigendom sekarang ini tidak selalu mudah atau mungkin, padahal menurut catatan yang ada pada Pemerintah tanah itu sejak dulu tercatat sebagai tanah partikelir. Lagi pula tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau menyalahi maksud dan jiwa dari pasal 51 ayat 2 Indische Staatsregeling (dulu pasal 62 Regering Reglement) jo, pasal 8 Agrarisch Besluit, dalam mana ditentukan, bahwa pemberian eigendom tidak boleh melebihi 10 bau dan itupun terbatas pada perluasan kota dan desa atau untuk keperluan tempat bangunan-bangunan kerajinan.

II. Sejarah usaha pengambilan tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara.

(1) Pertimbangan-pertimbangan itulah pula, yang mendorong pemerintah Belanda untuk secara insidentel mengadakan pembelian kembali dan mencantumkan di dalam ayat 1 pasal 62 Regering reglement (S. 1855-2) larangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual tanah-tanah yang luas kepada perseorangan. Di samping itu diadakan juga usaha-usaha untuk sekedar memperkecil kemungkinan itmbulnya keadaan-keadaan yang menyedihkan sebagai yang diuraikan di atas, dengan mengeluarkan peraturan tentang tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk pada tahun 1836, peraturan mana dengan S. 1912 - 422 diganti dengan peraturan baru, yang masih berlaku hingga sekarang. Di dalam peraturan itu diadakan ketentuan-ketentuan tentang hak, kekuasaan dan kewajiban tuan-tuan tanah di dalam hubungannya dengan Negara dan penduduk. Demikian juga mengenai tanah-tanah partikelir di Sulawesi ada beberapa ketentuan dalam Bijblad 3909. Mengenai tanah-tanah lainnya, yaitu yang terletak di sebelah Timur Cimanuk, tidak ada peraturan umumnya karena keadaannya berlainan dari pada tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk dan keadaan masing-masing pun berbeda satu dengan yang lain. Demikianlah maka di tanah-tanah partikelir tersebut hingga kini segala sesuatunya masih diatur menurut adat setempat. Hanya mengenai hubungan tuan-tuan tanah dan penduduk dengan Pemerintah, dalam S. 1880 - 150 diadakan peraturan sekedarnya.

(2) Biarpun sejak 1810 telah terjadi pembelian kembali, lagi ada sejak 1855 sebagaimana tersebut di atas telah ada penentuan tidak akan menimbulkan tanah-tanah partikelir baru lagi, akan tetapi barulah sejak 1910, atas desakan baik dari kalangan-kalangan di luar maupun di dalam Parlemen Belanda, dilaksanakan usaha pengembalian itu secara teratur.

Berturut-turut dikeluarkanlah Wet tanggal 27 Nopember 1910 (S. 1911 - 38), Koninklijk Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 54 (S 1912 - 480) dan Koninklijk Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 55 (S. 1912 - 481), yang memberikan ketentuan-ketentuan khusus tentang cara pengembalian tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara, di dalam hal uaha pembelian secara damai tidak berhasil. Berangsur-angsur telah banyak tanah-tanah partikelir yang dapat dibeli kembali diantara tahun 1912 dan 1931 saja ada seluas 456.709 Hektar. Berhubung dengan adanya penghematan, di antara 1931 dan 1936 tidak diadakan pembelian lagi.

(3) Pada tahun 1935 didirikanlah sebagai usaha darurat: N.V. Javansche Particuliere Landerijen Maatschappij, yang semua saha-sahamnya ada ditangan Pemerintah Maatschappij tersebut mendapat tugas untuk mengusahakan pembelian kembali dan menguasai serta mengurus tanah-tanah partikelir yang telah dibelinya itu, selama Pemerintah belum dapat mengopernya sendiri. Diantara tahun 1936 - 1941 sudah dibeli dan diurus oleh Maatschappij itu: 13 tanah-tanah partikelir seluas 80.713 hektare. Tetapi oleh karena tanah-tanah itu selama belum dibeli oleh Pemerintah masih tetap berstatus tanah partikelir, maka bagi penduduk tidaklah terasa adanya perubahan yang berarti. Dalam tahun 1949 tanah-tanah N.V. itu dibeli oleh Pemerintah dan pada tanggal 13 Desember 1951 N.V. Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij, itu dibubarkan.

(4) Selama pemerintah pendudukan Jepang tidak terjadi pembelian kembali. Adapun tanah-tanah partikelir itu diurus oleh Kantor yang dinamakan "Siriyocti Kanrikoosya" (Undang-undang Balatentara Dai Nippon tanggal 1 bulan 6 tahun Syoowa 17 (2602) jo Osamu Serei No. 2 tanggal 30 bulan 1 tahun Syoowa 18 (2603).

(5) Sesudah pendudukan Jepang maka oleh Pemerintah Hindia Belanda usaha pembelian itu dimulai lagi. Terutama terdorong oleh keadaan politik dan perkembangan masyarakat pada waktu itu, usaha diselenggarakan secara besar-besaran. Dalam tahun 1948 dibentuklah sebuah Panitia yang diberi tugas untuk di dalam waktu yang singkat, mengajukan usul-usul kepada Pemerintah tentang cara yang sebaik-baiknya untuk menglikuidasi tanah-tanah partikelir yang masih ada. Berdasar atas usul Panitia itu oleh Pemerintah dengan keputusannya tanggal 8 April 1949 No. 1 ditetapkan suatu peraturan likuidasi, atas dasar mana dengan secara damai dapat dikembalikan kepada Negara 48 tanah partikelir seluas 469.506 ha, semuanya terletak di sebelah Barat Cimanuk.

(6) Dalam pada itu sebelum diadakan usaha pembelian kembali secara besar-besaran, mengingat akan suasana politik dan keadaan keamanan pada waktu itu, telah dikeluarkan Verordening CCO-Amacab Jawa dan Madura tanggal 8 Nopember 1946 No. XXIX, yang menentukan, bahwa penggunaan hak-hak pemilik tanah-tanah partikelir untuk sementara hanya diperbolehkan dengan izin istimewa. Peraturan tersebut memuat larangan exploitasi tanah-tanah partikelir tanpa izin Residen. Di dalam prakteknya hal itu berarti pembekuan hak-hak pertuanan, oleh karena izin itu hanya boleh diberikan untuk mengusahakan kembali bagian-bagian tanah kongsi yang merupakan perkebunan. (Tanah kongsi adalah bagian-bagian tanah partikelir yang bukan tanah usaha). Dengan demikian maka hingga kini tidaklah lagi ada pemilik tanah partikelir yang menerima hasil dari hak-hak pertuanannya.

(7) Pada waktu pemulihan kedaulatan di Jawa masih ada sisa tanah-tanah partikelir sebagai berikut:
a. tanah agraris (pertanian) ......... 33, luasnya ± 21.798 ha.
b. tanah dalam kota ................. 109, luasnya ± 7.125 ha.
Jumlah ...................... 142, luasnya ± 28.923 ha.
Di Sulawesi ada kira-kira 50 tanah partikelir seluas ± 2.500 ha.

(8) Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan kemudian Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan saja melanjutkan pembelian kembali tanah-tanah partikelir, akan tetapi sebagai Pemerintah nasional lebih-lebih merasakan hal itu sebagai kewajiban yang pokok dan utama.

Demikianlah mula-mula disusun rencana pembelian dengan jangka waktu 5 tahun. Akan tetapi berhubung dengan rupa-rupa kesulitan mengenai keuangan Negara, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagai yang diharapkan. Hingga akhir tahun 1956 dapat dibeli kembali 25 tanah partikelir yang luasnya berjumlah 11.759 ha.

Pada saat ini di Jawa masih ada sisa: ± 117 tanah partikelir yang luasnya ± 17.164 ha. Diantara tanah-tanah itu ada sebagian yang dimilik oleh daerah-daerah swatantra, yaitu:

Kotapraja Jakarta Raya ............. 13, luasnya ± 1.360 ha.
Kota besar Semarang ................. 1, luasnya ± 355 ha.
Kota besar Surabaya ................. 7, luasnya ± 786 ha.
Jumlah ............................. 21, luasnya ± 2.501 ha.

(9) Kecuali kesulitan mengenai keuangan, usaha penghapusan tanah-tanah partikelir itu menjumpai kesukaran juga yang disebabkan oleh sikap tuan tanah, yang hanya mau melepaskan tanahnya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pada yang selayaknya sesuai dengan nilainya sebagai tanah partikelir. Berhubung dengan itu maka usaha pembelian secara damai acap kali menemui jalan buntu. Di dalam hal yang demikian itu bagi Pemerintah sesungguhnya masih terbuka kemungkinan akan mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam S. 1911 - 38 jo. S. 1912 - 48 dan 481 dan yang mengenai tanah-tanah partikelir di luar Jawa ketentuan-ketentuan dalam "ontergeningsordonnantie" (S. 1920 - 574), sebagaimana misalnya yang terjadi dalam tahun 1953 mengenai beberapa tanah partikelir di Jakarta, tersebut dalam Undang-undang No. 6/1953. L.N. 1953 - 27.

Akan tetapi acara pembelian yang ditentukan dalam peraturan-peraturan tersebut tidak saja sulit, melainkan juga memerlukan waktu yang tidak sedikit karena misalnya tiap-tiap kali diperlukan suatu "nutsverklaring" dengan Undang-undang dan di samping itu tetap harus ditempuh jalan perundingan antara Pemerintah dan pemilik. Jika perundingan tersebut tidak mencapai hasil maka haruslah oleh Pemerintah diajukan tuntutan kepada pengadilan. Dengan demikian maka tidaklah mungkin likuidasi itu tercapai di dalam waktu yang singkat, sebagai yang diharapkan oleh masyarakat.

Mengingat, bahwa hapusnya tanah-tanah partikelir itu sudah menjadi tuntutan nasional dan harus diselesaikan di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maka dipandang perlu untuk menyusun baru secara penghapusan, secara integral, yang dapat dilaksanakan dengan cepat, tetapi tetap menjamin hak-hak penduduk dan pemberian ganti kerugian yang layak, sebagaimana ditentukan dalam pasal 27 U.U.D.S. Acara penghapusan yang baru itu disusun dalam Undang-undang ini.

III. Garis-garis besar dari pada acara penghapusan menurut Undang-undang ini.

(1) Berbeda dengan pendirian pemerintah Belanda dulu, maka Pemerintah Republik Indonesia menganggap penghapusan tanah- tanah partikelir itu suatu hal Yang azasi (prinsipiil), karena berlangsungnya lembaga tanah partikelir tersebut nyata-nyata bertentangan dengan azas dasar keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara. Lagi pula untuk kebulatan kedaulatan dan kewibawaan Negara lembaga tersebut haruslah dihapuskan, karena sebagai yang disebutkan di atas, berhubung dengan adanya "hak-hak pertuanan" pada para pemilik seakan-akan ada negara-negara kecil di dalam Negara, hal mana benar-benar tidak sesuai lagi dengan sifat Negara kita sebagai negara modern.

Pun di negara-negara lain seperti R.R.T., Jepang, Birma, Mesir dan lain-lainnya, penghapusan pemilikan tanah-tanah yang luas sebagai tanah-tanah partikelir di negara kita, telah dilaksanakan, bahkan ada yang memakai cara yang "radikal". Usaha untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir (menurut peraturan yang berlaku hingga sekarang disebut: usaha mengembalikan tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara) hingga sekarang ini dijalankan secara membeli kembali tanah-tanah itu satu demi satu pembelian mana didasarkan pada kata sepakat antara Pemerintah dan pemiliknya. Bilamana tidak dapat dicapai persetujuan, maka Pemerintah dapat menempuh acara yang diatur dalam berbagai peraturan (yang disebutkan dalam Bab II No. 9). Akan tetapi sebagaimana juga telah diuraikan di atas peraturan-peraturan itu tidak cukup untuk dapat melakukan likuidasi tanah-tanah itu secara integral dalam waktu yang singkat.

(2) Di dalam Undang-undang ini diatur acara likuidasi yang mudah dan cepat, tetapi tetap memberi jaminan-jaminan yang layak bagi mereka yang berkepentingan.

(3) Demikianlah maka dalam pasal 3 ditentukan, bahwa sejak mulai berlakunya Undang-undang ini hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir itu seluruhnya serentak menjadi tanah Negara. Teranglah, bahwa Undang-undang ini menyatakan penghapusan tanah-tanah partikelir itu secara integral dan dengan demikian, maka sejak saat mulai berlakunya tidak akan terdapat lagi tanah partikelir di Negara kita.

(4) Berhubung dengan pernyataan hapusnya tanah-tanah partikelir tersebut di atas, maka perlulah ada ketentuan-ketentuan yang berupa jaminan bagi para pemiliknya dan orang-orang lainnya yang berkepentingan, terutama penduduk yang mempunyai hak usaha. Jaminan-jaminan itu diberikan dalam pasal 5, 8 dan 9.

(5) Di dalam pasal 5 ditentukan, bahwa tanah-tanah usaha akan diberikan kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik (hak yasan), kecuali jika hal itu menurut peraturan yang ada sekarang tidak mungkin. Terhadap tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk yang telah kembali menjadi tanah Negara, hingga kini berlaku ketentuan-ketentuan dalam K.B. tanggal 22 Oktober 1913 No. 45 (S. 1913 - 702). Adapun untuk tiap-tiap tanah partikelir di sebelah Timur Cimanuk yang kembali menjadi tanah Negara harus dibuat peraturan khusus, yang memberi ketentuan tentang penyelesaian tanah itu selanjutnya. Menurut S. 1913 - 702 tersebut maka pada saat kembalinya tanah partikelir itu menjadi tanah Negara, tanah-tanah usaha: a. yang ada di tangan orang Bumiputera menjadi tanah milik (pasal 2) b. yang ada di tangan orang Timur Asing menjadi tanah yang dimilikinya dengan suatu hak kebendaan, yang disebut: landerijen bezitsrecht (pasal 3).

Demikianlah sesuai dengan peraturan yang berlaku sekarang ini (S. 1913 - 702) maka yang akan mendapat hak milik, ialah para pemilik tanah usaha yang dulu termasuk golongan Bumiputera.

Bagi para pemilik lainnya, sepanjang mereka itu warga-negara Indonesia oleh Menteri Agraria akan diadakan ketentuan-ketentuan khusus (pasal 5 ayat 1 kalimat 2). Sudah barang tentu ketentuan-ketentuan khusus itu tidak akan mengurangi hak-hak mereka yang telah dijamin oleh S. 1913 - 702 tersebut di atas.

Di dalam hal tanah usaha itu menjadi milik orang asing, maka menurut pasal 6 dari Undang-undang ini, tanah tersebut harus diteruskannya kepada Negara atau kepada orang warga-negara Indonesia dalam waktu yang tertentu. Sanksi dari pada ketentuan ini dimuat dalam pasal 6 ayat 2 dan pasal 7 ayat 3.

Sesuai dengan peraturan dalam S. 1913 - 702 hak milik tersebut diberikan dengan cuma-cuma. Mengingat pengalaman yang didapat dari keadaan bekas tanah-tanah partikelir yang sudah dibagi-bagikan dengan hak milik, dirasa perlu sekali pemberian hak milik kepada penduduk itu disertai syarat-syarat, justeru untuk melindungi kepentingan mereka sendiri (pasal 5 ayat 2).

(6) Sesuai dengan pasal 26 ayat 2 dan pasal 27 ayat 1 U.U.D.S., penghapusan tanah-tanah partikelir beserta hak-hak pertuanan dan hak-hak pemiliknya adalah suatu bentuk pencabutan hak yang harus disertai ganti-kerugian. Berhubung dengan itu maka untuk menghindarkan keragu-raguan dalam pasal 8 Undang-undang ini ditegaskan: bentuk ganti-kerugian yang dapat diberikan, dasar perhitungan dan cara memberikannya. Dalam pada itu tidaklah ada alasan untuk memberikan ganti-kerugian bagi penghapusan hak tuan tanah untuk mengangkat, mengesahkan pemilihan serta memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum yang mempunyai kekuasaan kepolisian, karena wewenang-wewenang itu tidaklah semata-mata merupakan hak, tetapi juga kewajiban.

Adapun ganti-kerugian yang diberikan kepada pemilik dapat berupa uang, dapat juga diberikan hak atas tanah misalnya sewa, opstal, erfpacht atau hak lainnya terutama mengenai tanah-tanah yang berupa perusahaan perkebunan besar. Sudah barang tentu pemberian hak tersebut akan disertai syarat-syarat yang menjamin penggunaan tanah itu sebaik-baiknya sesuai dengan rencana pembangunan Negara. Berhubung dengan itu maka kepada pemilik dapat diberikan juga ganti-kerugian berupa fasilitet-fasilitet yang dapat membantu usaha mereka dalam rangka rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

Di dalam pasal 8 ayat l a ditentukan dasar perhitungannya bilamana ganti-kerugian itu diberikan berupa uang (penjelasan lebih lanjut tentang dasar perhitungan itu akan diberikan dalam penjelasan pasal demi pasal). Jumlah ganti kerugian itu ditetapkan oleh Menteri Agraria menurut ketentun-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut acara yang berlaku hingga sekarang maka tanah-tanah partikelir yang dilikuidasi itu baru hapus (istilahnya: kembali menjadi tanah Negara) setelah selesai soal pembayaran ganti-kerugiannya. Dalam Undang-undang ini ditentukan, bahwa semua tanah partikelir akan serentak hapus sejak Undang-undang ini mulai berlaku (pasal 3) dan baru kemudian ditetapkan dan diselesaikan soal ganti kerugiannya. Mengingat besarnya jumlah yang diperlukan dan keadaan Negara ganti-kerugian itu kiranya tidak akan mungkin dibayarkan sekaligus di dalam waktu yang singkat. Berhubung dengan itu maka pasal 8 ayat 3 memberi kemungkinan untuk melakukan pembayaran secara berangsur, akan tetapi waktunyapun dibatasi yaitu paling lama lima tahun. Dan selama itu sudahlah selayaknya jika para pemilik, kecuali menerima angsuran, mendapat juga bunga dari sisa ganti-kerugian yang belum diterimanya itu.

Demikian teranglah kiranya, bahwa bagi para pemilik dalam Undang-undang ini telah ada jaminan-jaminan yang layak dan adil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 26 ayat 2 dan 27 ayat 1 U.U.D.S.

(7) Kecuali mengenai hak dan kepentingan-kepentingan para pemilik dan penduduk pemilik tanah usaha. Undang-undang ini memuat juga ketentuan-ketentuan tentang hak-hak mereka yang turut tersangkut oleh penghapusan tanah-tanah partikelir itu, misalnya hak-hak desa atas tanah-tanah partikelir yang pada saat penghapusan itu merupakan tanah usaha, hak-hak para penyewa tanah kongsi, para pemegang hak erfdiensbaarheid, vruchtgebruik, gebruik, bewoning erfpacht, opstal dan lain-lainnya. Pasal 5 ayat 3 menentukan, bahwa hak-hak tersebut tetap berlangsung, kecuali jika kemudian ditentukan lain oleh Menteri Agraria, misalnya perjanjian sewa-menyewa diputuskan, hak opstal atau erfpachtnya dihentikan dan lain sebagainya. Di dalam hal yang demikian sudah barang tentu kepada yang berkepentingan akan diberikan ganti-kerugian. Mengenai hypotheek dan oogstverband (yang dengan hapusnya tanah-tanah partikelir dan hak-hak pemiliknya menjadi hapus juga karena hukum) pasal 9 menentukan, bahwa sesuai dengan pasal 40 Onteigendingsordonnantie (S. 1920 - 47A) pemegangnya tidak berhak atas ganti-kerugian tersendiri. Ia hanya dapat menuntut pembayaran dari jumlah ganti kerugian yang diterima oleh pemilik, akan tetapi tuntutan itu dapat diajukannya dengan tidak perlu menunggu saat piutangnya dapat ditagih.

(8) Agar supaya likuidasi dapat dijalankan dengan lancar dan teratur maka dipandang perlu untuk mengadakan pengawasan terhadap pemindahan hak dari pada tanah-tanah usaha. Hal itu diatur dalam pasal 7.

(9) Agar supaya likuidasi tanah-tanah partikelir itu dapat dijalankan secara teratur menurut rencana, maka dipandang perlu untuk mengadakan larangan terhadap pendudukan dan/atau pemakaian tanah-tanah Negara bekas tanah kongsi tanpa izin Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya. Hal itu diatur dalam pasal 10 dan 11.

(10) Dalam Undang-undang ini hanya dimuat azas-azas dan acara penghapusan tanah-tanah partikelir itu pada garis-garis besarnya saja. Untuk memudahkan penyelenggaraannya pelaksanaan beberapa hal diserahkan kepada Pemerintah untuk diaturnya dalam Peraturan Pemerintah (pasal 4 ayat 1, pasal 8 ayat 4 dan pasal 12).


PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.

Ayat 1a.

Di dalam peraturan-peraturan yang berlaku belum ada perumusan tentang pengertian "tanah partikelir". Adapun perumusan dalam ayat 1 ini di dalam arti dan kenyataannya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan dengan sejarah serta jurisprudensi.

Tanah-tanah Swapraja tidak termasuk pengertian "tanah partikelir", karena bukan tanah eigendom. Demikianpun tanah-tanah eigendom biasa milik daerah-daerah swatantra yang mungkin dapat dimasukkan di dalam hak-hak pertuanan menurut ayat 2 pasal ini (huruf d) dimilikinya sebagai badan kenegaraan menurut Undang-undang khusus. Dalam pada itu ada juga tanah-tanah partikelir yang dimiliki oleh daerah-daerah swatantra (Penjelasan Umum II No. 8).

Ayat 1b. sub 1 sampai dengan 4 sudah jelas.

Sub 5:

Untuk tanah-tanah partikelir disebelah Timur Cimanuk hubungan penduduk dengan tuan tanah didasarkan atas adat setempat. Adapun hak-hak menurut adat setempat yang sederajat dengan hak pertuanan yang disebut dalam sub 1 s/d 4 itu ialah, misalnya: hak tuan tanah untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong sepikul rumput bagi keperluannya, sehari dalam seminggu menjaga rumah dan gudang-gudangnya.

Adapun yang dimaksud dengan "peraturan-peraturan lain" ialah ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam akta-akta penjualan-penjualan/penyerahan dari pemerintah dahulu kepada pemilik dan ketentuan-ketentuan dalam Bijblad 3909.

Ayat 1c dan d.

Tanah partikelir itu bisa berupa seluruhnya tanah usaha atau tanah kongsi atau sebagian tanah usaha dan sebagian tanah kongsi. Dalam ayat 3 ini diberi perumusan apa yang termasuk tanah usaha. Adapun tanah "kongsi" adalah bagian-bagian tanah partikelir yang bukan tanah usaha (ayat 4).

Ayat 1 sub c 1.

Tanah-tanah yang termasuk perumusan sub c 1 ini semuanya adalah tanah perseorangan. Pasal 6 ayat 1 dari S. 1912 - 422 bunyinya sebagai berikut:

"Alle gronden, door de Indonesische en met deze gelijkgestelde bevolking voor eigen rekening en risico bebouwd, bewerkt of ter bebouwing als anderzins onderhouden, worden, behoudens de uitzonderingen in dit Reglement voorkomende, verstaan haar in erfpacht te zijn uitgegeven, onder voorwaarde aan den landeigenaar op te brengen de aan hem terzake verschuldide heffingen".

Ayat 1 sub c 2.

Tanah-tanah yang termasuk perumusan sub c 2 ini ada yang merupakan tanah desa dan ada yang merupakan tanah perseorangan, tetapi tidak dapat dimasukkan golongan sub a, karena S.1912-422 itu hanya berlaku untuk tanah-tanah partikelir disebelah Barat Cimanuk. Adapun dasar yang dipakai untuk menentukan sesuatu tanah sebagai tanah usaha adalah (sepanjang yang mengenai tanah perseorangan) sifatnya hak yang turun-temurun. Mengenai tanah-tanah desa adat setempat yang memberi ketentuannya.

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan kedudukan tanah-tanah yang lazim disebut "tipar". Tanah-tanah ini dimusim kemarau tidak dapat ditanami. Menurut pasal 6 ayat 2 S.1912-422 dianggap tidak termasuk golongan tanah usaha ("Als niet in erfpacht aan de Indonesische en met deze gelijkgestelde bevolking uitgegeven, worden aangemerkt: a. ................... b. de niet geregeld bebouwde droge gronden, welke voor de tijd van een oogstjaar ter beplanting worden uitgeven"). Menurut kenyataannya "tipar" itu senantiasa dikerjakan bertahun-tahun bahkan turun-temurun oleh satu keluarga. Sifat pemakaian tanah semacam itu tidak berbeda dengan pemakaian yang tersebut pada sub a. Maka oleh karena itu selayaknyalah tanah yang semacam itu dimasukkan juga dalam golongan tanah usaha.

Ayat (2).

Sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum Bab I No. (2).


Pasal 2.

Ayat (1).

Perumusan sub a adalah mengenai tanah-tanah partikelir yang pemiliknya telah dibukukan menurut ketentuan-ketentuan dari Overschrijvingsordonnantie S. 1834-27. Dalam pada itu berhubung dengan stelsel yang dianut oleh Overschrijvingsordonnantie tersebut stelsel negatip) maka ada kemungkinan, bahwa yang tercatat sebagai pemilik itu bukanlah pemilik yang sebenarnya.

Berhubung dengan itu maka pemilik yang sebenarnya, yang tidak atau belum tercatat sebagai pemilik, harus diberi kesempatan dan menurut hukum yang berlaku sekarang ini ia memang berhak untuk membuktikan dengan alat-alat pembuktian yang sah, bahwa dialah yang berhak atas tanah partikelir itu sebagai pemilik. Untuk itu maka diadakan ketentuan dalam sub b.

Ayat (2).

Ketentuan ayat 2 ini bermaksud agar supaya jalannya likuidasi tidak terhambat, akan tetapi kepentingan pemilik juga tetap terjamin. Dengan sendirinya pemilik yang sesungguhnya sewaktu-waktu tetap berhak untuk mengoper urusannya dari tangan Balai Harta Peninggalan, yang bertindak karena jabatannya dan untuk itu tidak diperlukan sesuatu keputusan hakim.

Pasal 3.

lstilah "hapus" dianggap lebih tepat dari pada "batal". Hak-hak para pemilik oleh Undang-undang ini dihapuskan tidak karena mereka tidak memenuhi kewajibannya, akan tetapi karena embaga tanah partikelir dengan hak-hak kenegaraannya itu bertentangan dengan sifat Negara kita sebagai negara modern. Perkataan "nasionalisasi" juga tidak dipakai karena perkataan tersebut lazimnya dipakai di dalam hal hak milik atas sesuatu perusahaan partikelir dialihkan kepada Negara dengan maksud untuk dilanjutkan sebagai perusahaan Negara. Mengenai tanah-tanah partikelir ini tidaklah ada maksud demikian, tetapi bahkan sebaliknya lembaga tanah partikelir ditiadakan.

Tanah-tanah bekas tanah partikelir yang menjadi tanah Negara itu ada 2 macam, yaitu tanah usaha dan bekas tanah kongsi. Penyelesaian tanah-tanah usaha diatur dalam pasal 5, 6 dan 7 dalam mana antara lain-lain ditentukan, bahwa tanah-tanah itu akan diberikan kepada penduduk yang berhak (yaitu penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah-tanah itu) dengan hak milik (hayasan), kecuali jika menurut peraturan yang ada sekarang tidak mungkin (pasal 5 ayat 1) (lihat penjelasan Umum Bab III No. 5).

Adapun tanah-tanah bekas tanah kongsi sebagai tanah Negara berada dalam kekuasaan Menteri Agraria berdasar Peraturan Pemerintah No. 8/1953 tentang "Penghapusan Tanah-tanah Negara" (L.N. 1953-14). Peruntukan dan penggunaan tanah-tanah itu selanjutnya akan ditentukan oleh Menteri Agraria misalnya tanah-tanah yang merupakan perusahaan kebun yang masih dalam keadaan baik dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada bekas pemiliknya dengan sesuatu hak yang tidak tetap dan terbatas waktu berlakunya sedang bagian-bagian lainnya, yang tidak diperlukan oleh Pemerintah dapat diberikan kepada desa atau badan-badan hukum lainnya, kepada perusahaan-perusahaan guna pembangunan Negara atau kepada perseorangan dengan syarat-syarat yang tertentu.

Pasal 4.

Ayat (1).

Sebagai telah diuraikan dalam penjelasan pasal 3 di atas kembalinya tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara itu ialah sejak mulai berlakunya Undang-undang ini. AKibat perubahan status ini harus ditampung, pekerjaan mana ditugaskan kepada Menteri Agraria.

Oleh karena tanah-tanah partikelir yang tersebar di Indonesia itu, keadaannya tidak sama maka adalah perlu likwidasi bekas tanah partikelir itu dijalankan satu demi satu, masing-masing dengan satu keputusan Menteri, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta Peraturan Pemerintah yang disebut dalam ayat ini.

Ayat (2).

Maksud ketentuan dalam ayat ini adalah untuk menjaga agar selama belum ditetapkan keputusan Menteri Agraria tersebut di atas tanah-tanah kongsi itu tetap terurus dan terpelihara sebagaimana mestinya. Oleh karena sebelum berlakunya Undang-undang ini sudah barang tentu pemiliknyalah yang mengetahui sebaik-baiknya tentang keadaan tanah partikelir itu, maka sudahlah selayaknya bahwa ialah yang ditunjuk untuk mengurusnya.

Ayat (3).

Penunaian tugas pemilik dan pertanggungan-jawabnya perlu diatur lebih lanjut. Demikianpun sudah selayaknya, bahwa pemilik, berhubung dengan kewajiban yang dibebankan padanya itu berhak atas suatu honorarium. Kesemuanya ini diatur oleh Menteri Agraria.

Pasal 5.

Ayat (1).

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 5 dan Penjelasan pasal 3.


Ayat (2).

Hak milik diberikan dengan cuma-cuma sesuai dengan praktek yang dijalankan hingga sekarang, berdasar ketentuan-ketentuan antaranya yang diatur dalam S. 1913-702.

Syarat-syarat yang disertakan pada pemberian hak milik itu dimaksudkan untuk menjamin pemakaian tanah itu yang sebaik-baiknya serta untuk mencegah, agar supaya pemiliknya jangan terlalu mudah mengalihkan haknya kepada fihak lain.

Ayat (3).

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 7.

Pasal 6.

Ayat (1).

Kiranya sudahlah selayaknya, bahwa di dalam soal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara warga-negara dan orang asing. Di dalam hal tanah usaha itu diserahkannya kepada Negara, maka tanah tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan kembali kepadanya dengan sesuatu hak pemakaian yang sifatnya tidak (tetap misalnya sewa). Tempo satu tahun dipandang sudah cukup untuk mencari kemungkinan melepaskan tanah usaha itu atau meminta sesuatu hak pemakaian pada Negara. Bahkan atas permintaan yang bersangkutan waktu satu tahun itu dapat diperpanjang (dengan paling lama satu tahun). Penetapan di dalam hal-hal apa dan untuk berapa lamanya tempo satu tahun itu dapat diperpanjang dapat diserahkan pada kebijaksanaan Menteri Agraria.

Ayat (2).

Guna menghindarkan seseorang mengulur-ulur waktu untuk memenuhi apa yang ditentukan dalam ayat 1, maka perlu ada sanksi berupa pembatalan hak dengan tiada disertai ganti-kerugian.

Pasal 7.

Ayat (1).

Ketentuan dalam ayat ini yang memungkinkan Menteri Agraria mengadakan pengawasan terhadap mutasi-mutasi mengenai tanah usaha dan mencatat mutasi-mutasi tersebut, dimaksudkan

Pertama: untuk melindungi kepentingan para pemegang tanah usaha (yang sebagian besar belum memahami, bahwa hapusnya tanah-tanah partikelir itu akan membawa keuntungan baginya, yaitu: tanahnya menjadi tanah milik) dengan mencegah perbuatan orang-orang yang bertujuan memperoleh keuntungan yang bukan semestinya dengan jalan membeli tanah-tanah usaha itu atau menyewanya untuk waktu yang lama.

Kedua: untuk menghindarkan kesulitan di dalam pelaksanaan likuidasi, jika tentang penggantian nama-nama pemegang hak usaha tidak diadakan pengawasan dan pencatatan.

Yang dimaksud dengan "serah pakai", ialah setiap perbuatan pemegang hak usaha yang bertujuan memberi kemungkinan bagi orang lain untuk memakai tanah usaha tersebut dan/atau memungut hasilnya, misalnya sewa-menyewa, perjanjian berbagai hasil dan lain sebagainya.

Tidak termasuk dalam pengertian "pemindahan hak" ialah perwarisan tanpa wasiat serta, bagi mereka yang tunduk pada hukum sipil Barat, percampuran harta karena perkawinan.

Akan tetapi hibah atau legaat termasuk pemindahan hak yang memerlukan izin. Demikian juga jual-gadai.

Ayat (2).

Agar supaya ketentuan ayat 1 tersebut dapat terjamin pelaksanaannya, maka dianggap perlu untuk mengadakan sanksi berupa pembatalan hak dengan tiada diserta pengganti-kerugian.

Ayat (3).

Ada kalanya tanah usaha yang haknya telah dinyatakan batal itu perlu dikosongkan. Untuk memudahkan pelaksanaannya maka perintah pengosongan itu cukup dicantumkan di dalam keputusan pembatalan hak itu, perintah mana dapat segera dijalankan oleh jurusita dan kalau perlu dengan bantuan polisi.

Dengan adanya ketentuan ini maka pengosongan itu tidak perlu melalui pengadilan dan dapat segera dilaksanakan, juga sekalipun yang berkepentingan mengajukan tuntutan berkeberatan di muka hakim.

Pasal 8.

Ayat (1) sub. a:

1. Perhitungan ganti-kerugian didasarkan atas penghasilan sebelum 1942 (khususnya rata-rata setahun dari tahun 1937 s/d 1941) karena semenjak keluarnya Undang-undang Balatentara Pendudukan Jepang pada tahun 1942, yang kemudian disusul oleh Verordening CCO-Amacab 1946 No. XXIX, tanah-tanah partikelir tidak lagi diusahakan atas dasar hak-hak pertuanan.

Dalam tahun 1949 oleh Pemerintah Hindia Belanda telah dibeli kembali tanah-tanah partikelir seluas 469.506 ha dari jumlah 498.429 ha (lebih kurang 96 1/2%), dengan harga yang ditetapkan atas persetujuan antara Pemerintah dan para pemiliknya dengan memakai dasar hasil tahun 1937-1941, sebagaimana ternyata dari pasal 6 surat keputusan Wakil Tinggi Mahkota tanggal 8 April 1949 No. 1.

Maka kiranya sudahlah selayaknya, jika dasar tersebut dipakai juga untuk menetapkan jumlah ganti-kerugian mengenai sisanya yang kini tinggal kira-kira 17.000 hektar (lebih -kurang 3 1/2%) dan yang dihapuskan oleh Undang-undang ini. Pada tahun 1949 itupun telah disetujui dan ditetapkan sebagai biaya usaha 40% dari penghasilan kotor.

Meskipun sebagian letaknya di dalam kota, akan tetapi dasar-dasar Penghasilan sebagai tanah partikelir tidak berbeda dengan tanah-tanah partikelir yang ada di luar kota, karena ditetapkan dan dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam S. 1912-422 untuk disebelah Barat dan dalam S. 1880-150 untuk sebelah Timur Cimanuk.

2. Di dalam menentukan besarnya ganti-kerugian itu Undang-undang ini berpangkal pada pendirian, bahwa tanah-tanah partikelir itu bagi pemiliknya merupakan suatu modal yang tiap-tiap tahun memberi hasil kepadanya, yang setelah dikurangi dengan biaya yang perlu untuk itu boleh disamakan dengan bunga dari modal tadi. Demikian maka tergantung pada beberapa persenkah besarnya bunga itu, dapatlah kemudian dihitung besarnya modal. Dalam menentukan besarnya modal ini harus diperhitungkan juga faktor risiko. Bunga setahun. Faktor risiko sebelum perang ditentukan 2 dan mengingat keadaan sekarang layaklah kiranya jika dikalikan 3 menjadi 6. Biaya usaha ditetapkan 40%. Jadi hasil bersihnya adalah 60% dari jumlah hasil yang diterima setahun oleh pemilik rata-rata selama lima tahun terakhir sebelum tahun 1942.

Jika penghasilan bersih dari sesuatu tanah partikelir rata-rata tiap tahun telah diketahui dan penghasilan itu diartikan sebagai bunga modal, yaitu 6%, maka angka perkalian (faktor kapitalisasi) untuk menghitung modal tersebut, setelah diperhitungkan pula faktor risiko 6, adalah 100 : 6 + 6) = 81/2. Ini berarti, bahwa besarnya modal adalah 8 1/2 kali hasil bersih atau dengan perkataan lain jumlah ganti-kerugian yang akan diberikan adalah 8 1/2 kali hasil setahun.

3. Adapun yang dimaksudkan dengan hasil itu, ialah khusus hasil dari tanah sebagai tanah partikelir, misalnya:

a. dari tanah-tanah usaha: cukai, contingent atau pajak, sewa kebun, sewa tanah, pungutan dari pemeliharaan ikan

b. lain-lain penghasilan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, seperti: hasil tanaman dari perkebunan, hasil ikan dari empang-empang atau hasil yang didapat karena tanahnya disewakan atau diberikan dengan hak erfpakht atau opstal dan sebagainya.


Dalam pengertian "penghasilan" yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini tidak termasuk hasil dari perusahaan atau pabrik-pabrik, meskipun yang dikerjakannya adalah hasil dari tanah itu juga. Pendapatan sewa dari bangunan-bangunanpun tidak termasuk perhitungan, jika bangunan-bangunan itu dikembalikan kepada pemilik dan tanah dimana bangunan-bangunan tersebut berdiri diberikan kepadanya dengan sesuatu hak yang terbatas waktu berlakunya. Tergantung pada keadaan dan sifatnya bangunan maka didalam hal yang demikian dapat diberikan kepadanya hak sewa atau hak opstal.

4. Ganti-kerugian itu dibayar dalam mata uang rupiah, dengan pernilaian satu gulden Hindia Belanda sama dengan satu rupiah.

Ayat (1) sub b.

Telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 6.

Ayat (2).

Sudah selayaknyalah kiranya jika atas tanah-tanah yang demikian itu pemiliknya tidak mendapat ganti-kerugian karena menurut kenyataannya iapun tidak mendapat penghasilan apa-apa dari tahun itu.

Ayat (3).

Sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum Bab III No. 6. Bunga menurut Undang-undang yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah 6%, sebagaimana ditetapkan dalam S. 1848-22 ("wettelijk interes").

Ayat (4). Tidak memerlukan penjelasan.

Ayat (5). Karena dasar untuk menetapkan besarnya ganti-kerugian sudah ditentukan dalam ayat-ayat di atas, maka "hoger beroep" kepada sesuatu instansi (administrasi atau pengambilan) tidaklah perlu diadakan.

Pasal 9.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 7.

Pasal 10

Sebagaimana telah dinyatakan di dalam Penjelasan Umum Bab III No. 9 maka ketentuan-ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk mengusahakan, agar supaya likuidasi tanah-tanah partikelir dapat dijalankan secara teratur dan bekas tanah-tanah kongsi yang telah menjadi tanah Negara itu dapat dipergunakan menurut rencana, serta tiada menjadi obyek penyerobotan.

Mengenai sengketa-sengketa tanah yang ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini antara tuan-tuan tanah dan rakyat, dapat ditunjuk pada azas hukum pidana yang terletak dalam pasal 1 K.U.H. Pidana dan pasal 14 ayat 2 U.U.D.S., bahwa "tiada seorangpun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan yang ada dan berlaku terhadapnya", artinya aturan hukuman itu harus sudah ada pada waktu perbuatan yang dilarang itu dilakukan, dengan lain perkataan pasal 10 Undang-undang ini tidak berlaku bagi sengketa-sengketa yang sedang diselesaikan.

Ayat (1).

Sekedar pemilik bertindak atau bertingkah-laku dalam rangka penunaian wajib sesuai pasal 5 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia tidak perlu izin dari Menteri Agraria.

Mengenai "mempunyai bangunan-bangunan", bukanlah menjadi soal apakah bangunan-bangunan itu dipakai atau ditempati sendiri atau tidak.

Ayat (2).

Tidak memerlukan penjelasan.

Ayat (3).

Kepercayaan yang diberikan kepada pemilik sesuai pasal 4 ayat 2 Undang-undang ini sebaliknya mudah sekali dapat disalah-gunakan untuk menghambat dan mempersukar pelaksanaan likuidasi.

Oleh karena itu maka tidaklah selayaknya, bahwa pemilik yang bersalah melakukan perbuatan-perbuatan demikian itu akan mendapat jaminan-jaminan yang sama seperti pemilik-pemilik tanah-tanah partikelir lainnya yang mentaati ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, khususnya jaminan ganti-kerugian yang diatur dalam pasal 8.

Ayat (4).

Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 11.

Pasal ini untuk menjamin lancarnya likuidasi. Pengalaman menunjukkan bahwa lembaga ("rechtsmiddel") banding, kasasi dan grasi banyak disalah-gunakan hanya untuk menunda pelaksanaan putusan pidana. Boleh dikatakan bahwa permohonan banding, kasasi atau grasi yang berhasil baik, adalah merupakan kekecualian yang jarang terjadi.

Pasal 12

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 10. Ancaman pidana itu (sesuai dengan ketentuan dalam pasal 98 ayat 2 U.U.D.S.) adalah bermaksud untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya.

Pasal 13.

Ayat (1).

Apa alasannya bahwa Undang-undang ini disebut 'Undang-undang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir" dan tidak dipergunakan istilah "nasionalisasi" telah diuraikan dalam penjelasan pasal 3.

Istilah "penghapusan" dipandang juga lebih tepat dari pada "likuidasi", karena menunjukkan, bahwa lembaga tanah partikelir itu ditiadakan dengan serentak secara integraal.

Ayat (2).

Tidak memerlukan penjelasan.

Termasuk Lembaran-Negara No. 2 tahun 1958.

Diketahui: Menteri Kehakiman,

MAENGKOM.